Kamis, 11 Oktober 2018

Hentikan Rekayasa untuk Mendegradasi Hak Hidup Orang Balim dan West Papua

Buletinnusa
Hentikan Rekayasa untuk Mendegradasi Hak Hidup Orang Balim dan West Papua
Tungku bakarbatu terbesar yang dipersiapakan untuk acara pelantikan kepala suku Lapago – Foto: Engel Wally.
Oleh: Silo Doga Opalaknen

Orang Hubula di Lembah Balim terkaget-kaget dengan berita pengukuhan Pandam XVII/Cenderawasih Mayjen George Elnadus Supit sebagai kepala Suku Pegunungan Tengah Papua oleh Alex Doga bersama Habo Holago dan Jhoni Holago, 26 September 2018 di Kampung Wotelana, Distrik Asologaima, Jayawijaya. Pada momen yang sama Alex Doga menghibahkan tanah 90 hektare kepada Mayjen Supit untuk membangun Markas Kompi TNI dari Batalyon 757 Wim Ane Sili.

Berangkat dari pengamatan kami pada beberapa tahun terakhir, rencana pembangunan markas kompi dilakukan sejak lama. Tahun 2015 TNI membangun satu rumah di Kampung Wenenkulik, Distrik Silo Doga, sekitar 1 km dari kantor Dewan Adat Suku Omarikma, Kampung Woogi.

Namun waktu itu, masyarakat sempat menutupnya. Sejak saat itu rumah itu tidak digunakan lagi. Masyarakat setempat juga memalang lokasi kantor Distrik Silo Doga pada Agustus 2014.

Baca ini: 
  1. Pangdam XVII Cenderawasih Dinobatkan Sebagai Kepala Suku Besar Pegunungan Tengah Papua
  2. Kodam XVII Cenderawasih Dapat Hibah Tanah 90 Hektar
Pertanyaannya mengapa masyarakat menolak pembangunan rumah oleh TNI dan memalang prmbangunan kantor distrik Silo Doga? Bagaimana orang Balim memandang manusia (seorang pemimpin) dan tanah? Sejak kapan dan mengapa kepala suku orang Balim (Jayawijaya), kepala suku Pegunungan Tengah dan kepala suku Papua ada? Apa yang dibutuhkan rakyat Balim saat ini; apakah pembangunan manusia Balim/gunung atau pembangunan intrastruktur militer/polri? Sejumlah pertanyaan ini kami ulas secara ringkas dalam tulisan ini.

Seorang Kain dari dan untuk aliansinya

Di Melanesia (West Papua) sekurang-kurang memiliki empat sistem kepimpinan tradisional, yaitu, kepemimpinan berdasarkan kerajaan, ondoafi atau ondofolo, kepemimpinan pria berwibawa dan sistem kemimpinan campuran.

Bagi suku-suku yang memiliki sistem kepemimpinan pria berwibawa (dalam bahasa Balim disebut ap kain (pemimpin) atau ap kaintek (para pemimpin), seorang kain, tonowi, the bigman, leader (pemimpin) lahir dari dalam aliansi tertentu (sub suku), untuk memperjuangkan dan mempertahankan tanah, rakyat dan segala yang ada dalam wilayah kekuasaannya. Seseorang di luar dari aliansi mereka dipandang sebagai sely wim (musuh abadi).

Demikian pula pandangan seorang kain (pemimpin) di Lembah Balim Wamena berlaku hanya dalam aliansi atau konfederasinya. Predikat seseorang disebut kain dalam tradisi suku Hubula di lembah agung Balim tidak diwariskan berdasarkan keturunan, melainkan memperolehnya dengan keberanian di medan pertempuran dalam mempertahankan wilayah kekuasaan aliansinya.

Orang Balim yang memiliki sistem kepemimpinan kain, setiap aliansi (sub suku) memiliki ap kain atau ap kaintek. Menjelang kedatangan misi gereja Kristen dan Katolik kemudian disusul pemerintah Belanda dan Indonesia di Balim, ada sejumlah pemimpin di masing-masing aliansinya (Dewan Adat Balim menggunakan istilah sub suku).

Aliansi Kosi Doga (Omarikmo) misalnya seorang Silo Doga, aliansi Logo Mabel, Wita Waya (Aluama), Hubi Kosi, Itlay-Haluk (Inyaierek), Wio (Mukoko), Ohena, Uwe Elesi, Asso Lokowal/Asso Wetipo, Kurima dan beberapa aliansi lainnya yang memiliki ap kain atau ap kaintek. Jadi, seorang Silo Doga dari aliansi Kosi Doga (Omarikmo) tidak akan pernah menjadi kain secara politik, ekonomi dan pemerintahan adat di wilayah aliansi lainnya, karena memang secara de facto Silo Doga tidak pernah menaklukkan aliansi lainnya.

Dilihat dari kekuasaan kain/kai

Secara keseluruhan dalam suku Hubula di Balim terdapat kekuasaan sosial politik dan komunitas religi. Pada komunitas sosial politik maupun komunitas religi, masing-masing terdapat tiga level komunitas.

Level komunitas sosial-politik, yakni, kesatuan oukul (perkampungan), kesatuan ap logalek (konfederasi) dan kesatuan oagun (aliansi).

Kesatuan religi terdapat tiga level masing-masing juga, yakni, kesatuan kanekela (milik patriklen), kanekela wim aila konfederasi dan sub konfederasi serta Kanekela Wakunoak milik lintas klan, konfederasi dan aliansi.

Masing-masing level komunitas tadi memiliki struktur kepemimpinannya, yang tidak akan pernah diintervensi strukturnya oleh ap kain atau ap kaintek lain dalam satu aliansinya.

Semua aliansi memiliki sistem kepemimpinan secara struktur politik, ekonomi dan pemerintahannya sendiri yang berlaku sejak manusia Balim ada. Sistemnya begitu terstruktur hingga saat ini.

Belakangan ini sistem politik tradisional tersebut telah dihancurkan secara sistematis setelah gereja dan pemerintah Indonesia masuk di Lembah Balim. Pemerintah dan militer Indonesia memilih sejumlah orang yang bisa berkompromi dengan mereka.

Mereka yang dipilih oleh pemerintah dan militer tadi sebagian besar merupakan orang-orang yang tidak mempunyai posisi dan kedudukan dalam struktur di honai.

Rekayasa suara seorang Kain

Menjelang pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) hingga saat ini Pemerintahan Indonesia mulai menghancurkan struktur adat orang Hubula di Lembah Agung Balim dengan cara: 1) dalam satu kanekela (milik patrilineal) mengangkat banyak kepala suku; 2) banyak ap kaintek warisan bukan prestasi; 3) ap kaintek yang menamakan diri kepala suku; 4) fungsionaris dalam adat dikaburkan; 5) ap kaintek berkeliaran di kota Wamena dan Jayapura hingga Jakarta; 6) ap kaintek membingungkan menjadi mitra pembangunan Indonesia dengan mengaku kepala suku.

Pada masa Orde Baru diangkatlah kepala suku. Kemudian mereka diberikan topi kuning dan merah.

Topi kuning secara simbolis menandai sebagai pendukung partai Golkar dan topi merah sebagai pendukung PDI. Demikian pula topi polisi (militer).

Cara yang sama digunakan untuk memenangkan PEPERA. Indonesia melalui militernya berhasil merekayasanya secara sistematis dan masif dengan berbagai tindakan intimidasi. Hasilnya pun, Indonesia memenangkan pelaksanaan PEPERA tahub 1969 di Lembah Balim.

Permainan Indonesia belum selesai di masa Orde Baru. Pada masa pascareformasi ini, permainan yang sama masih terus dimainkan oleh militer dan aparat sipil Indonesia. Sejumlah orang diangkat menjadi pemimpin/kepala suku untuk Wamena, kepala suku gunung, bahkan kepala suku Papua.

Berikut beberapa nama yang perlu kami sebutkan, antara lain, Alex Doga Kepala Suku Pegunungan, Salogo Walilo Ketua BMP (Barisan Merah Butih) diangkat juga kepala suku Gunung (Wamena), Lenis Kogoya Ketua LMA (Lembaga Masyarakat Adat) buatan Polhukam dan Kesbangpol Depdagri.

Mereka ini diangkat oleh militer atau aparat keamanan Indonesia kemudian diberikan Surat Keputusan oleh institusi yang sama sesuai kepentingan mereka.

Jika dilihat, sesungguhnya tidak ada program dari LMA, sebab misi LMA oleh Kesbangpol pada 2009 di Jayapura dengan penunjukan Lenis Kogoya sebagai ketuanya ialah hanya menjadikan seperti “hewan” peliharaan untuk menghalangi kerja Dewan Adat dan organisasi yang berbicara tentang hak politik dan keadilan, perdamaian dan HAM di West Papua.

Lembaga lain yang dibentuk oleh institusi-institusi yang sama demi misi yang sama pula ialah BMP yang diketuai oleh Ramses Ohee.

Organisasi bentukan pemerintah Indonesia tersebut sebagai kelompok piaraan pada momentum tertentu muncul di publik, untuk memberikan komentar atau pun melakukan kegiatan pro-Indonesia (NKRI). Cara-cara seperti ini terus-menerus dilakukan guna menghancurkan struktur orang Balim (Lapago) dan rakyat West Papua.

Gelar penghargaan semu

Dalam tradisi orang Balim seorang apkain datang dari antara mereka, dengan misi mempertahankan manusia, tanah, dan semua yang ada dalam wilayah aliansinya. Tanah dalam aliansinya bukan hanya milik seorang apkain, melainkan juga milik komunitas bersama.

Tanah yang sama juga sering menjadi milik bersama dengan aliansi lain yang berada di tempat lain, bahkan suku-suku lainnya di Papua secara khusus di Pegunungan Tengah.

Hal ini disadarkan oleh pemahaman dasar sejarah perjalanan hidup manusia (gunung). Suku-suku di Papua meyakini bahwa mereka keluar kemudian menyebar dari lembah Balim.

Dalam konteks ini sesungguhnya, tanah yang ada di Lembah Balim bukan hanya milik seorang kain di Balim atau anak kain Silo Doga seperti Alex Doga cs, melainkan menjadi milik bersama rakyat Papua.

(Lihat ini: Protes Pengangkatan Kepala Suku untuk Pangdam Karena Tidak Mengerti Sejarah)

Bertolak pada pandangan tadi, pertanyaannya ialah apakah moyang klan Doga bersaudara dengan Pak George Elnadus Supit? Pak Supit turunan dari marga/klan orang Balim/gunung yang mana?

Pertanyaan ini perlu dijawab. Jika tidak dijawab, bagaimana mungkin dengan mudahnya dia menerima gelar kepala suku Pegunungan Tengah Papua?

Gelar yang diterima Mayjen Supit sesungguhnya merupakan perendahan terhadap harga diri marga doga dan orang Balim. Orang Balim tidak mengenakan mahkota kepada siapa pun di luar klan atau aliansinya.

Secara keluarga Pak Alex Doga telah melecehkan almarhum Bapak Silo Doga. Ia sendiri lupa arti dan makna dari Silo itu sendiri.

Dalam bahasa suku Hubula, silo artinya larang (tanda larang, tidak boleh, pamali). Mengangkat seseorang di luar aliansi Kosi Doga (Omarikmo) sebagai kepala suku Pegunungan Tengah Papua dan menghibahkan tanah 90 hektare, merupakan pelanggaran terhadap silo itu sendiri.

Rakyat pada aliansi Kosi Doga, Hubi Kosi, Wetipo Alua masih ingat dengan peristiwa bunyi tembakan pertama dan mengalirnya darah rakyat tidak berdosa pada 1977 di lapangan, yang saat ini dihibahkan untuk pembangunan Markas Kompi 755 Wim Ane Sili. Ratusan ribu orang telah dibunuh secara sadis oleh militer Indonesia dan sebagiannya meninggal di pengungsian.

Orang tua kami mengisahkan, dari lapangan inilah tembakan senjata diarahkan pada orang Balim dengan memaksa mereka berbaris sebelum ditembak. Operasi ini terjadi di bawah komando Letnal Kolonel TNI Albert Dien.

Empat puluh satu tahun telah berlalu, kini engkau datang lagi hendak bunuh kami yang kedua kalinya? Pak Pangdam, luka itu belum sembuh, sakitnya itu masih di sini!

Sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo, banyak aksi kemanusiaan dan pembangunan kesejahteraan yang lebih dibutuhkan rakyat, bukan membangun markas dan menghadirkan militer di tanah ini. Tanah ini, kami sebagai anak-cucu silo kembali menyuruh silo (larang/tidak usah lagi) untuk tidak membangun markas militer.

Kosi Doga, dalam aliansi Omarikmo, rakyat di lembah Balim serta rakyat Papua dan Indonesia, kami mengajak kembali melantunkan lagu tua dari lembah Balimini secara bersama:

"Hauwaa..hauwa..o Wamena yoma hat haiwa huga, hat tatak mirik mirik he..ap inyaiwerek koma lamo hakhe."
Arat Yogotak Yiwaga Ninaila-Ninagamo, ika-oka, pogot, agat Hasik yiwaga Silo Bak-hogo ati. Waaaa.. (*)
_______________
Penulis adalah pengacara dan cucu kepala suku Silo Karno Doga


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar