Melky Lohi |
"Data perusahaan berdasarkan hasil tabulasi di seluruh Provinsi Maluku 7.134 buah, baik perusahaan besar, sedang, dan kecil," ujarnya, di Ambon, Jumat (1/2).
Jumlah perusahaan itu yang ada pada data Disnaker Maluku, dan pada tahun 2019 akan melakukan evaluasi lagi untuk melihat peta keberadaan perusahaan dengan kategori terbaik, sedang, dan rendah dalam proses evaluasi Disnaker.
Melky menjelaskan, berdasarkan hasil pengawasan perlu dijelaskan bahwa penerapan UMP Provinsi Maluku kemudian diturunkan lagi ke upah minimum kabupaten dan kota (UMK) dan juga upah minimum sektoral (UMS).
Dalam pelaksanaannya sudah mempertimbangkan kondisi ekonomi global dan kondisi ekonomi nasional sampai ke daerah, sehingga perusahaan-perusahaan ada yang terlihat tidak bersungguh-sungguh menerapkannya, tetapi ada pula perusahaan yang bersungguh-sungguh membayar baik UMP maupun UMK, dan menerapkan UMS di atas UMP.
"UMP Provinsi Maluku sebesar Rp2.400.664, ada perusahaan yang membayar lebih, bahkan mencapai Rp4 juta," ujarnya lagi.
Menurutnya, penerapan UMP itu sesuai kondisi ekonomi di Maluku, sehingga kalau memaksakan secara keseluruhan maka perusahaan-perusahaan karena kondisi ekonomi ada yang sudah menutup usaha mereka dengan alasan tidak bisa membayar UMP.
Namun, katanya lagi, timbul masalah lagi ketika mereka tutup maka lapangan kerja dan anak-anak menghadapi masalah.
"Pada saat pengawasan, ada perusahaan maupun tenaga kerja yang memohon maaf dan meminta tolong kami agar tidak diberhentikan, karena kondisi persoalan ekonomi, kita juga mencari jalan tengah, dan kebijakan pemerintah pusat apabila bagi perusahaan yang belum mampu dengan UMP yang ada dilakukan penangguhan," ujarnya pula.
Bagi perusahaan yang belum mampu membayar sesuai dengan UMP, lanjutnya, wajib hukumnya perusahaan menyampaikan kepada pemerintah untuk melakukan penangguhan pembayaran, jika tidak maka perusahaan tetap harus menyelesaikannya, karena itu sesuai dengan aturan undang-undang tentang upah tenaga kerja. (MP-3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar