Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Yunus Wonda. |
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), Yunus Wonda mengatakan hingga kini publik di Papua masih menunggu apa rencana Pemerintah Indonesia bagi Papua pasca berakhirnya masa pemberian Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (3) huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua (UU Otsus). “UU Otsus dan Dana Otsus ini tawaran politik (atas) keinginan (orang) Papua (untuk) merdeka, dan (diberikan untuk) mempertahankan Papua dalam NKRI,” kata Wonda, Senin (3/6/2019).
Pasal 34 ayat (3) huruf e UU Otsus Papua menyatakan mulai tahun 2001 hingga tahun 2021 Pemerintah Provinsi Papua mendapatkan “penerimaan khusus” yang besarnya setara 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. “Penerimaan khusus” itu dikucurkan terutama untuk memperbaiki kualitas pelayanan pendidikan dan kesehatan di Papua.
Wonda meminta Pemerintah Indonesia mulai memikirkan kebijakan berikutnya terhadap Papua setelah 2021. Pemerintah Indonesia harus membuat keputusan yang jelas terkait kemungkinan pemberlakuan kewenangan Otsus dan Dana Otsus berlanjut, ataukah hanya memberikan kewenangan Otsus tanpa disertai kucuran Dana Otsus, ataukah ada tawaran lain dari Pemerintah Indonesia. “Kini semua kebijakan dan keputusan ada pada Pemerintah Indonesia,” ujar Wonda.
Wonda mengingatkan para pemangku kepentingan politik di Papua sudah terlebih dahulu menawarkan alternatif kelanjutan Otsus Papua pasca berakhirnya Dana Otsus Papua pada 2021. Sejak 2013, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua, DPRP, maupun Majelis Rakyat Papua (MRP) telah mendorong draft rancangan Undang-Undang Otsus Plus sebagai alternatif kelanjutan Otsus Papua pasca 2021.
Draft rancangan Undang-Undang Otsus Plus itu antara lain menawarkan alternatif kelanjutan Otsus Papua dengan memberikan kewenangan yang lebih luas dan tegas bagi Pemprov Papua untuk mengelola kekayaan alamnya. Akan tetapi, tawaran alternatif solusi Otsus Papua pasca berakhirnya masa kucuran Dana Otsus itu tidak ditanggapi Pemerintah Indonesia.
“Draf UU Otsus Plus itu sebenarnya bukan masalah anggaran tapi meminta kewenangan lebih. Selama inikan izin perkebunanan, kehutanan, pertambangan dan lainnya dikeluarkan pemerintah pusat. Draf UU Otsus Plus itu 80 persen lebih pada kewenangan,” kata Wonda.
Menurutnya, Pemprov Papua, DPRP, dan MRP menggagas lahirnya draft rancangan UU Otsus Plus karena menilai banyak kewenangan dalam UU Otsus Papua tidak bisa dijalankan Pemprov Papua. Kewenangan khusus yang efektif dijalankan Pemprov hanyalah mengelola kucuran Dana Otsus.
Draft rancangan UU Otsus Plus juga lahir karena banyaknya amanat UU Otsus yang tidak dijalankan. Wonda mencontohkan upaya berbagai pemangku kepentingan politik di Papua menjalankan amanat pembentukan partai politik lokal, yang tidak pernah ditanggapi Pemerintah Indonesia.
“DPRP telah mengesahkan Peraturan Daerah Khusus atau Perdasus Partai lokal sejak beberapa tahun lalu. Akan tetapi, (pemberlakuan Perdasus Partai Lokal terhambat proses) konsultasi kepada Kementerian Dalam Negeri yang hingga belum ada jawaban. Hingga kini, baru dua amanat UU Otsus yang terlaksana, yaitu pembentukan MRP dan pemilihan anggota DPRP melalui pengangkatan,” kata Wonda. (*)
Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar