Buletinnusa
Ambon, Malukupost.com - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Provinsi Maluku mengalami inflasi perdesaan pada November 2018 sebesar 0,48 persen disebabkan oleh naiknya Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) pada semua kelompok pengeluaran.
"Perubahan IKRT mencerminkan angka inflasi jika terjadi kenaikan dan deflasi jika terjadi penurunan, di wilayah perdesaan," kata Kepala BPS Provinsi Maluku Dumangar Hutauruk, di Ambon, Selasa (11/12)
Hasil survei harga yang dilakukan BPS di 20 pasar tradisional yang tersebar di 20 kecamatan di daerah perdesaan di Maluku pada November 2018, menunjukan adanya perubahan IKRT yang memicu inflasi perdesaan sebesar 0,48 persen. Angka tersebut menempatkan Maluku pada ranking ke-7 inflasi perdesaan dari 33 provinsi di Indonesia.
Inflasi perdesaan disebabkan oleh naiknya IKRT pada semua kelompok pengeluaran, tertinggi disumbangkan oleh kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 0,53 persen dengan andil sebanyak 0,11 persen, diikuti kelompok bahan makanan sebesar 0,53 persen dengan andil tertinggi sebesar 0,25 persen.
Selanjutnya kelompok transportasi, komunikasi dan perumahan masing-masing 0,50 persen, kemudian kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga sebesar 0,26 persen, kelompok sandang 0,15 persen dan kelompok kesehatan 0,03 persen.
"Jika dilihat perbandingan antara Oktober 2018 dan November 2018, secara nasional terjadi inflasi di wilayah perdesaan sebesar 0,12 persen," ucap Dumangar.
Ia mengatakan indeks harga konsumen (IHK) perdesaan menunjukan kecepatan kenaikan harga per kelompok pengeluaran sejak tahun 2012 hingga November 2018. Kelompok bahan makanan masih menduduki urutan tertinggi dengan nilai indeks sebesar 133,76, disusul kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau sebesar 133,76 Kemudian kelompok sandang sebanyak 132,75, kelompok transportasi dan komunikasi sebesar 128,15, kelompok perumahan 126,86, dan kelompok kesehatan 120,97, serta IHK perdesaan terendah adalah kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 112,46.
Ada 10 komoditas yang mengalami penurunan harga sekaligus memberikan andil terbesar terhadap terjadinya inflasi perdesaan, yakni ikan cakalang (0,10), ikan teri (0,08), kangkung (0,07), ikan baronang (0,05), kacang panjang (0,05), roti manis (0,05), ikan katamba (0,04), pisang (0,03), buncis (0,03) dan rokok kretek filter (0,03).
Sedangkan komoditas penghambat inflasi adalah bawang merah (-0,1), beras (-0,05), ikan selar (-0,04), telur ayam ras (-0,04), ketela pohon (-0,02), ikan kembung (-0,02), ikan kakap merah (-0,02), ketimun (-0,02), jeruk (-0,01) dan lada/merica (-0,01).
"Provinsi Sulawesi Utara mencatat inflasi perdesaan tertinggi sebesar 1,17 persen. Sedangkan deflasi perdesaan tertinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 0,36 persen," ujarnya.
Dumangar menambahkan indeks Harga Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) yang dihitung dari kebutuhan petani terhadap bibit, obat-obatan dan pupuk, sewa lahan, pajak dan lainnya, transportasi, penambahan barang modal dan upah buruh tani, secara rata-rata mengalami peningkatan sebesar 0,25 persen dibanding Oktober 2018.
Peningkatan tersebut disumbangkan oleh lima kelompok pengeluaran, yakni kelompok transportasi sebesar 0,78 persen dengan andil 0,15 persen, diikuti kelompok upah buruh tani sebesar 0,28 persen, kelompok obat-obatan dan pupuk 0,13 persen, serta kelompok penambahan barang modal sebesar 0,05 persen.
Beberapa komoditas yang memberikan andil terbesar terhadap peningkatan indeks BPPBM adalah bensin (0,10 persen), upah mencangkul (0,05 persen), solar (0,02 persen), oli (0,02 persen), ongkos angkut (0,01 persen), insektisida (0,01 persen), dedak (0,01 persen) dan bibit ayam (0,01 persen).
Sedangkan komoditas BPPBM yang mengalami penurunan adalah bibit padi, pupuk urea dan pupuk NP/NPK dengan masing-masing andil sebesar 0,01 persen.
"Kelompok sewa lahan, pajak dan lainnya tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan Oktober 2018. Sedangkan kelompok bibit mengalami penurunan sebanyak 0,05 persen," katanya. (MP-4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar