Rabu, 14 Februari 2018

Apa yang akan Terjadi pada KTT MSG di Port Moresby?

Buletinnusa
 Dua pejabat ULMWP, Octovianus Mote (kiri) dan Rex Rumakiek (kanan) saat menghadiri salah satu pertemuan utama dalam KTT MSG 2018 di Port Moresby, Papua Nugini.
Port Vila -- Terakhir kali para pemimpin Melanesia Spearhead Group (MSG) berkumpul terjadi pada tahun 2016 pada pertemuan puncak khusus bagi para pemimpin negara anggota yang diadakan di Honiara. Sejumlah isu utama tidak terselesaikan setelah pertemuan tersebut, terutama mengenai apakah mereka akan menyetujui perubahan selanjutnya dari Perjanjian Perdagangan MSG, dan siapa saja yang dapat memenuhi syarat sebagai anggota kelompok regional ini.


Mengingat kedua isu tersebut belum dibahas, kita menduga masalah keanggotaan MSG akan mengambil sebagian besar diskusi politik dan diplomatik kelompok ini lagi minggu ini ketika para pemimpinnya berkumpul pada hari Rabu untuk pertemuan puncak keduanya di Port Moresby. Diskusi tersebut akan membahas tentang bagaimana kelompok tersebut menangani United Liberation Movement for West Papua (Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat; ULMWP), dan apakah gerakan ini dapat diterima menjadi anggota penuh MSG.


ULMWP saat ini memegang status pengamat dalam grup tersebut. Dari lima Anggota Penuh MSG (Fiji, PNG, Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste, atau FLNKS), ULMWP telah menerima dukungan yang tak tergoyahkan dari Kepulauan Solomon, Vanuatu, dan FLNKS.

Ketidakmampuan MSG untuk mencapai konsensus keanggotaan Papua Barat muncul akibat gelagat ambivalensi dan pengelakkan yang ditunjukkan oleh PNG dan Fiji, disinyalir mencerminkan pengaruh dari Indonesia kepada kedua negara ini. Kekuatan Indonesia untuk mempengaruhi MSG dan menggagalkan ambisi masyarakat Papua Barat terus meningkat sejak ia menjadi anggota asosiasi kelompok ini pada tahun 2015.


ULMWP optimis bahwa permohonan keanggotaannya akan diterima oleh pemimpin MSG saat pertemuan tahun ini. Pergerakan tersebut menyatakan bahwa mereka telah menuntaskan  semua masalah yang diajukan oleh Perdana Menteri PNG Peter O'Neill pada tahun 2015, termasuk didalamnya sebuah ketentuan bahwa ULMWP - yang pada waktu itu dikenal sebagai West Papua National Coalition for Liberation (Koalisi Nasional untuk Pembebasan Papua Barat; WPNCL) - harus berupaya untuk menyatukan semua kelompok pro-kemerdekaan Papua Barat, dan bahwa gerakan tersebut harus berkonsultasi dengan Indonesia mengenai keanggotaan MSG.


Sejak itu organisasi tersebut telah mengalami periode integrasi, restrukturisasi, dan profesionalisasi yang signifikan. Terbukti dari perombakkan ini adalah perubahan kepemimpinan baru-baru ini, dimana Benny Wenda mengambil alih peran sebagai Ketua pada tahun 2017.


Pemerintah Vanuatu juga telah menyumbangkan sebuah gedung perkantoran kepada ULMWP. Vanuatu memberikan kantor secara fisik di jantung Melanesia, dan pada dasarnya menempatkan kantor ULMWP berdampingan dengan MSG, yang sekretariatnya juga berada di Port Vila. Wenda diharapkan akan menghadiri pertemuan puncak pemimpin di Port Moresby, atas undangan PM O'Neill. Pemerintah Vanuatu telah mengisyaratkan bahwa mereka ingin menyertakan Octovianus Mote, seorang tokoh senior lainnya di ULMWP, sebagai bagian dari delegasi resminya.


Jauh lebih mendasar tentang keperluan mereka, KTT Pemimpin MSG 2018 harus membahas tantangan yang terus berlanjut terkait dengan keadaan finansial kelompok tersebut. KTT ini akan mencatat pengalihan kursi ketua dari Kepulauan Solomon ke Papua Nugini, sebuah prosedur yang seharusnya telah dilakukan pada pertengahan tahun lalu namun tertunda karena pemilihan umum di PNG. Tidak ada pertemuan pemimpin MSG pada tahun 2017.


Banyak perencanaan strategis untuk MSG dan sekretariatnya telah dirampungkan. Ini termasuk sejumlah dokumen yang membahas tentang restrukturisasi sekretariatnya dan kajian remunerasi.


Namun, semua perencanaan ini memicu pertanyaan tentang kemauan politik setiap negara. Salah satu masalah yang sudah lama bersarang adalah seputar ketidakmampuan atau keengganan anggota-anggota negara berdaulat untuk membayar bagian pendanaan yang harus mereka biayai  tepat waktu. Fiji, PNG, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu semuanya sedang menghadapi kendala fiskal.

Namun masalah sebenarnya adalah politik. Jika organisasi tersebut macet total kar
ena kebuntuan akibat masalah sepele seperti masalah keanggotaan, sulit bagi para pemimpin untuk menunjukkan, baik kepada pemerintah negara mereka serta rakyat yang telah memilih mereka, bahwa mendukung MSG adalah suatu pendayagunaan yang baik dari sumber daya berharga yang sudah cukup terbatas bahkan sekarang.


Tentu saja, Indonesia dapat menawarkan untuk sekali lagi berpartisipasi atas biaya operasional MSG, yang merupakan jumlah kecil bagi Indonesia secara finansial. Tapi sensitivitas politik di sekitar opsi itu membuat opsi semakin tidak mungkin.


Beberapa tahun terakhir kita telah menyaksikan transformasi MSG dari masa renaisans dimana pemikiran baru merembak dari kegelapan menjadi salah satu kepasifan yang membuat frustrasi. Situasinya sedemikian rupa sehingga beberapa tahun yang lalu saya menyarankan Simpul Gordian sebagai logo yang sesuai untuk kelompok itu akibat kedekatannya dengan legenda tersebut. Ada sejumlah kesulitan di mana MSG menemukan dirinya sendiri, dan ada beberapa upaya untuk meluruskan semua kesulitan tersebut. Salah satu ujian untuk pertemuan puncak  itu adalah apakah simpul itu akan semakin mengencangkan atau akhirnya mulai perlahan-lahan teruntai.


*Ditulis oleh Tess Newton Cain, seorang penulis artikel dan konsultan senior soal isu-isu Pasifik dari TNC Pacific Consulting


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar