Oleh: Nardi Maruapey *
Manusia adalah makhluk yang rasional, makhluk yang berpikir karena sejatinya manusia memiliki instrumen berpikir (akal). Sehingga ada perbedaan yang paling fundamental antara kita, manusia dengan makhluk yang lain. Filsuf terkenal dari Perancis, Rene Descartes (1596-1650) mendefinisikan manusia sebagai animal rationale, binatang yang dapat berpikir, atau a thinking being, makhluk yang berpikir.
Sementara itu, berpikir diartikan sebagai kegiatan refleksif yang melibatkan otak sebagai organ pengendali semua panca indera, organ yang secara auto-refleksif melakukan fungsi perencanaan, penelaahan, pengambilan keputusan, dan pengkoordinasian terhadap program-program kerja jasmani-rohani tubuh manusia, menurut Descartes. Olehnya itu manusia diharuskan untuk berpikir sebagai langkah merepresentasikan dirinya adalah makhluk yang memiliki akal.
Namun akhir-akhir ini, di momentum tahun politik ini manusia Indonesia sedang kehilangan eksistensinya sebagai makhluk yang rasional, makhluk yang berpikir. Dengan tujuan untuk membuat perbaikan yang lebih baik, ternyata tujuan itu mengalami pembiasan dan keluar jalur.
Akhirnya yang tertampil di ruang publik adalah potret manusia Indonesia yang mengalami kebodohan atau dengan bahasa yang lebih halus lagi “kedunguan”. Walaupun ini tidak dialami oleh seluruh manusia Indonesia, tapi sebagian yang memang mereka sudah hampir kehilangan akal sehat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “dungu” berarti sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Sedangkan kedunguan berarti kebodohan, kebebalan. Secara definisi menurut saya “kedunguan” adalah kebodohan atau kebebalan yang berada pada level tertinggi seorang manusia.
Di Indonesia banyak hal dilakukan secara berjamaah atau dalam budaya Indonesia disebut gotong royong. Sesuatu yang dilakukan secara berjamaah itu seperti: beribadah, tentu bermuatan positif. Tetapi saat ini, di Indonesia secara berjamaah manusia Indonesia juga sudah pada mengalami kedunguan atau “kedunguan berjamaah”.
Kedunguan berjamaah itu tampak sangat jelas di tahun yang mendekati momentum politik ini. Kita lihat saja banyak orang beramai-ramai (berjamaah) 1) menyebarkan berita bohong (hoax), 2) saling memfitnah, 3) saling menyindir, dan 4) lebih suka berdebat dari pada berdiskusi. Bahkan lebih parahnya lagi, kebiasaan-kebiasaan ini sering ditampilkan pada ruang-ruang publik.
Banyak Diskusi ‘Yes’, Banyak Debat ‘No’
Ada gejala menarik belakangan ini. Segala bentuk wacana yang amat mendalam berubah menjadi amat dangkal, ketika sampai di telinga kita. Kedalaman makna tak dapat dirasa. Yang ditangkap oleh akal hanyalah potongan makna yang cacat sebelah.
Mendekati momentum politik di tahun 2019 ini, kita hanya melihat sesama anak bangsa saling berdebat yang tidak ujungnya. Perdebatan yang diisi dengan saling menyindir, menjatuhkan, menyudutkan tanpa menghasilkan solusi bersama demi masa depan bangsa.
Polarisasi perdebatan ini akan kemudian berujung konflik ini yang tak lain dan tak bukan timbul dari narasi politik kita yang masih mengandung unsur kedunguan itu. Bagi Napoleon Bonaparte “Dalam politik, kedunguan itu bukanlah halangan”, tapi bagi saya “itu adalah kecelakaan”.
Padahal yang seharusnya, selaku anak bangsa yang mestinya dilakukan adalah duduk secara bersama, menyamakan persepsi dan pendapat untuk mencari macam solusi terhadap segala macam permasalahan masyarakat, bangsa dan Negara ini.
Sekali lagi seluruh anak bangsa secara bersama harus merumuskan ide-ide untuk Indonesia yang lebih baik lagi menyongsong 100 tahun Indonesia emas 2045. Bukan saling membodoh-bodohi.
*Penulis: Mahasiswa Unidar Ambon & Kader HMI Cabang Ambon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar