Sabtu, 05 Januari 2019

PROTESTAN, KATOLIK, DAN FAKTOR ANGKY RENJAAN

Buletinnusa
Bahwa di level elite, ada Ketua sinode, uskup, pendeta, dan pastor yang mengupayakan relasi oikumenis Katolik-Protestan, maka di level anggota jemaat, tokoh awam, tentu saya tidak akan pernah lupa pada faktor Angky Renyaan (dan Ibu Ros Farfar) dalam membangun relasi damai Katolik-Protestan di Maluku, pada level awam. Mereka membangun relasi oikumenis secara konsisten, dan tidak pernah menyerah hanya karena rumor ``sudah pindah agama atau pindah gereja.
Drs Angelus Renjaan, MPd 
Catatan Rudi Fofid-Ambon

Katolik dan Protestan.  Sama-sama Kristen.  Kalau sudah sama, ya jadi satu saja.  Eits, sabar dulu.  Tidak semudah itu.  Perpisahan 501 tahun lalu, telah melahirkan banyak luka rivalitas.  Bahkan, persaingan terbawa sampai ke daerah-daerah  misi, seumpama Maluku.

Sampai tahun 1980-an, rivalitas Katolik dan Protestan di Maluku masih sangat terasa.    Perkawinan pasangan Katolik-Protestan, kerap menjadi semacam ``bencana iman`´.  Distribusi kekuasaan juga terasa sangat berbau persaingan keras.  Bagaimana mungkin Maluku yang mayoritas Protestan dan Islam, bisa dipimpin Gubernur Soekoso yang Katolik?  Apa perasaan orang non Katolik?

Syukurlah Uskup Andreas Sol dan Ketua Sinode GPM Abraham Soplantila, boleh kita kenang sebagai pencair kebekuan dan dwitunggal Bapak Oikumene.  Pastor Katolik bisa pergi berkhotbah di Gereja Protestan dan Pendeta Protestan bisa pergi berkhotbah di Gereja Katedral. Pertukaran mimbar, yang digagas oleh kedua pucuk pimpinan gereja

Kalau orang Katolik dan GPM pindah gereja, mereka tidak perlu dibaptis ulang.  Keuskupan Amboina mengakui baptisan di GPM adalah sah.  Demikian juga GPM mengakui baptisan Katolik. 

Hari ini, relasi Katolik dan Protestan di Maluku, bolehlah menjadi teladan nasional, sebagaimana juga antara Keuskupan Manado dan Gereja Masehi Injil Minahasa (GMIM).  Mungkin ada pula kemesraan di tempat lain, tetapi hubungan oikumenis yang manis, cukup kental di dua wilayah ini. 
Ketua Sinode Pengganti Soplantila dan Uskup Mandagi, melanjutkan relasi yang manis itu.  Misalnya, ketika Ketua Sinode John Ruhulesin dilantik, besok pagi, pertama kali yang dilakukannya adalah pergi sarapan pagi bersama Uskup Mandagi dan para pastor di Rumah Keuskupan. Sebuah keintiman di meja makan.  Ini sangat kultural sekaligus teologis.

Demikianlah para petinggi gereja Katolik dan Protestan di Maluku sudah mengupayakan kebaikan demi kebaikan.  Bagaimana dengan umat di level akar rumput?

Ketika ibu saya meninggal dunia di Bacan, Halmahera Selatan, di sana tidak ada pastor Katolik.  Untunglah ada biarawati yang memimpin ibadah pemakaman.  Pada saat doa syafaat, biarawati itu mengundang Pendeta Rudi Sahulata menaikkan doa. 

Saya berdiri di tepi keranda, dan khusuk berdoa.  Tetapi di sela-sela suara pendeta, saya mendengar di luar sana ada suara bernada protes. 

"Kecuali jika almarhum ini Protestan, ya pendeta pimpin," begitulah yang saya dengar. 

Saya tinggalkan doa syafaat lalu pergi keluar.  "Ada masalah?"

Orang yang protes itu kemudian mengajukan argumentasi, sambil menekankan, apa hubungannya almarhum yang Katolik dengan pendeta Protestan.

``Selama seminggu, saban hari Pendeta Rudy datang melayani ibu saya.  Sayalah yang minta Pendeta  Rudy ke sini.  Tidak ada pastor di sini, hanya ada pendeta.  Salahnya di mana?"  Kata saya kepada tukang protes itu. 

"Öh, kalau memang Rudi yang minta Pendeta Rudy, tara apa-apa sudah," kata orang itu. 

Pengalaman kecil saat pemakaman ibu saya itu, hanya satu contoh kecil saja bahwa masih ada jurang dalam relasi di level akar rumput.  Di tempat lain, terutama di Maluku Tenggara, relasi-relasi Protestan dan Katolik adalah manis di level akar rumput, tetapi dalam persaingan politik kekuasaan, ada saja  usaha mendominasi.

FAKTOR ANGKY RENJAAN

Pada tahun 1980an, beredarlah rumor di kalangan mahasiswa Katolik di Ambon, bahwa Pak Angky Renjaan (Drs Angelus Renjaan M.Pd) sudah pindah dari Agama Katolik ke agama lain.  Apakah GPM?  Bukan.  Agama kelompok doa? Ya semacam begitulah.

Belakangan, bukan Pak Angky Renjaan saja. Ibu Roos Farfar juga ada bersama-sama Pak Angky Renjaan dalam kelompok doa yang sama.  Dua-duanya sudah bukan Katolik lagi, kata rumor. 
Uskup Mandagi bahkan pernah secara berkelakar bertanya kepada Ibu Roos.  "Apakah anda masih Katolik?"

Lebih dari 30 tahun, Pak Angky Renjaan dan Ibu Roos Farfar berada dalam kelompok doa tersebut.  Bahwa orang-orang dalam Kelompok Doa dan Pendalaman Alkitab tersebut kemudian kebanyakan memilih masuk di gereja kharismatik, Pak Angky dan Ibu Roos juga ada di sana.

"Saya misa pagi di Katedral, dan kalau malam, saya pergi ke gereja Katolik.  Saya tetap Katolik," kata Ibu Roos. 

Ah, sayang sekali, saya tidak pernah membicarakan hal ini dengan Pak Angky.  Memang saya tidak perlu masuk di urusan ibadah dan ekspresi iman Pak Angky.  Tetapi saya tahu, sebagaimana Ibu Roos, Pak Angky tetap seorang Katolik, yang tekun berada dalam relasi oikumenis dengan tokoh-tokoh lintas denominasi gereja di Maluku. 

Bahwa di level elite, ada Ketua sinode, uskup, pendeta, dan pastor yang mengupayakan relasi oikumenis Katolik-Protestan, maka di level anggota jemaat,  tokoh awam,  tentu saya tidak akan pernah lupa pada faktor Angky Renyaan (dan Ibu Ros Farfar) dalam membangun relasi damai Katolik-Protestan di Maluku, pada level awam.  Mereka membangun relasi oikumenis secara konsisten, dan tidak pernah menyerah hanya karena rumor ``sudah pindah agama atau pindah gereja. 
Saya tahu, ada banyak orang Katolik sangat kecewa dengan Pak Angky, sebab aspirasi umat Katolik di Tual-Langgur agar Langgur menjadi tuan dan nyonya rumah penyelenggaraan Pesparani Nasional yang pertama, justru dipatahkan Pak Angky dengan alasan kesiapan infrastruktur.  Pak Angky adalah Ketua Harian Panitia Pesparani Nasional dan suaranya ternyata didengar. 

Pesparani Katolik Nasional I akhirnya digelar di Ambon dan penuh cerita sukses.  Suasana oikumenis begitu kental di sini.  Katolik yang minoritas di Ambon, mendapat dukungan Umat Islam dan Protestan.  Pada hari penutupan pesparawi, Ambon megah meriah.  Ambon laksana menjadi Kota Katolik.  Semua ini berkat dukungan basudara Islam dan Protestan.  Tidak percuma, Pak Angky mempertahankan Ambon, dan mengesampingkan Langgur,  tanah asalnya sendiri.

Pak Angky sudah tiada tetapi banyak sesungguhnya kisah baik dari sosok ini.  Saya mendengar cerita dari orang Aru dan orang MBD.  Ketika Pak Angky menjadi Penjabat Bupati di sana, satu hal yang ia lakukan adalah membenahi mentalitas pegawai negeri sipil, agar bekerja secara disiplin, jujur, dan penuh tanggungjawab. 

Sambil menulis catatan ini, saya teringat puisi karangan Jose Rizal, penyair pujaan saya dan pahlawan nasional Filipina.  Dalam Bahasa Tagalog, judulnya Pahimakas ni" (aslinya dalam Bahasa Spanyol "Mi Ultimo Adios", Salam Perpisahan Yang Terakhir"), terdapat satu kalimat penutup.   "Mamatay ay siyang pagkagupiling"  aslinya "Adiós, queridos seres, morir es descansar".  Selamat tinggal semua yang tercinta, mati adalah istirahat. 

Mati adalah istirahat.  Saya mendiskusikan puisi ini dengan Pastor Costan Fatlolon yang sedang berada di Manila.  Pastor menyatakan, ia tidak suka pada istilah kematian. 
"Saya biasanya lebih suka menggunakan kata "hidup sesudah hidup" daripada kematian karena 'menakutkan' bagi sebagian pendengar," kata Pastor Costan kepada saya. 

Ya, semoga jiwa Pak Angky beristirahat dalam ketentraman karena kerahiman Tuhan, amin".

(malukupost.com-foto istimewa-fb angky renjaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar