Selasa, 06 Maret 2018

Orang-Orang Eropa Pada Masa Lampau di Papua (Abad 15-18)

Buletinnusa Beberapa catatan singkat kontak orang-orang eropa di Tanah Papua pada tahun 1500-an hingga 1800-an.
Orang-Orang Eropa Pada Masa Lampau di Papua (Abad 15-18)
Peta awal Pulau New Guinea (Papua) - THE FIRST MAP OF NEW GUINEA (Sumber: papuaweb.org)
Dalam beberapa dokumen tertulis, orang Eropa pertama yang melihat Tanah Papua yang dahulu disebut Nederland Nieuw Guinea adalah orang Portugis yang bernama D’Abreu dan Serrano pada 1511, sedangkan orang pertama yang menginjakkan kakinya di atas bumi Pulau Nieuw Guinea adalah gubernur Portugis yang bernama Jorge de Menezes. De Menezes terdampar di Versiya (Warsa), suatu tempat di Kepala Burung ketika melakukan pelayaran dari Malaka ke Maluku pada 1526.

Meskipun para penjelajah berkebangsaan Portugis tersebut telah melihat dan menginjakkan kakinya di Pulau Nieuw Guinea, mereka tidak mengetahui nama pulau itu. Orang pertama yang menyebut nama penduduk dan daerah tersebut untuk pertama kalinya dalam laporan tertulis adalah seorang pelaut Portugis yang bernama Figafetta yang mengikuti Magelhaens dalam perjalanannya mengelilingi dunia, dan berada di sekitar Maluku pada 1521. Dalam laporannya disebutkan bahwa orang-orang kafir di Pulau Gilolo (sekarang Halmahera) berkuasa seorang raja Papua (Mansoben, 1995: 70).
Orang-Orang Eropa Pada Masa Lampau di Papua (Abad 15-18)
Rekaan gambar Yñigo Ortiz de Retez.
Orang Eropa berikutnya yang mengunjungi Pulau Nieuw Guinea adalah seorang pelaut Spanyol yang bernama Yñigo Ortiz de Retez yang tiba pada 20 Juni 1545 di tepi Sungai Ambermo (Sungai Mamberamo) yang terletak di pantai Utara Pulau Nieuw Guinea. Pada saat itu ia menamakan pulau itu Nueva Guinea dan menyatakan daerah itu milik raja Spanyol. Ketika Ortiz memberi nama pulau itu, dia teringat akan Guinea tua di Afrika karena penduduk Pulau Nieuw Guinea mempunyai kesamaan ciri-ciri fisik dengan penduduk Guinea di Afrika Barat yaitu warna kulitnya yang hitam dan rambutnya yang keriting (Mansoben, 1995: 70).

Hingga abad ke-17 pemerintah Belanda melalui VOC menjalankan politik non-intervensi atas wilayah Nieuw Guinea. VOC sangat memahami bahwa politik non-intervensi dilaksanakan sedapat mungkin. VOC menduga politik non-intervensi dapat dilaksanakan melalui perantaraan Tidore. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan VOC itu sepenuhnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu.

Pada abad ke-18 VOC mengubah kebijakannya atas Nieuw Guinea. Perubahan kebijakan VOC itu berkaitan dengan adanya rencana dari 160 orang pedagang Inggris pada 1700 untuk mengirimkan kapal-kapalnya yang bertujuan untuk membeli rempah-rempah. VOC memandang perlu untuk memantau Nieuw Guinea apakah di daerah itu masih ditemukan pohon-pohon rempah-rempah. Meskipun pembabatan pohon-pohon rempah di berbagai tempat di Nieuw Guinea telah dilaksanakan oleh Tidore, pohonpohon rempah itu masih terus tumbuh, bahkan penanaman gelap ditemukan di Pulau Pisang dan Salawati. Oleh karena itu, pada 1705 VOC mengirim Jacob Weyland dengan membawa tiga buah kapal yaitu Geelvink, de Kraanvogel dan Nova Guinea untuk menjelajahi pantai pulau Nieuw Guinea.

Dalam penjelajahannya itu, Weyland menemukan sebuah pulau yang dinamakannya Manansawari Branderseiland kepada sebuah pulau di Teluk Doreh yang kemudian dikenal dengan Pulau Mansinam. Weyland juga menamakan Geelvinkbaai (sekarang Teluk Cenderawasih) kepada sebuah teluk besar yang dahulu bernama Teluk Swandirbu. Dari hasil pelayaran itu diketahui bahwa tidak ada jenis rempah yang baik ditemukan di Nieuw Guinea Utara. Selain itu, berdasarkan hasil pelayaran itu diketahui bahwa Sultan Tidore tampaknya memiliki pengaruh atas wilayah itu (Mededeelingen, 1920: 134-5; Kamma, 1981: 85).

Meskipun pada 1716 Tidore menyatakan ketidakmampuannya untuk menghukum perompak Papua, VOC tetap berpegang pada kekuasaan Tidore atas Nieuw Guinea. Namun VOC melakukan kerja sama dengan Tidore dalam pelayaran hongi ke Nieuw Guinea. Oleh karena itu, pada Agustus 1730 seorang Kopral Belanda yang bernama Enoch Christian Wiggers dikirim bersama pelayaran hongi untuk menyusuri pantai utara Nieuw Guinea. Kunjungan itu dimaksudkan untuk mengawasi keamanan laut pantai utara Nieuw Guinea dari gangguan perompak asal Halmahera maupun Papua yang mencari budak untuk diperjualbelikan. Namun VOC tidak berhasil menguasai tanaman rempah-rempah di wilayah itu (Mededeelingen, 1920: 135).

Ketika Pangeran Nuku melakukan pemberontakan pada 1780, VOC membatalkan kebijakan politik non-intervensi yang diberlakukannya selama satu setengah abad atas Nieuw Guinea. Orang-orang Papua terlibat dalam pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Nuku itu. Pada 1783 Pangeran Nuku bersama armadanya menyerang Tidore. Pada masa itu juga orang-orang Inggris hadir kembali di Nieuw Guinea (Mededeelingen, 1920: 135). Pada Februari 1775 orang Inggris yang bernama Forrest tiba di teluk Doreh, yang juga melihat “Ossy” (Wosi) dan “Malsingham” (Mansinam) (Galis, 1948: 107).

Pada Agustus 1793 kapal Inggris yang bernama Duke of Clarence di bawah pimpinan Kapten John Hayes berlabuh di Teluk Doreh. Hayes bersama pasukan India-Inggris membangun benteng kecil di dekat pantai Teluk Doreh yang dinamakan Fort Coronation.

Pasukan Inggris yang menjaga benteng itu melakukan perdagangan barter dengan penduduk setempat. Namun beberapa hari kemudian hubungan mereka dengan penduduk setempat kurang menguntungkan karena adanya sikap permusuhan dari penduduk setempat. Pemicu permusuhan itu adalah sikap yang kurang sopan dari para prajurit-prajurit penghuni benteng itu. Mereka mandi bertelanjang bulat di laut tanpa menghiraukan kehadiran wanita Numfor yang ada di situ. Perilaku mereka itu dianggap sebagai suatu penghinaan terhadap masyarakat Numfor, sehingga terjadi permusuhan antara prajurit Inggris tersebut dengan penduduk setempat. Oleh karena itu, ketika orang Inggris Mac Cluer dengan kapal Duchess of Clarence tiba pada November 1794 di Teluk Doreh, ia mengangkut sebagian pasukan itu dan pada April 1795 seluruh pasukan Inggris meninggalkan benteng itu (Kamma, 1981: 86).

Pangeran Nuku mengirimkan juga seorang utusan bersama kapal-kapal yang mengangkut kembali pasukan pendudukan itu ke Bengala. Kekuatan Pangeran Nuku untuk melancarkan teror di Maluku semakin meningkat karena Inggris secara diam-diam memberikan bantuan kepada Pangeran Nuku. Pemberian bantuan itu dimaksudkan sebagai usaha untuk merebut kekuasaan atas kepulauan itu. Hal ini berarti Inggris secara tidak terbuka berperang melawan Republik Bataaf, Belanda.

Pada 1796 di Hindia diketahui bahwa perang telah terjadi antara kedua kerajaan itu. Sementara itu, pada 1800 VOC dihapuskan dan Dewan XVII digantikan oleh Dewan Koloni Asia. Kepergian orang-orang Inggris menyebabkan Nuku kehilangan sumber bantuan. Oleh karena itu, Pangeran Nuku berupaya melakukan pendekatan kepada Belanda. Akan tetapi ketika orang-orang Inggris hadir di Maluku pada 1801, Pangeran Nuku kembali memihak kepada Inggris dan meraih sukses sehingga Nuku bersama 5000 orang pengikutnya dapat melancarkan serangan di Ternate.

Pada 1802 diadakan perdamaian antara Inggris dan Belanda yang mengakui pengembalian Maluku kepada Republik Bataaf, tetapi pada 1810 Maluku jatuh ke tangan Inggris. Pada saat itu Gubernur Inggris Forbes membuat suatu perjanjian yang mengatur wilayah kekuasaan Tidore dan Ternate. Tidore menguasai daerah Manseray, Karandifur, Amberpur dan Amberpoon di Nieuw Guinea (Robide van Aa menyatakan yang dimaksud dengan daerah kekuasaan Sultan Tidore itu adalah daerah Suku-suku Mansarai atau Rumsarai, Karandifur atau Angradifur, Amberpur dan Amberpoon). Sultan Tidore memahami bahwa orang bertindak lebih bijak dalam kontrak itu untuk menyebutkan suku-suku dan bukan distrik. Pada saat itu penduduk Nieuw Guinea masih hidup berpindah-pindah dari tempat tinggal yang satu ke tempat yang lainnya. Dengan cara menyebut nama suku-suku, penduduk wilayah itu tetap patuh terhadap kekuasaan Sultan Tidore.

Kontrak 1810 memiliki arti internasional yaitu menyangkut hak-hak yang dapat diterapkan Belanda atas wilayah itu. Dalam Traktat London 1824 Inggris mengakui monopoli dagang Belanda di Maluku dan wilayah Niuew Guinea yang termasuk wilayah Tidore, tetapi lingkup kekuasaan di Nieuw Guinea tidak diuraikan.

Semua perjalanan penjelajahan Belanda di Nieuw Guinea berlangsung dengan penuh kecurigaan. Meskipun Belanda menerapkan politik nonintervensi atas daerah itu, Belanda tidak rela bila bangsa lain bermukim di sana. Oleh karena itu, ketika desas-desus beredar bahwa pada 1826 orang-orang Inggris telah bermukim di Pulau Nieuw Guinea, Belanda segera mengirim kapal layar Dourga di bawah komando Kolff untuk melakukan penelitian atas berita itu. Walaupun berita itu terbukti tidak benar, Gubernur Mercus berupaya untuk menguasai bagian pantai barat Nieuw Guinea dan membangun pangkalan. Oleh karena itu, pada 24 Agustus 1828 Belanda mendirikan pangkalan militer di wilayah itu yang diberi nama Fort du Bus (Mededeelingen, 1920: 135-6).

Pengumuman 24 Agustus 1828 merupakan awal sejarah Fort du Bus yang menyedihkan dan berakhir dengan resolusi 6 Desember 1835 yang ditandai dengan pembongkaran pangkalan itu. Sejak pembongkaran pangkalan itu Belanda mengusulkan untuk mencari tempat yang lebih baik untuk pangkalan Belanda di wilayah itu. Perintah itu berlaku hingga 1861. Laporan komisi yang diterbitkan pada 1861 yang dikenal dengan laporan Etna menjadi alasan pemerintah Belanda untuk mencabut instruksi pencarian tempat yang lebih baik untuk pangkalan dan menolak pendirian pos pemerintahan atau militer.

Sejak 1861 hingga 1898 hubungan pemerintah Belanda dengan wilayah Nieuw Guinea dilakukan dengan pengiriman kapal perang atau kapal uap pemerintah yang mengangkut komisaris atau aparat pemerintah yang ditugaskan untuk memasang papan nama, mengangkat para kepala adat, ikut serta dalam penumpasan gerombolan perompak dan pengayau orang-orang Papua dan untuk menunjukkan pamer kekuatan terhadap penduduk wilayah itu. Berdasarkan akta pengangkatan itu, para kepala adat wajib mengibarkan bendera Belanda saat kapal-kapal asing atau aparat pemerintah mendekat atau berlabuh di wilayah para kepala adat itu (Mededeelingen, 1920: 136).

Sekitar 1850 kapal Circe, kapal pemerintah Hindia Belanda mengunjungi Teluk Doreh untuk menempatkan lambang negara (Kamma, 1981: 86), sebagai tanda bahwa wilayah tersebut merupakan milik Belanda. G. F. de Bruin Kops, salah satu yang ikut dalam pelayaran itu melaporkan bahwa para awak kapal telah disambut dengan baik, dan alam Teluk Doreh indah dan permai. Orang-orang Belanda itu tidak mengetahui pengalaman penghuni benteng Coronation kira-kira 50 tahun sebelumnya.

Laporan de Bruin Kops mengenai Teluk Doreh yang bernada memuji inilah yang menyebabkan Heldring dan Gossner memilih Doreh sebagai pangkalan bagi para perintis zending Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler di Nieuw Guinea (Kamma, 1981: 86).

Pada awal 1850-an keinginan pemerintah Belanda untuk menegakkan kekuasaannya di Niuew Guinea semakin meningkat. Keinginan pemerintah Belanda itu seiring dengan meningkatnya perhatian orangorang Eropa lainnya atas wilayah itu. Kegagalan Fort du Bus telah menyadarkan pemerintah Belanda akan pentingnya suatu penelitian ilmiah sebelum pembukaan suatu pangkalan.

Selain itu, eksplorasi menjadi sarana untuk memperkuat hak Belanda atas bagian barat Nieuw Guinea. Ketika Ottow dan Geissler melakukan karya penginjilan di Manokwari, mereka dibantu pemerintah Belanda. Pemberian bantuan itu dimaksudkan untuk memberikan dasar yang kuat bagi penegakan hak milik Belanda di Nieuw Guinea. Para utusan zending itu juga terbukti mampu menunjukkan jasa-jasa pentingnya kepada pemerintah Belanda, misalnya pada 1857 mereka membantu tiga awak kapal Jerman yang kandas di wilayah itu (Mededeelingen, 1920: 137).

Orang-orang Eropa telah beberapa kali berkunjung ke Nieuw Guinea, namun penduduk setempat kurang merasakan manfaatnya. Berbeda halnya dengan kehadiran para utusan zending Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler pada 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam (Manokwari) yang membawa pencerahan bagi orang-orang Papua. Kontak utusan zending itu dengan penduduk setempat tidak selalu menyenangkan, tetapi mereka tetap tinggal di daerah itu untuk melaksanakan tugas penginjilan (Abineno, 1978-1979: 95).

Dalam melaksanakan karya penginjilan, para zending itu melakukan pengajaran dengan mendirikan sekolah supaya anak-anak belajar “3 m” yaitu membaca, menulis dan menghitung. Para zendeling menebus anak-anak yang diperbudak dan mendidiknya dengan harapan kelak mereka tumbuh menjadi kelompok inti jemaat Kristen yang membantu pekabaran Injil di wilayah itu (End-Weitjens, 1998: 122-3).

Para zendeling itu mengalami kesulitan dalam menjalankan karya penginjilannya. Mereka kesulitan untuk memerangi praktek-praktek adat seperti perang suku, saling membalas dendam, memiliki dan menjual budak dan praktek ilmu-ilmu gaib. Oleh karena itu, para zendeling itu memohon agar pemerintah Belanda menegakkan kekuasaannya di wilayah itu (Campo, 1992: 190).

Para zending itu meyakini bahwa penegakan hukum dan ketertiban hanya dapat dilaksanakan oleh suatu pemerintahan. Pemerintah Belanda berkeinginan untuk melakukan hubungan yang intensif dengan wilayah Nieuw Guinea.


...Simak juga: Data Fakta Sejarah Papua

Pada 1863 pemerintah Belanda mendirikan sebuah depot batu bara di Teluk Doreh dan pada 1864 suatu kesatuan serdadu Tidore ditempatkan di Teluk Doreh untuk memberikan perlindungan kepada para awak kapal. Namun, pasukan pendudukan itu lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada positif dan para utusan pemerintah Belanda merasa senang ketika para pasukan itu ditarik kembali ke Tidore (Mededeelingen, 1920: 137-8).

Permohonan kepada pemerintah Belanda untuk melakukan kunjungan setiap tahun ke Teluk Doreh berulangkali tidak mendapat respons yang baik. Perhatian pemerintah Belanda terhadap Nieuw Guinea meningkat seiring dengan penguasaan Jerman atas pantai timur laut Nieuw Guinea dan penguasaan Inggris atas pantai tenggara Nieuw Guinea pada 1884. Pembukaan pangkalan Jerman dan Inggris di Nieuw Guinea meningkatkan keinginan Belanda untuk menegakkan kekuasaannya di wilayah itu.

Berulangkali penduduk di Nieuw Guinea Belanda melakukan perompakan dan pengayauan ke wilayah koloni Inggris di wilayah itu. Oleh karena itu, pemerintah kolonial berencana untuk membuka dan menegakkan pemerintahannya di Nieuw Guinea Belanda pada 1898 (Mededeelingen, 1920: 138).

Note: Sebagian besar artikel ini dikumpulkan acak dari beberapa buku.


Copyright ©PapuaWeb | Paschallist Blog "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar