"Kami tentu berharap mereka dibebaskan. Karena sejak awal kami mengatakan ini kasus yang dipolitisir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono."Jakarta -- Enam narapidana politik Republik Maluku Selatan (RMS) telah dipindahkan dari Lapas Nusakambangan Jawa Tengah, ke Lapas Kelas II-A Ambon Maluku, pada Jumat (10/8) lalu. Pengamat Hak Asasi Manusia (HAM) dari Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono menjelaskan, pemindahan itu merupakan upaya pemerintah untuk mendekatkan jarak antara narapidana dengan keluarganya.
"Kami mendorong pemerintah Indonesia memindahkan mereka. Karena namanya lembaga pemasyarakatan, kalau mereka ditempatkan begitu jauh dari keluarga dan tidak diberi fasilitas untuk berkunjung, kasian kan," kata Andreas kepada KBR melalui sambungan telepon, Senin (13/8).
Andreas mengatakan, sebelumnya, berbagai organisasi HAM menuntut pemindahan dan juga pembebasan.
"Kami tentu berharap mereka dibebaskan. Karena sejak awal kami mengatakan ini kasus yang dipolitisir oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka orang sama sekali tidak bersalah. Hanya protes dengan cara-cara damai, tetapi dipenjara sampai 20 tahun, itu kejam sekali," ungkap Andreas.
Andreas menambahkan, dalam masa tahanan sejak 2007 hingga 2018, tercatat ada 3 narapidana politik meninggal dari total semula 68 narapidana. Setelah 6 orang dipindahkan ke Ambon, kini tersisa 2 tahanan masih di Pulau Jawa; 1 di Lapas Porong, dan 1 lagi di Lapas Pamekasan Madura.
"Yang belum 8 orang ini. Mereka belum bebas karena di atas 15 tahun semua," ujarnya.
Andreas mengatakan, permohonan agar mereka bebas agaknya rumit. Adanya grasi, remisi, dan amnesti, yang kurang lebih menuntut pengakuan bersalah. Tetapi para narapindana menolak bersalah, kata dia, karena memang tidak bersalah.
Pembebasan masih memungkinkan diatasi menggunakan abolisi. Kata Andreas, Presiden Jokowi telah mengirim surat kepada DPR untuk mengatasi hal itu. Namun belum ada respons hingga saat ini.
"Abolisi? Itu terkatung-katung antara pemerintah dan DPR untuk memberikan abolisi kepada tahanan Papua dan tahanan Maluku. Surat dikirim tahun 2015 bulan Mei. Menurut Kemenkumham mandek di DPR," pungkasnya.
Tersisa 2 Napol di Jawa
Kuasa hukum narapidana politik (napol) RMS Samuel Waileruny, juga tak puas meski 6 kliennya telah dipindahkan ke lapas di Ambon. Samuel mengatakan, pemindahan napol tersebut baru dilakukan sejak pemerintah menjanjikannya dua tahun lalu. Selain itu, kata Samuel, masih ada dua napol RMS lain yang masih ditahan di Porong dan Pamekasan, Jawa Timur."Kalau pemerintah punya iktikad baik, itu sudah dijawab sejak lama. Penderitaan mereka harus berkurang. Ternyata mereka menderita cukup lama, baru saat mau bebas, pemerintah kasih pemulangan ke Ambon. Cuma saya juga belum tahu, alasan apa sampai mereka ini, yang sisa, belum dipindahkan. Kami rencananya besok akan bersurat ke Kanwil Hukum dan HAM, untuk bertanya kenapa yang tersisa ini belum dipindahkan ke Ambon," kata Samuel kepada KBR, Senin (13/8).
Samuel menjelaskan, ia akan memastikan agar kedua napol yang masih ditahan di Jawa Timur tersebut bisa segera dipindahkan ke Ambon. Selain itu, kata Samuel, ia juga tengah mengusahakan agar negara memberikan amnesti dan rehabilitas terhadap 68 napol yang ditangkap karena membentangkan bendera benang raja di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2007 lalu.
Menurutnya, para napol tersebut adalah korban politik pemerintah, lantaran kemerdekaan RMS diakui oleh hukum internasional. Sehingga, kata dia, negara harus memberikan pengampunan pada napol tersebut, serta membersihkan nama mereka karena terlanjur berstatus narapidana atau bekas narapidana.
Keluarga Menyambut Gembira
Surat agar Presiden Joko Widodo memberikan amnesti pada napol RMS tersebut telah dikirimkan pada 2015 lalu. Namun, hingga kini tak ada tindak lanjutnya. Sehingga, Samuel kembali melayangkan surat serupa kepada Kantor Wilayah Hukum dan HAM di Maluku, dua bulan lalu.Samuel mengungkapkan, kliennya mengalami banyak penderitaan selama ditahan, baik di Maluku maupun di Jawa. Terutama saat awal ditahan, kata Samuel, kliennya sering dipukul petugas di rutan dan lapas. Setidaknya 3 orang napol tewas di penjara karena sakit.
Sementara itu, keluarga menyambut gembira pemindahan 6 napol RMS. Yohana Teterisa misalnya, langsung mengunjungi Ruben Saija, suaminya pada Minggu (12/8), dan ikut beribadah di gereja lapas. Ia juga berencana mengajak anak tunggalnya untuk menemui sang ayah, pada Minggu (19/8) mendatang.
"Sudah, kemarin sudah pergi ke gereja bersama Ruben, di gereja lapas. Sebelas tahun, dan saya dengar bulan ini, bulan Agustus dia bebas. Tetapi betul atau tidaknya, baru nanti akan saya tanyakan. Hari Minggu baru waktu ke gereja. Vike, anaknya juga mau datang dari kampung, mau jenguk bapaknya," kata Yohana kepada KBR, Senin (13/8).
Yohana menambahkan, pertemuan dengan Ruben di lapas Ambon berlangsung selama ibadah pukul 09.00 hingga 12.00. Meski begitu, kata Yohana, Ruben belum banyak bercerita tentang apa saja yang dialaminya selama dipenjara di Nusakambangan.
Yohana sudah lama tak bertemu suaminya. Sepanjang sebelas tahun Ruben ditahan di Nusakambangan, Yohana hanya sekali berkunjung, pada 2015 lalu. Saat itu, ia dengan membawa anak perempuannya, diberangkatkan oleh HRW, bersama istri napol lainnya.
Banyak Pertimbangan
Menanggapi tuntutan untuk memindahkan sisa 2 napol di Jawa Timur, Juru Bicara Ditjen PAS Kemenkumham, Ade Kusmanto mengatakan, tak serta merta melakukan pemindahan terhadap narapidana seperti diusulkan. Perlu pertimbangan yang harus dikaji, seperti aspek keamanan serta kecemburuan sosial antarnarapidana."Itu kan yang saya sampaikan, kan ada kajian-kajian. Tentunya pemindahan itu tidak bisa serta merta, yang jelas harus bermanfaat bagi narapidana itu sendiri. Faktor keamanan, keadilan sosial," kata Ade kepada KBR melalui sambungan telepon, Senin (13/8).
"Ditelaah, kira-kira kalau warga binaan narapidana mengajukan dari lapas satu ke lapas lain akan baik bagi dirinya nggak, akan menimbulkan keamanan ketertiban di lapas itu nggak, kecemburuan sosial nggak? Itu menjadi pertimbangan," lanjut Ade.
Ade juga menambahkan, selama ini Kemenkumham tak pernah mendapat laporan adanya sikap diskriminatif ataupun tindak kekerasan kepada napol RMS. Pihaknya mengaku terbuka dengan temuan itu, namun sekali lagi, dia menampik terkait adanya penyiksaan dalam tahanan.
Kasus ini terjadi pada peringatan hari keluarga nasional (Harganas) yang dipusatkan di kota Ambon, Maluku pada 29 Juni 2007. Saat itu sekelompok penari cakalele berusaha mendekati panggung utama tempat SBY duduk. Salah seorang di antaranya berusaha membentangkan bendera benang raja. Upaya membentangkan bendera RMS itu gagal dilakukan lantaran aparat keamanan segera menghalau dan menyita bendera.
Pasca peristiwa kepolisian menangkap dan menyeret mereka ke pengadilan. Salah seorang di antaranya Johan Teterissa oleh pengadilan Ambon dihukum seumur hidup. Vonis hakim ini lebih berat dari permintaan jaksa yang menuntut 15 tahun penjara.
Copyright ©KBR "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar