Oleh Ben Bohane
Tiongkok... Tiongkok... Tiongkok…
Topik yang naik daun akhir-akhir ini adalah pengaruh Tiongkok yang terus meningkat di wilayah kita. Tapi memusatkan perhatian ke negara ini berarti kita mengabaikan satu negara lain yang sama besar dampaknya.
Berlawanan dengan komentar hampir semua pihak, negara destabilisasi terbesar di Melanesia selama lima tahun terakhir bukanlah Tiongkok tetapi Indonesia, yang melalui kebijakan “melihat ke timur”-nya telah dengan sengaja melumpuhkan Melanesian Spearhead Group (MSG), dan pada saat yang bersamaan membiayai anggota-anggota parlemen lokal dan partai politik di seluruh Pasifik, dengan tujuan untuk menghentikan dukungan regional terhadap pergerakan kemerdekaan Papua Barat.
Indonesia telah mengantongi Peter O’Neil di PNG, dan Voreqe Bainimarama di Fiji, dan sedang sibuk mencoba untuk menetralkan Vanuatu, Kepulauan Solomon, dan FLNKS (Kanak Socialist National Liberation Front) di Kaledonia Baru, ketiga negara melanesia yang dengan gigih menolak cekaman Indonesia.
Alasan Vanuatu dan negara-negara Melanesia lainnya untuk beralih ke Tiongkok, karena mereka lebih khawatir tentang Indonesia, yang sebelumnya secara langsung mengancam Vanuatu karena dukungan diplomatiknya untuk rakyat Papua Barat.
Vanuatu mungkin merasa tersudut, merasa tidak lagi dapat bergantung pada Australia, karena Canberra terus mendukung Indonesia dalam apa pun yang mereka lakukan - bahkan saat Jakarta secara terang-terangan melemahkan kepentingan Australia dan Kepulauan Pasifik.
Akumulasi kegagalan strategis yang dibicarakan oleh politisi Australia Richard Marles dan lainnya, tidak terjadi karena Australia gagal untuk mengawasi pengaruh Tiongkok di Melanesia, tetapi akibat kegagalan Australia untuk memeriksa campur tangan Indonesia di negara-negara tersebut.
Selama beberapa dekade terakhir, masyarakat Kepulauan Pasifik menganggap Australia dan Amerika seperti “kakak" mereka akan terus membela komunitas Pasifik, seperti yang telah mereka lakukan sejak Perang Dunia II. Tren ini mulai berubah.
Australia sebagai Bangsa Melanesia
Meskipun secara teknis ia merupakan bangsa Melanesia mengingat masyarakat pribumi di Selat Torres dan Pulau South Sea, anehnya Australia tidak pernah berusaha untuk bergabung dengan kelompok politik utama di lingkungannya sendiri, MSG, yang sekarang telah dibajak oleh Indonesia atas dukungan dari Fiji.
Satu lagi hal yang nyata di wilayah Pasifik adalah mereka tahu bahwa, walaupun pemerintah Turnball memperingatkan daerah ini tentang pengaruh Tiongkok, anggota senior dalam partainya sendiri juga telah disinyalir menerima bantuan Tiongkok, mulai dari mantan Menteri Luar Negeri Alexander Downer hingga Andrew Robb yang bekerja untuk perusahaan Tiongkok yang penuh kontroversi dalam membeli pelabuhan Darwin.
Dari perspektif Komunitas Melanesia, dua masalah keamanan terbesar yang mereka hadapi adalah perubahan iklim dan meningkatnya campur tangan politik Indonesia di seluruh kawasan Melanesia, campur tangan yang berakar pada keinginannya untuk mempertahankan Papua Barat.
Meskipun mantra yang terus dilafalkan dari Menteri Luar Negeri Julie Bishop bahwa Australia tetap menjadi “mitra pilihan strategis” untuk Vanuatu dan kawasan Pasifik, faktanya adalah Canberra tidak mendengarkan kekhawatiran Melanesia tentang keamanan kawasan mereka sendiri, alih-alih Australia mendikte mereka tentang apa yang paling harus mereka khawatirkan, seperti Tiongkok.
Situasi ini tidak berjalan dengan baik dan negara-negara Melanesia, mulai membentuk sendiri pengaturan keamanan mereka dengan bantuan atau tanpa campur tangan Australia, “kakak” yang mereka anggap telah melakukan banyak kompromi menyangkut isu perubahan iklim dan Indonesia.
Dalam beberapa bulan terakhir kita telah menyaksikan Australia mengambil gerakan mendesak saat disudutkan. Akhir Desember, beberapa pesawat jet RAAF tiba-tiba lepas landas dari pangkalan udara Tindal dekat Darwin, setelah sejumlah jet pembom Rusia terbang dari Biak di Papua Barat, melayang di antara Papua dan Australia Utara.
Tiongkok tahan ekspansi Indonesia
Kita yang telah menyaksikan penggunaan militer Indonesia di Timor Timur, telah menyaksikan agenda yang sama berpindah ke Papua Barat, dengan orang yang sama - Jenderal Wiranto - masih berkuasa.
Keadaannya tidak selalu seperti ini. Ada suatu periode yang mana pemerintahan Menzies di Australia mendukung rencana Belanda untuk kemerdekaan Papua Barat sepanjang 1950-an dan awal 1960-an.
Mohammad Hatta, salah satu pendiri Indonesia, memperingatkan bangsanya agar tidak mengambil alih Papua Barat, mengatakan bahwa jika itu terjadi maka Indonesia mungkin tidak akan berhenti hingga mereka mendominasi Melanesia samai Fiji.
Hal itu sudah berlalu. Namun, ironisnya, Tiongkok-lah yang mungkin akan menahan ekspansi Indonesia di kawasan Pasifik, bukan Australia.
Hanya dengan mendengar dan kerja sama dengan para pemimpin Melanesia, Australia dapat membantu memperkuat pertahanan Melanesia mulai dari Timor-Leste ke Fiji, dan kembali dilihat sebagai “kakak” dan “ mitra keamanan pilihan” Melanesia. (Asia Pacific Report)
Ben Bohane adalah jurnalis dan produser televisi di Vanuatu, spesialisasi dalam melaporkan isu perang dan agama selama hampir 30 tahun di Asia dan Pasifik.
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar