Marinus Yaung, pengamat sosial politik Universitas Cenderawasih (sebelah kiri) dan Agus Y. Kossay, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) (sebelah kanan). Foto (doc pribadi Marinus Yaung) |
Dosen hubungan internasional ini merasa ragu upaya menarik simpati untuk mendapat dukungan ini akan mulus dan sesuai rencana.
Secara teoritis ia mengatakan diplomasi ULMWP untuk memenangkan opini komunitas internasional agar memberikan dukungan politik bagi penentuan nasib sendiri Papua tidak akan berhasil maksimal tanpa dukungan dalam negeri dari TPN-OPM.
“Dokumen petisi yang disampaikan Benny Wenda merupakan alat diplomasi dan sekaligus alat propaganda yang lazim terjadi dalam pergaulan antara aktor-aktor hubungan internasional untuk mewujudkan kepentingan masing-masing,” kata Yaung dalam pesannya, Selasa (29/1).
Ia lantas memberi catatan bahwa untuk bisa meyakinkan masyarakat internasional bahwa petisi ULMWP tidak benar adalah pertama, perilaku prajurit TNI dan Polri di lapangan harus benar – benar berubah dan lebih manusiawi. Pasalnya wajah dan karakter negara Indonesia di mata orang Papua sangat dipengaruhi oleh perilaku anggota TNI dan Polri. Indonesia dinilai orang Papua sebagai pembunuh berdarah dingin karena banyak peluru aparat keamanan yang telah menghilangkan ratusan nyawa orang Papua.
Kedua, Papua dalam grand design keamanan nasional, tidak boleh dijadikan training ground bagi para prajurit.
“Memang saya sadar bahwa tentara tidak bisa tidur atau istirahat. Tentara harus terus berlatih perang dan setelah Aceh, Timor Timur selesai urusannya, Papua satu-satunya wilayah yang masih bergejolak dan turut mempengaruhi karir seorang prajurit. Nah mindset Papua sebagai training ground bagi para prajurit untuk perkembangan karir sudah harus diakhiri,” sindir Yaung.
“Memang saya sadar bahwa tentara tidak bisa tidur atau istirahat. Tentara harus terus berlatih perang dan setelah Aceh, Timor Timur selesai urusannya, Papua satu-satunya wilayah yang masih bergejolak dan turut mempengaruhi karir seorang prajurit. Nah mindset Papua sebagai training ground bagi para prajurit untuk perkembangan karir sudah harus diakhiri,” sindir Yaung.
Lalu ketiga Presiden Jokowi harus menunjukkan komitmen dan political will-nya utk menuntaskan kasus – kasus pelanggaran HAM berat yang masih “mangkrak” di Kejaksaan Agung dan Komnas HAM RI.
“Minimal satu kasus pelanggaran HAM berat papua seperti Paniai berdarah 8 Desember 2014. Ini perlu dituntaskan melalui pengadilan HAM karena jika itu dilakukan, maka saya yakin petisi ULMWP tidak akan pernah terakomodir di panggung dewan HAM PBB maupun di forum dewan keamanan atau majelis umum PBB,” bebernya.
“Minimal satu kasus pelanggaran HAM berat papua seperti Paniai berdarah 8 Desember 2014. Ini perlu dituntaskan melalui pengadilan HAM karena jika itu dilakukan, maka saya yakin petisi ULMWP tidak akan pernah terakomodir di panggung dewan HAM PBB maupun di forum dewan keamanan atau majelis umum PBB,” bebernya.
Selain itu hal lain yang harus dicari jawabannya oleh Presiden Jokowi dan para pembantunya adalah kenapa petisi penentuan nasib sendiri bagi Papua itu ada ? Bagaimana dengan pendekatan Jokowi selama hampir 5 tahun, kenapa belum bisa meredam keinginan orang Papua untuk merdeka?.
“Ini juga harus diperhatikan,” pungkasnya. (ade/nat)
Copyright ©Cenderawasih Pos "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
“Ini juga harus diperhatikan,” pungkasnya. (ade/nat)
Copyright ©Cenderawasih Pos "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar