Sabtu, 03 November 2018

Koteka dan ukiran Asmat perlu diusulkan ke UNESCO

Buletinnusa
Koteka dan ukiran Asmat perlu diusulkan ke UNESCO
Oleh: Hari Suroto

Koteka, pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki masyarakat Papua, perlu diusulkan untuk masuk dalam daftar perlindungan mendesak UNESCO, mengingat saat ini kalangan laki-laki terpelajar di daerah Pegunungan Tengah dan Suku Dani yang tinggal di Kota Wamena, Papua jarang mengenakan koteka, kecuali pada saat upacara adat.

Dengan melihat kondisi itu, dikhawatirkan tradisi berkoteka akan musnah ditelan modernisasi, sehingga harus dijaga kelestariannya. Salah satu caranya adalah mengusulkan koteka dalam daftar yang memerlukan perlindungan mendesak UNESCO.

Koteka dapat dikategorikan sebagai warisan budaya tak benda. Konvensi UNESCO 2003 mengenai warisan budaya tak benda menyebutkan warisan budaya tak benda mengandung arti berbagai praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan yang diakui oleh berbagai komunitas, kelompok, dan dalam beberapa hal tertentu, perorangan sebagai bagian warisan budaya mereka.

(Baca ini: Kearifan Lokal Papua Didorong Masuk dalam Kurikulum Pendidikan)

Warisan budaya tak benda ini bagi masyarakat, kelompok, dan perorangan memberikan rasa identitas dan keberlanjutan, membantu mereka memahami dunianya dan memberikan makna pada kehidupan dan cara mereka hidup bermasyarakat.

Sumber dari keragaman budaya dan bukti nyata dari potensi kreatif umat manusia, warisan tak benda secara terus-menerus diciptakan oleh penerusnya, karena warisan ini dipraktikkan dan disampaikan dari individu ke individu lain dan dari generasi ke generasi.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003, hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2007 tentang Pengesahan Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda.

Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Warisan Budaya tak benda berkomitmen untuk melindungi dan melestarikan warisan dengan melakukan berbagai upaya seperti perlindungan, promosi, dan penyampaian melalui pendidikan formal dan non-formal, penelitian dan revitalisasi, dan untuk meningkatkan penghormatan dan kesadaran.

Jika dikaitkan dengan keberadaan koteka di pegunungan tengah Papua, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi UNESCO 2003, maka pemerintah Indonesia wajib melindungi dan melestarikan koteka.

Konvensi UNESCO 2003 menyatakan warisan tak benda bagi semua masyarakat, baik besar maupun kecil, dominan atau tidak dominan patut dihormati. Hal ini jelas menekankan pentingnya keterlibatan aktif dari masyarakat dalam melindungi dan melestarikan, serta mengelola koteka sebagai warisan budaya, karena hanya merekalah yang dapat mempertahankan keberadaan dan memastikan masa depan warisan tersebut.

Koteka secara harfiah adalah pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya penduduk pegunungan tengah Papua. Koteka terbuat dari kulit labu air (Lagenaria siceraria). Isi dan biji labu tua dikeluarkan dan kulitnya dijemur. Koteka ini dipakai dengan cara menggantungkannya dengan tali pada sebuah ikat pinggang, sehingga berdiri ke depan, pada ujungnya seringkali dibuat jambul.

Tidak hanya koteka suku Dani, koteka khas kaum pria suku Yali di Kabupaten Yalimo, juga terancam punah, seiring makin banyaknya anggota suku yang menggunakan pakaian modern.

Koteka ternyata tak hanya pakaian, tapi juga fungsi lain. Pakaian tradisional suku Yali mulai ditinggalkan dan hanya generasi tua yang menggunakan. Sedangkan generasi muda suku itu, lebih suka menggunakan pakaian modern berbahan kain.

(Lihat ini: Noken, Tas Tradisional Papua Terdaftar di Organisasi PBB)

Pakaian tradisional suku Yali adalah paduan antara koteka dan lingkaran rotan yang dililitkan ke badan. Bahan koteka suku Yali adalah buah labu panjang yang dikosongkan isinya kemudian dikeringkan dengan dijemur di atas perapian.

Setelah kering, labu tersebut dipasang di atas kemaluan lelaki suku Yali, dan diikat dengan tali rotan halus yang dililitkan di bagian pinggang hingga perut. Lingkaran rotan di perut dan badan, juga menunjukkan tingkat keberanian seorang pria dari suku itu.

Semakin banyak lingkaran yang dimilikinya, berarti semakin tinggi pula tingkat keberanian dan status yang dimilikinya itu. Sebab rotan hanya tumbuh di luar daerah Yali, sehingga orang Yali biasa menyebut rotan hanya tumbuh di daerah musuh, dan untuk memperolehnya harus menempuh risiko.

Lingkaran rotan dan koteka juga bukan cuma pakaian dan perhiasan. Ada kegunaan lain dari pakaian tradisional ini, yaitu untuk membuat api. Rata-rata pria Yali membuat api dengan menggunakan sebuah tali rotan sebagai korek api.

Untuk membuat api, seorang suku Yali akan mengambil sepotong rotan dari pakaian mereka, kira-kira sepanjang 60 sentimeter. Rotan itu lalu dililitkan ke sepotong kayu yang diletakkan di atas tanah, dikelilingi dengan rumput dan dahan kering.

Lalu, lelaki itu akan berdiri, dengan masing-masing kaki menginjak ujung kayu. Dengan tangan, mereka akan menarik tali rotan yang dililitkan tadi dengan cepat naik turun digesekkan ke kayu, sampai keluar asap, api mulai menyala, dan ujung tali putus terbakar. Setelah itu, mereka menutupi kayu tersebut dengan rumput dan meniup sampai terjadi kobaran api yang besar.

Saat ini pakaian tradisional suku Yali belum terdokumentasi dengan baik. Perlu penelitian mendalam serta pendokumentasian lengkap dan baik, dalam beragam metoda pendokumentasian, sebelum pakaian ini benar-benar punah.

Penggunaan pakaian tradisional ini dalam festival budaya maupun pada hari besar nasional, juga dapat menjadi cara untuk melestarikan pakaian tersebut.

Siapa yang tak mengenal suku Asmat di Papua? Suku ini terkenal memiliki tradisi seni ukir yang khas dan terkenal sampai ke mancanegara. Bahkan seniman terkenal Eropa, Pablo Picasso, pada masa hidupnya mengagumi seni ukir ini. Oleh sebab itu, rasanya perlu sekali tradisi seni ukir khas ini diusulkan menjadi salah satu warisan budaya Papua yang diakui oleh UNESCO.

(Baca juga: Noken Basis Papua Menuju Unesco Paris France)

Seni ukir Asmat menunjukkan keahlian istimewa pembuatnya yang disertai perasaan yang tinggi akan garis-garis indah dan komposisinya. Maha karya yang terdiri atas beragam ukiran itu muncul di tengah masyarakat yang melangsungkan hidupnya di atas lumpur rawa.

Pelestarian tradisi ukiran Asmat merupakan sebuah unsur penting untuk memelihara identitas, jati diri, dan rasa bangga orang Asmat terhadap budayanya sendiri. Seni ukir Asmat dapat dikategorikan sebagai warisan budaya tak benda yang perlu diusulkan guna memperoleh perlindungan, pengakuan, dan pengesahan UNESCO sebagai warisan dunia dari Papua.

Konvensi UNESCO 2003 menetapkan sejumlah karakteristik untuk mengategorikan suatu budaya termasuk dalam warisan budaya tak benda.

Ciri-ciri budaya yang masuk dalam kategori tersebut adalah budaya yang ditularkan antargenerasi, berkembang secara dinamis, menyatu dengan identitas komunitas, dan merupakan sumber kreativitas.

Bentuk atau jenis ukiran Asmat bisa berbentuk rupa manusia, perahu, perisai, dan lain-lain. Dengan motif hewan seperti cicak, kadal, ataupun purwarupa alam. (*)

Penulis adalah peneliti pada Balai Arkeologi Papua.


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar