Puluhan warga di Manokwari saat menggelar aksi dukungan untuk ULMWP di Sidang umum PBB ke 73 di New York. Foto: Hans Arnold Kapisa. |
Bahkan, rencana awal untuk melakukan longmarch juga tidak dilakukan karena dibatasi oleh aparat Kepolisian Sektor Manokwari.
"Hari ini kita hendak nyatakan kepada dunia, tentang dukungan kami kepada ULMWP yang sudah hadir di siang umum PBB melalui Negara Vanuatu. Tapi kami dibatasi. Kami hanya lakukan ibadah dan orasi singkat, namun semangat kami tidak terbatas sampai di sini,” ujar Markus Yenu gubernur NFRPB wilayah Domberai kepada wartawan di Manokwari, Jumat (28/9/2018).
Dikatakan Yenu, aksi ini merupakan bentuk dukungan perwakilan ULMWP yang hadir dalam sidang umum PBB ke 73. Mereka adalah Beni Wenda, Rex Rumaikek, Heman Wanggai dan John Anare, yang akan menyampaikan kondisi politik Papua saat ini dihadapan para pimpinan negara peserta sidang tersebut pada malam ini waktu Papua atau pagi hari waktu New York.
"Selain mendukung perwakilan ULMWP, melalui aksi ini juga kami rakyat Papua di Manokwari menolak dengan tegas dua oknum delegasi Papua bentukan Indonesia dalam sidang umum PBB. Kami mau sampaikan bahwa dua oknum perwakilan Papua dari Jakarta tidak kami akui. Karena yang kami akui adalah perwakilan ULMWP,” ujarnya .
Marko Koromat , koordinator aksi tersebut mengatakan, bahwa surat pemberitahuan sudah dilayangkan ke Polres Manokwari pada tanggal 26 September 2018 untuk memberitahukan rencana aksi tersebut. Namun, pada pelaksanaan siang tadi tetap dibatasi.
"Kita dibatasi, untuk tidak lakukan longmarch dari titik kumpul di Sanggeng ke kantor LP3BH Manokwari. Namun itu tidak jadi ukuran kami, karena petisi dukungan kami sudah kami serahkan kepada Direktur LP3BH sebagai salah satu lembaga bantuan hukum internasional yang ada di Manokwari,” katanya.
Yan Christian Warinussy, Direktur LP3BH Manokwari saat dikonfirmasi mengaku kecewa dengan situasi hari ini, karena aksi puluhan warga untuk menyatakan dukungan kepada ULMWP di sidang umum PBB dibatasi. Padahal, itu adalah kebebasan berekspresi di muka umum tapi seakan dibungkam.
"Katanya ini negara demokrasi ke empat di dunia. Bagaimana bisa kita nyatakan negara demokrasi kalau praktek seperti itu masih dilakukan. Saya sangat kecewa, karena ruang demokrasi tidak diberikan,” kata Warinussy. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar