Senin, 07 Januari 2019

PEZIARAHAN “THE SECOND SEX” MENUJU PEMBEBASAN

Buletinnusa

Opini Costan Fatlolon-Manila

“Balada VA-R” dalam Perspetif Filsafat Feminisme Simone de Beauvoir


Di tengah ketegangan dan aroma politik tanah air yang semakin memanas, muncul kasus prostitusi daring yang melibatkan seorang berinisial “VA” dan “R”. Menurut pihak kepolisian, VA adalah seorang figur publik. Ia adalah seorang artis. Sedangkan R adalah seorang pengusaha muda.

Masalah di atas dapat dipandang dari berbagai sudut pandang, seperti psikologi, hukum, sosiologi, seksologi, dan lain-lain sebagainya. Dalam tulisan ini saya ingin menyoroti kasus ini dari perspektif filsafat feminisme Simone de Beauvoir.

Filsafat feminisme Beauvoir menarik perhatian saya karena melalui studi interdisipliner, filsuf ini ingin menemukan kemungkinan untuk berfilsafat mengenai perempuan yang disebutnya sebagai “jenis kelamin kedua” (the second sex). Sebutan ini digunakan  Beauvoir untuk menunjukkan konstruksi sosial masyarakat, khususnya kaum laki-laki, terhadap perempuan.

Melalui filsafat feminismenya, Beauvoir sama sekali tidak memiliki ambisi untuk meningkatkan eksistensi kaum perempuan dan kaum feminis melampaui kaum laki-laki. Ketertarikannya yang mendalam sebagai filsuf adalah mempertanyakan mengapa kaum perempuan tetap menjadi “jenis kelamin kedua” dalam kaitannya dengan kaum pria di zaman modern kita ini.

Uraian ini saya dasarkan pada karya Beauvoir yang terkenal: “The Second Sex” (diterjemahkan dan diedit oleh H.M. Parshley. London: Tanjung Johantan, 1956). Saya pertama-tama menggambarkan profil Beauvoir secara singkat. Kedua, saya akan membahas pertanyaan penting yang dibahas de Beauvoir dalam bukunya: “Apakah itu perempuan?” Ketiga, saya akan memasuki inti argumentasi Beauvoir tentang “jenis kelamin kedua” yang mengacu pada perempuan sebagai “yang lain” (the other). Keempat, saya akan membahas paradigma pembebasan filosofis yang diusulkan oleh Beauvoir bagi kaum perempuan. Dan akhirnya, saya akan memberikan sebuah relevansi singkat berkenaan dengan “balada VA-R”.

PROFIL BEAUVOIR
Simone Lucie Ernestine Marie Bertrand de Beauvoir adalah seorang filsuf Perancis. Dia hidup dari tahun 1908-1986. Dia meninggal pada usia 87 tahun. Dia memperoleh gelar doktor dalam bidang filsafat dari Universitas Sorbonne, Paris, 1929. Pemikiran filosofisnya dipengaruhi oleh beberapa filsuf, antara lain, Merleau-Ponty, Levi Strauss, Karl-Marx, Hegel, dan Jean- Paul Sartre. Dia telah dikenal sebagai filsuf eksistensialis, penulis, aktivis politik, dan feminis.

APAKAH ITU PEREMPUAN (WHAT IS A WOMAN)
Dalam karyanya “The Second Sex” (1956), Beauvoir memulai eksplorasi filosofisnya tentang perempuan dengan sebuah pertanyaan penting: “Apa itu perempuan?” Perhatikan bahwa filsuf eksistensialis ini menggunakan kata tanya “apa” (what). Pertanyaan ini menurut saya dengan sangat filosofis menyingung paradigma berpikir kebanyakan orang, khususnya laki-laki pada zamannya, yang menganggap perempuan sebagai “barang” (what) dan bukan sebagai pribadi (who).

Pertanyaan yang muncul ialah mengapa Beauvoir lebih memilih pertanyaan APA (what) itu perempuan? Mengapa dia tidak memulai dengan bertanya SIAPA (who) itu seorang perempuan? Melalui pertanyaan ini Beauvoir menemukan beberapa kegagalan paradigma berpikir dalam menggambarkan “keabadian” atau martabat femininitas seorang perempuan. Ia kemudian memeriksa secara kritis beberapa aliran ilmu dan filsafat yang menggambarkan kaum perempuan secara tidak proporsional.

Pertama, biologi. Ia menuturkan bahwa dalam ilmu biologi yang berbicara tentang tubuh manusia, kaum perempuan dipandang semata-mata sebagai “rahim, ovarium, kaum ‘betina’
(SS 33). Pertanyaan penting Beauvoir adalah: "Jenis perempuan apakah yang dimanifestasikan dalam pandangan biologi mengenai perempuan?" (SS 33). Ia menjawab bahwa dalam pandangan biologi, “Tubuh perempuan adalah salah satu elemen penting dalam situasinya di dunia. Tetapi tubuhnya tidak cukup untuk mendefinisikan dirinya sebagai perempuan; tidak ada kenyataan hidup yang sejati...” (SS 64).

Kedua, psikoanalisa. Dalam ilmu ini, kaum perempuan dianggap sebagai kaum yang memiliki “kelainan biologis” sebab ia berasal dari aspek psikosomatik. Kesadaran perempuan akan dirinya sendiri didefinisikan secara eksklusif oleh seksualitasnya. "Jadi, para psikoanalis juga tidak pernah memberi kita lebih dari sekadar gambaran yang tidak autentik mengenai perempuan." (SS 77).

Ketiga, materialisme historis. Aliran filsafat ini berasal dari Karl Marx yang memandang perjalanan sejarah dunia berdasarkan prinsip ekonomi. Beauvoir menafsirkan bahwa dalam pandangan ini kaum perempuan tak lebih dari “realitas historis" yang dapat dimanipulasi oleh kekuatan ekonomi yang dikendalikan oleh kaum pria. Kaum perempuan adalah “homo ecomicus” (makluk ekonomi).

Sejarah dunia tak lain adalah sejarah kaum laki-laki. Sementara kesadaran kaum perempuan tentang dirinya tercermin dari situasi yang tergantung pada organisasi masyarakat (SS 79). Ia menegaskan, "Masalah perempuan direduksikan oleh sejarah kaum laki-laki menjadi masalah kapasitasnya untuk melahirkan" (p. 82). Lagi, gerakan sejarah dunia ditentukan oleh nilai kekuatan otot, sedangkan aspek transendensi kaum perempuan tidak ditaruh di bawah kuasa kaum laki-laki (SS 86).

Keempat, ilmu sejarah. Dalam sejarah kaum perempuan dipandang sebagai “hasil buatan manusia”. Kaum perempuan adalah hasil dari sebuah fungsi dan aktivitas alamiah yang dihasilkan oleh teknologi. Dengan meminjam pandangan Hegel, filsuf perempuan ini mengungkapkan dalam teknologi kesadaran kaum perempuan tak lebih dari “kesadaran lain,” yaitu kesadaran yang bergantung pada “cara hidup yang diberikan oleh entitas lain,” yakni kaum laki-laki (SS 90).

Melalui kritik atas ilmu-ilmu humaniora tersebut, Beauvoir ingin mengungkapkan bahwa kaum perempuan telah dikontruksikan dan dikooptasi oleh kaum laki-laki sedemikian rupa, sehingga ia tidak pernah menjadi dirinya sendiri. Sebaliknya, atas “kuasa” laki-laki, kaum perempuan menjadi “jenis kelamin kedua” yang keberadaannya dipandang sebagai “yang lain”.

“JENIS KELAMIN KEDUA” SEBAGAI “YANG LAIN” (THE OTHER)
Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: Mengapa perempuan dianggap sebagai “yang lain”?

Beauvoir menyatakan bahwa sistem patriarki telah memaksa perempuan untuk menduduki "jenis kelamin kedua" di dunia dalam hubungan dengan pria. Aristoteles, misalnya, mengakui bahwa perempuan kurang memiliki kualitas. Santo Thomas juga menyebut perempuan sebagai "pria yang tidak sempurna", atau makhluk insidental.

Beauvoir menggugat tradisi pemikiran patriakis tersebut dengan mengatakan bahwa perempuan ditempatkan sebagai "jenis kelamin kedua" bukan karena esensi feminitasnya, tetapi karena situasi pendidikan dan tradisi yang dikendalikan oleh laki-laki.

Menggunakan analisis Levi-Strauss tentang masyarakat primitif, Beauvoir melihat hubungan biologis sebagai "serangkaian kontras" dalam masyarakat. Dia mengembangkan gagasan hubungan kontras ini dengan menggunakan analisis Hegel tentang kesadaran realitas. Kesadaran selalu merupakan pertentangan dengan kesadaran lain, ".. kebalikan dari yang lain, ... objek" (SS 17). Dengan kata lain, pria pada dasarnya menindas perempuan sedemikian rupa dan menempatkannya pada level lain, sebagai "yang lain".

"Setelah subjek berusaha menegaskan dirinya sendiri, “yang lain”, ... adalah keharusan baginya: ia mencapai dirinya hanya melalui realitas yang bukan dirinya, yang merupakan sesuatu selain dirinya" (SS 159) "Laki-laki mencari perempuan sebagai “yang lain” sebagai alam dan sesamanya" (SS 163).

Jika seorang perempuan adalah “yang lain”, penentang pria, sesuatu selain dirinya, lalu: Bagaimana menjadikan seorang istri sebagai pelayan dan pasangan sekaligus?

Beauvoir mengatakan bahwa sebagai “yang lain”, perempuan tak lebih dari objek kaum laki-laki. Manusia adalah subjek, yang transendental; sementara perempuan adalah objek, yaitu imanensi. Beauvoir menggunakan istilah transendental untuk menggambarkan peran aktif manusia di dunia. Pria memaksakan kekuasaannya atas alam semesta eksternal, termasuk perempuan. Sementara itu, perempuan diakui imanen dalam arti bahwa dia tidak sempurna, tidak penting, dan lebih rendah dari pria. Dari sudut pandang ini, Beauvoir menyatakan argumen terkenal:

“Seseorang tidak dilahirkan, melainkan menjadi seorang perempuan. Tidak ada nasib biologis, psikologis, atau ekonomi yang menentukan sosok manusia perempuan di masyarakat; itu adalah peradaban secara keseluruhan yang menghasilkan makhluk tersebut, perantara antara laki-laki dan pelayan, yang digambarkan sebagai feminin (SS 273).

Kalimat, “Seseorang tidak dilahirkan, melainkan menjadi seorang perempuan” berarti ada proses menjadi seorang perempuan. Ini adalah konstruksi realitas sosial, bukan alam. Secara keras menentang “diferensiasi gender” sebagai sebuah konstruksi sosial-historis dan label-labelnya. Ia menunjukkan sebuah keyakinan ultim tentang kaum perempuan, katanya:

“Ada signifikansi seluruh dunia yang hanya ada melalui perempuan; dia adalah substansi dari tindakan dan sentimen pria; inkarnasi semua nilai yang memanggil aktivitas bebas mereka” (SS 211).

MENUJU PEMBEBASAN
Telah dikatakan di atas bahwa Beauvoir tidak berambisi untuk mengkontruksi peran kaum perempuan melebihi kaum laki-laki. Usahanya ialah menunjukkan jalan “pembebasan filosofis” bagi kaumnya. Ia mengatakan:

“Sebenarnya perempuan tidak pernah menetapkan nilai-nilai perempuan yang bertentangan dengan nilai-nilai laki-laki; manusialah yang, berkeinginan untuk mempertahankan hak prerogatif maskulinitas, telah menciptakan perbedaan itu” (SS 90).

 Peranan perempuan sangat diperlukan untuk membangun peradaban dunia yang lebh baik. Kata Beauvoir: “Bagi kami, perempuan diidentifikasi sebagai manusia dalam pencarian nilai-nilai dalam dunia nilai-nilai; sebuah dunia yang sangat diperlukan untuk mengetahui struktur ekonomi dan sosial” (SS 78).

Atas dasar keyakinan itu, Beauvoir ingin membangun sebuah jalan pembebasan dengan bertitik tolak dari eksistensi perempuan itu sendiri. Menurutnya, semua diskusi dan perlakuan terhadap perempuan tidak dapat berasal dari luar diri perempuan itu sendiri. Fakta keberadaan perempuan mengisyaratkan secara fundamental bahwa pertanyaan dan jawaban harus mulai dari apa artinya perempuan dan siapakah perempuan itu, dan bukan dari perpektif kaum laki-laki.

“Jika saya ingin mendefinisikan diri saya sendiri, saya harus terlebih dahulu semuanya berkata: “Saya seorang perempuan; pada kebenaran ini harus didasarkan semua diskusi lebih lanjut” (SS 14-15).

Upaya Beauvoir sekarang adalah menemukan jalan keluar bagi kaum perempuan. Dia menyadari bahwa kadang-kadang perempuan dipenjara oleh mitologi feminitas yang kompleks. Masalahnya di sini bukan perempuan itu sebagai diri individu, tetapi mitologi tentang "perempuan sebagai daging-dan-darah".

Mitologi itu menyatakan bahwa perempuan mempercayai pria untuk tujuan hidupnya. Perempuan dengan demikian tampaknya memiliki "itikad buruk" (Sartre), yaitu, rasa takut dan penolakan untuk menyimpang dari norma-norma untuk mendapatkan kebebasan yang merupakan "hak istimewa" mereka sebagai diri individu.

Bagaimana seorang manusia dalam situasi perempuan mencapai pemenuhannya? Apa jalan yang dibuka untuknya? Keadaan apa yang membatasi kebebasan perempuan dan bagaimana mereka dapat diatasi?

Menurut Beauvoir, “Yang dibutuhkan perempuan pertama-tama adalah melakukan tugasnya… dalam pengabaian dan transendensi: yaitu, dalam kebebasan” (SS 669). Beauvoir berpendapat bahwa perempuan bisa menjadi mandiri selama dia memasuki dunia pria dengan peluang keperempuanannya. perempuan harus melakukan hal ini dalam setiap bagian hidupnya.

RELEVANSI
Melalui tulisan ini saya tidak berniat untuk memberikan penilaian tentang pandangan Beauvoir mengenai perempuan sebagai “jenis kelamin kedua”. Saya mengandaikan bahwa kita dapat menerima asumsi filosofisnya sebagai kerangka teoritis untuk berfilsafat dan melakukan refleksi lanjut atas realitas kaum perempuan di zaman modern.

Kasus yang mengena perempuan VA, disertai absensi hukum atas R, sebenarnya atas salah satu cara menunjukkan kurangnya “kepekaan” terhadap martabat dan harga diri perempuan. Dalam arti ini, konsep tentang perempuan dikonsepkan dan dikenakan dari luar, yaitu dari laki-laki, terhadap dirinya. Hukum tidak memandang perempuan pada dirinya sendiri melainkan dari luar, yakni dari perspektif kaum laki-laki. Aspek patriarkal ini membuat perempuan tetap menjadi “jenis kelamin kedua” yang dianggap sebagai “yang lain”. Ia tetap menjadi pihak imanen atau korban dalam pandangan laki-laki. Mengapa? Karena dalam pandangan Beauvoir, pendidikan dan keadaan sejarah masyarakat, termasuk produk undang-undang dan hukum, merupakan hasil konstruksi atau ciptaan kaum laki-laki.

Beauvoir menawarkan kepada kita sebuah paradigma filosofis alternatif untuk berfilsafat tentang perempuan: Perempuan adalah keberadaan yang “transenden” dan “abadi” atau berharga pada dirinya sendiri. Ia tidak dapat direduksikan menjadi keberadaan “imanen” atau “korban” dari kaum laki-laki.

Sudah saatnya kaum perempuan memikirkan jalan pembebasan, kata Beauvoir. Hal ini bukan dimaksudkan secara sebuah revolusi melainkan “rekonstruksi” paradigma kesadaran kaum laki-laki tentang hakikat dan martabat perempuan sebagai person yang bebas.

Salvador St., Manila, 8 Januari 2019

Penulis adalah Mahasiswa Ateneo de Manila University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar