Perayaan HUT NFRPB yang ke-7 di Kampung Waena, Port Numbay, West Papua - Foto: Mawel. |
Negara Federal Republik Papua Barat atau NFRPB lahir dari Kongres Rakyat Papua III (KRP III) yang berlangsung di Lapangan Zakeus Abepura, 19 Oktober 2011 lalu. Saat itu Forkorus Yoboisembut terpilih menjadi Presiden dan Edison Waromi sebagai perdana menteri NFRPB.
Saat pengumuman hasil pemilihan itu berakhir, KRP III dibubarkan dengan tindakan represif aparat keamanan. Penembakan, pengusiran dan pengejaran berujung dengan tewasnya tiga warga sipil dan puluhan orang luka-luka.
Tiga ratus orang dibawa ke Polda Papua. Enam orang yang dianggapa bertanggung jawab, Forkurus Yoboisembut, Edison Waromi, Dominikus Surabut, Selpius Bobi dan Agust Kraar kemudian dipidana atas kasus makar. "Kami divonis penjara tiga tahun. Kami jalani hingga tuntas," kata Surabut.
Pemenjarahan itu tidak menghentikan niat politik para pejuang. Mereka terus berjuang untuk memperoleh pengakuan sebagai sebuah bangsa.
(Baca ini: Cahaya di Ujung Terowongan untuk West Papua)
Pada HUT yang ke-7, terdapat tema khusus dalam syukuran kali ini. "Bersama kita kerja untuk mewujudkan pengakuan kedaulatan untuk Bangsa Papua Barat," tertulis di spanduk.
Perdana menteri NFRPB, Edison Klaudius Waromi mengatakan demi pengakuan itu, pihaknya telah bekerja maksimal. Salah satu upanya, NFRPB telah membuka diri bersatu dalam United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Upaya NFRPB bersatu dalam ULMWP ini mendapat penolakan internal, dengan mengirim delegasi dan surat sebagai langkah-langkah kontra produktif demi mendegradasi eksistensi ULMWP di tingkat nasional Papua, Indonesia, Pasifik dan Melanesia.
"Kami telah menahan diri untuk tidak terprovokasi demi persatuan nasional Papua. Persatuan Nasional Papua dalam ULMWP guna mewujudkan kemerdekaan dan kedaulatan politik harganya jauh lebih penting dan menjadi kebutuhan,"ujarnya.
Upayanya tidak sia-sia. Kerja-kerja koordinasi dengan ULMWP bersama dua faksi politik yang membentuk ULMWP, Parlemen Nasional West Papua dan West Papua Nasional Coalition for Liberatioan mulai terwujud hasil.
NFRPB sangat tidak menyangka, dalam kurung waktu 4 tahun, ULMWP membawa isu Papua masuk ke organisasi regional Melanesia dan Pasific. ULMWP menjadi anggota observer di Melanesian Spearhead Group (MSG) pada 2016
"Pengakuan ini bersamaan Indonesia dengan status anggota asosiasi. Hasil itu mengejutkan bahwa Indonesia dan ULMWP duduk di satu ruangan dan berhadap-hadapan," katanya.
Bahkan ULMWP berhasil membawa masalah Papua ke kawasan negara-negara Afrika dan Karibia "Kita berdoa supaya ada hasil yang kita bisa dengar dari Afrika," ujarnya.
Hasil kerja di negara-negara Karibia mulai terdengar sejak setahun lalu. Para pemimpin negara-negara itu mulai dengar dan membicarakan masalah West Papua.
"Puncaknya, September 2017, dalam sidang umum PBB Wakil PM St. Vincent Grenadines angkat masalah Papua," katanya.
(Lihat ini: Menlu Vanuatu, Ketua Oposisi Inggris Jeremy Corbyn dan Benny Wenda Bertemu di Inggris)
Sekalipun satu negara, suara PM St. Vincent Grenadines adalah representasikan suara para pemimpin Kariabia. Karena itu, ke depan, perlu memupuk dan merawat apa yang telah tercapai di Kepulauan Karibia.
Edison Waromi menjelaskan upaya diplomasi terus berjalan ke dunia internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Masalah Papua mulai dipersoalkan di ruang sidang umum PBB sejak 2015.
"Sebelumnya Indonesia hanya bicara itu masalah dalam negeri tetapi tahun ini, wakil Presiden mengatakan masalah Papua sudah selesai berarti ada yang belum selesai," katanya.
Mengenai apa yang dikatakan wakil Presiden Yusuf Kala dalam debat umum, berlanjut hingga pada hak jawab dengan Vanuatu itu sebagai pengakuan. "Intinya negara-negara saksikan diskusi itu," katanya.
Kepala kantor koordinasi ULMWP di West Papua, Markus Haluk mengatakan pengakuan itu membuat rakyat Papua tidak akan pernah melangkah mundur.
"Kalau kita sudah langkah maju, tidak akan mundur lagi. Apa lagi ada pengakuan Indonesia dengan klaim terbalik itu," katanya.
Indonesia harus mengakui daripada klaim sepihak di sidang umum PBB September lalu. Kata dia, masalah Papua sudah selesai dengan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada 1969 dan diakui. PBB adalah klaim.
"Klaim sepihak dari orang yang tidak tahu sejarah. Pembahasan hasil Pepera 1969 terjadi pro-kontra sehingga tidak terjadi pengesahan tetapi disepakati dicatat tentang pelaksaan pemilihan," katanya.
(Baca juga: Benny Wenda: TRWP, TPNPB, TPN OPM Sudah Bersatu!)
Karena ini kesalahan, Klaim sepihak, menurut Haluk para pejuang Papua tidak akan pernah berhenti mencari pengakuan sebagai sebuah bangsa.
"Pengakuan itu misteri tetapi para pejuang akan mewujudkan misteri itu," katanya. (*)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar