Cerita Pendek Rudi Fofid
Ambon, 1534-1546Pria muda Alifuru bernama Serua da Alfonso didera luka perpisahan. Dia harus berpisah selama-lamanya dengan Kapal Tartaruga. Kapal akan berlayar dari Teluk Ambon ke Ternate, Malaka, Goa, lalu kembali ke Lisabon. Rasa cintanya yang besar kepada kapal itu membuat perpisahan begitu perih.
Satu tahun menjadi pembantu koki kapal, cukup membuat Serua menyukai pelayaran-pelayaran membelah gelombang. Apalagi, seluruh awak bersikap baik. Mereka suka menu tradisi yang dia racik. Serua bangga bisa tuang papeda dan mengajari orang-orang Portugis makan.
“Timba kuah ikan lebih dulu. Setelah itu, ambil papeda taruh di piring. Makan papeda itu, tidak perlu pakai sendok. Cukup isap saja, lalu telan,” kata Serua sambil memberi contoh.
Para pelaut juga doyan makan kohu-kohu manta. Jika mereka tangkap ikan tatihu, Serua pasti meracik kohu-kohu manta. Dia selalu iris bagian dada dan perut tatihu menjadi tipis dan kecil, sehingga gampang menyerap air lemon cina. Daun-daun kemangi yang harum dan cili padi adalah sensasi di meja makan.
Di atas Kapal Tartaruga, semua pelaut menjadi guru Bahasa Portugis bagi Serua. Sebaliknya, Serua merasa berharga menjadi guru Bahasa Uliase kepada orang-orang Portugis. Mereka saling bertukar kata-kata, dan mencoba menerapkan dalam percakapan hari-hari.
Pelayaran yang intim dari pulau ke pulau, di luar dugaan, berakhir secara lebih cepat. Kapal mesti berlayar dari Ambon ke Kisar dan terus ke Dili, tetapi batal. Di perairan Pulau Lucipara, para awak terpaksa putar haluan balik ke Ambon. Kapten Martinez da Alfonso diterjang demam. Badannya sangat panas dan gementar. Para awak menduga, ada bibit Malaria bersarang di tubuhnya.
“Santa Maria! Kalau hidup saya berakhir di sini, tolong jangan lempar mayat saya ke laut. Saya ingin beristirahat di Amboino. Kalau semua orang harus pergi berlayar meninggalkan Malucco, pergi saja tetapi anak saya Serua da Alfonso harus temani saya di Amboino,” ujar Martinez dengan suara gementar.
Menjelang senja, Martinez bagai orang gila. Suhu badannya sangat tinggi. Dia terus berteriak dengan suara keras. Sekali-kali dia terdiam, lalu mengigau dalam tidur yang tak nyenyak. Kalau terbangun, dia ingin keluar dari kamar dan membuat gelagat buang badan ke dalam ombak.
“Serua! Anakku, Serua!” Martinez berteriak seraya tangannya mencengkram lengan Serua kuat-kuat.
“Beta di sini, Pai! Beta tetap ada dengan Pai,” balas Serua sambil membetulkan kain kompres di dahi Martinez.
Mendengar Martinez berteriak-teriak, beberapa awak yang lain datang menjenguk. Ada Bara Pareira, Joao Gomies, Jose Barends, Luiz da Costa, dan Rodriges Sousa. Mereka nampak cemas di sisi ranjang. Martinez membuka mata lebar-lebar, melihat wajah anak-anak buahnya satu-satu. Tangannya mencari sesuatu di bawah bantal. Serua membantu. Sebuah rosario dari batu jade.
“Serua!” Kali ini suara Martinez sangat lemah.
“Serua, Santa Maria!” Martinez mengalungkan Rosario itu ke leher Serua. Setelah itu dia mencengkram lengan Serua keras-keras sambil meringis menahan sakit.
“Pai e. Pai! Pai!” Serua menjerit pilu manakala cengkraman tangan Martinez perlahan-lahan melemah lalu terlepas.
Berends mengatur posisi lengan Martinez menyilang di dada. Dia betulkan kain agar menutup seluruh tubuh Martinez, yang sedari tadi mengamuk dalam keadaan bugil, saking panasnya. Kini tubuh itu perlahan-lahan jadi lemas, dingin, lalu kaku.
“Demi nama Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus, Amin. Moga-moga jiwa orang beriman, sahabat dan saudara kami, Martinez da Alfonzo beristirahat dalam ketentraman, oleh karena kerahiman Tuhan,” ucap Barends.
“Amin,” balas semua pelaut yang berdiri di sisi jenazah Martinez.
Meskipun Martinez da Alfonso hanyalah ayah angkat, tetapi Serua mengalami perasaan dukacita setara kehilangan ayah kandung. Dia duduk di sisi jenazah, membelai dahi pelaut ulung itu.
Serua pantas berkabung. Dukanya selebar Laut Banda. Lelaki yang kini terbujur kaku, telah memberi nama da Alfonso padanya sehingga dia boleh menggunakan nama Portugis, Serua da Alfonso.
Pikiran Serua berlayar ke mana-mana, pada hari-hari pertama bertemu Martinez, sampai detik-detik terakhir saat tali nafas pun putus. Saban kali mengingat satu kebaikan Martinez, air mata Serua tumpah.
Martinez mengangkat Serua sebagai anak, bukan lantaran kasihan kepada remaja yang hanya menggunakan cidaku kecil menutup kemaluan. Bagi sang kapten, Serua itu pahlawan. Serua menyelamatkan nyawanya yang terancam di Hutan Hunuth, tidak jauh dari Hukunalo.
Saat itu, Martinez dan beberapa orang Portugis membawa senapan ke hutan di sekitar Hunuth. Begitulah kebiasaan kalau tiba di Ambon. Berburu menjadi ajang penghilang kejenuhan berlayar di atas laut.
Bunyi letusan senapan mengejutkan orang-orang Alifuru yang tinggal di Hunuth. Dua orang pria muncul dengan tombak dan panah, berjalan ke arah letusan senapan. Serua ikut, berjalan di belakang kedua paman Alifuru. Dia membawa busur dan anak panah miliknya sendiri. Sebilah parang tergantung di pinggang.
Seekor babi hutan bersimbah darah, tergeletak di tanah. Peluru yang dilepas Martinez jitu kena di kepala babi. Martinez berdiri di samping hasil buruannya. Senapan tergantung di punggung. Dia tidak sempat angkat senapan manakala dua lelaki Alifuru lebih dulu mengarahkan senjata kepada dirinya. Mata tombak sudah menuju jantung sedangkan anak panah tepat mengarah ke depan matanya.
Jantung Martinez seakan mau berhenti. Cerita para pelaut tentang penduduk asli yang sulit diajak kompromi, langsung bikin gugup. Beberapa rekan Portugis yang ada di sekitar hutan itu, tidak tahu situasi yang sedang dia hadapi.
Saat-saat kematian sudah di depan mata. Martinez menatap mata panah, mata tombak, lalu dua pasang mata lelaki Alifuru. Mereka lebih menakutkan daripada malaikat maut. Martinez kaget sebab di belakang dua pria Alifuru, seorang remaja Alifuru juga siap membidik anak panah ke arah matanya.
Berteriak meminta tolong kawan-kawan, tidak ada guna. Mencabut senapan, tidak cukup waktu. Negosiasi, tidak ada bahasa yang dipahami. Menyesallah dia, mengingat sewaktu di Malaca dan Ternate, sudah ada seorang sahabat pelaut berpesan agar mempelajari Bahasa Uliase, tetapi dia abaikan.
Remaja Alifuru terus saja menatap tajam pada Martinez. Dia maju dua langkah agar berdiri sejajar di tengah dua pamannya. Martinez berpikir, mungkin kedua pria dewasa sedang melatih sang remaja untuk menjadi pembunuh. Eksekusi dipercayakan kepada yang paling muda. Mungkin.
Remaja itu nampak gagah dengan rambut panjang keriting, kulit hitam, badan setengah telanjang. Ada manik-manik tergantung di dada, melingkar di leher. Taring babi tergantung persis di tengah. Martinez tersenyum saat bertatap mata dengan Alifuru muda.
“Oh, Bunda Maria! Doakanlah aku, sekarang dan waktu aku mati, amin,” jerit Martinez dalam hati.
Sekali lagi dia membagi senyum kepada Alifuru muda. Ajaib, remaja itu membalas senyum. Martinez memberi satu isyarat kepada Alifuru itu, dengan menunjuk babi hutan di dekat kakinya.
Alifuru muda menurunkan anak panah, dan menyimpan ke dalam kantong panah di punggungnya. Dia mencabut parang pendek di pinggang lalu dengan lincah, leher babi tersebut diiris sampai putus. Bagian kepala babi diambil lalu diletakkan di depan kaki tempat kedua paman Alifuru berdiri.
Alifuru muda maju ke hadapan Martinez. Ia meletakkan lima jarinya ke dada Martinez. Dia tetap melekatkan tangan di situ beberapa detik. Dua pria Alifuru menurunkan tombak dan anak panah, lalu duduk bersila di tanah. Martinez juga ikut duduk bersila. Alifuru muda duduk di samping. Mereka hanya saling tatap mata. Tidak ada kata-kata, tetapi sudah saling bertukar senyum.
Martinez mengambil satu linting tembakau dari dalam kaleng. Diapun menyulut dengan korek api. Kaleng dan korek api itu diserahkan kepada kedua Alifuru. Tiga orang itu merokok. Asapnya wangi tembakau Deli. Martinez merasa lega. Jiwanya yang tadi sudah bagaikan melayang-layang di atas ombak Nusaniwe dan Tanjung Alang, kini kembali ke tubuhnya.
Dia menarik nafas, membunyikan beberapa desah sekadar memastikan bahwa dia sedang berada di dunia konkrit, nun jauh dari kampung halaman di Portugal. Wajahnya yang pucat dan tegang, kini terasa memerah tetapi rileks.
Senyum Martinez terus merekah melihat asap mengepul. Matanya tak lepas dari Alufuru-Alifuru. Alifuru muda tersenyum sambil bangkit berdiri lalu berlari pergi. Dia menghilang di balik rumpun bambu. Tidak lama, dia kembali membawa bambu sepanjang lima ruas, dan empat belah tempurung kelapa. Tempurung dibagikan seorang satu. Bambu dimiringkan, lalu semua tempurung penuh terisi.
“Sageru!” Teriak Alifuru muda.
``Saguero,`` Ucap Martinez.
Setelah masing-masing menikmati tembakau dua linting dan sageru tiga tempurung, senyum dan tawa sudah terbit.
“Martinez da Alfonzo!” Ucap Martinez dengan mengarahkan telunjuk ke dadanya sendiri.
“Martafonso…. Martafons...” Kedua Alifuru mencoba mengulang nama itu, tetapi tidak sempurna.
“Martinez da Alfonzo!” Ulang Martinez.
“Mar ta Al fon. Marta Alfons. Martafons!” Alifuru muda mengeja.
“Serua!” Ujar Alifuru muda, sambil menunjuk diri sendiri.
“Serao, Seroa, Serua!” Giliran Martinez mencoba mengeja-eja.
“Seroa, Serua da Alfonzo,” ujar Martinez.
Babi, tembakau, sageru, perjumpaan, persentuhan. Perang dan damai bisa terjadi kapan saja di mana saja, tergantung siapa pemimpin dan ke arah mana dia memimpin. Martinez merasa betapa senyum dan tatap mata, sanggup menahan senjata. Martinez percaya, senyum adalah bahasa semua bangsa di muka Bumi.
“Terima kasih, Serua da Alfonzo!” Martinez memeluk laki-laki muda itu.
Orang-orang Alifuru turun ke pantai. Mereka menyaksikan Serua naik ke atas kapal. Kapal angkat sauh lalu pergi. Seorang pria Hukunalo bernama Tita menjadi penerjemah. Dia menjelaskan, Serua sekarang sudah punya bapak angkat, yang akan sayang pada Serua sebagai anak kandung. Serua pergi bersama Kapal Tartaruga tetapi akan kembali lagi
Berlayar di atas kapal adalah pengalaman pertama bagi Serua. Setiap hari adalah baru, dan semakin hari semakin menyenangkan. Semula dia hanya mendapat tugas menyiapkan makanan untuk ayah angkat tetapi para awak kemudian meminta Serua memasak untuk seluruh awak kapal.
Bulan-bulan baik berlalu di laut dan pulau-pulau. Semuanya begitu intim, indah, dan manis. Justru semua keindahan itu, harus berakhir, kini.
Orang-orang Negeri Hukunalo berdiri di bibir pantai dengan tatap mata lurus dan layu. Ada satu dua orang ikut membantu evakuasi jenazah Martinez da Alfonso dari atas kapal ke darat.
Serua berjalan di belakang iring-iringan jenazah. Orang-orang mengalihkan pandangan kepada Alifuru muda. Dialah satu-satunya si hitam keriting yang turun dari atas kapal dengan raut paling muram durja.
Melangkah lunglai dari bibir pantai sampai ke lokasi pemakaman yang hanya sejauh satu lemparan tombak, sungguh berat. Rasanya bagai menempuh perjalanan berbulan-bulan di laut. Bedanya, di laut yang asin, selalu ada senyum manis. Kini di Tanah Ambon yang manis, bercucurlah air mata yang lebih asin dari garam.
Ibadah pemakaman dipimpin seorang tentara Portugal. Orang-orang menyanyikan lagu-lagu yang baru pernah didengar Serua. Keranda, bunga, salib, adalah sebuah pemandangan baru tetapi Serua tidak fokus ke ritual itu. Justru segala kisah dan kenangan tentang Martinez mengalir begitu saja.
“Kita namai tanjung ini sebagai Tanjung Martinez da Alfonso,” bisik awak Kapal Tartaruga Rodriges Sousa kepada Serua, seusai karangan bunga terakhir diletakkan di atas makam.
Serua menatap lelaki Portugis bermata biru itu dengan penuh haru. Dia hanya mengangguk. Dalam hatinya, dia mendukung usulan itu. Biarlah kelak, orang-orang yang datang ke Ambon akan mengenang sebuah nama yang begitu berarti bagi dirinya. Tanjung Martinez da Alfonso.
“Ya, Tanjung Martinez da Alfonso.`` Serua mengangguk.
``Hari ini adalah duka nestapa tetapi kelak menjadi manis dalam sejarah dan kenang-kenangan,” ujar Sousa sambil menepuk bahu Serua berkali-kali
Di ujung Tanjung Martinez da Alfonzo, Serua berdiri memandang air laut yang mengalir. Ada pusaran-pusaran arus di situ. Bayang-bayang pohon di dataran Leitimur terlihat bergoyang, berputar-putar, lalu hancur dalam pusaran.
Serua mengeringkan air mata dengan ujung telunjuk. Sebuah capeo milik Martinez bertengger menutup kepalanya. Di pinggangnya, tergantung tas lopa-lopa. Jemarinya meraba dada. Rosario pemberian ayah Martinez masih tergantung dengan medali Bunda Maria dan Salib Yesus.
“Beta sayang beta punya Pai!” Gumam Serua.
Air mata dan senyum bercampur jadi satu tatkala terkenang detik-detik pertama dia arahkan anak panah ke mata Martinez di Hutan Hunuth.
Senja turun di Tanjung Martinez da Alfonzo. Matahari tenggelam dalam pusaran air teluk. Serua melihat pusaran air mengoyak cahaya matahari, lalu luluh.
Ambon, 3 Mei 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar