Catatan oleh RUDI FOFID
HAKIM: Bagaimana nama depan anda?
PATTY: Alexander, Jacob
HAKIM: Berapa usia anda?
PATTY: Saya berusia 30 tahun
HAKIM: Di mana anda dilahirkan?
PATTY: Hoofdplaats Amboina, nama tempat itu.
HAKIM: Di mana keberadaan anda yang terakhir, pendidikan anda, dan bagaimana kehidupan anda sebelum ini?
PATTY: Belakangan ini saya tinggal di Amboina, pernah masuk Stovia (Surabaya), pernah kerja di perusahaan perdagangan, kemudian saya bekerja sebagai jurnalis koran De Expres, De Beweging, De Indische Courant, edisi Jawa Barat dan berbagai surat kabar berbahasa Melayu, seperti Persatoean Hindia, Neratja. (Hindia Baroe). Saya tidak menyelesaikan studi di Stovia, saya hanya tiga bulan di Kedokteran.
HAKIM: Apakah benar selama tinggal di Semarang pada tahun 1918 dan 1919, anda bersama rekan anda Najoan, punya hubungan dekat dengan anggota Partai Komunis dan Indische Partij?
PATTY: Saya keberatan disebutkan senafas dengan Tuan Najoan dan Partai Komunis. Najoan tidak pernah menjadi anggota partai saya; Saya tidak menyangkal bahwa saya telah melakukan kontak dengan Najoan dan anggota partai komunis, tapi itu bukan dalam kualifikasi partai melainkan karena pekerjaan jurnalistik yang membawa saya ke sana, dan juga anggota Indische Partij.
HAKIM: Apakah benar seperti dalam berita di media, anda melakukan rapat dengan istri-istri anggota militer, lalu anda mengatakan Belanda dan pribumi itu berbeda, kendati bertemu di gereja yang sama. Anda mengatakan, kalau Belanda dan pribumi mati, kuburannya berbeda. Betul anda mengatakan seperti itu?
PATTY: Saya tidak ingat susunan kalimat saya waktu diwawancarai di depan pintu, tetapi benar apa yang saya katakan sebagaimana ditulis surat kabar tersebut.
Tanya-jawab di atas adalah sekelumit cuplikan proses verbal yang panjang, setebal 573 halaman, yang dicatat panitera persidangan Alexander Jacob Patty di Pengadilan Makassar, pada 18-19 November 1924.
Hakim, pada akhirnya menjatuhkan vonis hukuman enam bulan diasingkan ke Bengkulu. Hakim meminta pemerintah menyiapkan penginapan, memberi 50 gulden setiap bulan, dan mencari aktivitas yang memungkinkan Patty bisa kerja mandiri.
Bukan kali ini saja, Patty diasingkan. Ia pernah diasingkan ke Makassar, Ende, Palembang, sampai akhirnya meninggal dunia di Bandung, di tengah masyarakat akar rumput yang mencintainya. Itulah risiko yang dia terima sebagai jurnalis kepala batu yang tidak mau kompromi dengan Belanda, kendati dia sendiri pernah menjadi anggota Parlemen Belanda di Ambon yakni Ambon Raad.
KORAN POLITIK SAIT
Pada bulan Oktober 1894, terbit surat kabar Penghentar, di Ambon. Pada halaman pertama, kop surat kabar bertuliskan “Penghentar” Soerat Chabar Maloku, wartawannja saloeroeh pandita di Residen Ambon. Isi surat kabar ini sesuai namanya, diterbitkan oleh Gereja Protestan Indische Kerk di Ambon. Meskipun untuk kepentingan gereja, isinya juga memuat berita-berita umum.
Tahun 1917, atas provokasi guru Kweekschool asal Tapanuli Radjioen Soetan Kachajangan Soeripada Harahap, terbitlah surat kabar Ambon Vooruit di Ambon. Jurnalisnya guru-guru, sebab surat kabar ini diterbitkan demi misi memajukan pendidikan.
Barulah tahun 1921, muncul sosok ekstrem Alexander Jacob Patty. Pria kelahiran Banda 30 September 1894 itu menggagas surat kabar SAIT. SAIT adalah gabungan dua kependekan yakni SA dan IT. SA adalah Sarekat Ambon yang didirikan Patty di Semarang, sedangkan IT adalah Ina Toeni yang didirikan Ina Bala Wattimena di Ambon. Inilah untuk pertama kali di Maluku, politisi merangkap jurnalis. Patty dan Ina Bala sepakat bekerja sama. Partai politik Sarekat Ambon menggandeng Ina Toeni sebagai organisasi sayap perempuan.
Iba Bala adalah perempuan kuat. Selain menulis syair lagu, ia mengajar lagu-lagu perjuangan kepada perempuan. Setelah lagu Indonesia Raya diperkenalkan WR Soepratman dalam Kongres Pemuda II, Ina Bala melatih lagu kepada kaum perempuan. Polisi Belanda berkali-kali memanggil Ina Bala karena gelagat politiknya tercium. Ina Bala selalu tangkas berargumentasi di hadapan polisi. Sebab itu, tidak sekalipun dia ditahan.
Patty berkali-kali ditahan, disidang lalu dibuang ke berbagai kota. Saat itulah, Ina Bala tampil sebagai pucuk pimpinan Sarekat Ambon menggantikan Patty. Ia menjadi pejabat sementara Ketua Sarekat Ambon, sampai pemilihan ketua yang baru.
Surat kabar SAIT tidak bertahan lama sebab tulisan-tulisannya mengganggu Belanda. Selain menangkap Patty dan mengasingkannya ke luar Maluku, Belanda juga membreidel SAIT. Aktivis Sarekat Ambon tidak kurang akal. Mereka menerbitkan lagi surat kabar Mena Moeria. Ada sekitar enam kali mereka berganti nama surat kabar, karena selalu kena breidel.
AJ Patty, Ina Bala, Amin Ely, Eliza Urbanus Pupella, Ot Pattimaipau, dkk adalah politisi-politisi sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Mereka menggunakan jalan jurnalisme dan jalan politik sebagai satu jalan raya menuju Indonesia merdeka. Ada sinergitas di sana, sebab politik jadi kuat, karena jurnalisme juga kuat. Pada periode 1921-1945, tidak ada persoalan antara profesi jurnalis dan politisi. Di dalam diri seseorang, melekat dua profesi tersebut.
MEDIA DAN JURNALIS PARTISAN
Indonesia merdeka tahun 1945 tapi Belanda baru menyerahkan kedaulatan tahun 1949. Tidak lama setelah itu, J. Manuhutu membaca proklamasi RMS. Terjadi perang berita dan opini antara surat kabar Masa (Eliza Urbanus Pupella dkk) versus surat kabar Siwalima (Z. Pesiwerissa dkk, tidak ada hubungan dengan harian Siwalima sekarang). Surat kabar Masa anti RMS, sedangkan Siwalima pro RMS.
Sebelum Pemilu pertama tahun 1955, surat-surat kabar yang berafliasi ke partai-partai peserta Pemilu kian gencar. Surat kabar Pendidikan Rakyat diterbitkan oleh Partai Indonesia Merdeka (E.U.Pupella, Said Bachmid, Ot Pattimaipau), Menara Merdeka diterbitkan Partai Indonesia Merdeka (E.U.Pupella, Said Bachmid, Ot Pattimaipau, L. E. Manuhua, M. Amin Ely), Haluan diterbitkan oleh Parindra (J.D. Syaranamual, Semuel Gaspers), Suara Maluku (Partai Nasional Indonesia), Partai Indonesia menerbitkan Menara Merdeka-Ternate (Abubakar Bachmid, Mohammad Soleiman, Umar Assagaf, Hasan Rajaloa, M. Amin Ely), dll.
Pada Pemilu 1955, terdapat 172 partai politik sebagai kontestan. Surat kabar partisan melakukan propaganda partai dan kadernya. Situasi jelang Pemilu 1955 sungguh berbeda dengan situasi sebelum Indonesia Merdeka. Jika pada masa penjajahan, semua jurnalis dengan berbagai latar belakang memiliki satu cita-cita yakni Indonesa merdeka, maka perangkapan jurnalis sebagai politisi, tidak menjadi masalah.
Persoalan muncul ketika media-media dan jurnalis menjelang Pemilu 1955, sudah tidak punya satu cita-cita. Ada jurnalis yang nasionalis, ada jurnalis yang memperjuangkan kepentingan agama, ada yang memperjuangkan komunisme. Tarik menarik kepentingan golongan politik inilah yang menyebabkan munculnya kesadaran akan pentingnya independensi media dan jurnalisme. Sebab itu, di tengah maraknya media-media partisan, muncullah media-media yang mempertegas jargon “independen”.
Hari ini pun, kita bisa melihat bagaimana media-media berafliasi kepada partai politik. Meskipun secara hierarkis, badan hukum, tidak ada garis komando antara partai dan media, namun secara kepemilikan dan tendensi pemberitaan, bisa dilihat bagaimana keberpihakan media secara malu-malu kepada politik partai politik. Meskipun performanya bagai media partisan, namun selalu mengaku sebagai media independen.
MENGAPA HARUS INDEPENDEN
Media massa harus independen, sebab seorang jurnalis melakukan kegiatan jurnalistik atas nama publik dan untuk melayani kepentingan publik. Jurnalis tidak menggunakan media massa untuk kepentingan dirinya. Bandingan karakter narsis yang dilayani facebook. Melalui akun Facebook, seseorang bisa melakukan apa saja untuk pencitraan dirinya sendiri. Media massa tidak boleh narsis. Ia harus mengabdi kepada publik.
Meskipun tidak ada mandat rakyat secara hukum kepada jurnalis untuk bertindak atas nama rakyat, namun secara serta merta, jurnalis sudah membawa mandat itu, dan harus digunakan dengan penuh tanggungjawab.
Jurnalis TV Saleh Tianotak menemukan fakta siswa kelas tiga dan empat di SD Negeri Hutawa Telaga Kodok di utara Ambon, sudah dua tahun tujuh bulan belajar tanpa meja bangku. Mereka hanya tiarap dan aneka gaya bebas. Berita yang disiarkan ANTV (juga TV Indonesia, harian Kompas dan Suara Maluku) pada hari Senin, langsung direspon Gubernur Maluku Karel Ralahalu. Empat hari setelah berita tersebut disiarkan, kedua kelas sudah punya meja-bangku.
Berita anak sekolah tidur sambil tiarap adalah demi kepentingan pendidikan anak-anak. Ini masalah publik. Berita yang disiarkan itu, kemudian menjadi referensi bagi pemerintah untuk mengambil keputusan. Relasi jurnalis (media massa) dengan pemerintah seperti ini patut dijaga karena semuanya demi kepentingan publik semata.
Atas nama publik pula, jurnalis dapat “memaksa” pejabat negara menyediakan waktu untuk diwawancarai jurnalis. Presiden sampai kepala desa, semuanya memahami, bahwa jika jurnalis mau wawancara, perlu memang dilayani sebab selalu senantiasa berhubungan dengan masalah publik.
Andai ada 1.000 korban bencana alam di satu lokasi pengungsian mendatangi gubernur secara sendiri-sendiri untuk menyampaikan keluhan, betapa repotnya gubernur. Berapa banyak waktu dan tenaga disediakan untuk terima tamu yang berkeluh-kesah. Kalau persoalan korban bencana alam itu ditanyakan oleh satu orang jurnalis saja lalu disiarkan media massa, publik (korban bencana) sudah terwakili sebab pertanyaan jurnalis kepada gubernur, adalah pertanyaan para korban bencana.
Oleh karena jurnalis tidak berpolitik dan tetap independen, maka tidak ada prasangka dari narasumber maupun publik kepada integritas jurnalis dan tendensi berita. Jurnalis yang independen menulis berita tanpa ada kepentingan pribadi dan golongan. Ia bekerja untuk semua, sehingga dapat dipercaya. Kepercayaan adalah harga mati dalam dunia jurnalisme. Jika media dan jurnalis tidak dipercaya, tamatlah jurnalisme dalam diri media dan jurnalis tersebut.
Lantas, bolehkah jurnalis yang independen itu menjadi pengurus partai politik? Boleh! Caranya adalah mengundurkan diri dari kegiatan jurnalistik, lantas mengabdi kepada politik.
Jurnalistik dan politik adalah dua jalan yang sama-sama merupakan jalan suci untuk memperjuangkan kepentingan publik. Akan tetapi, keintiman profesi jurnalis dengan politisi zaman AJ Patty, hingga Eliza Urbanus Pupella, tidak terulang lagi di zaman sekarang. Hiruk-pikuk multi partai, kerasnya rivalitas pasar ekonomi dan pasar politik membuat jurnalis sulit berdiri pada kaki jurnalisme dan kaki politik sekaligus.
Untuk generasi sekarang, tentu kita masih ingat nama-nama Ety Manduapessy, Ely Tahapary, Kutny Tuhepaly, Bitto Temmar, Chois Nikijuluw, Agus Jaftoran, RM Waremra, Demy Hattu, Jafry Tahitu, dan banyak lagi yang terjun ke politik bahkan menjadi anggota DPRD dan kepala daerah. Mungkin inilah generasi terakhir yang bisa merangkap sebagai jurnalis dan politisi. Ke depan, sebaiknya jurnalis tidak rangkap politisi seperti pada masa lalu. Setiap zaman punya situasi sendiri-sendiri. Dulu, perangkapan adalah sinergi. Sekarang, perangkapan akan berubah menjadi anti sinergi. Seorang jurnalis yang merangkap politisi, hari ini, bisa jadi ia akan tidak maksimal pada kedua sisi.
Sebuah teladan sudah ditunjukkan jurnalis M. Azis Tunny. Ia terjun ke politik melalui Partai Gerindra. Sejak memutuskan berpolitik, Azis kemudian mengumumkan kepada publik tentang pengunduran diri dari seluruh aktivitas jurnalistik.
Semoga jurnalistik dan politik selalu menjadi dua sakramen yang berbeda. Semoga orang-orang yang rajin mendoakan politisi, juga tidak lupa mendoakan para jurnalis di Maluku.
Ambon, 2 April 2018
(Penulis adalah Redaktur Pelaksana media online malukupost.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar