Arvin Zeinullah mengangkat dua jari di antara anggta paduan suara Maluku (foto dok rico ufie) |
Di balik kisah sukses Paduan Suara Dewasa Pria Katolik Maluku, ada tangan-tangan dingin “Protestan dan Islam”. Sebuah kolaborasi yang harum manis, tentu saja.
Musisi Rence Alfons pernah melontarkan sebuah pertanyaan kepada seorang tokoh. "Musik itu agama apa?" Orang yang ditanya cuma bisa melongo. Tidak ada jawaban. "Musik itu tidak beragama," ujar Rence kemudian.
Musik memang tidak beragama, tetapi musik hadir dalam praktik keagamaan. Tidak perlu heran ketika pada Pesta Paduan Suara Rohani (Pesparani) Katolik I di Ambon, kontingen Maluku melibatkan musisi dari kalangan bukan Katolik, yakni dari kalangan Gereja Protestan, bahkan Islam.
Tuan rumah Maluku berhasil meraih satu gelar kampiun, tujuh emas, dan empat perak. Artinya, dari semua kategori lomba, tidak ada yang pulang dengan tangan hampa. Bahkan untuk semua kategori paduan suara, Maluku meraih emas dan kampiun. Perak diperoleh dari mata lomba non paduan suara.
Satu-satunya gelar kampiun bagi Provinsi Maluku diraih melalui performa sempurna Paduan Suara Dewasa Pria. Mereka meraih poin tertinggi pada kategori ini yakni 92,83. Poin ini bahkan merajai seluruh poin kampiun paduan suara.
Ketika juri mengumumkan gelar kampiun Paduan Suara Dewasa Pria diraih kontingen Maluku, semua anggota paduan suara ini bersorak. Warga di seputaran Lapangan Merdeka Ambon juga menyambut dengan gemuruh sukacita.
Di belakang panggung, ada dua pria ikut melampiaskan kegembiraan. Mereka berpelukan mendengar hasil kampiun. Kedua pria itu warga Gereja Protestan Maluku (GPM) yakni Franco Ayal dan Gerson yang dikenal luas sebagai pelatih paduan suara Universitas Pattimura "Hotumese".
Sukacita Franco dan Gerson, bukanlah sekadar kegembiraan orang Maluku, melainkan karena pada kategori paduan suara dewasa pria, keduanya terlibat sebagai pelatih. Rekan mereka Michael Mailuhu, juga sempat meninjau kesiapan paduan suara pria.
Musik memang meruntuhkan perbedaan agama (baca: gereja). Warga GPM melatih paduan suara Katolik. Ini biasa saja tetapi sekaligus istimewa. Musik menjadi jembatan, musik menjadi medium.
Konduktor Paduan Suara Dewassa Pria Ricolat Ufie dan pelatihnya Arvin Zeinullah (foto rico ufie) |
Sukacita Katolik dan sukacita Maluku, adalah juga sukacita Arvin Zeinullah, warga Muslim di Bandung. Apa hubungannya? Tentu saja Arvin layak bergembira. Dialah yang datang ke Ambon menjadi pelatih utama paduan suara dewasa pria Maluku.
Arvin sudah kembali ke Bandung sehingga tidak bisa menyaksikan langsung anak-anak asuhannya berdiri di podium utama. Tetapi melalui siaran video, dan foto-foto di media sosial, dia cetusnya perasaannya.
"Bung, Male Choir sudah bikin bangga keuskupan dan bikin bangga Maluku dengan kerja keras bung sekalian untuk menjadi pribadi-pribadi baik, yang pantas jadi juara," demikian Arvin mengirim pesan kepada konduktor Ricolat Ufie.
"Ikut bahagia, bangga, dan terharu melihat kontingen Maluku bersanding dengan para champion lain di atas podium untuk menerima piala champion di Pesparani Nasional," tulis Arvin lagi merespon kiriman kabar anggota paduan suara.
Karakter dasar paduan suara pria dewasa Maluku memang dibentuk oleh Franco dan Gerson. Lantas sejak Mei lalu, ditangani Arvin. Sebanyak tiga kali Arvin ke Ambon, yakni Mei, awal Oktober, dan pada saat pelaksanaan Pesparani. Arvin memang tidak menunggu sampai malam penutupan. Dia sudah kembali ke Bandung, 31 Oktober lalu.
Alhasil, tiga kali kedatangan Arvin ke Ambon berhasil membuat paduan suara pria Maluku makin kompak, merdu, dan harmoni.
Konduktor paduan suara pria Ricolat Ufie menceritakan pengalaman ditempa Arvin. Menurut Ricolat, Arvin sangat memahami tuntutan penjiwaan tiap lagu, menurut jamannya. Ia selalu menggugah anggota paduan suara untuk sadar akan tanggung jawab.
“Beliau selalu memaksa kita ingat, jaga nama baik provinsi, jaga nama baik keuskupan, jaga nama baik keluarga, dan jaga nama baik diri sendiri. Jaga harga diri kita, yang terpancar lewat aktivitas latihan dan cara bersikap baik di atas panggung maupun di temat lain,” kata Ricolat meniru ucapan Arvin.
Arvin tidak sekadar mendisiplinkan nada dan harmoni sesuai tuntutan lagu. Ia juga sangat menekankan karakter sebagai anggota paduan suara.
“Paduan suara itu mengajarkan kerja sama, fokus, ketenangan, dan kepekaan mendengarkan bunyi. Hindari bacarita kewel yang akan menghilangkan kita dari titik fokus keberadaan kita di sini,” tambah Ricolat lagi.
Harmoni di atas pentas paduan suara yang menampilkan kolaborasi insan-insan musik dari kalangan Protestan, Islam, dan Katolik, bukanlah sebuah panggung sandiwara. Pesparani Katolik telah mempertontonkan pula relasi masyarakat dari berbagai komunitas agama, sebagaimana juga dipertontonkan saat penyelenggaraan Pesparawi dan MTQ.
Arvin Zeinullah di tengah ricufie)o paduan suara pria Maluku ((foto rico ufie) |
ETALASE
Pentas paduan suara hanyalah sebuah etalase. Rumah besar Maluku hari ini, adalah sebuah pentas keberagaman, persaudaraan, perdamaian, dan kasih sayang. Peran-peran inilah yang membuat Indonesia tetap ada dan kuat.
Jika ada ramalam bahwa Indonesia akan bubar, mungkin ramalam itu bisa ditepis, selama masih ada orang bermain musik, dan masih ada yang bernyanyi. Maluku sangat bisa jadi andalan untuk itu.
Musik, apa agamamu? Tidak ada. Mari terus bernyanyi untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan manusia. Maluku harus berjaya, supaya Indonesia Raya bukan sebuah mimpi kosong!
Ambon, 2 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar