Rabu, 09 Januari 2019

MEMBANGUN MASYARAKAT MALUKU YANG ESTETIS

Buletinnusa
Melalui karya-karya seni, para seniman Maluku menyatakan secara filosofis bahwa ketika kita membaca sebuah novel atau puisi, atau ketika kita melihat dengan cermat hasil lukisan, kita akan memiliki visi yang baru untuk menginternalisasikan cita-cita sosial yang baru dan positif dalam kehidupan bersama.

Opini Costan Fatlolon-Manila



Refleksi Kehidupan “Basudara” dalam Perspektif Filsafat Estetika


Sudah sejak lama, Provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon, dikenal sebagai “ladang emas” bagi kelahiran dan pertumbuhan para musisi dan penyanyi terkenal di tanah air. Keharuman ini semakin manis tercium oleh warga dunia ketika putra-putri kandung “tanah raja-raja” ini mentransformasikan dimensi estetis seni dan musik ke dalam ranah kehidupan sosial-politik-keagamaan secara apik sehingga membuat decak kagum semua pihak. Sebut saja secara khusus, kegiatan keagamaan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) Nasional XXIV tahun 2012, Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Nasional XI tahun 2015, dan Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik Nasional I tahun 2018.

Secara filosofis, keberhasilan Pemerintah Provinsi Maluku, khususnya Kota Ambon, untuk menyelenggarakan acara-acara keagamaan ini menunjukkan bahwa masyarakat Maluku mampu mengejawantahkan nilai-nilai filsafat estetika ke dalam ranah ideologis (politik, sosial, ekonomi, agama) secara harmonis dan berdayaguna bagi seluruh lapisan masyarakat.

Tulisan ini ingin menjawab pertanyaan sentral: “Bagaimana kita dapat membangun masyarakat Maluku berdasarkan nilai-nilai estetika?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kerangka teoretis didasarkan pada filsafat estetika dari filsuf Johann Christoph Friedrich von Schiller (1759-1805) dalam karyanya yang terkenal On the Aesthetic Education of Man in a Series of Letters, 1794 (edited and translated by Elizabeth M. Wilkinson and L.A. Willoughby. Oxford: Claredon Press, 1967 - selanjutnya disingkat Letters).

Mengikuti pandangan filsuf Romantisisme Jerman ini, ide sentral yang hendak ditawarkan kepada masyarakat Maluku adalah terbentuknya sebuah tempat dan keadaan yang dicirikhaskan oleh “jiwa yang indah.” Dengan istilah “jiwa” tidak dimaksudkan sebuah entitas rohani melainkan sebuah kualitas diri, yakni rasionalitas, memoralitas, harmoni, persatuan, toleransi, keadilan, moderasi, keugaharian, dan kebijaksanaan.

Untuk menjelaskan ide tersebut, saya pertama-tama mendeskripsikan secara singkat apa itu filsafat estetika. Kemudian, saya menerangkan makna filosofis dari pernyataan “dari Maluku untuk Indonesia”. Bagian terakhir tulisan ini menyoroti membangun masyarakat Maluku yang estetis yang berorientasi pada “jiwa yang indah”.

FILSAFAT ESTETIKA
Pertanyaan pertama yang segera muncul ialah apakah itu filsafat estetika? Dalam sistematika pemikiran filsafat, filsafat estetika merupakan salah satu cabang dari filsafat nilai atau aksiologi. Aliran filsafat ini mempelajari hakikat, sumber, jenis, tingkatan, kriteria dan pengetahuan manusia tentang nilai, yaitu kualitas tertinggi dari seseorang atau sebuah benda. Filsafat aksiologi mencakup nilai-nilai tindakan manusia, nilai kebenaran struktur-struktur sosial dan sistem-sistem politik, serta nilai karya seni bagi pengalaman manusia.

Pertanyaan mendasar yang digumuli oleh filsafat aksiologi adalah apakah hakikat sebuah nilai? Apakah nilai merupakan hasil sebuah pemikiran, ataukah nilai itu sendiri sudah ada dalam kualitas sebuah objek atau suatu tindakan? Apakah yang membuat seorang individu, benda, tempat atau peristiwa bernilai pada dirinya sendiri? Apakah sebuah benda bernilai hanya karena perasaan seseorang, ataukah seseorang merasa demikian karena benda itu bernilai pada dirinya sendiri?

Salah satu cabang filsafat aksiologi adalah estetika, selain logika dan etika. Secara teknis istilah estetika dipahami sebagai ilmu keindahan atau ilmu mengenai keindahan pada umumnya. Dalam khasanah filsafat, estetika dipahami sebagai salah satu cabang filsafat yang mempelajari tentang cita rasa keindahan. Hakikat filsafat estetika adalah “cinta akan yang indah” (love of beauty).

Jadi, filsafat estetika adalah kontemplasi dan analisis filosofis mengenai konsep dan objek yang mengandung nilai estetis. Filsafat estetika tidak terbatas pada “objek” seni (art) sebagai hasil kreativitas manusia, melainkan pada refleksi tentang “keindahan” (beauty) sebagai kualitas dari sebuah objek atau kualitas diri seseorang.

MEMBANGUN NEGARA BESAR DARI KOTA KECIL
Para filsuf pada umumnya sepakat bahwa filsafat estetika, bersama filsafat logika dan etika, merupakan filsafat normatif dalam mengkontemplasikan dan menganalisis struktur pemikiran filsafat dan masyarakat. Tak heran apabila filsuf idealisme Jerman, G.W.F. Hegel mengatakan bahwa filsafat estetika merupakan bagian penting dalam struktur sosial-politik masyarakat.

Sebagai anak negri Maluku, kita tidak bisa melupakan kenyataan konflik sosial masa lalu yang meninggalkan sisa-sisa “piramida kurban” dan “piramida kurban sosial” yang tak terkatakan. Dari perspektif filsafat estetika, piramida ini menyatakan bahwa rasionalitas masyarakat Maluku seakan direduksikan ke dalam animalitasnya untuk menjadi “serigala bagi sesama”. Kualitas dan jati diri kita sebagai “saudara-sekandung” yang terikat oleh “darah-dan-air” leluhur yang satu dan sama dihempas oleh kepentingan eksternal yang mematikan. Dalam situasi kaotik ini, jalan estetika orang Maluku yang mengedepankan harmoni dan persatuan, keselarasan tampak buntu dan mati. Kita dijadikan “objek seni” yang menampilkan “seni peperangan” (the art of war) mematikan sembari “dinikmati” dalam gelak tawa sang provokator.

Pertanyaan filsafat estetika yang muncul ialah sejauh mana keterlibatan akal budi masyarakat Maluku dalam menilai “seni-peperangan” yang dirancang oleh provokator secara mematikan itu?

Jalan “peperangan” bukanlah jalan estetika masyarakat Maluku. Jalan estetis warga Maluku adalah jalan persatuan, kesatuan, harmoni, bela rasa, dan toleransi. Warga Maluku mendefinisikan keyakinan estetika ini dengan perkataan terkenal: “Dari Maluku untuk Indonesia”. Inilah rasionalitas dan ‘fitrah” putra-putri Maluku.

Jalan estetis ini telah terbukti melalui keberhasilan pemerintah dan segenap warga masyarakat melaksanakan kegiatan-kegiatan tingkat nasional yang disebutkan di atas. Decak kagum segenap warga Indonesia pada dasarnya menyatakan bahwa masyarakat Maluku bukan hanya kumpulan individu yang larut dalam “perasaan” terhadap objek yang indah. Lebih dari itu, masyarakat Maluku adalah jalan “keindahan,” yaitu jalan persatuan, kesatuan, harmoni, bela rasa, dan toleransi bagi seluruh anak bangsa (bdk. Letters, 94-95).

Dengan perkataan “Dari Maluku untuk Indonesia” masyarakat Maluku membuktikan kepada segenap warga bangsa dari kota kecil kita membangun bangsa yang besar. Benar perkataan prajurit dan negarawan Athena, Themistocles (523-458 SM): “Saya [mungkin] tidak bisa bermain biola, tapi saya bisa membangun negara yang hebat dari kota kecil.” Kota kecil itu adalah Ambon, the city of music.

MEMBANGUN MASYARAKAT MALUKU YANG ESTETIS
Lalu bagaimana kita membangun masyarakat Maluku melalui jalan estetis? Mungkinkah kita membangun sebuah masyarakat Maluku yang estetis? Apakah arti dan bentuk masyarakat Maluku yang disebut estetis itu?

Menurut Schiller, masyarakat estetis adalah keadaan ketika individu-individu telah berkembang dari kehidupan yang dimotivasi oleh “kebutuhan alami” (seksualitas, kekerasan) kepada kehidupan yang dimotivasi oleh “kehendak moral” lebih tinggi. Kehendak moral tertinggi individu adalah kehidupan yang harmonis antara individu yang satu dengan individu yang lain.

Dalam kultur masyarakat estetis, sesama warga tidak lagi mengalami konflik antara kehendak inderawi dan kehendak moral. Absensi konflik ini membuat individu-individu menjadi “independent” atau bebas dalam pergaulan sosial karena mereka telah memiliki apa yang disebuat Schiller sebagai “jiwa yang indah” (beautiful soul). Keindahan jiwa ini dimanifestasikan dalam karya seni yang hebat, karena seni yang hebat membebaskan mereka dari “kehendak inderawi” dan memungkinkan mereka untuk merangkul kehendak rasional dan moral.

Penjelasan Schiller di atas memberikan kepada dua unsur penting dalam membangun masyarakat Maluku yang estetis.

Pertama adalah unsur individual. Masyarakat Maluku yang estetis adalah kumpulan individu yang memiliki “keindahan jiwa”. Keindahan jiwa yang dimaksudkan adalah kemampuan setiap anggota masyarakat Maluku untuk menyeimbangkan antara “kehendak sensual” (seksualitas, kekerasan) dan “kehendak moral” (harmoni). Keindahan jiwa adalah kemampuan setiap anggota masyarakat Maluku untuk berpikir rasional dan bertindak atas dasar prinsip-prinsip moralitas universal. Keindahan jiwa ini, kata Schiller, bersifat “membebaskan” karena anggota masyarakat Maluku telah dituntun atau diarahkan oleh kejujuran moral dan harmoni, dan bukan lagi oleh kepentingan diri sendiri, perselisihan atau sensualitas (Letters, 146-147).

Kedua, unsur sosial-politik. Schiller menilai bahwa dalam diri setiap orang terdapat ketidakseimbangan antara “kehendak inderawi” dan “kehendak moral”. Hal ini secara estetis, ketidakseimbangan ini sangat merugikan tujuan masyarakat estetis yakni “keindahan jiwa”. Namun, secara politik, pemerintah tampaknya mentolerir atau meningkatkan ketidakseimbangan tersebut.

Akibatnya, sebagian besar masyarakat tidak memiliki kebebasan politik dan ekonomi sejati. Akibat lanjut ialah ketiadaan kebebasan sejati ini mencegah anggota masyarakat untuk mengembangkan kehendak rasional dan kehendak moral. Singkatnya, dengan mentolerir ketidakseimbangan dan meniadakan kebebasan sejati warga masyarakat, rezim politik baik secara langsung atau tidak langsung mendorong warganya untuk hidup dengan cara yang terlalu sensual, yang pada dasarnya merusak pertumbuhan moral mereka.

Penjelasan Schiller di atas menjadi “alarm peringatan” bagi seluruh tingkatan pemerintahan di Provinsi Maluku bahwa warga masyarakat bukan semata-mata objek materiil yang tujuan utamanya adalah bertahan hidup. Sebaliknya, warga masyarakat Maluku adalah makhluk “yang sadar diri”. Sebagai makluk rasional, warga masyarakat Maluku membangun hidup mereka melalui pengalaman perjumpaan, komunikasi dan toleransi di antara beragam pengalaman dengan lingkungan yang mereka hadapi (suku, bahasa, agama, ras).

Oleh karena itu, kata Schiller, “negara seharusnya tidak saja menghormati karakter individual dan generik dari individu, tetapi juga karakter subjektif dan spesifik, dan dalam upaya memperluas wilayah tak terlihat dari moralitas, negara seharusnya tidak mendepopulasikan wilayah yang tampak” (Letters, 18-19). Yang harus dibuat oleh negara atau pemerintah adalah membiarkan unsur “bentuk” (form) dan “materi” (matter) menjadi satu komunitas, “hanya dengan kesatuan antara realitas dengan bentuk, antara ketergantungan dengan nesesitas, antara pasivitas dan kebebasan, sempurnalah konsep kemanusiaan” (Letters, 102-103).

Kepelbagaian pengalaman ini merupakan “kemungkinan yang menuntut perenungan” dari para pemegang kuasa pemerintahan tentang bagaimana membangun kondisi-kondisi rekonsiliatif bagi harmoni hidup bersama. Kemungkinan itu menunjukkan bahwa kita semua sementara berada “di tengah sebuah perubahan” untuk mempersepsikan, mengimajinasi, dan mewujudkan hal-hal baru yang lebih bermakna bagi hidup bersama.

Idealisme kehidupan sosial-politik di atas mungkin sulit terwujud di ranah kekuasaan, namun mungkin bagi ranah estetika. Estetika mampu mendorong “kemungkinan” kehidupan sosial-politik yang damai melalui pelbagai ekpresi karya seni, seperti puisi, drama, film, patung, dan lain sebagainya. Melalui seni, para seniman mengekspresikan cara-cara yang lebih baik agar umat manusia bisa eksis. Melalui refleksi filosofis tentang seni (estetika), para seniman akan mampu mengarahkan institusi politik untuk memeriksa kembali masyarakat dan nilai-nilai hakiki yang ada di dalamnya. Melalui pengalaman sebuah karya seni (terutama dalam fiksi atau drama), para seniman menghidupkan gagasan bahwa orang lain pada hakikatnya bersifat riil dan bermartabat mulia seperti diri saya sendiri, sehingga kita dapat mengidentifikasi diri dengan lebih baik dengan orang lain.

Para seniman di Maluku telah berusaha mengejawantahkan pandangan filosofis di atas. Melalui karya-karya seni, para seniman Maluku menyatakan secara filosofis bahwa ketika kita membaca sebuah novel atau puisi, atau ketika kita melihat dengan cermat hasil lukisan, kita akan memiliki visi yang baru untuk menginternalisasikan cita-cita sosial yang baru dan positif dalam kehidupan bersama.

Secara filosofis, dapat dikatakan bahwa karya-karya seniman Maluku, melalui puisi, teater, drama, musik, tari dan nyanyian, memungkinkan kita untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain. Dunia tidak lagi berputar di sekitar kita: Kita dapat menjaga keseimbangan antara mencapai tujuan kita sendiri, mengakui perjuangan orang lain, dan berkontribusi pada masyarakat.

Secara filosofis, masyarakat Maluku yang estetis adalah sebuah tempat di mana semua orang “basudara” digerakkan oleh cinta, kebajikan, kehormatan, kebijaksanaan, kesatria, dan keadilan. Masyarakat Maluku yang estetis adalah sebuah keadaan yang memungkinkan semua orang “basudara” hidup dalam harmoni dan toleransi tanpa batas. Sebuah keadaan ketika karya-karya seni para seniman Maluku menginspirasi setiap orang “basudara” untuk tidak lagi hanya mementingkan diri sendiri melainkan mampu menginternalisasi realitas orang lain. Keadaan ini oleh Schiller disebut sebagai “ketidakterhinggaan yang terpenuhi” atau “filled infinity” (Letters, 144-145).

Gambaran filosofis mengenai masyarakat Maluku yang estetis di atas disebut oleh Schiller sebagai “lompatan imajinatif” dari estetika menuju “kebebasan moral”. Dalam masyarakat Maluku yang estetis, semua orang “basudara” bebas secara moral karena kehendak mereka tidak didominasi oleh indera atau oleh perhitungan untung-rugi, melainkan atas dasar perjuangan bersama demi kebaikan bersama (bonum commune).

Akhirnya, di tengah gonjang-ganjing politik tanah air yang serba bising, dalam penantian peralihan dan pergantian kekuasaan politik di Maluku, kita perlu mengenali pentingnya pengalaman artistik kita. Schiller mengatakan bahwa kita tidak boleh terobsesi hanya dengan masalah duniawi atau politik atau ekonomi. Sebaliknya, kita perlu mengapresiasi dan mengembangkan terus karya-karya seni para seniman Maluku untuk membangun mayarakat baru yang “lebih” berkualitas atas dasar estetika.

“Esensi keindahan,” kata Schiller, “[adalah] tidak tanpa hukum (lawlessness) melainkan harmoni dari hukum-hukum. Pembatasan yang secara tepat diwajibkan oleh keindahan tidak termaktub dalam sikap ekslusif terhadap realitas-realitas tertentu, melainkan terlebih dalam sikap inklusif terhadap semua” (Letters, 124-125).

Mungkin saja pandangan ini terlalu utopis, karena itu sangat terbuka terhadap kritik. Namun, refleksi filsafat estetika bisa menjadi salah satu alternatif pemikiran bersama untuk membangun masyarakat Maluku. Saya berpikir, kita sudah bisa memulainya dengan menghidupkan sebuah “pendidikan estetika” di sekolah-sekolah tertentu. Melalui pendidikan kita akan mampu menciptakan generasi masa depan Maluku yang memiliki “jiwa yang indah”.

Salvador st., Manila, 9 Januari 2019

Penulis adakah mahasiswa pada Departeman Filsafat Ateneo de Manila University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar