Minggu, 04 Maret 2018

Mama-mama Pasar Potikelek Butuh Magnet Pembeli

Buletinnusa
Mama-mama Pasar Potikelek Butuh Magnet Pembeli
Foto: Pasar tradisional Potikelek Wamena ketika mulai ramai pedagang dan pengunjung. (Islami/Jubi).
Wamena -- Jumat siang pekan lalu, tampak biasa saja. Seperti pasar tradisional lain, mama-mama—sapaan bagi perempuan dewasa—sudah mengatur rapi sayur-mayur, buah-buahan, hipere, dan berbagai jenis hasil bumi lainnya di atas meja. Ada juga yang dilantai, menanti para pembeli.

Pasar tradisional yang dibangun di atas lahan seluas 1 hektar lebih itu dibangun tiga atap. Masing-masing atap, terdapat meja panjang yang terbuat dari semen dan kursi kayu, berhadapan—setidaknya bisa menampung sekitar 20 pedagang per atap.

Pantauan Jubi siang itu, 1 Maret 2018, sekitar pukul 11 siang waktu setempat, tidak semua los—meja—terisi. Pembeli juga sepi. Padahal, pasar ini sudah berdiri tiga tahun sejak diresmikan pada 24 Februari 2015.

“Saya tidak pernah berbicara menjanjikan kepada rakyat akan bangun pasar tradisional, tetapi diam-diam hari ini kita resmikan untuk mama dan bapak (pedagang asli) Papua,” kata Jhon Wempi Wetipo, saat menjabat Bupati Jayawijaya dan meresmikan pasar yang terletak di Jalan SD Percobaan, Wamena Kota.

Sejak tiga tahun lalu, Pemda Jayawijaya menggelontorkan anggaran hingga Rp34 miliar lebih untuk proyek pembangunan pasar Potikelek ini. Di atas lahan 1 ha lebih itu, selain tiga atap tempat jual hasil bumi, juga dibangun sederet kios yang diperuntukkan bagi pedagang asli Papua, namun masih banyak yang tutup.

Lihat ini: Pasar Potikelek Wamena Masih Sepi Pengunjung

Dana tersebut bersumber dari dana Tugas Pembantuan (TP) tahun 2011 (Rp7.997.910.000) dan dana bagi hasil (Rp556.257.000).

Kemudian, tahun 2012, Pemda menggelontorkan lagi anggaran dari Dana Alokasi Umum (Rp13.386.271). Selanjutnya, tahun 2013, dari Dana Alokasi Khusus (Rp5.421.660.000) dan ditambah Rp533.144.000 dari DAU.

Hingga tahun 2014, Pemda menambah lagi anggaran dari Dana Otonomi Khusus sebesar Rp6.500.000.000.

“Ini khusus untuk mereka yang belum punya tempat di dalam pasar dan masih jualan di pinggir-pinggir jalan,” kata Wempi.

Kala itu, data Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Perdagangan Jayawijaya, mencatat 250 pedagang asli Papua untuk berdagang di dalam pasar.

Kepala Dinas-nya, Semuel Munua, mengatakan, dengan membawa mama-mama pasar tersebut, diharapkan mereka tidak lagi bingung mencari tempat saat berjualan di kala hujan dan panas terik.

Satu dua tahun pertama, aktifitas pasar tersebut terus mengalami pasang surut. Hampir semua kios tidak beroperasi. Sementara hanya pedagang hasil bumi yang beraktifitas—sayur mayur, buah pinang, hingga kayu bakar dan rotan.

Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab sepinya pembeli di pasar tradisional tersebut.

Macam-macam keluhanpun mulai bermunculan karena sepi pembeli hingga permintaan bantuan dana untuk modal usaha.—Modal usaha pernah dijanjikan Pemda saat peresmian. Pemerintah juga menjanjikan untuk memikirkan dan mencari solusi untuk membawa pembeli masuk pasar tersebut.

Janji tersebut masih teringat oleh Salomina Ersulu, seorang pedagang sayuran di Potikelek.

“Kami harap pemerintah mencari solusi agar pasar ini jadi ramai,” harap mama Salomina.

Kembali ke jalan

Sepi pengunjung dan pembeli yang berkepanjangan membuat banyak mama-mama pasar kembali berjualan ke pinggiran jalan raya.

Saat sore hari, akan ditemui tidak sedikit mama-mama pasar menjajakan dagangannya di Jl Safri Darwin hingga Jl Irian.

“Di jalan-jalan ini ramai dilalui orang dan kendaraan,” ucap mama Salomina.

Dalam perjalananya, Pemda pun merealisasikan janji bantuan dana sebagai modal usaha kepada 230 dari total 540 pedagang yang dinilai telah memenuhi syarat dan diminta kembali berjualan di dalam pasar Potikelek.

Pemberian modal usaha tersebut, ternyata tidak serta merta menjawab permasalahan mama-mama yang sepi dari pembeli.

Dinas Tenaga Kerja, Perindustrian dan Perdagangan yang menaungi para pedagang ini kemudian mengambil langkah baru dengan memasukan para pedagang kios nonpapua ke pasar yang awalnya diperuntukan bagi pedagang asli tersebut.

“Ada 11 pedagang yang di Safri Darwin kami pindahkan ke Potikelek dengan maksud untuk merangsang pembeli agar bisa datang ke pasar itu, sehingga mama-mama yang berjualan sayuran pun terbantu,” kata Semuel Munua.

“Kami juga mulai adakan penjual ikan air laut yang dijual oleh pedagang asli Papua juga, bahkan pada bulan puasa 2017 kami pun menggelar bazar Ramadhan di pasar Potikelek agar ramai,” kata Munua, yang mengaku belum dapat membuat mama-mama masuk kembali ke pasar.

Hingga awal Maret 2018, pasar yang berada persis di dalam kota Wamena dapat dikata masih sepi pembeli, meski sudah memberikan “pancingan” dengan meramaikan pasar melalui pedagang kios dari nonpapua.

Niat baik nanmulia tersebut agaknya perlu pengkajian kembali.

Semoga pasar yang bernilai puluhan miliar ini menjadi rumah yang teduh untuk melepas lelah dan sumber rezeki bagi perempuan-perempuan tangguh yang kerap menjadi tulang punggung keluarga tersebut. (*)

...Baca juga:
  1. Penduduk Miskin Kabupaten Jayawijaya Meningkat 
  2. Ini kondisi Ratusan Anak Jalanan di Wamena 

Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar