Selasa, 04 September 2018

Bisnis Gelap Merbau Papua

Buletinnusa
Catatan Lapangan*

Dini hari, udara dingin, kabut masih tebal dan matahari belum ada. Kendaraan truk bermuatan beberapa ton kayu merbau, bergerak menelusuri jalan tanah berlumpur. Kadang truk tertahan beberapa saat berkubang dalam lumpur, mesin meraung-raung dan roda karet bergesekan dengan tanah.

Rimba Klasow (Sorong) tidak lagi senyap pagi itu, kicauan burung bersahut-sahutan memamerkan suara, bersaing dengan suara monoton mesin truk. Bau aroma tanah yang lembab tidak lagi khas, bau gesekan roda karet dan asap bercampur minyak mencemari udara pagi.

Pada beberapa ruas jalan beraspal, truk tetap berjalan perlahan, tertatih dan tertekan menahan beban ditanjakkan maupun penurunan bukit, bak truk bergetar pada jalan berkelok-kelok.

Saya bersama dua warga kampung dan dua buruh pikul, duduk diatas bantalan balok kayu merbau, beralas karton tebal dan sarung menyelimuti hampir seluruh badan, berkukuh menahan angin dingin. Hanya bagian wajah terbuka, kami bisa bebas merokok dan bergurau melewati pagi.

(Baca ini: Ditemukan Ribuan Kubik Kayu Diduga Ilegal)

Dalam truk, sopir ditemani mandor duduk tidak akur, pantat saling membelakangi. Mata sopir awas pada jalan dan tebing bukit. Sesekali sopir bercanda dengan kernetmerangkap buruh pikul, “kamorang tahan dingin ee”, canda sopir dan tertawa besar.

Kami semua tertawa dan saling mengangkat kening. Buruh pikul selalu turut didepan sopir dan mandor, kecuali saat dibelakang dan tak terlihat. Menjadi penurut bukan untuk dikasihani, tetapi karena ketidakbebasan, keterpaksaan untuk membuat rayuan dan kesetiaan, agar terus dapat bekerja dan mendapatkan upah. Kalau apes dan tidak cocok, terpaksa pindah bos, pindah sopir, pindah tuan baru, asal martabat tidak direndahkan menjadi budak (slavery modern).

(Baca ini: Sitaan Hampir 100 Kubik Kayu Harus Berakhir di Pengadilan)

Pekerjaan Kernet bertahun-tahun dilakukan dan bahkan diwariskan. Ini bukan takdir. Sewaktu datang ke Sorong dari Tanah Jawa, orang tua sudah bekerja sebagai sopir dan terkadang turun pangkat menjadi kernet. Pendidikan anak tidak terurus dan dipaksa membantu ‘menjadi buruh’ tambahan. Upah sopir, kernet dan buruh tambahan, tidak pernah mencukupi kebutuhan keluarga untuk hidup layak, hidup sehat, hidup sejahtera dan berpengetahuan yang cukup. Upah ditentukan sesuka pemberi upah, kadang tidak sesuai dengan standar upah pemerintah.

Angka statistik Indeks Pembangunan Manusia selalu mencatat dan berubah setiap tahun, tetapi angka-angka ini belum mengakhiri realitas kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang semakin lebar. Buruh dan rakyat kecil semakin miskin, sedangkan tuan pemilik modal, pemilik industri kayu, semakin kaya dan terus bebas menggandakan keuntungannya dari industri keruk dan jasa. BPS baru saja mengumumkan angka kemiskinan di kedua provinsi Papua dan Papua Barat secara nasional masih berada diperingkat pertama dan kedua.

(Lihat ini: Di Bintuni : Kulit Kayu Diolah jadi Taplak, Tas, Pakaian dan Jok Kursi Sofa)

Menjadi sopir dan kernet truk pengangkut kayu merbau, masih mending dan mampu memenuhi kebutuhan tertentu beberapa saat. Masuk keluar kampung dipinggiran hutan, bisa membawa pulang daging hewan buruan, singkong, keladi, pisang, sayur-sayuran dari hutan dan kebun warga Suku Moi. Kalau ada sedikit modal plus kemampuan ‘jual suara’ (merayu), bisa tukar modal plus itu dengan ayam kampung dan jual di Kota Sorong dengan keuntungan yang berlipat.

***
Fajar pagi baru kelihatan ketika truk kami tiba dipinggiran kota. Mandor duduk gelisah dan berkali-kali menelan asap rokok kretek Dji Sam Soe, sangat dalam dan mengeluarkan perlahan. Entah apa yang mereka bicarakan dengan sopir. Kepala mandor semakin sering menjulur keluar jendela, menengok kedepan dan belakang.


Pekerjaan Mandor tidak mudah, seperti mengatur dan mengawasi operator penebang dan pembelah kayu sesuai dengan kebutuhan pasar, bertanggung jawab memastikan kelancaran proses pengakutan dari hutan hingga perjalanan ke tempat industri pengolahan kayu. Mandor mesti punya kecakapan dan siasat ketika berhadapan dengan warga yang menuntut hak dan fee atas kayu, kemampuan ‘ngeyel’ dan meluluhkan ketegasan petugas jagawana dan oknum atas nama aparatus institusi keamanan tertentu. Diluar target perhitungan, bisa jadi mandor yang menanggung beban ongkos japre (semacam komisi illegal untuk kemudahan) dan jika beruntung minim tanggungan, dana japre bisa dialihkan menambah kocek sendiri dan bos pemodal seolah-olah tidak acuh.

Depan ‘Pos Kehutanan’ Bambu Kuning, begitu kami menyebutnya, seorang petugas jagawana mencegat truk kami. Mandor turun dan menjawab beberapa pertanyaan jagawana. Kedengaran keluhan garing, basa basi, seolah-olah taat prosedural.

“Surat-surat ini tidak lengkap dan sudah tidak berlaku, sudah mati”, ungkap jagawana mengunci.

“Jadi bagaimana, pak”

“Ko urus, lengkapi to”, sambil memeriksa kertas dokumen lagi.

Petugas jagawana lain, menonton saja dari Pos diseberang jalan dengan wajah tegang. Mungkin truk tumpangan kami bukan yang pertama, sudah ada beberapa didepan dan akan ada lagi dibelakang. Mereka bertugas bergantian menjalankan seremoni pemeriksaan basa basi.

“Jalan sudah, kase tahu ko pung bos, saya ke rumah bos nanti malam,” kata Jagawana, sambil menyambut uluran tangan mandor.

Janji ketemuan dan sharing beberapa bungkus rokok Gudang Garam meloloskan kendaraan truk dan lima kubik kayu merbau dari sangsi hukum. Saya mendengar didaerah Sorong Selatan, Mandor mengeluarkan uang japre bervariasi Rp. 100.000,- sampai Rp. 200.000, pada setiap pos secara berkala. Angkanya masih belum merugikan kocek pengolah, pemilik dan pedagang pembeli kayu, dibandingkan keuntungan bisnis dan terhindar resiko hukuman.

(Lihat ini: Kayu Soang Asli Papua Terancam Punah)

Kayu Merbau dalam pusaran jaringan perdagangan gelap dan sulit diungkap. Meskipun sudah jelas aktor perambah hutan, pembawa, pemasok dan pemilik industri pengolahan kayu merbau yang bersumber dari praktik illegal. Terlihat juga walau samar, oknum aparatus tertentu yang mengawal dan mengamankan perjalanan kayu dari pinggiran hutan hingga ke industri pengolahan. Pemberitaan, kesaksian dan cerita hanya menjadi buah bibir publik.

Kayu hasil perambahan dari hutan milik masyarakat masih terus keluar dari hutan, tanpa ijin atau dokumen Aspal (asli tapi palsu), dibawa ke tempat pengolahan, lalu diperdagangkan dengan cara melawan hukum dan merugikan negara, tapi jeratan dan penegakan hukum masih lemah. Dalam beberapa kasus kejahatan kehutanan, diketahui barang bukti hilang dan belum terungkap.

Ada enam modus kejahatan kehutanan dan tantangan penegakan hukum (KPK, 2018), yakni: tindak pidana dalam jabatan untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, pemalsuan dan penyalahgunaan dokumen, perizinan alih fungsi kawasan, pengusaan dan pemanfaatan hutan secara tidak sah, justifikasi dan mobilisasi kelompok masyarakat untuk kepentingan tertentu, serta menghalang-halangi proses hukum.

***
Masyarakat adat Moi pemilik kawasan hutan di Klasow, tidak diuntungkan dari bisnis gelap ini. Tidak seperti nama, kwalitas dan nilai ekonomi merbau, yang terdengar eksklusif dan komersial menguntungkan.

Pemilik modal dan orang-orang tertentu mendatangi warga pemilik kawasan hutan, meminta diberikan restu mengolah kayu merbau, lalu mereka menawarkan uang kompensasi dan fasilitas seperti kendaraan motor, serta hadiah tertentu. Biasanya kompensasi diberikan Rp. 500.000 per kubik kayu, namun masyarakat pemilik tidak pernah mengetahui dan mengawasi jumlah kubikasi kayu merbau yang ditebang. Masyarakat menunggu saja pemberian dana kompensasi dan hadiah lainnya. Mereka juga menanggung resiko hukum, jaminan perusahaan dan menanggung resiko bencana ekologi.

Sedangkan perusahaan diuntungkan dari selisih pelaporan jumlah kubikasi kayu merbau, jumlah yang ditebang berbeda daripada yang dilaporkan. Kompensasi berkurang dan keuntungan pengusaha semakin besar. Pengusaha juga mendapatkan keuntungan dari harga jual balok kayu merbau. Harga di pasar lokal mencapai Rp. 4.200.000.-, pengusaha akan mengambil keuntungan lebih dari separuh dari harga jual setelah dipotong dengan pengeluaran dan biaya japre yang tak terduga.

(Baca ini: Kayu Soang Asli Papua Terancam Punah)

Karena alasan ketidakadilan dalam pembagian manfaat, resiko bencana dan kerusakan lingkungan, Ketua LMA Malamoi, Silas Kalami, mengungkapkan dalam sebuah forum diskusi di Sorong (Juli 2018), “Kita mendesak ada kebijakan untuk mengatur dan menghentikan perdagangan kayu merbau illegal ini, agar lingkungan lestari dan masyarakat sejahtera”, minta Silas Kalami.

Apakah ide kebijakan ini bisa mendatangkan terang dan keadilan? Semoga.

*Sem Ulimpa dan Ank, Agustus 2018


Copyright ©Pusara "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar