Catatan oleh RUDI FOFID
"En tub fo tom, en dir fo tad”
(Tertanam sebagai kenangan, tegak sebagai bukti)
Pepatah Kei di atas bermakna, sekali ditetapkan hendaklah dijunjung, sekali disepakati hendaklah dihormati. Makna lainnya, sejarah telah menyatakan, dan fakta telah membuktikan. Demikianlah bisa dibaca pada buku "1200 Misil-Masal, Liat-Dalil, Sukat-Sarang Evav" yang disusun Ph Renyaan (1974).
Saya suka pepatah ini, karena erat dengan kerja jurnalistik. "En tub fo tom, en dir fo tad”. Ada kata "tom" dan "tad". "Tom" artinya omongan, cerita, atau opini, sedangkan "tad" bermakna tadi, bukti, atau fakta. Tom-tad adalah opini dan fakta. Kalau bicara, harus ada bukti. Saya ingat pepatah ini bertahun-tahun.
Tahun 1984, pertama kali saya keluar dari lingkungan personal. Bersama 21 orang muda, kami pergi ke sebuah pulau yang belum pernah saya datangi di Maluku Tengah. Tidur di rumah orang, makan dilayani, mandi air panas yang baru dimasak, apapun dilayani orang yang baru dikenal. Saya dilayani bagai tuan besar. Sarapan pagi, sarapan jam 10,00, makan siang, minum teh sore, makan malam.
Usia saya waktu itu, belum 20 tahun. Masih muda belia penuh bara kasmaran. Di rumah itu, ada gadis perawan. Sangat manis. Pipinya selalu merah, padahal belum dicium. Kalau saya mau ke mana saja di dalam kampung, dia yang antar. Sungguh mesra sepasang muda-mudi di jalan kampung. Kami bisa disorot semua mata dari jiku rumah, jiku dapur, mata jalan.
Sekali-kali, saya pergi sendiri ke tempat kegiatan sosial, atau nongkrong di rumah orang kampung, sekadar ngobrol sembari minum kopi dan makan goreng-gorengan. Biasanya pada jam makan atau minum, si nona akan datang menjemput.
“Pulang makan dulu,” katanya.
Teman-teman saya selalu ehem-ehem. Ada yang memprovokasi supaya jangan gantung terlalu lama. Ada yang ingin dapat kepastian, bahwa jika saya tidak ambil, serahkan kepadanya. Kawan-kawan juga bikin gosip aneh-aneh, dan menjodoh-jodohkan saya dengan nona manis itu.
Terus terang, saya juga suka. Saya menikmati gosip-gosip itu. Maka di meja makan, nikmat sekali saat dia tuang papeda, menambah ikan, sayur, sambal ke piring. Dia tuang air putih jika di gelas sudah tinggal setengah. Ini terlihat intim sebab hanya kami berdua di meja makan. Kami bisa bercerita apa saja. Rasanya seperti sepasang pengantin remaja.
Karena saban hari kawan-kawan terus menggasak, terbitlah niat tersembunyi untuk meneguhkan gosip menjadi kisah nyata cinta lokasi yang manis romantis. Biarlah cinta bersemi di kampung permai ini, lalu nanti kita bikin rencana untuk hari-hari kemudian.
Hari ketujuh di kampung itu, saya sendirian ke rumah raja. Kawan-kawan sudah berkumpul di sana. Begitu tiba di rumah raja, kawan-kawan bertanya: “Nyora mana?” Maksud mereka si nona manis. Biasanya jalan berdua, kali ini jalan sendiri.
Saya menunjuk istri raja yang sedang duduk di situ. Mereka tertawa karena memang di situ ada Mama Nyora. Seorang kawan yang mulut putus rem lantas bercerita kepada Mama Nyora.
“Mama Nyora, dia sudah jadi dengan adik piara yang manis itu,” katanya.
Mendengar itu, Mama Nyora memanggil saya dengan lambaian tangan dan anggukan kepala. Saya pergi, menyalami Mama Nyora lalu duduk di kursi samping. Mama Nyora menangkap lengan saya dan tidak lepas sepanjang pembicaraan.
“Nyong serius dengan Nona itu?” Kata Mama Nyora membuka percakapan.
Saya ingin katakan “tidak”, tapi hati kecil saya jujur bahwa saya ada rencana. Bagaimana mengatakan perasaan bukan sebenarnya kepada Mama Nyora di tanah adat ini? Tipu bisa kualat.
Saya ingin katakan “ya” tapi saya rasa itu terlalu jujur, terlalu terbuka dan nekat. Akhirnya saya hanya menatap mata Mama Nyora sambil tersipu.
Andai Mama Nyora mengulang pertanyaan dan mendesak isi hati saya, terpaksa saya akui saja, saya suka dia. Untunglah, Mama Nyora tidak paksa. Ia membungkukkan badan, dan memanjangkan leher ke arah saya supaya pembicaraan tidak didengar kawan-kawan.
“Ingatang, beta bilang. Kalau sudah makan di piring, jangan berak di piring. Itu saja yang beta mau kase ingat, nyong. Kalau sudah makan di piring, jangan berak di piring!” Begitu bisiknya.
Kali ini saya menggenggam tangan Mama Nyora, menyalaminya lalu berdiri tegak menghadap Mama Nyora yang masih duduk di tempatnya.
“Siap!”
Saya lalu memberi hormat layaknya komandan upacara kepada inspektur upacara.
“Hormat, grak!”
Sejak 1984 itulah, saya sering ke banyak kampung dan tidur di banyak rumah, dengan latar belakang beragam. Di rumah-rumah yang memberi tumpangan, selalu saja ada anak perawan yang manis-manis. Setiap kali hati berbunga, saya selalu ingat pesan Mama Nyora. Kalau sudah makan di piring, jangan berak di piring.
Saya berterima kasih kepada Mama Nyora yang kini telah tiada, namun percakapan bisik-bisik kita di foris rumah raja, masih terngiang di telinga saya. Saya bersyukur kepada Mama Nyora yang sastrawi sebab pesan sejak 1984 itu masih saya pegang kuat, sejak bujang sampai berkeluarga. Saya tidak pernah mengkhianati “perjanjian” itu.
Dengan berpegang pada perjanjian dengan Mama Nyora, di banyak kampung, saya punya banyak saudara baru dan banyak anak cucu. Kami bersaudara bukan karena gen dan darah, melainkan kasih yang melampaui perbedaan suku dan agama. Andaikan saya berkhianat, maka pada banyak kampung akan ada barisan mantan. Saya pasti tidak bisa kembali lagi ke sana. Itu menyedihkan, tentu.
Dalam acara peluncuran buku “Ketika Hujan Bicara” karya penulis muda berbakat M. Nasir Pariusamahu dan Bincang Sastra di MCM Ambon beberapa hari lalu, saya melontarkan kembali ungkapan Mama Nyora tadi, kalau sudah makan di piring, jangan berak di piring.
Ternyata anak-anak muda usia 20-25 tahun mengaku tahu persis dengan ungkapan tersebut, sebab masih sering diucapkan orang tua-tua. Saya merasa, orang-orang di kampung-kampung Maluku sangat sastrawi. Ungkapan tadi, hanya salah satu saja. Masih banyak bibit-bibit puisi dan jejak sastra dalam realitas orang Maluku. Setiap orang bisa menemukannya, di dalam lapis-lapis kenangan yang menumpuk dalam kesibukan memori kita menerima berjuta informasi dari dalam gadget.
Mari pulang kampung, memuliakan kampung dan menggali lebih dalam. Ada banyak kearifan yang menghidupkan di sana. Mari sayang kampung, dengan segala kebudayaannya, sebab kampung bukanlah halaman belakang. Kampung adalah wajah kita. Kampung adalah kita. Kita adalah kampung. Jangan sampai kampung menjadi mata air kehilangan sungai, sebagaimana nyanyian Jane Sahilatua.
“Desa dimiliki orang kota, kota dimiliki orang desa. Petani mencari kerja di kota, orang kota mencari kekayaan di desa”
Ambon, 6 April 2018
(Penulis adalah Redaktur Pelaksana media online malukupost.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar