Ratusan warga unjuk rasa di Mapolres Jayawijaya (28/12/2018). |
Yan Pieter Reba tidak bisa memberi rasa aman dan nyaman bagi warga Kota Wamena menyusul banyaknya aksi pembegalan yang menyebabkan Pendeta Clarce Rinsampessy Salamena (66) meninggal dunia akibat luka tusuk di tubuhnya sekitar pukul 20.00 WIT pada Jumat (28/12).
(Baca Ini: Warga Sebut Korban Meninggal Bentrok di Wamena Terkena Peluru Aparat)
Warga yang marah atas peristiwa itu menggelar aksi damai di halaman Polres Jayawijaya bersama dengan Persekutuan Gereja-gereja Jayawijaya (PGGJ) termasuk sejumlah pendeta. Pendeta Alexander Mauri menyebut aksi itu sebagai ekspresi keprihatinan warga dan tokoh masyarakat atas situasi rawan kejahatan yang terjadi.
“Ini hari Natal, pendeta dibunuh di depan Gereja. Ini sangat keji. Kami tidak tolerir aksi ini, kami minta pelaku ditangkap dan ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Alexander Mauri, Sabtu (29/12).
Seorang pendeta lainnya, Pendeta Wilirum, meminta polisi dan pemerintah membahas masalah gangguang keamanan bersama kepala distrik, kepala kampung, tokoh Gereja, dan tokoh masyarakat. Dia mengatakan jika masalah itu tak dapat diatasi, maka sebaiknya Kapolres Wamena dicopot dari jabatannya.
“Jika tak mampu amankan kota ini, lebih baik kami pendeta yang amankan kota ini. Kami tantang satu tahun pendeta yang pimpin keamanan di Wamena. Jika tidak, ganti saja Kapolresnya,” ungkap Wilirum.
(Baca Ini: Kapolres Jayawijaya : Tembak di Tempat Pelaku Curanmor)
Sementara itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jayawijaya, Pendeta Esmon Walilo, mengatakan aksi begal disertai pembunuhan terhadap masyarakat bukan kali ini saja terjadi. Kasus-kasus sebelumnya, kata dia, tidak pernah terungkap sehingga pelakunya masih bebas berkeliaran.
“Polres Jayawijaya tidak pernah bekerja dengan baik. Kami sudah sering melakukan pertemuan bersama dengan sejumlah tokoh adat, tokoh agama, dan masyarakat membahas keamanan dan ketertiban masyarakat, tapi kota ini tak pernah aman,” kata Walilo.
Menurut Walilo, FKUB pernah mengusulkan pada polisi agar senjata tajam yang dibawa masyarakat tidak boleh masuk ke Kota Wamen. Namun, lanjutnya, masih banyak warga yang membawa senjata tajam hingga saat ini.
“Ini seperti pembiaran. Anehnya jika di Pulau Jawa pembunuhan mudah ditangkap, kenapa di Wamena sulit sekali pelaku pembunuhan tertangkap. Jika ini tak bisa diungkap, maka kejahatan akan terus terjadi,” ujar Walilo.
(Baca Juga: Wamena Berdarah Sulit Dilupakan)
Sekretaris Forum Komunikasi Kerukuranan dan Paguyuban Nusantara Jayawijaya, Iswardi, mengungkapkan rentetan tindak kejahatan di Wamena tidak pernah ada penyelesaiannya sejak 2013. Dia berpendapat masalah kejahatan itu berakar pada adanya perjudian dan minuman keras.
“Apa sebenarnya kerja polisi? Kalau tidak sanggup, bilang, biar kita ganti Kapolresnya,” kata Iswardi.
Kepala Suku Besar Maluku se-pegunungan tengah Papua, Christian Sohilait, menambahkan polisi harus melakukan 4 tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. Pertama, kata dia, melarang adanya miras dan senjata tajam di Wamena. Kedua, menangkap pelaku pembunuhan Pendeta Clarce Rinsampessy Salamena dalam waktu 2x24 jam.
Ketiga, lanjut Sohilait, mengganti Kepala Polres Jayawijaya. Kemudian yang keempat, polisi dan pemerintah daerah menjamin tidak ada minuman keras dan perjudian mulai 2019. (Stefanus)
(Baca Ini: Theo Hesegem: Solidaritas Anti Miras dan Narkoba Akan Menindak Tegas, Jujur dan Tanpa Toleransi Bagi yang Memproduksi, Mengedarkan dan Mengkomsumsi Miras dan Narkoba di Jayawijaya)
Copyright ©Kumparan "sumber"
Hubungi kami di E-Mail 📧: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar