Rabu, 14 Agustus 2019

Indonesia vs Benny Wenda: Diangkatnya Isu Papua Merdeka di Forum Pasifik

Buletinnusa
Foto: Seorang warga Papua memegang bendera Bintang Kejora selama pemakaman pemimpin kemerdekaan terkemuka, Theys Eluay, yang meninggal pada tahun 2001. Mereka yang mengibarkan bendera tersebut berisiko dijatuhi hukuman penjara selama 15 tahun (Foto: Reuters/Darren Whiteside)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Dalam Forum Kepulauan Pasifik di Tuvalu tanggal 13-16 Agustus 2019, pemerintah Indonesia menyampaikan keberatan karena salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Papua Benny Wenda diikutsertakan sebagai salah seorang peserta peserta. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa West Papua bagian integral dan tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak namanya diusulkan Vanuatu sebagai salah satu peserta Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Benny Wenda dikabarkan akan menggunakan forum itu untuk mendesak PBB menggelar referendum kemerdekaan Papua.


Oleh: Fadhila Ratnasari (Mata Mata Politik)

Forum Kepulauan Pasifik (PIF) didirikan tahun 1971 dengan nama South Pacific Forum (SPF) beranggotakan negara-negara Pasifik yakni Australia, Cook Islands, Federated States of Micronesia, Fiji, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Niue, Palau, Papua Nugini, Samoa, Selandia Baru, Solomon Islands, Tonga, Tuvalu, Vanuatu. Menurut situs resmi Kementerian Luar Negeri, Indonesia tidak pernah absen dalam pertemuan Post Forum Dialogue (PFD)-PIF sejak menjadi salah satu mitra wicara PIF sejak tahun 2001.

Dalam Forum Kepulauan Pasifik di Tuvalu tanggal 13-16 Agustus 2019, pemerintah Indonesia menyampaikan keberatan karena salah satu tokoh pejuang kemerdekaan Papua Benny Wenda diikutsertakan sebagai salah seorang peserta peserta. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa West Papua bagian integral dan tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Peran Australia

Detik melaporkan bahwa Benny Wenda mengatakan Australia dan Selandia Baru, yang selalu menyoroti pelanggaran HAM di negara lain, “tidak pernah menyoroti isu Papua.” “Kami ini manusia yang ingin hidup damai, tapi didiskriminasi karena orang lain ingin menggusur kami dan mengambil sumber daya kami.”

“Australia memiliki tanggung jawab besar di kawasan ini. Australia perlu melihat ini sebagai masalah mereka sendiri, sebagai masalah regional, karena itu tidak akan pernah hilang di mata rakyat. Masalah ini seperti kanker di dalam hati orang-orang Pasifik,” ujar Benny. Namun demikian, Australia sebagai kekuatan besar di kawasan ini memilih untuk mengabaikannya karena faktor wilayah geo-strategis dan ekonomi, serta hubungan dekatnya dengan Indonesia.

Bulan Juli 2019, dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri negara-negara Pasifik, Vanuatu berhasil memasukkan isu Papua secara resmi sebagai agenda Forum Kepulauan Pasifik. Australia mengajukan protes keras atas langkah tersebut. Jajaran kepemimpinan kebijakan luar negeri Australia selama ini sangat mendukung kedaulatan Republik Indonesia atas Papua.

Australia sangat mendukung kedaulatan Indonesia atas wilayah Papua, meski negara-negara kepulauan Pasifik cenderung mendukung gerakan kemerdekaan yang dikampanyekan Wenda, khususnya negara-negara tetangga Melanesia yakni Vanuatu dan Kepulauan Solomon.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Australia menyatakan bahwa, “Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas provinsi Papua, sebagaimana dinyatakan dalam Perjanjian Lombok tahun 2006. Australia tidak akan mendukung upaya yang melemahkan kedaulatan Indonesia atas Papua dalam forum apa pun dan tidak akan mengaitkan diri dengan komunike PIF terkait hal itu.”

Menurutnya, Australia secara teratur telah mengangkat masalah HAM dengan pihak berwenang Indonesia, termasuk mengenai Provinsi Papua. Dilansir dari SBS, juru bicara itu menambahkan, “Australia terus mendorong Indonesia untuk menerapkan rekomendasi Peninjauan Berkala Universal PBB yang diterima tahun 2017, termasuk penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia yang luar biasa.”

Meski demikian, Australia dalam forum PIF akan lebih fokus pada upaya meningkatkan hubungan dengan kawasan Pasifik. Sejak terpilih kembali, Perdana Menteri Australia Scott Morrison telah menjalin hubungan lebih erat dengan para pemimpin Pasifik, melakukan perjalanan luar negeri pertamanya ke Kepulauan Solomon, dan menerima kunjungan Perdana Menteri Papua Nugini yang baru James Marape ke Australia.

Sementara itu, negara-negara Pasifik khususnya Vanuatu dan Kepulauan Solomon mendukung kemerdekaan Papua. Komunike Forum Kepulauan Pasifik tahun 2018 menyatakan, “Para pemimpin mengakui keterlibatan negara-negara anggota Forum secara konstruktif dengan Indonesia terkait dengan Pemilu dan HAM di Papua.”

Benny berharap adanya komitmen yang sama, jika bukan lebih kuat, dari blok Pasifik tahun 2019, menjelang kampanye agar PBB meloloskan resolusi tahun 2020 yang mengamanatkan pemeriksaan ulang Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) yang diawasi PBB. Bulan Mei 2019, Menteri Urusan Asia Pasifik dari pemerintah Inggris Mark Field menyebut Pepera 1969 sebagai “proses yang cacat.”

Selain isu perubahan iklim, masalah West Papua kemungkinan akan membuat Australia bertentangan dengan negara-negara tetangga di Kepulauan Pasifik dalam forum pekan ini.

SBS melaporkan bahwa pakar kebijakan Pasifik Tess Newton Cain mengatakan permainan terbaru oleh Vanuatu di PIF adalah bagian dari upaya yang lebih terpadu oleh negara itu untuk menggalang dukungan terhadap kemerdekaan West Papua dari komunitas regional dan internasional. “Tentu saja ada indikasi bahwa ada keterlibatan dan kekerasan di provinsi Papua yang mengarah pada gelombang pengungsian, cedera, dan kematian.”

Menurut Cain, sebagai hasilnya, telah ada “dorongan yang sangat signifikan oleh Vanuatu” untuk retorika yang kuat dalam komunike akhir PIF terkait pelanggaran hak asasi manusia pemerintah Indonesia. Cain menilai bahwa Vanuatu menginginkan negara-negara anggota forum untuk menyerukan “jadwal yang pasti untuk kunjungan ke wilayah tersebut oleh Komisaris HAM PBB.”

Cain mengatakan bahwa masih belum jelas dukungan dari negara atau pihak manakah yang bisa dirangkul Vanuatu, tetapi negara itu akan menjelaskan kepada semua anggota bahwa mereka melihat ini sebagai masalah penting. “Saya yakin mereka tidak akan mundur (dalam isu kemerdekaan Papua).”

Indonesia, yang bukan bagian dari Forum Kepulauan Pasifik tetapi menghadiri pertemuan sebagai mitra dialog, jelas tidak terkesan. “Kita telah melihat upaya signifikan oleh Indonesia untuk menggagalkan upaya Vanuatu dengan menggunakan pengaruhnya di negara-negara di mana mereka memiliki pengaruh lebih seperti Australia, Papua Nugini, dan sampai batas tertentu Kepulauan Solomon dan Fiji,” ujar Cain.

Cain mengatakan Indonesia telah melakukan kampanye serupa secara online. “Kita juga telah melihat peningkatan kecil dalam trolling di Twitter, pada dasarnya Indonesia melontarkan berbagai pernyataan yang sangat menghina tentang Vanuatu dan para pemimpinnya. Ada laman Facebook khusus yang melukiskan Vanuatu dengan sangat buruk.” Cain mengatakan beberapa konten itu “menggambarkan Vanuatu sebagai negara yang telah ditaklukkan China.”

“Indonesia jelas membuat kehadiran mereka terasa kuat di latar belakang. Posisi Australia mencoba memadamkan isu ini (kemerdekaan Papua) dan tidak membiarkan ini menjadi fokus utama forum,” tandas Cain.

Sejak namanya diusulkan Vanuatu sebagai salah satu peserta Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Benny Wenda dikabarkan akan menggunakan forum itu untuk mendesak PBB menggelar referendum kemerdekaan Papua. Disadur dari SBS, momen ini dipercaya merupakan kesempatan pertama kalinya seseorang dari Provinsi Papua di Indonesia, terutama pejuang kemerdekaan seperti Benny, menjadi bagian dari delegasi resmi di PIF.

Menurut The Guardian, Benny yang kini bermukim di Inggris akan menggalang dukungan dari negara-negara Pasifik di forum PIF bagi kemerdekaan tanah airnya, Papua. Benny akan berkampanye bagi lahirnya resolusi Majelis Umum PBB untuk meninjau Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang memasukkan Papua ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Benny sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Papua senantiasa mengundang perhatian pemerintah Indonesia, salah satunya ketika Dewan Kota Oxford memberikan penghargaan Oxford Freedom of The City Award kepada ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) itu tanggal 17 Juli 2019.

“Ketika saya melarikan diri dari penjara Indonesia di West Papua tahun 2002, Oxford jadi salah satu tempat pertama di dunia yang menyambut saya dan keluarga,” katanya, menanggapi penghargaan itu. “Saya diberi suaka di Inggris dan menjadikan Oxford sebagai tempat tinggal. Oxford salah satu kota yang pertama kali mendengar jerit rakyat Papua atas keadilan, HAM, dan penentuan nasib.

Dalam rilis pers hari Sabtu (10/8) di situs resmi ULMWP, Benny menulis, “Saya menyambut baik dukungan oleh anggota Forum Kepulauan Pasifik terhadap seruan Vanuatu yang diselesaikan dalam pertemuan para Menteri untuk mendorong Indonesia dan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia agar menetapkan waktu kunjungan dan berusaha memberikan laporan tentang situasi sebelum pertemuan Pimpinan Forum Kepulauan Pasifik (PIFL) berikutnya di Port Vila, Vanuatu tahun 2020.”

Benny meminta semua pemimpin negara-negara Pasifik yang menghadiri Forum Kepulauan Pasifik untuk mengingat kembali visi dan nilai-nilai forum yang mencerminkan Blue Pacific sebagai wilayah perdamaian, harmoni, keamanan, inklusi sosial, dan kemakmuran, tempat semua orang Pasifik dapat menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dengan merdeka.

Benny mengatakan ULMWP yang dipimpinnya pada akhirnya akan mengupayakan pemungutan suara yang bebas dan adil tentang pemisahan diri dari Indonesia. “Kami tidak pernah menggunakan hak kami untuk menentukan nasib sendiri. Kami tidak mencari kekerasan, kami mencari hak-hak kami secara damai, untuk memutuskan bagi diri kami sendiri masa depan kita. Mari kita memilih,” pungkasnya.

Juru bicara pemerintah Indonesia memperingatkan pembahasan isu Papua di forum PIF pekan ini akan menciptakan “preseden negatif untuk secara terbuka membahas urusan dalam negeri negara lain.” Ia menegaskan bahwa pemerintah Indonesia merasa tidak senang jika isu Papua dimasukkan dalam agenda resmi pertemuan PIF.

Jubir itu mengatakan bahwa Papua memiliki hak otonomi khusus dan pemimpin yang dipilih secara demokratis yang berpartisipasi dalam sistem politik Indonesia. “Dalam Pemilu 2019, jumlah rakyat yang memilih di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah 88 persen. 94 persen di antaranya mendukung pemerintahan Jokowi.”

“Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat murni urusan dalam negeri Indonesia. Tak ada negara, organisasi, atau individu lain yang berhak ikut campur. Kami menentang dengan keras intervensi dalam bentuk apa pun.”

Sejak awal bulan Desember 2018 hingga saat ini, masih terjadi konflik bersenjata di wilayah Nduga, yang menyebabkan ribuan warga sipil terpaksa mengungsi dan terusir dari tempat tinggal mereka. Delegasi dari Papua sendiri kabarnya telah berangkat ke Tuvalu, namun akhir pekan lalu tertahan di Fiji. Hari Minggu (11/8), Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga maupun Sekretaris Jenderal PIF Dame Meg Taylor mengaku kepada media tidak mengetahui apa yang terjadi pada delegasi Papua tersebut.

Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengajukan protes atas keikutsertaan Benny kepada sekretariat PIF. “Yang pasti terkait hal ini pemerintah Indonesia telah menyampaikan protes dan keberatan kita ke pihak Vanuatu melalui sekretariat PIF di Fiji, maksud saya, di Suva. Jadi, keberatan itu sudah kita sampaikan ke pihak sekretariat PIF di Suva,” tutur pelaksana tugas (Plt) juru bicara Kementerian Luar Negeri Faizasyah saat ditemui Detik di kantornya hari Senin (12/8).

Protes itu disampaikan karena pihak sekretariat PIF tidak netral dalam isu Papua. “Dan sejauh pandangan kita, pihak sekretariat ini memiliki ketidaknetralan dalam isu Papua ya, bersikap tidak sepatutnya sebagai sekretariat. Jadi itu sebabnya kita menyampaikan keberatan.”

Faizasyah juga menegaskan pemerintah Indonesia tidak membuka ruang dialog dengan Benny Wenda. “Ya, Benny Wenda sudah posisinya untuk memisahkan Papua dari Indonesia. Jadi, kita mau pun, tidak ada keinginan dari pihak pemerintah untuk berbicara dengan mereka, pihak lawan, pihak yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Masa kita berdialog?”

Faizasyah lantas berbicara mengenai hubungan bilateral Indonesia-Vanuatu yang cukup renggang. Indonesia menurutnya tidak mau ambil pusing dengan negara-negara yang tidak bersahabat. “Tapi kalau kita melihat sikap yang tidak bersahabat, buat apa kita membangun kerja sama dengan orang yang tidak bersahabat dengan kita, sementara masih banyak negara lain yang mau bersahabat dengan Indonesia, yang bisa kita prioritaskan kerja sama pembangunan ekonomi.”

Faizasyah menuturkan bahwa Indonesia di Forum Kepulauan Pasifik memilih untuk fokus pada pembahasan isu ekonomi dan lingkungan. Baginya, masalah Papua sudah selesai. “Jadi, lihat sisi-sisi positif yang menguntungkan kedua pihak, PIF dan Indonesia. Daripada kita mempermasalahkan satu isu yang tidak akan ada penyelesaiannya karena itu adalah masalah kedaulatan. Jadi masalah Papua itu selesai.”


Copyright ©Matamatapolitik "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar