Minggu, 07 Oktober 2018

Bahasa Daerah di Kota Jayapura Terancam Punah

Buletinnusa
Bahasa Daerah di Kota Jayapura Terancam Punah
Ilustrasi, jembatan Holtekamp, yang melintas di wilayah Enggros Tobati. Karena makin sedikit jumlah penuturnya, dua bahasa penduduk asli Kota Jayapura ini dua-tiga generasi ke depan dipredksi akan punah. Foto: Diben Elaby.
Jayapura -- Sejumlah bahasa daerah atau bahasa lokal di salah satu wilayah adat tanah Tabi, Provinsi Papua, yakni di Kota Jayapura dikhawatirkan akan punah jika tidak segera dilestarikan.

"Bahasa-bahasa asli Papua yang terletak di Tanah Tabi itu di antaranya ada bahasa Sentani, bahasa Nafri, Tobati Enggros, Kayu Pulo, dan bahasa Skouw. Secara umum kecuali bahasa Sentani, kondisi vitalitas bahasa-bahasa daerah di Tanah Tabi cukup memprihatinkan keberadaannya," kata peneliti senior dari Balai Bahasa Papua dan Papua Barat, Suharyanto, di Kota Jayapura, Jumat (5/10/2018).

Balai Bahasa Provinsi Papua dan Papua Barat, kata dia, pernah melakukan penelitian terhadap pemakaian bahasa Nafri dan bahasa Tobati Enggros di Kota Jayapura pada 2003 dan 2004.

"Untuk pemakaian bahasa Nafri, kalau tidak ada penanganan yang serius, baik dari penutur maupun dari negara itu, diperkirakan dalam tiga generasi ke depan akan punah atau musnah. Demikian juga untuk bahasa Tobati Enggros dan bahasa Kayu Pulo," katanya.

(Baca ini: Dr Willem Burung: Jangan Sampai Bahasa Di Papua Punah)

Sementara, terkait penelitian pemakaian bahasa Kayu Pulo, alumnus Sastra Indonesia dari Universitas Gajah Mada (UGM) itu mengatakan belum melakukan penelitian tetapi berdasarkan kedekatan tempat, banyaknya penutur maka bisa disimpulkan bahwa bahasa daerah tersebut juga terancam punah.

"Tetapi melihat dari jumlah penutur yang lebih kecil dibanding dua bahasa yang saya sebut tadi (Nafri dan Enggros Tobati,red) dan letaknya persis di jantung Kota Jayapura, maka kondisi vitalitas bahasa Kayu Pulo, saya yakin ada dibawah bahasa Nafri dan Tobati Enggros tadi," katanya.

Terancam punahnya ketiga bahasa daerah itu, lanjut dia, bisa disebabkan karena beberapa hal, di antaranya terkait jumlah penutur yang berkurang, lokasi suatu daerah, kebutuhan, serta asimilasi yang terjadi.

"Seperti kita ketahui dimanapun kota di seluruh dunia ini terdapat berbagai macam etnik yang datang, mau tidak mau pasti akan mempengaruhi kondisi vitalitas bahasa daerah setempat. Ini sudah pasti akan terjadi interaksi soal kebutuhan, sehingga dipastikan memakai bahasa pengantar yang mudah dipahami bersama," katanya.

"Ketika berbicara soal kebutuhan hidup maka akan menggunakan bahasa pengantar yang dipahami bersama. Nah, dalam kasus bahasa di sini, mau tidak mau pasti para penuturnya akan menggunakan bahasa Indoensia sebagai bahasa pengantar, maka secara langsung atau tidak langsung bahasa seperti Kayu Pulo ini akan terdesak, tergerus oleh pemakaian bahasa Indonesia," lanjutnya.

(Lihat ini: 5 Suku di Kabupaten Keerom Papua Punah)

Suharyanto yang pernah menulis tesis soal pemetaan bahasa Kayu Pulo itu mengatakan perlunya pelestarian bahasa daerah di Tanah Tabi sehingga tidak punah dengan cara media pembelajaran di sekolah-sekolah.

"Sebetulnya cara mempertahankan media bahasa ini sudah mulai dirintis oleh pihak Kota Jayapura, dengan cara menyusun bahan ajar untuk buku muatan lokal yang ada di Tanah Tabi, agar diajarkan di tingkat sekolah dasar," kata pria menyelesaikan S2 linguistik di UGM bidang keahlian historis komparatif. (*)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar