Oleh: Dipl.-Oekonom Engelina H. L. Pattiasina
Presiden Joko Widodo sedang melakukan kunjungan kerja di Pontianak, Kalimantan Barat. Ketika sedang berada di Bandara Supadio, Pontianak pada 23 Maret 2016, Presiden Joko Widodo memberitahukan kepada wartawan kalau Presiden sudah mengambil keputusan untuk memindahkan kilang Blok Masela ke darat dari rencana sebelumnya untuk menggunakan kilang terapung. Pada 23 Maret 2019 ini, genap tiga tahun keputusan Presiden untuk memindahkan kilang Blok Masela ke darat.
Ketika penulis mendapat informasi dari sahabat wartawan yang kebetulan berada di Pontianak, antara percaya dan tidak tapi informasi itu pasti benar karena informasi itu didengar langsung dari Presiden Joko Widodo. Belakangan, baru diketahui ternyata keputusan itu diambil Presiden setelah mendengarkan aspirasi masyarakat, terutama permintaan rakyat Maluku. Bahkan, Menteri ESDM yang ikut ke Pontianak pun, konon tidak tahu keputusan Presiden Joko Widodo itu.
Bagi penulis, keputusan Presiden itu sangat melegakan karena setidaknya teriakan kami bersama berbagai elemen, terutama dari kalangan kampus di Ambon, seperti Universitas Pattimura, Universitas Darussalam, Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), IAIN dan STAKPN dan berbagai elemen mendapat perhatian Presiden Joko Widodo.
Harus diakui, untuk memindahkan kilang Blok Masela ke darat bukan perkara mudah. Sebagian elit dalam pemerintahan baik di pusat maupun di daerah menginginkan kilang terapung Blok Masela. Kami bisa menebak hal itu sesuai agenda korporasi dunia memang ingin kilang terapung.
Kalau mau jujur, keberadaan Ekonom Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman sangat membantu perjuangan Maluku untuk meyakinkan Presiden Joko Widodo untuk memindahkan kilang Blok Masela ke darat. Yang jelas, Rizal Ramli sependapat dengan keinginan rakyat Maluku, agar Blok Masela memberikan manfaat yang besar bagi Maluku dan bahkan bagi kawasan timur. Selain itu, Menko Rizal Ramli ketika itu mengizinkan delegasi Maluku mengikuti pertemuan di kantornya. Bahkan, diperkenankan untuk mengikuti dan bersuara dalam rapat koordinasi (Rakor) tingkat menteri di Kemenko Kemaritiman.
Karena kalau membiarkan kilang Blok Masela ditaruh di laut, maka Maluku hanya menjadi penonton dan mungkin juga akan sulit untuk sekadar menonton karena kilang ditaruh jauh di tengah laut sekitar 40 mil dari pulau terdekat.
Kalau kilang tetap di laut, maka ini akan menjadi warisan yang menyedihkan untuk generasi mendatang, karena kesalahan generasi sekarang yang “mengaminkan” begitu saja kekayaan Maluku dikeruk untuk dibawa ke tempat lain tanpa peduli dengan Maluku yang terpuruk sebagai provinsi termiskin keempat di Indonesia.
Cukup sudah rempah-rempah yang mengubah peradaban dunia dan membiarkan Maluku menjadi korban. Cukup sudah ikan-ikan di laut Maluku diangkut ke negara lain dan membiarkan Maluku menderita di atas kekayaannya. Maluku hanya minta diperlakukan adil!
Sekali lagi, perjuangan untuk memindahkan kilang Blok Masela ke darat tidak mudah. Ada orang Maluku sendiri yang ingin kilang terapung. Apalagi, di Jakarta semua investor dengan berbagai cara berusaha menghalangi pemindahan kilang ke darat. Bahkan, orang asing ikut-ikutan mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo.
Pada 14 April 2016, misalnya, The Diplomat, media yang berbasis di Amerika menurunkan satu artikel yang mempertanyakan kebijakan Presiden Joko Widodo. “Masela: Indonesias Odd LNG Plan” (Masela: Rencana Aneh LNG Indonesia), begitu judul tulisan yang ditulis wartawan yang berbasis di Indonesia, John McBeth. Kemudian, di lead berita dia menulis, “Indonesian PM Joko Widodo has accepted some strange advice for the giant gas block” Presiden Indonesia Joko Widodo menerima beberapa nasehat aneh untuk Blok Gas Raksasa”.
Dari judul dan lead artikel ini sudah dapat diduga kemana arah nada pemberitaannya. Kira-kira mereka mau mengatakan, kalau memindahkan ke darat itu aneh, yang tidak aneh itu kalau tetap kilang terapung. Mereka lupa melihat kepentingan Maluku, karena cara pandang pemodal dan kapitalis itu hanya soal untung dan untung.
Media lain, misalnya, Sidney Morning Herald (SMH) yang berbasis di Australia menurunkan tulisan yang tidak kalah sinis pada 28 Maret 2016, dengan judul “Floating LNG hopes are deflated by Browse, Abadi decisions” (Browse Mengurangi Harapan LNG Terapung, Keputusan Abadi). Blok Masela dikenal sebagai Lapangan Abadi Masela. Kalau disimak dalam badan berita, mereka memandang keputusan Presiden Joko Widodo sebagai kemunduran teknologi inovatif dan yang diharapkan sebagai revolusi industri Migas lepas pantai. Kalau tidak keliru, Browse ini adalah perusahaan yang mengerjakan kilang terapung.
Mereka hanya melihat dari kepentingan bisnis, bagaimana mengelola Migas di lepas pantai tanpa mempedulikan kepentingan masyarakat sekitar yang semestinya menjadi pertimbangan utama dalam mengelola kekayaan alam. Silakan saja kalau mereka melakukan di negara mereka. Hanya saja di satu sisi, Blok Migas Ichthys di Australia yang hampir mirip dengan Blok Masela justru dialirkan dengan pipa ke kilang darat di Australia. Kalau mereka sendiri saja tidak mau terapung dan ingin di darat, kemudian mengapa menjadi masalah ketika kilang Blok Masela ditaruh di darat.
Penulis tidak ingin bereaksi terhadap tulisan apapun, tetapi hanya ingin menggambarkan betapa dunia internasional itu “menekan” keinginan Blok Masela di darat. Bisa jadi, ketidaksukaan terhadap perubahan skema itu karena mau enak sendiri untuk mengambil gas tanpa repot-repot bernegosiasi dengan rakyat Maluku. Karena masyarakat lokal yang sebenarnya memiliki hak bisa diabaikan begitu saja dan jauh dari kontrol rakyat. Selain itu, pihak yang juga sangat kesal, karena prospek bisnis dengan skema terapung yang sudah membayangkan keuntungan seolah hilang begitu saja.
Peduli dan Antisipasi
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan tiga tahun lalu, sebenarnya ada beberapa catatan mengenai perkembangan pengelolaan Blok Masela. Pertama, kita patut mengapresiasi Universitas Pattimura dan Politeknik Negeri Ambon yang cukup sigap untuk membuka jurusan minyak dan gas. Sebab, kebutuhan sumber daya manusia di bidang Migas ini sangat mendesak untuk mengisi kebutuhan Sumber Daya Manusia di Blok Masela.
Untuk masa awal, mungkin anak Maluku masih terbatas untuk mengisi berbagai posisi di Blok Masela, tetapi menjadi tugas dan tanggung jawab bagi semua pihak untuk memastikan agar beberapa tahun ke depan anak-anak Maluku menjadi pemimpin-pemimpin dan bisa memainkan peran di Blok Masela.
Selain jurusan Migas, sesungguhnya ada banyak keahlian yang diperlukan untuk menjawab kebutuhan SDM di Blok Masela. Kita mengharapkan, waktu yang masih ada ini benar-benar dimanfaatkan untuk menyiapkan SDM yang bisa berkiprah di industri Migas.
Kedua, pemerintah daerah baik pada level provinsi dan kabupaten/kota perlu mengantisipasi untuk menyiapkan regulasi, baik Perda ataupun peraturan kepala daerah yang memastikan kepentingan rakyat Maluku terakomodir dalam pengelolaan Blok Migas Masela. Sebab, tanpa kesiapan regulasi itu akan sangat mungkin kepentingan Maluku terabaikan, karena memang tidak ada yang mengatur dan menyisakan ruang kosong untuk diisi apapun.
Ketiga, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 58 Tahun 2017 tentang perubahan atas Peraturan Presiden No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam perubahan Perpres ini, pemerintah memasukkan pembangunan kilang Blok Masela sebagai Proyek Strategis Nasional. Dengan demikian, proyek Blok Masela akan mendapat prioritas dalam penyediaan lahan, termasuk perizinan dan nonperizinan. Di sini, yang patut diperhatikan soal penyediaan lahan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Sebab, proyek konstruksi tidak mungkin dilakukan jika tidak didasari penetapan lokasi, izin lingkungan, izin mendirikan bangunan dan izin pinjam pakai kawasan hutan, jika lahan berada dalam kawasan hutan.
Keempat, desain pengelolaan Blok Masela atau Pre-FEED (pre-Front End Engineering Design) sudah selesai pada 2018 lalu. Setelah desain selesai, tentu akan dilanjutkan dengan Plan of Development (PoD). Dalam tahap ini, semestinya pihak yang terkait di Maluku harus aktif untuk mengupayakan kepentingan Maluku diakomodir dalam PoD. Kalau tahap ini dilewatkan, maka pada saatnya, ketika Blok Masela sudah beroperasi ada berbagai kepentingan Maluku yang tidak diakomodir, karena lalai dalam tahap PoD ini. Sebenarnya, sejak pre-FEED dan PoD, Maluku harus aktif untuk memastikan kepentingan Maluku tidak terabaikan.
Kelima, sejak dini juga pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota untuk menyiapkan Badan Usaha Milik Daerah yang benar-benar memiliki kemampuan untuk mewakili kepentingan Maluku dalam operasi Blok Masela. Tanpa mengurangi rasa hormat, pengelolaan BUMD sebaiknya menempatkan para professional atau setidaknya figur yang memahami bisnis Migas, sehingga mengetahui persis detail operasional Blok Masela. Hal ini tidak terlalu sulit, karena ada banyak anak Maluku yang tersebar dimana-mana yang memiliki kemampuan mumpuni di bidang Migas.
Keberadaan Blok Masela ini seharusnya membangkitkan kesadaran, agar Maluku lebih peduli, sehingga pengalaman buruk berbagai daerah kaya sumber daya alam tidak terjadi di Maluku, dimana kekayaan alam diambil sedemikian rupa, tetapi masyarakat lokal dibiarkan dalam keterpurukan. Ini jangan dan tidak boleh terjadi di Maluku.
Cadangan gas di Blok Masela sangat besar, sehingga lebih dari cukup untuk memberikan kesejahteraan bagi Maluku, tetapi kalau itu tidak terjadi, maka ada yang keliru dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil sumber daya alam. Sebagai gambaran, pada Desember 2010, direncanakan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton. Namun, pada 2013 dan 2014 dikonfirmasi adanya cadangan gas yang sangat besar, sehingga pada September tahun 2015 disetujui kapasitas pemrosesan LNG tahunan sebesar 7,5 juta ton. Namun, pada Maret 2016, Presiden Joko Widodo mengubah skema kilang terapung menjadi skema darat.
Ternyata, rencana kapasitas tahunan 7,5 juta ton itu bertambah menjadi 95, juta ton kapasitas produksi LNG per tahun yang menjadi acuan dalam pelaksanaan Pra-FEED pada Maret 2018 lalu. Ke depan, bukan mustahil kapasitas produksi dinaikkan, karena Blok Masela ini memiliki cadangan gas raksasa.
Sekarang peluang bagi generasi muda Maluku ada di depan mata, kiranya berbagai peluang ekonomi yang muncul akibat keberadaan Blok Masela dapat memberikan dampak dalam berbagai bidang mulai peluang ekonomi sampai lapangan pekerjaan. Namun, semua ini tidak akan datang sendirinya tanpa melakukan langkah antisipasi sejak dini.
Untuk itu, bergegaslah untuk menyiapkan sumber daya manusia. Semoga!
Penulis, Engelina H. L. Pattiasina adalah pejuang pemindahan kilang Blok Masela ke darat. Dia juga lulusan Politik Ekonomi Universitas Bremen Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar