Lokasi tambang Panguna, Bougainville, 2016. - Lowy Institute/ Annmaree O Keeffe. |
Dengan enam bulan tersisa sebelum orang-orang Bougainville menuju ke tempat pemungutan suara, untuk memilih apakah mereka ingin merdeka dari Papua Nugini atau tidak, pertemuan para pemimpin APEC akhir tahun lalu di Port Moresby membuktikan, bahwa Bougainville adalah salah satu bangsa yang juga terperangkap dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang sedang dimainkan oleh Tiongkok, Australia, Amerika Serikat, Selandia Baru, dan negara-negara besar lainnya yang memiliki kepentingan di sebelah barat daya Pasifik.
Memicu perang tarik ulur ini adalah kepentingan yang selama ini terpendam, untuk mengakses kekayaan mineral Bougainville yang terkenal luar biasa. Tanpa mengingat bahwa kekayaan yang sama adalah akar konflik berdarah tragis dengan pemerintah PNG, yang menghancurkan Bougainville selama lebih dari satu dekade, dari 1988 hingga 1998.
Periode itu adalah masa penuh derita yang besar bagi orang-orang Bougainville, mereka menjadi korban kekerasan yang mengerikan, termasuk penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, dan perampasan. Perkiraan jumlah orang Bougainville yang terbunuh selama konflik tersebut adalah antara 10.000 hingga 15.000 jiwa, atau sekitar 5% dari populasi pulau itu. Proses untuk mencapai perdamaian sangat sulit, dan baru mendapatkan hasil nyata pada tahun 1997, yang mengarah ke gencatan senjata pada tahun 1998 dan berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Perdamaian Bougainville pada tahun 2001.
Karakteristik khusus dari perjanjian ini terletak pada tiga pilar yang ditetapkannya: pembentukan Pemerintah Otonom Bougainville (ABG), yang terjadi pada tahun 2005; pembuangan senjata; dan referendum, yang dijadwalkan pada Juni mendatang.
Perpecahan dan kebencian dalam masyarakat akibat konflik itu, masih terasa sampai saat ini di seluruh kepulauan itu, dan merupakan alasan penting di balik keputusan ABG Januari 2018, untuk memberlakukan moratorium atas kegiatan pertambangan di Panguna - lokasi bekas kegiatan tambang Rio Tinto/ Bougainville Copper Limited (BCL) yang menjadi pusat konflik. Tambang itu telah ditutup sejak 1989, namun keluh kesah pemilik tanah dan pemerhati lingkungan yang menyebabkan permusuhan itu masih tersimpan.
Keputusan untuk memberlakukan moratorium itu, adalah tanggapan terhadap pengajuan permohonan izin eksplorasi oleh BCL. Seperti yang diamati oleh Catherine Wilson awal tahun ini, keputusan pemerintah ABG mencerminkan realitas bahwa tambang tersebut, masih merupakan lokasi yang diperebutkan, dan bahwa lomba baru untuk mengelola kekayaannya akan memperdalam perpecahan antara kelompok-kelompok pemilik tanah adat.
Namun tantangan yang nyata bagi Bougainville - jika merdeka dari PNG - adalah bagaimana ia dapat mandiri secara finansial, tanpa menggunakan kekayaan tambang Panguna. Sebuah laporan yang disusun oleh profesor bidang keuangan, Satish Chand, untuk National Research Institute PNG menunjukkan bahwa negara Bougainville yang berdaulat, akan memerlukan dana tahunan dua sampai tiga kali lipat dari anggaran tahunan yang saat ini ia diterima, dimana sebagian besar anggaran tahunan mereka sekarang dialokasikan oleh pemerintah PNG.
Chand menunjukkan, dalam laporan itu, bahwa sudah tidak ada waktu cukup bagi ABG untuk mendirikan secara fiskal sebelum saat referendum. Menurut Chand, pemasukan dari memberikan lisensi penangkapan ikan, dapat membiayai setengah dari anggaran tahunan, tetapi ABG perlu bekerja sama dengan pemerintah pusat di Port Moresby, untuk memulai upaya ini. Mengenai pendapatan dari sektor pertambangan, Chand menilai opsi ini penuh dengan risiko, beberapa risiko yang serupa juga telah diakui oleh pemerintah ABG, ketika mengambil keputusan untuk, memberlakukan moratorium itu.
Namun, selain kemungkinan adanya respons anti-tambang dari dalam komunitas orang Bougainville itu sendiri, Chand mengamati bahwa tekanan pra-referendum menempatkan ABG dalam posisi tawar yang lemah, jika ia memutuskan untuk melanjutkan negosiasi dengan investor internasional atau negara-negara lainnya.
Satu hal yang juga penting untuk diingat adalah masih ada pertanyaan apakah pemerintah PNG, akan setuju memberikan kemerdekaan - bahkan jika mayoritas orang Bougainville memilih merdeka - jika ada kemungkinan pendapatan negara dari pertambangan di masa depan akan hilang selamanya. Salah satu ketetapan yang terkandung dalam Perjanjian Perdamaian Bougainville yang merincikan referendum itu, adalah bahwa hasil akhir dari referendum itu akan tetap mengikuti keputusan pemerintah dan parlemen nasional. Namun perjanjian itu juga menetapkan bahwa pemerintah pusat dan ABG, akan melakukan diskusi terkait hasil dari referendum.
Jadi ada dilema yang menanti Bougainville dan dengannya, negara-negara terlibat dalam permainan untuk merebut kekuasaan.
Di satu sisi, potensi adanya pendapatan dari sumber daya mineral Bougainville, sangat membantu memenuhi kebutuhan anggarannya sebagai negara yang baru saja merdeka. Namun, membuka kesempatan untuk mengelola sumber daya tersebut, memerlukan negosiasi dengan pihak-pihak internasional yang kemungkinan besar, akan memanfaatkan posisi Bougainville yang lemah.
Selain itu, dampak setempat dari keputusan ini adalah perlawanan dari masyarakat, bahkan mungkin dapat berakhir dengan kekerasan lagi. Dan, tentu saja, ini juga akan mengirimkan sinyal kepada pemerintah pusat PNG, bahwa ada potensi yang nyata untuk sumber pendapatan baru yang signifikan dari Bougainville. Ini bisa mendorong Port Moresby untuk menolak memberikan kemerdekaan kepada Bougainville.
Pesan untuk komunitas internasional sudah jelas. Peluang untuk pertambangan di Bougainville tidak akan bisa terwujud dengan mudah atau dalam waktu singkat, dan tentu saja ini juga tidak akan berhasil tanpa dukungan dan persetujuan dari masyarakat adat. Upaya-upaya mengumpulkan dukungan yang diperlukan, berarti berurusan dan membuka luka sosial yang sudah lama dirasakan oleh seluruh Bougainville.
Jika masih ada keraguan tentang berapa sulitnya bekerja dengan masyarakat lokal, kita bisa melihat apa yang terjadi di bandara utama Bougainville di Buka akhir 2018. Bandara itu ditutup sampai pemberitahuan lebih lanjut karena, di antara masalah-masalah lain, keengganan pemilik tanah adat dalam mengizinkan pembangunan pagar pembatas bandara untuk dilanjutkan. (The Interpreter by Lowy Institute)
Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail 📧: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar