Dialog terbuka mengenai Papua yang digelar Amnesty International Indonesia di sebuah hotel di Jakarta, Kamis, 14 Februari 2019. (Foto: VOA/Fathiyah). |
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menegaskan komisi kebenaran penting dibentuk untuk melanjutkan dialog yang direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk membicarakan persoalan Papua.
Jakarta -- Konflik di Papua sudah berlangsung menahun. Perseteruan berdarah antar warga dengan aparat keamanan kerap terjadi setelah Penentuan pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 yang menyatakan Papua bergabung dengan Indonesia.
Meskipun sudah tujuh presiden berkuasa di Indonesia, namun persoalan Papua yang memang rumit dan terdiri dari beragam aspek - hakasasi manusia, politik, ekonomi, dan sosial budaya – tidak mampu dituntaskan. Bahkan sudah terbentuk perlawanan bersenjata, biasa disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Beberapa waktu lalu, Pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat Benny Wenda menyerahkan petisi kepada Komisi Tinggi HAM PBB. Petisi itu menuntut kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri setelah puluhan tahun menderita akibat genosida dan pendudukan yang dilakukan otoritas Indonesia. Benny menyerahkan petisi itu dengan masuk ke dalam delegasi Vanuatu. Pemerintah Indonesia sendiri mengecam tindakan Vanuatu yang memasukan Benny ke dalam delegasi negara itu. | Baca ini: Menanggapi Nota Protes Keras Indonesia, Vanuatu Tegaskan 'Tidak Ada Langkah Manipulatif'
Kepada VOA seusai dialog terbuka mengenai Papua yang digelar Amnesty International Indonesia di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (14/2), Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk meyakinkan petisi yang ditandatangani 1,8 juta orang itu benar-benar berasal dari masyarakat Papua yang menyatakan ingin merdeka.
Baca berikut ini:
Markus menegaskan petisi yang disampaikan pemimpin ULMWP Benny Wenda kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet di Jenewa bulan lalu, itu merupakan cerminan dari keinginan rakyat Papua untuk berdaulat dan membentuk negara sendiri, lepas dari Indonesia. Benny Wenda kini bermukim di Inggris.
"Karena selama 50 tahun lebih bersamaIndonesia, masa depan bangsa Papua tidak dijamin di Indonesia. Kami akan habis, kami akan punah, dan itu sudah terbukti. Perjuangan untuk penentuan nasib sendiri, kemerdekaan politik, itu menjadi jalan yang terbaik, jalan yang demokratis, jalan yang memberikan jaminan kepada orang Papua untuk hidup di tanahnya sendiri," ujar Markus.
Kemerdekaan Papua, lanjutnya, tidak akan merusak hubungan Papua dengan Indonesia, relasi Papua dengan Amerika Serikat, dan pergaulang Papua dengan masyarakat dunia. Dengan kemerdekaan dan kedaulatan, Markus menekankan Papua bisa dengan kepala tegak membangun kerjasama dengan beragam negara.
Markus tidak dapat memastikan target kapan Papua dapatmerdeka, tapi dia yakin dengan dukungan rakyat dan berbagai negara di beragam kawasan, Papua bisa mencapai impiannya tersebut, serta melalui mekanisme-mekanisme internasional.
Menurut Markus, empat dari lima negara anggota tetap DewanKeamanan PBB yang memiliki investasi di Papua - Amerika, Inggris, Prancis, Cina, dan Inggris, harus mendukung perjuangan bagi Papua merdeka. Dia beralasan investasi keempat negara tersebut di Papua saat ini bersifat ilegal karena meneken kerjasama dengan Indonesia.
Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko meyakini langkah kelompok separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang menyerahkan petisi menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak akan sukses. Ia beralasan PBB pasti menghormati Indonesia.
Menurutnya, pemerintah tidak khawatir dengan adanya petisi tersebut. Mantan Panglima TNI itu pun menilai langkah ULMWP tidak mempengaruhi kedaulatan Republik Indonesia, di mana Papua merupakan bagian dan akan tetap di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan dialog terbuka mengenai Papua ini bukan sekadar menghasilkan rekomendasi tapi harus dilaksanakan. Dia menyebut mesti dibentuk Komisi HAM di Papua, Pengadilan HAM di Papua, serta Komisi Kebenaran dan Klarifikasi Sejarah.
Komisi Kebenaran tersebut, lanjutnya, penting untukmelanjutkan dialog yang direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk membicarakan marginalisasi orang Papua karena banyak pendatang, kekerasan, rasisme, pentingnya dialog dengan prasangka positif, termasuk membahas masalah referendum.
(Baca ini: BIN, LIPI, BAIS (Indonesia) Sedang Bekerja Keras untuk "Gagalkan Internasionalisasi Papua")
Usman mengakui banyak sekali rakyat yang bersuara untuk menuntut kemerdekaan, tapi dia menegaskan Amnesty International tidak memiliki posisi apapun soal tuntutan kemerdekaan oleh rakyat Papua.
"Tapi memang Amnesty menghormatiapapun orang Papua, termasuk yang ingin menyampaikan kemerdekaan secara damai untuk kami bela. Sejauh itu dilangsung dengan cara yang tidak pakai kekerasan, kami sangat mendukungnya," tukas Usman.
Usman menekankan sejatinya seluruh akar dari munculnya tuntutan kemerdekaan tersebut adalah akibat marginalisasi orangPapua, ketidakadilan pembangunan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penutupan usaha untuk mengoreksi sejarah. [fw/em]
Copyright ©VOA Indonesia "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Meskipun sudah tujuh presiden berkuasa di Indonesia, namun persoalan Papua yang memang rumit dan terdiri dari beragam aspek - hakasasi manusia, politik, ekonomi, dan sosial budaya – tidak mampu dituntaskan. Bahkan sudah terbentuk perlawanan bersenjata, biasa disebut Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Beberapa waktu lalu, Pemimpin Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat Benny Wenda menyerahkan petisi kepada Komisi Tinggi HAM PBB. Petisi itu menuntut kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri setelah puluhan tahun menderita akibat genosida dan pendudukan yang dilakukan otoritas Indonesia. Benny menyerahkan petisi itu dengan masuk ke dalam delegasi Vanuatu. Pemerintah Indonesia sendiri mengecam tindakan Vanuatu yang memasukan Benny ke dalam delegasi negara itu. | Baca ini: Menanggapi Nota Protes Keras Indonesia, Vanuatu Tegaskan 'Tidak Ada Langkah Manipulatif'
Kepada VOA seusai dialog terbuka mengenai Papua yang digelar Amnesty International Indonesia di sebuah hotel di Jakarta, Kamis (14/2), Direktur Eksekutif United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Markus Haluk meyakinkan petisi yang ditandatangani 1,8 juta orang itu benar-benar berasal dari masyarakat Papua yang menyatakan ingin merdeka.
Baca berikut ini:
- Petisi Referendum Tiba di PBB, ULMWP Gelar Doa Syukuran
- Petisi Referendum Papua, DAP: Itu Kehendak Rakyat
Markus menegaskan petisi yang disampaikan pemimpin ULMWP Benny Wenda kepada Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet di Jenewa bulan lalu, itu merupakan cerminan dari keinginan rakyat Papua untuk berdaulat dan membentuk negara sendiri, lepas dari Indonesia. Benny Wenda kini bermukim di Inggris.
"Karena selama 50 tahun lebih bersamaIndonesia, masa depan bangsa Papua tidak dijamin di Indonesia. Kami akan habis, kami akan punah, dan itu sudah terbukti. Perjuangan untuk penentuan nasib sendiri, kemerdekaan politik, itu menjadi jalan yang terbaik, jalan yang demokratis, jalan yang memberikan jaminan kepada orang Papua untuk hidup di tanahnya sendiri," ujar Markus.
Kemerdekaan Papua, lanjutnya, tidak akan merusak hubungan Papua dengan Indonesia, relasi Papua dengan Amerika Serikat, dan pergaulang Papua dengan masyarakat dunia. Dengan kemerdekaan dan kedaulatan, Markus menekankan Papua bisa dengan kepala tegak membangun kerjasama dengan beragam negara.
Markus tidak dapat memastikan target kapan Papua dapatmerdeka, tapi dia yakin dengan dukungan rakyat dan berbagai negara di beragam kawasan, Papua bisa mencapai impiannya tersebut, serta melalui mekanisme-mekanisme internasional.
Menurut Markus, empat dari lima negara anggota tetap DewanKeamanan PBB yang memiliki investasi di Papua - Amerika, Inggris, Prancis, Cina, dan Inggris, harus mendukung perjuangan bagi Papua merdeka. Dia beralasan investasi keempat negara tersebut di Papua saat ini bersifat ilegal karena meneken kerjasama dengan Indonesia.
Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko meyakini langkah kelompok separatis the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang menyerahkan petisi menuntut referendum kemerdekaan Papua Barat kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak akan sukses. Ia beralasan PBB pasti menghormati Indonesia.
Menurutnya, pemerintah tidak khawatir dengan adanya petisi tersebut. Mantan Panglima TNI itu pun menilai langkah ULMWP tidak mempengaruhi kedaulatan Republik Indonesia, di mana Papua merupakan bagian dan akan tetap di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menegaskan dialog terbuka mengenai Papua ini bukan sekadar menghasilkan rekomendasi tapi harus dilaksanakan. Dia menyebut mesti dibentuk Komisi HAM di Papua, Pengadilan HAM di Papua, serta Komisi Kebenaran dan Klarifikasi Sejarah.
Komisi Kebenaran tersebut, lanjutnya, penting untukmelanjutkan dialog yang direkomendasikan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk membicarakan marginalisasi orang Papua karena banyak pendatang, kekerasan, rasisme, pentingnya dialog dengan prasangka positif, termasuk membahas masalah referendum.
(Baca ini: BIN, LIPI, BAIS (Indonesia) Sedang Bekerja Keras untuk "Gagalkan Internasionalisasi Papua")
Usman mengakui banyak sekali rakyat yang bersuara untuk menuntut kemerdekaan, tapi dia menegaskan Amnesty International tidak memiliki posisi apapun soal tuntutan kemerdekaan oleh rakyat Papua.
"Tapi memang Amnesty menghormatiapapun orang Papua, termasuk yang ingin menyampaikan kemerdekaan secara damai untuk kami bela. Sejauh itu dilangsung dengan cara yang tidak pakai kekerasan, kami sangat mendukungnya," tukas Usman.
Usman menekankan sejatinya seluruh akar dari munculnya tuntutan kemerdekaan tersebut adalah akibat marginalisasi orangPapua, ketidakadilan pembangunan, pelanggaran hak asasi manusia, dan penutupan usaha untuk mengoreksi sejarah. [fw/em]
Copyright ©VOA Indonesia "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar