Minggu, 31 Mei 2020
Sabtu, 30 Mei 2020
Jumat, 29 Mei 2020
Bazoka Logo dan 17 Orang Lainnya Terinfeksi COVID-19 di Polresta Jayapura
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
JAYAPURA | Tahanan Politik (Tapol) Papua, Kepala Biro Politik ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) Bazoka Logo mengungkap ada 18 orang tahanan Polres Jayapura sedang terancam Covid-19, termasuk Ibu hamil.
"Kami 18 orang tahanan Polresta Jayapura termasuk 2 orang ibu hamil telah dipindahkan ke Polsek Abepura” — Hasil pemeriksaan medis, saya Bazoka Logo bersama 17 orang tahanan lainnya terinfeksi COVID-19," tulis Bazoka Logo melalui akun resminya @BAZOKA LOGO, Jumat (29/05/2020).
Menurutnya, sudah berulang kali kami sampaikan bahwa, kondisi dalam tahanan sangat kritis.
"Kami dalam ruangan yang berukuran kecil, di sana sirkulasi udara sangat tidak sehat, tidak mendapatkan makanan yang baik (bergizi) yang sangat berdampak pada rapuhnya kekebalan tubuh kami" ujarnya.
Total sekitar 91 orang lebih tahanan Polresta Jayapura tersebut, “terindikasi kuat” semua (tahanan Polresta Jayapura) terinfeksi COVID-19.
Pegiat hak asasi manusia asal Indonesia, Veronica Koman melalui akun Facebooknya mengatakan "Enggan bebaskan tahanan politik, akhirnya Bazoka Logo positif terinfeksi Covid-19 di dalam tahanan Polres Jayapura"
Bazoka Logo bersama 17 tahanan lainnya yang terinfeksi bukannya dipindah ke rumah sakit untuk perawatan, malah hanya dipindah ke Polsek Abe.
"Rutan Polres Jayapura adalah cluster Covid-19 terbaru di Papua" tulis Veronica.
Posted by: Admin
Copyright ©Bazoka Logo (FB) "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
FOTO: Kepala Biro Politik ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) Bazoka Logo dalam penjara di Jayapura 2019 |
JAYAPURA | Tahanan Politik (Tapol) Papua, Kepala Biro Politik ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) Bazoka Logo mengungkap ada 18 orang tahanan Polres Jayapura sedang terancam Covid-19, termasuk Ibu hamil.
"Kami 18 orang tahanan Polresta Jayapura termasuk 2 orang ibu hamil telah dipindahkan ke Polsek Abepura” — Hasil pemeriksaan medis, saya Bazoka Logo bersama 17 orang tahanan lainnya terinfeksi COVID-19," tulis Bazoka Logo melalui akun resminya @BAZOKA LOGO, Jumat (29/05/2020).
Menurutnya, sudah berulang kali kami sampaikan bahwa, kondisi dalam tahanan sangat kritis.
"Kami dalam ruangan yang berukuran kecil, di sana sirkulasi udara sangat tidak sehat, tidak mendapatkan makanan yang baik (bergizi) yang sangat berdampak pada rapuhnya kekebalan tubuh kami" ujarnya.
Total sekitar 91 orang lebih tahanan Polresta Jayapura tersebut, “terindikasi kuat” semua (tahanan Polresta Jayapura) terinfeksi COVID-19.
Pegiat hak asasi manusia asal Indonesia, Veronica Koman melalui akun Facebooknya mengatakan "Enggan bebaskan tahanan politik, akhirnya Bazoka Logo positif terinfeksi Covid-19 di dalam tahanan Polres Jayapura"
Bazoka Logo bersama 17 tahanan lainnya yang terinfeksi bukannya dipindah ke rumah sakit untuk perawatan, malah hanya dipindah ke Polsek Abe.
"Rutan Polres Jayapura adalah cluster Covid-19 terbaru di Papua" tulis Veronica.
Posted by: Admin
Copyright ©Bazoka Logo (FB) "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
TNPB Menyatakan Menolak Agenda Dialog yang Didorong Jefry Pagawak dan JDP
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
SERUI | Panglima Daerah (Pangdam) Wilayah II Saireri, Sefnat Merani melalui Komandonya Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) menyatakan, diri bersama seluruh Kodam di 7 Wilayah Adat Papua menyatakan, tegas menolak agenda dialog yang didorong oleh Jefry Pagawak.cs dan kelompok Jaringan Damai Papua (JDP).
Hal itu ditegaskan dalam moment memperingati 57 Tahun aneksasi West Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1 Mei 2020.
Pernyataan sikap dikeluarkan Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) sekaligus juga seruan umum kepada semua militer West Papua di seluruh rimbah raya Papua untuk memperkuat persatuan militer yang sudah terjadi 1 tahun lalu melalui Kongres Luar Biasa (KLB) ke I, 28 April – 1 Mei 2019 di rumbah New Guinea.
Pernyataan ini juga dikeluarkan bertepatan dengan genapnya 1 tahun deklarasi persatuan Tentara Nasional Papua Barat (TNPB), Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB/TPN-OPM) yang telah menyatakan Bersatu dalam “West Papua Army” sebagai tentara negara West Papua. (berikut isi pernyataan sikapnya)
Saireri 27 April 2020
Pangdam Wilayah II Saireri - West Papua
**ttd **
Tn. Sefnat Merani
Posted by: Admin
Copyright ©Papua Military "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
SERUI | Panglima Daerah (Pangdam) Wilayah II Saireri, Sefnat Merani melalui Komandonya Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) menyatakan, diri bersama seluruh Kodam di 7 Wilayah Adat Papua menyatakan, tegas menolak agenda dialog yang didorong oleh Jefry Pagawak.cs dan kelompok Jaringan Damai Papua (JDP).
Hal itu ditegaskan dalam moment memperingati 57 Tahun aneksasi West Papua ke dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 1 Mei 2020.
Pernyataan sikap dikeluarkan Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) sekaligus juga seruan umum kepada semua militer West Papua di seluruh rimbah raya Papua untuk memperkuat persatuan militer yang sudah terjadi 1 tahun lalu melalui Kongres Luar Biasa (KLB) ke I, 28 April – 1 Mei 2019 di rumbah New Guinea.
Pernyataan ini juga dikeluarkan bertepatan dengan genapnya 1 tahun deklarasi persatuan Tentara Nasional Papua Barat (TNPB), Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TNPB/TPN-OPM) yang telah menyatakan Bersatu dalam “West Papua Army” sebagai tentara negara West Papua. (berikut isi pernyataan sikapnya)
Pernyataan Sikap
Saya atas nama Pangdam Wilayah II Saireri menghimbau kepada: Semua Komponen Perjuangan di rimbah raya Papua:- Segerah Bersatu dibawa West Papua Army;
- Menolak dengan tegas komponen perjuangan yang tidak berafiliasi di bawa payung ULMWP;
- Menolak dengan tegas komponen perjuangan versi Jeffrey Pagawak alias Jefry Bomanak dan kawan-kawannya di Jaringan Damai Papua (JDP);
- Segerah mengakui ULMWP Sebagai wadah koordinatif, Tuan Benny Wenda sebagai Presiden bersama Tuan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri dalam NRFPB;
- Mendukung penuh keanggotaan ULMWP di dalam MSG sebagai keanggotaan penuh;
- Saya a.n Pangdam Wilayah II Saireri Tuan Sefnat Merani beserta staf dan seluruh prajurit mencuapkan selamat dan sukses atas terpilihnya Perdana Menteri Vanuatu yang baru <Tuan Bob Loughman.
Saireri 27 April 2020
Pangdam Wilayah II Saireri - West Papua
**ttd **
Tn. Sefnat Merani
Posted by: Admin
Copyright ©Papua Military "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Kamis, 28 Mei 2020
Rabu, 27 Mei 2020
Selasa, 26 Mei 2020
Senin, 25 Mei 2020
Minggu, 24 Mei 2020
Buchtar Tabuni: Serahkan Hak Politik Rakyat Papua Kepada ULMWP
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Ketua II Legislatif ULMWP, Mr. Buchtar Tabuni. Saat ini Ia sedang menjalani hukuman di Kalimantan atas tuduhan aksi makar di Papua, Agustus - September 2019. |
Jayapura, – Ketua Komite Legislatif United Liberation Movement For West Papua atau ULMWP, Buchtar Tabuni meminta Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua segera menyerahkan mandat urusan politik kepada ULMWP. ULMWP sebagai wadah pemersatu rakyat Papua patut menerima mandat politik untuk memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri.
Buchtar Tabuni menyatakan berbagai elemen perjuangan kemerdekaan Papua telah tergabung di dalam ULMWP. “ULMWP sebagai wadah pemersatu bangsa Papua akan berunding dengan negara Indonesia, dengan dimediasi langsung oleh Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB, untuk mendapatkan Hak Penentuan Nasib Sendiri,” kata Tabuni di Jayapura, Jumat (23/8/2019).
Buchtar menyebut, persekusi dan rasisme terhadap para mahasiswa Papua di Jawa Timur telah memantik reaksi dari orang Papua, dan membuktikan orang Papua telah bersatu. “Masyarakat menunjukkan bahwa setelah Otonomi Khusus bagi Papua [gagal, maka solusi bagi Papua] adalah pengakuan sebagai bangsa yang berdaulat. Serahkan mandat politik rakyat bangsa Papua sepenuhnya kepada ULMWP untuk berunding dengan Pemerintah Indonesia,” kata Tabuni.
Sebelumnya Ketua Eksekutif ULMWP/Pemimpin Politik Bangsa Papua Benny Wenda menyatakan keprihatinannya atas serangkaian kasus persekusi, intimidasi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di berbagai kota di Indonesia. “Saya selaku Ketua Eksekutif dan pemimpian Bangsa Papua menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas situasi mahasiswa Papua di Indonesia khususnya di Semarang, Malang, Surabaya, Ambon, Ternate, Sulu-Maluku, kemudian di West Papua di Kota dan Kabupaten Jayapura,” kata Wenda.
Foto: Buchtar Tabuni (sebelah kanan). Ia sedang memimpin Sidang Parlemen Nasional West Papua (Nieuw Guinea Raad) di West Papua. |
Wenda menyatakan Pemerintah Indonesia berupaya membungkam berbagai ekspresi politik orang Papua terkait Perjanjian New York 1962, Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969, maupun dukungan rakyat Papua bagi pertemuan para pemimpin Negara-negara Forum Kepulauan Pasifik yang bersidang di Tuvalu pada 13-16 Agustus 2019. “Pemerintah Indonesia telah membubarkan sejumlah aksi, menangkap 227 peserta aksi. Sejumlah 39 orang Papua mengalami pemukulan dan pelemparan,” kata Wenda.
Wenda menyebut persekusi dan rasisme yang dialami mahasiswa Papua di Jawa Timur dan Semarang merupakan gambaran kecil dari 56 tahun praktik pemerintahan Pemerintah Indonesia di Papua. Ia menyebut, persekusi, intimidasi, diskriminasi, dan rasisme juga pernnah dialami rakyat dan pemimpin Indonesia pada masa penjajahan Belanda.
“Reaksi dan aksi rakyat bangsa Papua di beberapa tempat di West Papua-di Manokwari, Kota Sorong, Sorong Selatan, Jayapura, Kaimana, Bintuni, Serui, Biak, Merauke, Wamena, Nabire dan beberapa tempat lainnya merupakan reaksi spontanitas mereka yang membela harga diri dan martabat orang Papua sebagai manusia ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Indonesia tidak boleh meresponnya dengan kekerasan,” kata Wenda.(*)
Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Jika ada OAP yang Lawan ULMWP, Dia Turut “Perpanjang Penderitaan Bangsa Papua”
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
JAYAPURA | Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGGBP), Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA pada hari Jumat, (22/05/2020) melalui sebuah penyataan mengatakan, jika ada Masyarakat Pribumi Papua yang melawan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), mereka .
“Kalau ada Orang Asli Papua (OAP) yang lawan ULMWP itu manusia paling dungu dan bodoh serta matanya buta di planet ini” tegas Gembala Dr. Yoman.
Baca juga: ULMWP Didukung dan Berdiri Bersama 79 Negara Serta WCC
Posted by: Admin
Copyright ©Pdt. Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Presiden PGGBP, Gembala Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA |
JAYAPURA | Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua (PGGBP), Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA pada hari Jumat, (22/05/2020) melalui sebuah penyataan mengatakan, jika ada Masyarakat Pribumi Papua yang melawan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), mereka .
“Kalau ada Orang Asli Papua (OAP) yang lawan ULMWP itu manusia paling dungu dan bodoh serta matanya buta di planet ini” tegas Gembala Dr. Yoman.
Ia mengatakan, “Orang itu turut memperpanjang penderitaan Orang Asli Papua. Dia sudah menjadi musuh bersama bangsa West Papua. Karena, sikap orang itu secara tidak langsung memperkuat posisi kolonialisme Indonesia di West Papua” kata Gembala.
Baca ini: ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
Dalam pernyataan itu, dengan tegas Gembala ini mengatakan, “INGAT! ULMWP adalah rumah politik resmi milik rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke. Mari, kita dukung ULMWP” tandasnya.
Dalam pernyataan itu, dengan tegas Gembala ini mengatakan, “INGAT! ULMWP adalah rumah politik resmi milik rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Merauke. Mari, kita dukung ULMWP” tandasnya.
Posted by: Admin
Copyright ©Pdt. Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Gembala Dr. Yoman: Melawan ULMWP Berarti “Berdansa di atas Tulang Belulang Bangsa Papua”
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Presiden Persekutuan Gereja-Gereja Baptis West Papua, Dr. Socratez Yoman saat membuka Kongres PGGBP di dihalaman terbuka Gereja Baptis Yomaima, Wamena Papua, Senin, (11/12/2017). (Foto: Nuken) |
JAYAPURA | Kepada rakyat West Papua [Orang asli Papua], Presiden PGGBP atau Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Dr. Socratez Sofyan Yoman, MA pada hari Sebtu, (23/05/2020) melalui sebuah penyataan mengatakan, Masyarakat Pribumi Papua yang melawan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) berarti mereka melawan amanah bangsa Papua.
Hal tersebut, Gembala Pdt. Yoman menguraikannya menjadi enam nomor. Berikut pernyataanya:
Suara Kenabian / Profetis
Bagi Mereka yang melawan ULMWP berarti:- Mereka melawan rakyat dan bangsa West Papua karena ULMWP milik rakyat dan bangsa West Papua dari Sorong-Samarai.
- Mereka melawan komunitas internasional yang sudah mengakui, menerima dan mendukung ULMWP.
- Mereka melawan para tokoh OPM, TPNPB-KNPB dan AMP dan organ perjuangan lain yang telah gugur di tangan kolonial Indonesia dan juga dipanggil TUHAN karena usia.
- Mereka melawan Dewan Gereja Pasifik, Para Uskup Keuskupan Pasifik, Dewan Gereja Dunia (WCC) dan Dewan Gereja Papua (DGP) yang sudah menyatakan perjuangan damai melalui ULMWP.
- Mereka memperkuat posisi kolonial Indonesia di West Papua.
- Mereka sedang menari-nari dan berdansa-dansa di atas tulang-belulang umat TUHAN yang berserakkan di wajah TANAH leluhur mereka. Ada air mata umat TUHAN berlinangan dan terurai yang belum pernah berhenti yang mengalir di atas TANAH milik mereka sendiri. Ada darah umat TUHAN terus mengalir dan menghiasi TANAH leluhur Orang Asli Papua.
Ita Wakhu Puron, Sabtu, 23 Mei 2020
Oleh Gembala Dr. Socratez S. Yoman, MA
Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
Pendiri dan Anggota Dewan Gereja Papua (DGP).
Baca juga:
Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"- ULMWP Didukung dan Berdiri Bersama 79 Negara Serta WCC
- Pdt. Socratez Yoman: Tuhan Kutuk Orang-orang yang Melawan ULMWP
Posted by: Admin
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Sabtu, 23 Mei 2020
Baru Sepi Pembeli, UMKM Batik Blora Bertahan di Tengah Pandemi Covid-19
Buletinnusa -
Perajin Batik Tulis Blora bertahan di tengah hantaman wabah virus Corona, meskipun pembeli mulai jarang. Proses produksi tetap berjalanan dengan protokol kesehatan. (foto: dok-ib) |
BLORA. Sektor Usaha Mikro Kecil Menangah (UMKM) di Kabupaten Blora nampaknya ikut terdampak wabah virus Corona atau Covid-19. Para pengusaha UMKM mulai merasakan penurunan daya beli masyarakat, salah satunya UMKM kerajinan batik.
Seperti para perajin batik di Kelurahan Beran, mereka mengaku selama pandemi wabah Corona ini mulai sepi pengunjung (konsumen) yang datang.
Seperti para perajin batik di Kelurahan Beran, mereka mengaku selama pandemi wabah Corona ini mulai sepi pengunjung (konsumen) yang datang.
“Covid-19 ini juga berpengaruh pada sektor kerajinan batik seperti kami. Kini sudah jarang ada pembeli datang ke rumah produksi karena takut dengan wabah, mungkin juga karena social distancing. Meskipun begitu, kami tetap bertahan, berjualan secara online lewat media sosial. Batik karya kami, difoto dan diunggah di media sosial. Sehingga pembeli tidak perlu datang. Hal ini kita lakukan agar ekonomi tetap jalan,” ucap Yanik Mariana, salah satu perajin batik di Kelurahan Beran, kemarin.
Pihaknya juga terus melakukan produksi batik agar tidak sampai memberhentikan karyawannya. Produksi batik dilakukan dengan mematuhi protokol kesehatan yang disampaikan oleh pemerintah.
“Kami tetap produksi. Karyawan tetap bekerja dengan memakai masker, jaga jarak dan kita beri fasilitas cuci tangan pakai sabun. Karena saat ini sedang bulan Ramadhan, maka jam kerjanya agak dikurangi. Alhamdulillah masih bisa jalan walaupun biasanya bisa dapat 7-8 lembar, sekarang sehari hanya bisa dapat 3-5 lembar saja,” lanjut Yanik Mariana.
“Kami tetap produksi. Karyawan tetap bekerja dengan memakai masker, jaga jarak dan kita beri fasilitas cuci tangan pakai sabun. Karena saat ini sedang bulan Ramadhan, maka jam kerjanya agak dikurangi. Alhamdulillah masih bisa jalan walaupun biasanya bisa dapat 7-8 lembar, sekarang sehari hanya bisa dapat 3-5 lembar saja,” lanjut Yanik Mariana.
Menurutnya saat ini karyawan mengerjakan beberapa batik pesanan seragam kantor terlebih dahulu yang sudah jelas pembelinya. Sedangkan pembuatan kain batik untuk stok mulai dikurangi.
“Wabah Covid-19 ini juga berdampak pada pengiriman pasokan bahan baku pembuatan batik, seperti kain, malam, dan pewarna yang kebanyakan kami beli dari Solo dan Pekalongan. Kini agak susah karena ada pembatasan pembatasan,” tambahnya.
Dirinya percaya bahwa wabah ini akan segera berakhir dan semuanya bisa kembali berjalan seperti normal sedia kala, dan berharap UMKM lain juga bisa bertahan terus berproduksi seperti yang dilakukannya.
“Kami berharap UMKM lainnya bisa seperti kami untuk tetap bertahan, tetap bekerja, tetap berkarya. Kami optimis wabah ini akan cepat berlalu jika kita semuanya bisa bersatu, dan kompak mendukung arahan pemerintah,” pungkas pengusaha batik Nimas Barokah ini.
“Wabah Covid-19 ini juga berdampak pada pengiriman pasokan bahan baku pembuatan batik, seperti kain, malam, dan pewarna yang kebanyakan kami beli dari Solo dan Pekalongan. Kini agak susah karena ada pembatasan pembatasan,” tambahnya.
Dirinya percaya bahwa wabah ini akan segera berakhir dan semuanya bisa kembali berjalan seperti normal sedia kala, dan berharap UMKM lain juga bisa bertahan terus berproduksi seperti yang dilakukannya.
“Kami berharap UMKM lainnya bisa seperti kami untuk tetap bertahan, tetap bekerja, tetap berkarya. Kami optimis wabah ini akan cepat berlalu jika kita semuanya bisa bersatu, dan kompak mendukung arahan pemerintah,” pungkas pengusaha batik Nimas Barokah ini.
Terpisah, Kepala Dinas Perdagangan Koperasi dan UKM, Kabupaten Blora, Sarmidi, SP, MM, mengapresiasi para perajin batik yang tetap berusaha bertahan di tengah wabah Covid-19. Pihaknya memang terus memberikan dukungan agar sektor UMKM bisa terus berjalan.
“Khusus untuk batik, kami menghimbau agar perkantoran, dinas, instansi tetap bisa memberikan orderan seragam kepada para perajin lokal Blora. Sehingga sektor UMKM ini bisa tetap jalan,” ungkapnya. (dmz-infoblora)
“Khusus untuk batik, kami menghimbau agar perkantoran, dinas, instansi tetap bisa memberikan orderan seragam kepada para perajin lokal Blora. Sehingga sektor UMKM ini bisa tetap jalan,” ungkapnya. (dmz-infoblora)
Jumat, 22 Mei 2020
Kamis, 21 Mei 2020
Rabu, 20 Mei 2020
ULMWP Didukung dan Berdiri Bersama 79 Negara Serta WCC
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Karena United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sudah didukung dan berhasil berdiri bersama 79 Negara berdaulat.
Jadi, siapa bilang United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang didukung WPNCL, FNFPB dan PNWPB gagal dalam agenda perjuangan untuk kemerdekaan rakyat dan bangsa West Papua?
Yang menyatakan ULMWP gagal ialah Badan Intelijen Negara Indonesia (BIN) yang berusaha menghibur diri dan menipu seluruh rakyat Indonesia atas kegagalan diplomasi di Negara-Negara Pasifik (PIF) dan juga di Negara-Negara Anggota Karabia, Afrika dan Pasifik (ACP).
Pada 13-16 Agustus di Funafuti ibukota negara Tuvalu, Negara-Negara Anggota Pasifik Islands Forum (PIF) menyatakan komunike bersama mendukung perjuangan rakyat dan bangsa West Papua.
Pada 7-10 Desember 2019 di Nairobi, Negara-Begara anggota Karabia, Afrika dan Pasifik (ACP) menyatakan komunike bersama mendukung perjuangan rakyat dan bangsa West Papua.
ULMWP juga sebagai observer (peninjau) dalam Kelompok Negara-Negara Melanesia (MSG). Dalam forum resmi MSG di sini, ULMWP duduk setara dengan Indonesia dengan posisi Asociated Member.
Pelanggaran berat HAM yang berlatar belakang RASISME yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia yang sudah berlangsung selama 58 tahun di West Papua mendorong dan menginspirasi Solidaritas Bangsa-Bangsa Kulit Hitam di seluruh dunia.
Negara-Negara Melanesia, Pasifik, Karabia dan Afrika tidak mau melihat saudara-saudranya yang berkulit hitam dan berambut keriting yang ada di West Papua tidak dimusnahkan oleh penguasa kolonial Indonesia yang berwatak rasialis kejam yang berkultur militer.
Sesungguhnya penguasa Indonesia berada dalam kepanikan besar. Karena selama ini Indonesia beranggapan bahwa rakyat dan bangsa West Papua tidak mampu untuk meyakinkan komunitas global tentang sejarah pelanggaran berat HAM di West Papua yang menyebabkan terbunuhnya ratusan bahkan rubuan orang dan juga dipenjarakan sebagai tahanan politik.
Seperti contoh terbaru, Marius Betera warga Distrik Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua yang disiksa anggota polisi sehingga meninggal dunia di klinik perkebunanan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma pada Sabtu (16/5/2020).
Penembakan aparat keamanan Indonesia terhadap Melki Marek pada 10 April 2020 dan penembakan Armando dan Roni Wandik pada 13 April 2020.
Paniai berdarah pada 8 Desember 2014 aparat TNI menembak 4 siswa, yaitu: Simon Degey, Apinus Gobay, Alfius You dan Yulian Yeimo. Sampai saat ini janji presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo untuk menyesaikan kasus kejahatan negara itu, tetapi sudah 6 tahun janji itu tinggal janji.
Adapun nama-Nama tahanan politik pemerintah Indonesia. tanahan politik Jayapura dan tahanan Reskrim Polresta Jayapura Kota sebagai berikut:
1. Di Jayapura 1 orang,
Keberhasilan ULMWP mendapat dukungan dari 79 Negera berdaulat merupakan hasil perjuangan semua orang. Ini bukan hasil dari Ketua ULMWP Benny Wenda dan kawan-kawan, tetapi hasil dari para pejuang yang sudah lama berjuang bertahun-tahun, dan para pejuang itu sudah banyak pergi selamanya karena usia dan dan juga karena ditembak mati dari aparat keamanan Indonesia.
Untuk Benny Wenda, Ketua ULMWP patut mendapat apresiasi tinggi dari seluruh pejuang ULMWP yang didukung oleh TPNPB, OPM, KNPB, WPA dan seluruh rakyat West Papua, bahwa dengan style yang low profil dan dengan rendah hati meyakinkan para pemimpin Dewan Gereja Papua untuk merekomendasikan Dewan Gereja Dunia (WWC) untuk mendoakan dan mendukung ULMWP dalam misi kemanusiaan, keadilan, martabat manusia dan kedamaian serta penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa West Papua.
Hasil komunikasi Ketua ULMWP itu, Dewan Gereja Papua (GKI, Kingmi, GIDI dan Baptis) dengan resmi pada 17 Februari 2019 merekomendasikan World Council Chuches (WWC)/ Dewan Gereja Dunia untuk memainkan peran suara kenabian untuk mengakhiri penderitaan panjang warga gereja dan seluruh rakyat di Tanah West Papua.
Dalam artikel saya pertanyakan kepada orang-orang yang mengatakan ULMWP gagal.
Saran melalui artikel ini, untuk Pak Benny Wenda dengan pengurus ULMWP, Anda perlu sadar bahwa ULMWP sedang memikul penderitaan panjang rakyat, tulang belulang, tetesan darah dan cucuran air mata umat Tuhan yang sudah berlangsung lama dibawah pendudukan dan penjajahan Indonesia selama lebih dari lima dekade.
Saya mendapat informasi dari orang terpercaya, bahwa pemerintah Indonesia melalui misi tetap PBB di New York dan Jenewa, Swiss berjuang melobi Peter Prove misi Dewan Gereja Dunia (WWC) untuk ULMWP supaya tidak bersuara tentang penderitaan rakyat West Papua. Tetapi, Peter mengatakan: "Saya baru kembali dari West Papua. Saya berbicara fakta penderitaan umat yang saya lihat dari lapangan."
Baca artikel berikut:
Akhir dari artikel ini, saya mengutip penyataan tegas dan keras dari Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Dewan Gereja Papua dan juga Ketua Sinode Gereja Kemah Injil di Tanah Papua pada saat pertemuan Tahunan yang diselenggarakan Federasi Kontras pada 26 September 2019 di Jakarta.
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Penderitaan rakyat Papua harus segera diakhiri ditengahi masyarakat internasional, guna perdamaian abadi di West Papua (Kgr) - 15 Desember 2019 |
“ULMWP Didukung dan Berdiri Bersama 79 Negara Berdaulat dan Dewan Gereja Dunia (WCC)”
Sudah waktunya Indonesia duduk setara dengan ULMWP untuk perundingan damai dan setara untuk penyelesaian status politik West Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral dan di tempat netral.Karena United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sudah didukung dan berhasil berdiri bersama 79 Negara berdaulat.
Jadi, siapa bilang United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang didukung WPNCL, FNFPB dan PNWPB gagal dalam agenda perjuangan untuk kemerdekaan rakyat dan bangsa West Papua?
Yang menyatakan ULMWP gagal ialah Badan Intelijen Negara Indonesia (BIN) yang berusaha menghibur diri dan menipu seluruh rakyat Indonesia atas kegagalan diplomasi di Negara-Negara Pasifik (PIF) dan juga di Negara-Negara Anggota Karabia, Afrika dan Pasifik (ACP).
Pada 13-16 Agustus di Funafuti ibukota negara Tuvalu, Negara-Negara Anggota Pasifik Islands Forum (PIF) menyatakan komunike bersama mendukung perjuangan rakyat dan bangsa West Papua.
Pada 7-10 Desember 2019 di Nairobi, Negara-Begara anggota Karabia, Afrika dan Pasifik (ACP) menyatakan komunike bersama mendukung perjuangan rakyat dan bangsa West Papua.
ULMWP juga sebagai observer (peninjau) dalam Kelompok Negara-Negara Melanesia (MSG). Dalam forum resmi MSG di sini, ULMWP duduk setara dengan Indonesia dengan posisi Asociated Member.
Pelanggaran berat HAM yang berlatar belakang RASISME yang dilakukan penguasa kolonial Indonesia yang sudah berlangsung selama 58 tahun di West Papua mendorong dan menginspirasi Solidaritas Bangsa-Bangsa Kulit Hitam di seluruh dunia.
Negara-Negara Melanesia, Pasifik, Karabia dan Afrika tidak mau melihat saudara-saudranya yang berkulit hitam dan berambut keriting yang ada di West Papua tidak dimusnahkan oleh penguasa kolonial Indonesia yang berwatak rasialis kejam yang berkultur militer.
Sesungguhnya penguasa Indonesia berada dalam kepanikan besar. Karena selama ini Indonesia beranggapan bahwa rakyat dan bangsa West Papua tidak mampu untuk meyakinkan komunitas global tentang sejarah pelanggaran berat HAM di West Papua yang menyebabkan terbunuhnya ratusan bahkan rubuan orang dan juga dipenjarakan sebagai tahanan politik.
Seperti contoh terbaru, Marius Betera warga Distrik Asiki, Kabupaten Boven Digoel, Papua yang disiksa anggota polisi sehingga meninggal dunia di klinik perkebunanan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma pada Sabtu (16/5/2020).
Penembakan aparat keamanan Indonesia terhadap Melki Marek pada 10 April 2020 dan penembakan Armando dan Roni Wandik pada 13 April 2020.
Paniai berdarah pada 8 Desember 2014 aparat TNI menembak 4 siswa, yaitu: Simon Degey, Apinus Gobay, Alfius You dan Yulian Yeimo. Sampai saat ini janji presiden Indonesia, Ir. Joko Widodo untuk menyesaikan kasus kejahatan negara itu, tetapi sudah 6 tahun janji itu tinggal janji.
Adapun nama-Nama tahanan politik pemerintah Indonesia. tanahan politik Jayapura dan tahanan Reskrim Polresta Jayapura Kota sebagai berikut:
1. Di Jayapura 1 orang,
- Bazoka Logo.
- Buchtar Tabuni
- Agus Kossay,
- Steven Itlay,
- Fery Kombo,
- Alexander Gobay,
- Hengki Hilapok,
- Irwanus Uropmabin.
- Arina Lokbere,
- Dano Tabuni,
- Surya Anta,
- Ambrosius Mulait
- Charles Kossay
- Issay Wenda
"...Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia....Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia." (hal. 255).
"...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal. 257).Indonesia tidak bisa menghindar dari realitas perkembangan dan kemajuan politik perjuangan ULMWP yang mendapat kepercayaan dan kehormatan serta dukungan dari Negara-Negara Merdeka. ULMWP bersama Negara-Negara pendukung sudah setara dengan Indonesia. Indonesia tidak bisa bersembunyi dibalik alasan kedaulatan negara. Indonesia harus mempertanggungjawabkan kekejaman, kekerasan dan pembantaian rakyat Papua yang dilakukan selama 58 tahun.
Keberhasilan ULMWP mendapat dukungan dari 79 Negera berdaulat merupakan hasil perjuangan semua orang. Ini bukan hasil dari Ketua ULMWP Benny Wenda dan kawan-kawan, tetapi hasil dari para pejuang yang sudah lama berjuang bertahun-tahun, dan para pejuang itu sudah banyak pergi selamanya karena usia dan dan juga karena ditembak mati dari aparat keamanan Indonesia.
Untuk Benny Wenda, Ketua ULMWP patut mendapat apresiasi tinggi dari seluruh pejuang ULMWP yang didukung oleh TPNPB, OPM, KNPB, WPA dan seluruh rakyat West Papua, bahwa dengan style yang low profil dan dengan rendah hati meyakinkan para pemimpin Dewan Gereja Papua untuk merekomendasikan Dewan Gereja Dunia (WWC) untuk mendoakan dan mendukung ULMWP dalam misi kemanusiaan, keadilan, martabat manusia dan kedamaian serta penentuan nasib sendiri rakyat dan bangsa West Papua.
Hasil komunikasi Ketua ULMWP itu, Dewan Gereja Papua (GKI, Kingmi, GIDI dan Baptis) dengan resmi pada 17 Februari 2019 merekomendasikan World Council Chuches (WWC)/ Dewan Gereja Dunia untuk memainkan peran suara kenabian untuk mengakhiri penderitaan panjang warga gereja dan seluruh rakyat di Tanah West Papua.
Dalam artikel saya pertanyakan kepada orang-orang yang mengatakan ULMWP gagal.
- Apakah 79 Negara merdeka dan berdaulat sudah menyatakan mendukung perjuangan rakyat dan bangsa West Papua melalui ULMWP itu disebut gagal?
- Apakah Ketua ULMWP, Benny Wenda melobi Dewan Gereja Papua dan meloloskan rekomendasi kepada Dewan Gereja Dunia untuk dukung ULMWP itu yang dimaksud gagal?
Saran melalui artikel ini, untuk Pak Benny Wenda dengan pengurus ULMWP, Anda perlu sadar bahwa ULMWP sedang memikul penderitaan panjang rakyat, tulang belulang, tetesan darah dan cucuran air mata umat Tuhan yang sudah berlangsung lama dibawah pendudukan dan penjajahan Indonesia selama lebih dari lima dekade.
Saya mendapat informasi dari orang terpercaya, bahwa pemerintah Indonesia melalui misi tetap PBB di New York dan Jenewa, Swiss berjuang melobi Peter Prove misi Dewan Gereja Dunia (WWC) untuk ULMWP supaya tidak bersuara tentang penderitaan rakyat West Papua. Tetapi, Peter mengatakan: "Saya baru kembali dari West Papua. Saya berbicara fakta penderitaan umat yang saya lihat dari lapangan."
Baca artikel berikut:
- ULMWP: Jawaban Penderitaan dan Sejarah Perjuangan Bangsa Papua
- Posisi ULMWP dan Indonesia Setara di Mata Internasional
Akhir dari artikel ini, saya mengutip penyataan tegas dan keras dari Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Dewan Gereja Papua dan juga Ketua Sinode Gereja Kemah Injil di Tanah Papua pada saat pertemuan Tahunan yang diselenggarakan Federasi Kontras pada 26 September 2019 di Jakarta.
"Kamu Jaringan Damai Papua (JDP) kenapa mau bawa masalah Papua ke dalam Negeri. Kita dengar presiden Jokowi sudah siap untuk berdialog dengan ULMWP yang sudah ada di tingkatDoa dan harapan penulis, gambaran ini mendapat perspektif yang benar tentang kemenangan dan kemajuan ULMWP.
internasional."
Ita Wakhu Purom, 18 Mei 2020
Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA, Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua
Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Selasa, 19 Mei 2020
Senin, 18 Mei 2020
Baru Update Covid-19, Bupati Minta Warga Waspada Kluster Pasar Beras Cepu
Buletinnusa -
Bupati Djoko Nugroho sampaikan update perkembangan Covid-19, meminta agar masyarakat waspada kluster baru di Pasar Beras Cepu. (foto: dok-ib) |
BLORA. Bupati Djoko Nugroho selaku Ketua Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 pada hari Senin (18/5/2020) menyampaikan update perkembangan persebaran virus Corona di Kabupaten Blora.
Bertempat di media center Posko GTPP Covid-19 Kabupaten Blora, Bupati didampingi Plt. Kepala Dinas Kesehatan, menyampaikan bahwa hingga hari ini jumlah kasus positif Covid-19 masih tetap 14 dengan rincian 3 meninggal dan 11 masih menjalani perawatan.
“Kita berharap segera ada yang sembuh. Justru yang harus diwaspadai adalah jumlah rapid-test reaktif yang jumlahnya mencapai 80 orang. Apalagi saat ini ada kluster baru, yakni kluster Pasar Beras Cepu. Kluster Temboro dan Kunden telah ditracking, namun kluster Pasar Beras Cepu ini yang perlu diwaspadai karena banyak pedagangnya dari Bojonegoro dan sudah ada 2 pedagang yang reaktif (positif) rapid-testnya,” ujar Bupati.
Bertempat di media center Posko GTPP Covid-19 Kabupaten Blora, Bupati didampingi Plt. Kepala Dinas Kesehatan, menyampaikan bahwa hingga hari ini jumlah kasus positif Covid-19 masih tetap 14 dengan rincian 3 meninggal dan 11 masih menjalani perawatan.
“Kita berharap segera ada yang sembuh. Justru yang harus diwaspadai adalah jumlah rapid-test reaktif yang jumlahnya mencapai 80 orang. Apalagi saat ini ada kluster baru, yakni kluster Pasar Beras Cepu. Kluster Temboro dan Kunden telah ditracking, namun kluster Pasar Beras Cepu ini yang perlu diwaspadai karena banyak pedagangnya dari Bojonegoro dan sudah ada 2 pedagang yang reaktif (positif) rapid-testnya,” ujar Bupati.
“Adapun PDP masih ada 13 yang diawasi, ODP ada 44 orang, dan OTG ada 184 orang. Tidak jauh beda dengan kondisi kemarin,” lanjut Bupati.
Terkait kluster Pasar Beras Cepu, Bupati meminta agar ada pembatasan jam operasional dan ketegasan protokol kesehatan selama aktifitas jual beli berlangsung.
“Memang sulit, kita tidak mungkin menutup pasar karena itu pusat kebutuhan masyarakat sehari-hari. Yang paling memungkinkan adalah kita batasi operasionalnya, semuanya wajib pakai masker baik penjual maupun pembeli. Jika pedagang atau pembeli tidak pakai masker, dilarang masuk pasar. Tolong Satpol PP dan petugas terkait bisa memperketat perjagaan di pasar ini. Tidak hanya Pasar Beras Cepu, saya harap seluruh Pasar di Kabupaten Blora juga diberlakukan seperti ini,” tegas Bupati.
“Memang sulit, kita tidak mungkin menutup pasar karena itu pusat kebutuhan masyarakat sehari-hari. Yang paling memungkinkan adalah kita batasi operasionalnya, semuanya wajib pakai masker baik penjual maupun pembeli. Jika pedagang atau pembeli tidak pakai masker, dilarang masuk pasar. Tolong Satpol PP dan petugas terkait bisa memperketat perjagaan di pasar ini. Tidak hanya Pasar Beras Cepu, saya harap seluruh Pasar di Kabupaten Blora juga diberlakukan seperti ini,” tegas Bupati.
Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Blora, Lilik Hernanto SKM, M.Kes membenarkan bahwa ada potensi penularan dan penyebaran virus di Pasar Beras Cepu yang ditandai dengan adanya beberapa pedagang positif rapid-test (terindikasi mengandung virus, meskipun belum tentu Covid-19). Sehingga perlu kewaspadaan.
“Setelah dilakukan rapid-test pada pedagang, ada dua pedagang yang menunjukkan hasil reaktif. Kedua pedagang ini semuanya warga luar Cepu, yakni satu dari Padangan dan satu dari Kasiman (Bojonegoro, Jatim). Kita serahkan langsung ke unit pelayanan kesehatan di Padangan dan Kasiman untuk dirawat,” ungkap Lilik Hernanto, SKM, M.Kes. (dms-infoblora)
“Setelah dilakukan rapid-test pada pedagang, ada dua pedagang yang menunjukkan hasil reaktif. Kedua pedagang ini semuanya warga luar Cepu, yakni satu dari Padangan dan satu dari Kasiman (Bojonegoro, Jatim). Kita serahkan langsung ke unit pelayanan kesehatan di Padangan dan Kasiman untuk dirawat,” ungkap Lilik Hernanto, SKM, M.Kes. (dms-infoblora)
Kamis, 14 Mei 2020
Pemimpin Kemerdekaan Papua, Benny Wenda Masuk dalam Daftar Tokoh Populer Dunia 2019
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Deretan tokoh populer yang ramai diperbincangkan selama 2019, ternyata selain nama-nama besar seperti Donald Trump, Jokowi, Xi Jinping, tokoh Papua Merdeka, Benny Wenda masuk dalam daftar di urutan ke-6.
Dalam daftar yang disusun berdasarkan tingkat pencarian paling tinggi dan keterbacaan paling banyak, dan posisi perempuan hanya diisi oleh Melania Trump dan Sri mulyani.
Berikut daftar lengkapnya:
Pada 2016, ia berhasil membungkam Hillary Clinton, rivalnya di Pemilihan Presiden. Saat itu, ia menumpang Partai Republik sebagai kendaraan politiknya. Sejak menjadi Presiden AS, namanya kian melambung. Bukan karena prestasi, tapi kontroversi yang kerap ia torehkan. Ia mashur sebagai pemimpin yang kerap menebar hoaks, menyerang orang secara frontal di Twitter, termasuk Greta Thunberg, Nancy Pelosi, hingga Ilhan Omar.
Di laman berita ini, Trump paling banyak dikaitkan dengan pemberitaan seputar perjanjian dagang AS-China, NAFTA, penegakan hukum imigrasi, pembatalan UU Layanan Kesehatan yang terjangkau, serta sikapnya yang anti-Islam.
Di 2019, ia terkenal dengan pemberitaan seputar ambisi pembangunan infrastruktur, wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, pelanggengan kekuasaan lewat dinasti politik, bagi-bagi kue sebagai strategi Jokowi merangkul semua kalangan termasuk oposisi. Ia juga dikenal sebagai Presiden yang melakukan pembiaran atas protes besar #ReformasiDikorupsi.
Di laman berita ini, Prabowo dikaitkan dengan isu seputar pertahanan negara, mulai dari kunjungannya ke negara tetangga membahas wacana pertukaran perwira militer, belanja alutsista, dan sebagainya.
5. VLADIMIR PUTIN
Mengutip Tirto.id, Vladimir Vladimirovich Putin adalah seorang politikus asal negeri Beruang Merah yang menjabat sebagai Presiden Rusia sejak 7 Mei 2012 hingga kini. Putin sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Rusia periode 2000-2008 serta pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia periode 1999-2000 dan 2008-2012.
Putin lahir pada 7 Oktober 1952 di St. Petersburg yang saat itu dikenal dengan nama Leningrad. Putin merupakan anak tunggal, karena kedua saudaranya meninggal ketika masih kecil. Ketika remaja ia dipanggil dengan sebutan Putka. Ayahnya, Vladimir Spiridonovich Putin adalah seorang karyawan lepas dari sebuah pabrik dan meninggal pada tahun 1999. Putin memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bahasa jerman yang cukup baik, serta kemampuan bela diri sambo (bela diri asal Rusia).
Putin selalu dikaitkan dengan pemberitaan seputar hubungan diplomatik dengan AS, kekacauan dengan musuh abadinya Ukraina setelah mencaplok Crimea, serta berita soal gertakan meluncurkan nuklir.
Wenda sebelumnya pernah dipenjara karena aktivitas pemberontakannya dan ia saat ini mendapat suaka di Inggris. Di pengasingan, ia memimpin kampanye penentuan nasib sendiri yang menurut para separatis tidak mereka dapatkan, sejak Indonesia memperoleh kontrol yang diakui secara internasional atas Papua Barat melalui pemungutan suara yang disengketakan 50 tahun yang lalu.
Hingga kini, berita-berita yang berkelindan dengannya adalah soal konsistensi ia memimpin usulan untuk memerdekaan diri dari Indonesia.
7. AHOK
Mantan Gubernur DKI ini hangat diperbincangkan usai penunjukkannya menjadi Komisaris Utama Pertamina. Ia sempat dijegal beberapa kali karena statusnya sebagai mantan narapidana kasus pelecehan agama. Ia juga dianggap tak punya pengetahuan dan pengalaman memadai untuk memimpin perusahaan energi tersebut.
Keterangan foto utama: Ibu Negara AS Melania Trump bersiap untuk mencium Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau di samping Presiden AS Donald Trump dalam sesi foto bersama KTT G7 di Biarritz, Prancis, 25 Agustus 2019. (Foto: Reuters/Carlos Barria)
Posted by: Admin
Copyright ©MataPolitik | Bazoka Logo "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Pemimpin Kemerdekaan Papua, Ketua ULMWP Mr. Benny Wenda, (AFP) |
Deretan Tokoh Populer Sepanjang 2019
Sepuluh tokoh populer di laman berita MataMataPolitik: Donald Trump hingga Benny Wenda.Pemimpin kemerdekaan Papua, ketua ULMWP Mr. Benny Wenda masuk dalam daftar tokoh terpopuler tahun 2019.
Deretan tokoh populer yang ramai diperbincangkan selama 2019, ternyata selain nama-nama besar seperti Donald Trump, Jokowi, Xi Jinping, tokoh Papua Merdeka, Benny Wenda masuk dalam daftar di urutan ke-6.
Dalam daftar yang disusun berdasarkan tingkat pencarian paling tinggi dan keterbacaan paling banyak, dan posisi perempuan hanya diisi oleh Melania Trump dan Sri mulyani.
Berikut daftar lengkapnya:
1. DONALD TRUMP
Pria kelahiran New York, 14 Juni 1946 ini adalah pebisnis, tokoh relevisi, politikus, dan Presiden Amerika Serikat yang ke-45. Ia memiliki organisasi kelas kakap di bidang properti bertajuk The Trump organization. Sepanjang kariernya sebagai taipan, pelbagai proyek telah ia bangun, mulai dari perkantoran, hotel, kasino, lapangan golf, dan lainnya.Pada 2016, ia berhasil membungkam Hillary Clinton, rivalnya di Pemilihan Presiden. Saat itu, ia menumpang Partai Republik sebagai kendaraan politiknya. Sejak menjadi Presiden AS, namanya kian melambung. Bukan karena prestasi, tapi kontroversi yang kerap ia torehkan. Ia mashur sebagai pemimpin yang kerap menebar hoaks, menyerang orang secara frontal di Twitter, termasuk Greta Thunberg, Nancy Pelosi, hingga Ilhan Omar.
Di laman berita ini, Trump paling banyak dikaitkan dengan pemberitaan seputar perjanjian dagang AS-China, NAFTA, penegakan hukum imigrasi, pembatalan UU Layanan Kesehatan yang terjangkau, serta sikapnya yang anti-Islam.
2. JOKOWI
Jokowi resmi memborong tiket sebagai Presiden RI untuk periode ke-2 pada 2019. Pria kelahiran Solo, 21 Juni 1961 tersebut didukung oleh koalisi gemuk saat Pilpres tahun ini. Yang berbeda dari periode pertama kepemimpinannya, Jokowi justru menunjukkan perubahan sikap yang signifikan, dari yang mulanya dekat dengan akar rumput, menjadi makin lengket dengan kalangan pengusaha dan politikus.Di 2019, ia terkenal dengan pemberitaan seputar ambisi pembangunan infrastruktur, wacana pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, pelanggengan kekuasaan lewat dinasti politik, bagi-bagi kue sebagai strategi Jokowi merangkul semua kalangan termasuk oposisi. Ia juga dikenal sebagai Presiden yang melakukan pembiaran atas protes besar #ReformasiDikorupsi.
3. PRABOWO
Mantan saingan Jokowi di Pilpres 2019 itu memang relatif tak bisa dilepaskan dari pemberitaan. Setelah dikenal paling keras menghantam Jokowi dan mengkritisi seluruh kebijakannya, pada Oktober 2019, eks menantu Soeharto itu justru balik badan dengan menerima pinangan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan.Di laman berita ini, Prabowo dikaitkan dengan isu seputar pertahanan negara, mulai dari kunjungannya ke negara tetangga membahas wacana pertukaran perwira militer, belanja alutsista, dan sebagainya.
4. XI JINPING
Pria 66 tahun itu adalah Sekretaris Jenderal Partai Komunis sekaligus Presiden ke-7 Tiongkok. Dalam pemberitaan di laman MataMataPolitik, Xi banyak dikaitkan dengan isu perang dagang AS-China, isu Laut China Selatan, dugaan pelanggaran HAM berat atas Muslim Uighur, dan protes Hong Kong yang menuntut China agar memberikan lebih banyak independensi pada wilayah itu.5. VLADIMIR PUTIN
Mengutip Tirto.id, Vladimir Vladimirovich Putin adalah seorang politikus asal negeri Beruang Merah yang menjabat sebagai Presiden Rusia sejak 7 Mei 2012 hingga kini. Putin sebelumnya pernah menjabat sebagai Presiden Rusia periode 2000-2008 serta pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Rusia periode 1999-2000 dan 2008-2012.
Putin lahir pada 7 Oktober 1952 di St. Petersburg yang saat itu dikenal dengan nama Leningrad. Putin merupakan anak tunggal, karena kedua saudaranya meninggal ketika masih kecil. Ketika remaja ia dipanggil dengan sebutan Putka. Ayahnya, Vladimir Spiridonovich Putin adalah seorang karyawan lepas dari sebuah pabrik dan meninggal pada tahun 1999. Putin memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bahasa jerman yang cukup baik, serta kemampuan bela diri sambo (bela diri asal Rusia).
Putin selalu dikaitkan dengan pemberitaan seputar hubungan diplomatik dengan AS, kekacauan dengan musuh abadinya Ukraina setelah mencaplok Crimea, serta berita soal gertakan meluncurkan nuklir.
6. BENNY WENDA
Benny Wenda lahir di Papua, 17 Agustus 1974. Ia saat ini menjadi pemimpin kemerdekaan Papua Barat, Ketua Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua—ULMWP), dan pendiri kampanye Bebaskan Papua Barat.Wenda sebelumnya pernah dipenjara karena aktivitas pemberontakannya dan ia saat ini mendapat suaka di Inggris. Di pengasingan, ia memimpin kampanye penentuan nasib sendiri yang menurut para separatis tidak mereka dapatkan, sejak Indonesia memperoleh kontrol yang diakui secara internasional atas Papua Barat melalui pemungutan suara yang disengketakan 50 tahun yang lalu.
Hingga kini, berita-berita yang berkelindan dengannya adalah soal konsistensi ia memimpin usulan untuk memerdekaan diri dari Indonesia.
7. AHOK
Mantan Gubernur DKI ini hangat diperbincangkan usai penunjukkannya menjadi Komisaris Utama Pertamina. Ia sempat dijegal beberapa kali karena statusnya sebagai mantan narapidana kasus pelecehan agama. Ia juga dianggap tak punya pengetahuan dan pengalaman memadai untuk memimpin perusahaan energi tersebut.
8. MELANIA TRUMP
Hampir semua pemberitaan Melania selalu dikaitkan dengan suaminya yang juga tak kalah kontroversial, Donald Trump. Seringkali, Ibu Negara yang sering dikritik karena gaya busana yang tak tepat itu dikaitkan dengan pemberitaan soal isi Twitter-nya, komentarnya soal pemakzulan suami, momen ketika ia dicemooh di Baltimore, dan kunjungan kenegaraan bersama sang suami.9. ANIES BASWEDAN
Orang nomor satu DKI Jakarta itu paling banyak dikaitkan dengan pemberitaan seputar kebijakannya di Ibu Kota. Selain isu banjir dan pencopotan penghargaan untuk Diskotek Colosseum beberapa waktu lalu, Anies juga kerap diberitakan soal kebijakannya yang karut marut. Sebut saja, penataan DKI yang hanya mementingkan estetika, alih-alih merampungkan masalah. Lalu, ia juga dikaitkan dengan berita seputar bursa calon wakilnya yang masih kosong. Terakhir, ia banyak disinggung setelah skandal laporan janggal APBD DKI dibuka pada publik.10. SRI MULYANI
Menteri Keuangan dua periode ini paling sering diberitakan jika menyangkut urusan perang dagang dan efeknya pada ekonomi domestik, kebijakannya menaikkan harga cukai rokok, radikalisme di tubuh Kemenkeu, hingga belanja APBN dan utang negara 2019 yang membengkak.Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Ibu Negara AS Melania Trump bersiap untuk mencium Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau di samping Presiden AS Donald Trump dalam sesi foto bersama KTT G7 di Biarritz, Prancis, 25 Agustus 2019. (Foto: Reuters/Carlos Barria)
Posted by: Admin
Copyright ©MataPolitik | Bazoka Logo "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Rabu, 13 Mei 2020
Polisi Tak Ijinkan Presiden GIDI Menjenguk Tahanan Yang Sedang Kelaparan dalam Penjara
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Posted by: Admin
Copyright ©Bi$nis Papua "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Presiden Gereja Injili di Indonesia (GIDI), Pdt Dorman Wandikbo. |
JAYAPURA (Bisnis Papua) -- Kekecewaan yang.di alami Presiden Gereja Injil di Indonesia (GIDI) ketika mendatangi kantor Polresta Jayapura Kota,pasalnya kedatangannya ke sana untuk melihat dan memastikan kondisi para tahanan yang di kabarkan tidak di berikan makan oleh petugas baik Kepolisian maupun Kejaksaan mendapat penolakan.
“Saya ke sana di hari dan jam besuk yakni Selasa(12/5/2020) namun kedatangan saya tidak membuahkan hasil atau tidak bisa melihat kondisi mereka,”ungkap Dorman Wandikbo ketika di temui di kediamanya di Sentani
Sebelumnya pada hari Minggu 10/5/2020 pukul 7 pagi dirinya berinisiatif mendatangi Mapolresta dengan tujuan yang sama yakni untuk melihat kondisi para tahanan namun pada saat itu dirinya tidak di perbolehkan menjenguk di karenakan bukan hari menjenguk.
“Saya ke sana hari minggu pagi namun petugas di penjagaan mengatakan ini bukan hari menjenguk nanti bapa datang hari selasa saja,tapi memang saat saya ke sana mereka dalam keadaan kaget dan panik ketika saya datang dan kabarnya di hari minggu pagi itu ada salah satu tahanan yang meninggal dunia kabarnya setelah tahanan itu di beri makanan oleh petugas ,”ucapnya
Namun hingga Selasa tadi dirinya tidak di biarkan melihat kondisi tahanan dengan alasan yang di anggapnya sebagai salah satu pengalihan agar dirinya tidak di perbolehkan menjenguk.
“Anggota Polres mereka memberikan beribu alasan kepada saya yang saya pikir alasan itu tidak tepat dan ada kejanggalan, ada yang bilang karena ada coronalah ada yang bilang petugas yang mengijinkan waktu menjenguk sedang sakit jadi saya tidak bisa menjenguk,ini kan alasan yang di buat buat,”tegas Dorman
Dorman Mengungkapkan bahwa kedatangan dirinya ke Polresta terkait dengan adanya kabar bahwa semua tahanan yang saat ini berada dalam sel di Polresta Kota Jayapura sudah selama 12 hari tidak di beri makan oleh petugas baik dari Polres maupun kejaksaan.
“Kabar ini sudah tersebar di semua grup dan saya mendapat laporan ini dari Spirit Of Papua makanya untuk memastikan apakah benar mereka tak di beri makan saya ke sana untuk mengecek langsung,”ungkapnya
Dan diirinya juga melakukan kroscek informasi tersebut ke Kapolda Papua Via Seluler namun tanggapn dari Kapolda Papua bahwa kabar tersebut tidaklah benar kami dari kepolisian memberikan tahanan makanan dengan baik beserta dengan semua keperluan yang di butuhkan tahanan.
“Saya juga langsung Wa ke Kapolda Pak Paulus Waterpauw apakah ini benar atau tidak ,”kata Dorman
Menurutnya jika memang adannya kesimpang siuran terkait kabar ini seharusnya aparat polisi memberikan waktu dan kesempatan kepada dirinya untuk melihat kondisi tahanan apakah benar mereka tidak di beri makan ataukah mereka memang di perhatikan di dalam tahanan.
“Saya ke sana kan hanya mau memastikan saja siapa yang benar ini apakah laporan yang sudah beredar itu ataukah jawaban Kapolda kepada saya tapi kok seolah olah saya di halangi di Polresta sana untuk melihat tahanan ini,ada apa ini sebenarnya?seperti ada yang memang sengaja di tutupi dengan sangat rapi sehingga tidak ada celah bagi orang dari luar untuk mengetahui situasi yang sedang terjadi di sana,”ujar Dorman.
Untuk itu dirinya meminta kepada pihak kepolisian untuk harus terbuka dan transparan mengenai situasi dan keadaan di dalam tahanan saat ini.
Apalagi dalam pandemi Covid-19 di mana mana aparat keamanan kasih bantuan kasih makanan buat masyarakat yang terdampak Virus lalu mengapa yang berada dalam tahanan tidak di perhatikan.
“Orang yang masih mampu keluar mencari makan saja kalian perhatikan kalian kasih bantuan makanan lalu yang ada di tahanan sana kenapa di biarkan kelaparan,apalagi kabarnya dalam tahanan ada beberapa tahanan yang sedang mengandung sangat memprihatinkan sekali jika mereka ini tidak di beri makan,”pintanya
Lebih lanjut di katakan Dorman ada beberapa tahanan yang masa tahananya sudah harus di pindahkan dari Polres ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Karena sudah ada jatuhan Vonis namun hingga kini tahanan tersebut masih berada dalam pengawasan dan tahanan Polresta.
“Seperti Bazoka Loggo yang sudah seharusnya di pindahkan ke Lapas kenapa masih di tahan di Polres sana,terus tidak di beri makan lagi makasudnya apa ini,ada apa dengan tingkah aparat Kepolisian ini menjadi tanda tanya besar bagi saya dan masyarakat,”bebernya
Sebelumnya sempat ada kabar yang beredar di grup WA dan Media Sosial Facebook yang mengatakan tentang kondisi tahanan jaksa dan reskrim di Polresta Jayapura sekitar 36 orang tidak diberi makan (***)
Posted by: Admin
Copyright ©Bi$nis Papua "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Indonesia Menggunakan Krisis Covid-19 untuk Menangkap, Memenjarakan dan Penyiksaan Orang Papua
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
FOTO: Kiri ke kanan (Bazoka Logo Kepala Biro Politik ULMWP, Buchtar Tabuni Ketua II Legislatif ULMWP, Steven Itlay Ketua KNPB Wilayah Timika dan Agus Kossay Ketua Umum KNPB) |
JAYAPURA, -- Melihat perkembangan terakhir krisis kemanusiaan di Papua, pemimpin Kemerdekaan Papua, Benny Wenda mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia menggunakan situasi Covid-19 ini untuk untuk menangkap, memenjarakan hingga menyiksa rakyat West Papua, teruatama para tahanan di penjara.
Berikut ini pernyataan ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), pada hari Senin (11/05/2020) setelah laporan diterima.
Benny Wenda: Indonesia Menggunakan Krisis Covid untuk Menangkap, Memenjarakan, Penyiksaan
Saya telah menerima informasi mendesak dari West Papua mengenai pembajakan yang diperbarui oleh Negara Indonesia atas tanggapan Covid-19. Indonesia menggunakan krisis ini sebagai alasan untuk lebih memiliterisasi negara saya, menyiksa dan memenjarakan orang di seluruh West Papua. Kami membutuhkan perhatian mendesak dari komunitas internasional untuk meneliti respons Indonesia dan mencegah mereka menggunakan pandemi global ini untuk menghilangkan nyawa orang Papua lebih jauh.
Menyusul Pemberontakan West Papua pada 2019, puluhan demonstran damai ditangkap dengan tuduhan politis. Banyak dari mereka sekarang berada di penjara di Jayapura, termasuk Bazoka Logo, Kepala Biro Politik ULMWP. Saya baru saja menerima informasi bahwa tahanan politik ini tidak diberi makan selama seminggu, sehingga kesehatan mereka semakin memburuk. Dengan virus menyebar di seluruh Indonesia termasuk ke West Papua, kemudian mengapa mereka tidak diberi makan? Untuk melemahkan sistem kekebalan tubuh mereka, sehingga mereka kurang memiliki perlindungan terhadap Covid? Ini adalah pembunuhan politik dengan cara lain.
Semua tahanan politik West Papua, termasuk Buchtar Tabuni, Agus Kossay dan lima lainnya yang diculik dan dipindahkan ke Kalimantan, serta enam orang di Jakarta, harus segera dibebaskan. Tiga puluh ribu tahanan Indonesia telah dibebaskan - mengapa orang Papua tidak dibebaskan? Saya khawatir bahwa dengan infeksi di penjara, orang Papua berisiko meninggal. Indonesia memberi mereka hukuman mati karena mengibarkan bendera Bintang Kejora secara damai dan menuntut hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.
Selain tidak melepas tahanan politik, Indonesia juga sedang melakukan banyak penangkapan. Pekan lalu, di Pulau [Yapen] Serui, warga West Papua ditangkap karena mengadakan aksi damai memperingati hari invasi Indonesia ke tanah kami yang jatuh pada 1 Mei 1963, dan mendukung aplikasi ULMWP untuk keanggotaan penuh Melanesian Spearhead Group. Tiga belas orang, termasuk 50-tahun satu orang tua, Yoas Yawandare, ditangkap karena mengadakan pertemuan doa damai dengan membentangkan spanduk.
Militer Indonesia menggunakan penguncian sebagai alasan untuk meluncurkan operasi militer baru. Perempuan dan anak-anak telah dipindahkan ke hutan oleh operasi-operasi Indonesia melawan organisasi massa tanpa kekerasan, KNPB, di Sorong. Selama operasi ini, seorang penatua ditelanjangi, disiksa dan dihina di depan seluruh desa ketika militer Indonesia menuduhnya sebagai ‘OPM’. Kisah-kisah ini mengingatkan saya pada kengerian masa kecil saya di West Papua, ketika pengalaman seperti itu adalah hal biasa bagi kita semua.
Di Timika, yang disebut Tim Respon Covid-19 bukan terdiri dari petugas kesehatan independen, tetapi polisi dan militer Indonesia. Sementara seluruh dunia memperlakukan ini sebagai krisis kemanusiaan, Indonesia menggunakannya sebagai alasan untuk lebih lanjut menindak. Seorang dokter yang dikirim ke Desa Agimuga, sebuah pemukiman terpencil dan rentan di Timika, tidak diuji sebelum dia dikirim: dia ternyata terinfeksi Covid-19, dan meninggal di desa itu. Mengapa Indonesia mengirim dokter yang terinfeksi ke desa-desa terpencil? Mengapa mereka tidak mengujinya terlebih dahulu? Ini terlihat seperti upaya genosida lain oleh Negara Indonesia untuk memusnahkan penentang pendudukan kolonialnya. Dunia harus segera mempertanyakan respons Indonesia.
Untuk seluruh rakyat-ku di rumah, kamu harus menjaga dirimu sekarang. Lindungi diri Anda dengan pergi ke desa dan merawat kebun Anda. Jangan berkeliaran di sekitar kota dalam kontak dengan banyak orang. Indonesia akan menggunakan situasi ini untuk mencoba menghancurkan kita. Tetap aman, dan kami akan terus berjuang bersama untuk membebaskan diri dari situasi ini.
Kebebasan kita akan datang.
Benny Wenda
Ketua
ULMWP
Posted by: Admin
Copyright ©ULMWP site "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Minggu, 10 Mei 2020
Independent Australia: Ketakutan West Papua akan Coronavirus
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
By Michael R Williams | 10 May 2020, 4:30pm
Gerakan Kemerdekaan Bersatu untuk West Papua (ULMWP) harus berjuang melawan pembunuhan massal, kampanye informasi yang keliru, tanpa memperdulikan hak-hak demokratis mereka. Tetapi sekarang karena Pemerintah Indonesia berusaha untuk mengunci bagian-bagian negara selain Jakarta dan beberapa kota dan provinsi tertentu, rakyat West Papua akan dipaksa untuk menghadapi penyebaran virus yang mematikan. Dan mereka akan melakukannya tanpa bantuan dari luar, atau diberi kesempatan untuk mengunci tanah mereka sendiri.
Pada 27 Maret, West Papua menyaksikan kematian virus korona pertama dan orang-orang takut bahwa wabah akan menyaingi kota-kota besar Indonesia lainnya.
Kota-kota di West Papua tidak diperlengkapi secara medis untuk menangani virus. Walaupun populasinya tidak sepadat Jakarta, layanan kesehatannya [di Papua] relatif buruk. Selama bertahun-tahun, tingkat kematian bayi dan HIV jauh di atas harapan kemanusiaan.
Dalam sebuah pernyataan pada tanggal 18 Maret, ketua ULMWP Benny Wenda mengecam pemerintah Indonesia:
Telah ada migrasi massal dari pusat-pusat kota, di mana kepadatan populasi memungkinkan virus menyebar pada tingkat yang mengejutkan. Sementara itu, pekerjaan menjadi semakin langka. Mereka yang masih berhasil mempertahankan pekerjaannya melakukannya tanpa mengikuti praktik jarak sosial.
Setelah melihat kejatuhan di kota-kota besar, orang Papua khawatir bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki kepentingan terbaik dalam menangani krisis ini. Terutama mengingat serangan berkelanjutan Indonesia pada hak-hak orang Papua.
Penyelidik intelijen open-source Bellingcat dapat melacak sejumlah akun Twitter propaganda pro-Indonesia, beberapa di antaranya mencuri identitas bintang-bintang K-Pop yang terkenal. Pemerintah Indonesia juga telah melarang semua konten online kontra-narasi yang dapat mereka peroleh. Itu termasuk video Juicemedia yang populer di West Papua (diperlihatkan di bawah).
Dan selama beberapa minggu terakhir, outlet media menjadi sangat kritis atas pelaporan kasus coronavirus yang terang-terangan di Indonesia.
Tak lama setelah itu, tiga mahasiswa pengunjuk rasa menghilang selama protes kekerasan di Jayapura (sebuah kota di West Papua) akhir tahun lalu, yang termasuk penggalian air mata asrama siswa. Protes dimulai setelah seorang guru menyebut orang asli Papua sebagai “monyet” - sebuah cibiran yang umum bagi orang Papua.
“Orang Papua marah,” kata anggota Belanda dari gerakan Papua Merdeka, Raki Ap. “Ada ketakutan bahwa mereka akan membiarkan orang-orang menyebarkan virus.”
“Kami ingin pertama-tama memutuskan pemadaman media di West Papua. Dan ketika orang-orang mengetahui apa yang terjadi, mereka akan berkata‘ ini benar-benar salah, bagaimana kita tidak tahu tentang ini? ” kata, Raki Ap.
“Menjadi salah satu tetangga terdekat ke West Papua ada kebutuhan manusia [bagi orang Australia] untuk bertanggung jawab. Saya telah membaca beberapa artikel luar biasa yang menyebutnya "genosida di depan pintu Anda." Yang sebenarnya adalah apa yang terjadi saat ini. ”
"Bagaimana Anda mengatakan bahwa Anda adalah bangsa yang berkomitmen untuk perdamaian dengan mengirimkan pasukan Anda ke Afghanistan, dan berbalik ketika tetangga Anda bertempur melawan genosida?"
__________
Raki Ap adalah seorang aktivis dan West Papua Merdeka, Anda dapat mengikuti Instagram-nya di sini.
Anda dapat mengikuti Associate Editor Michael R Williams di Twitter dan Instagram @editorscribble.
Posted by: Admin
Copyright ©Independentaustralia.Net "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Bertahun-tahun orang Papua telah berjuang untuk kemerdekaan mereka dan sekarang - dengan timbulnya COVID-19 - mereka akan dipaksa untuk berperang di dua front --- tulis Michael R Williams.
By Michael R Williams | 10 May 2020, 4:30pm
Gerakan Kemerdekaan Bersatu untuk West Papua (ULMWP) harus berjuang melawan pembunuhan massal, kampanye informasi yang keliru, tanpa memperdulikan hak-hak demokratis mereka. Tetapi sekarang karena Pemerintah Indonesia berusaha untuk mengunci bagian-bagian negara selain Jakarta dan beberapa kota dan provinsi tertentu, rakyat West Papua akan dipaksa untuk menghadapi penyebaran virus yang mematikan. Dan mereka akan melakukannya tanpa bantuan dari luar, atau diberi kesempatan untuk mengunci tanah mereka sendiri.
Pada 27 Maret, West Papua menyaksikan kematian virus korona pertama dan orang-orang takut bahwa wabah akan menyaingi kota-kota besar Indonesia lainnya.
Kota-kota di West Papua tidak diperlengkapi secara medis untuk menangani virus. Walaupun populasinya tidak sepadat Jakarta, layanan kesehatannya [di Papua] relatif buruk. Selama bertahun-tahun, tingkat kematian bayi dan HIV jauh di atas harapan kemanusiaan.
Dalam sebuah pernyataan pada tanggal 18 Maret, ketua ULMWP Benny Wenda mengecam pemerintah Indonesia:
“Kolonialisme Indonesia, yang telah menghancurkan cara hidup kita dan meninggalkan kita tanpa perawatan kesehatan atau dukungan alami dari lingkungan kita, telah meningkatkan risiko coronavirus bagi rakyatku. Tidak pernah ada waktu yang lebih mendesak bagi Indonesia untuk memungkinkan PBB secara mandiri memantau situasi, dan untuk orang Papua untuk menegaskan kemerdekaan mereka dan cara hidup tradisional.”Pemerintah Indonesia telah mengunci Jakarta, tetapi respons mereka yang lambat terhadap COVID-19 telah meninggalkan negara ini dengan angka kematian tertinggi di dunia (pada beberapa titik, lebih dari 10 persen). Kota-kota besar seperti Jakarta masih hanya terkunci sebagian dan orang-orang khawatir.
Telah ada migrasi massal dari pusat-pusat kota, di mana kepadatan populasi memungkinkan virus menyebar pada tingkat yang mengejutkan. Sementara itu, pekerjaan menjadi semakin langka. Mereka yang masih berhasil mempertahankan pekerjaannya melakukannya tanpa mengikuti praktik jarak sosial.
Setelah melihat kejatuhan di kota-kota besar, orang Papua khawatir bahwa Pemerintah Indonesia tidak memiliki kepentingan terbaik dalam menangani krisis ini. Terutama mengingat serangan berkelanjutan Indonesia pada hak-hak orang Papua.
Penyelidik intelijen open-source Bellingcat dapat melacak sejumlah akun Twitter propaganda pro-Indonesia, beberapa di antaranya mencuri identitas bintang-bintang K-Pop yang terkenal. Pemerintah Indonesia juga telah melarang semua konten online kontra-narasi yang dapat mereka peroleh. Itu termasuk video Juicemedia yang populer di West Papua (diperlihatkan di bawah).
Dan selama beberapa minggu terakhir, outlet media menjadi sangat kritis atas pelaporan kasus coronavirus yang terang-terangan di Indonesia.
Tak lama setelah itu, tiga mahasiswa pengunjuk rasa menghilang selama protes kekerasan di Jayapura (sebuah kota di West Papua) akhir tahun lalu, yang termasuk penggalian air mata asrama siswa. Protes dimulai setelah seorang guru menyebut orang asli Papua sebagai “monyet” - sebuah cibiran yang umum bagi orang Papua.
“Orang Papua marah,” kata anggota Belanda dari gerakan Papua Merdeka, Raki Ap. “Ada ketakutan bahwa mereka akan membiarkan orang-orang menyebarkan virus.”
“Kami ingin pertama-tama memutuskan pemadaman media di West Papua. Dan ketika orang-orang mengetahui apa yang terjadi, mereka akan berkata‘ ini benar-benar salah, bagaimana kita tidak tahu tentang ini? ” kata, Raki Ap.
“Menjadi salah satu tetangga terdekat ke West Papua ada kebutuhan manusia [bagi orang Australia] untuk bertanggung jawab. Saya telah membaca beberapa artikel luar biasa yang menyebutnya "genosida di depan pintu Anda." Yang sebenarnya adalah apa yang terjadi saat ini. ”
"Bagaimana Anda mengatakan bahwa Anda adalah bangsa yang berkomitmen untuk perdamaian dengan mengirimkan pasukan Anda ke Afghanistan, dan berbalik ketika tetangga Anda bertempur melawan genosida?"
Saat ini, tujuan utama orang Papua adalah tetap aman, tetapi setelah virus lewat, Ap mengatakan ini:West Papua faces a double crisis of coronavirus and Indonesian colonialism. We must support each other and rely on the strength of our traditional way of life.https://t.co/NuOYX4Fi24— Benny Wenda (@BennyWenda) March 21, 2020
“Di luar mendidik rakyat, tujuan utama kami adalah untuk mengklaim hak kemerdekaan. Mengembalikan West Papua ke daftar dekolonisasi PBB, kita berbicara tentang mengaktifkan kembali mekanisme yang membantu negara menemukan kedaulatan mereka. Di bawah hukum internasional, sangat jelas bahwa Indonesia sangat jelas menduduki West Papua secara ilegal. ”Setelah penulisan bagian ini, ULWMP merilis pernyataan lain. Empat orang telah dibunuh karena kejahatan rasial atau kecurigaan koerisi dengan Pemberontak West Papua. Beberapa tubuh korban menunjukkan tanda-tanda penyiksaan, dua di antaranya baru berusia 16 tahun. Orang Papua, meskipun memiliki risiko kesehatan, terus menunjukkan dengan damai dalam solidaritas dengan mereka yang telah mengalami kekerasan yang tidak perlu.
Hope for peace in Bougainville while West Papua endures https://t.co/59e9Zmgb8W @IndependentAus #WestPapua #Bougainville #referendum #Melanesia— #WestPapua (@PurePapua) December 4, 2019
__________
Raki Ap adalah seorang aktivis dan West Papua Merdeka, Anda dapat mengikuti Instagram-nya di sini.
Anda dapat mengikuti Associate Editor Michael R Williams di Twitter dan Instagram @editorscribble.
Posted by: Admin
Copyright ©Independentaustralia.Net "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Rabu, 06 Mei 2020
Bintang Kejora di Oxford
Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal
Sudah lama sejak Benny Wenda terakhir melihat kampung halamannya sendiri. Sejak 2002, aktivis Papua yang termasyhur ini memperoleh suaka politik di Inggris. Kini ia tinggal di kota tempat Universitas Oxford berdiri—di belahan dunia lain, jauh dari pegunungan rimbun Papua tempat ia berasal.
Jalan yang membawa Benny ke Inggris dimulai jauh sebelum ia dilahirkan. Hingga 1961, Papua masih dianggap sebagai wilayah koloni Belanda; status ini berakhir ketika rakyat Papua mendeklarasikan kemerdekaan mereka pada 1 Desember 1961. Indonesia, bagaimanapun, dengan cepat mengklaim Papua merupakan bagian dari wilayahnya sendiri, kemudian menyerbu dan menduduki Papua. Pada 1969, klaim Indonesia atas Papua akhirnya mendapat pengakuan PBB setelah diselenggarakannya referendum Act of Free Choice, atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)—sebuah proses yang terindikasi berlangsung penuh kecurangan. Sebanyak 1.026 orang Papua (dari populasi yang seharusnya berjumlah 800.000 jiwa) dipaksa untuk menerima integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia. Sejak saat itu, Papua secara ‘de facto’ berada di bawah kekuasaan militer Indonesia, sementara mereka yang menolak: diawasi, diintimidasi-dipersekusi, dipenjara, hingga menjadi korban berbagai tindak kekerasan.
Sebagian besar orang Papua menolak pendudukan Indonesia. Beberapa dari mereka kemudian mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong kemerdekaan—salah satunya melalui kelompok seperti Gerakan Persatuan untuk Pembebasan Papua (ULMWP, atau United Liberation Movement for West Papua), sebuah koalisi yang terdiri dari tiga organisasi besar pro-kemerdekaan.
Saat ini, kepemimpinan ULMWP—serta tanggung jawab besar yang harus dipikul pihak yang mengembannya—berada di pundak satu orang: Benny Wenda. Pada Agustus 2018, New Naratif menemuinya untuk memahami motivasi, tujuan, dan kegigihannya dalam menghadapi berbagai tantangan yang luar biasa.
Pemerintah Indonesia seringkali menggambarkan Benny sebagai pengkhianat bangsa yang manipulatif dan keras kepala; lain kalinya, seorang demagog subversif yang bertujuan memecah belah Republik Indonesia. Kami sendiri, menjelang wawancara, membayangkannya sebagai laki-laki yang penuh semangat, kekuatan, dan memiliki kharisma luar biasa. Yang kami dapati, tak disangka, adalah sosok yang sangat berbeda.
Kesan awal saat menemui Benny adalah seorang pria yang ramah, lembut, penuh kehangatan dan penuh canda. Namun, penggambaran ini pun kurang tepat: ia terlihat sedikit lebih tua dari umur sebenarnya—pada saat wawancara ini berlangsung, Benny berusia 45 tahun.
Di atas segalanya, ia tampak sebagai seorang yang penuh martabat. Benny lancar berbicara dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, lengkap dengan aksennya yang kental. Kata-katanya dituturkan dengan pelan dan tak meletup-letup, seakan menanggung beban pengalaman yang menyakitkan. Sepanjang wawancara, ia selalu tampak tenang dan hampir tak tergoyahkan—bahkan saat menjawab pertanyaan sensitif, yang ia tanggapi dengan rasa humor dan kerendahan hati.
“Saya besar bersama ibu saya, [merawat] kebun. Saya belajar cara membuat busur dan anak panah. Saya belajar bercocok-tanam ubi,” kisahnya sambil mengenang masa kecil.
Kehidupan yang tenang ini berlangsung hingga 1977, ketika militer Indonesia tiba di desa Benny dan mengubah segalanya. Ia menceritakan kepada kami akan penindasan, kekerasan, dan kebrutalan sepanjang periode ini, termasuk pemeriksaan dan pengawasan terus-menerus oleh militer. Beberapa bibinya diperkosa dan dibunuh.
Pada 1977 dan 1978, Indonesia meluncurkan operasi militer besar-besaran di kawasan Pegunungan Tengah Papua sebagai tanggapan atas meningkatnya pemberontakan yang terjadi sekitar pemilihan umum 1977. Militer Indonesia datang membombardir desa-desa, dan menghancurkan kebun-kebun yang siap panen.
Tidak ada catatan resmi akan jumlah orang yang terbunuh dalam operasi tersebut. Namun, pada 1981, mantan gubernur Papua Eliezener Jan Bonay sempat bersaksi di hadapan Pengadilan Hak Asasi Manusia bahwa jumlah korban jiwa di Papua mencapai sekitar 3.000 jiwa. Pendeta Obet Komba, seorang imam dari Lembah Baliem, melaporkan bahwa operasi militer menyebabkan kematian 11.000 orang akibat penembakan, penyiksaan, wabah penyakit dan kelaparan—dan itupun baru di wilayah Jayawijaya. Diperkirakan bahwa sebanyak 9.000 orang lain menjadi korban jiwa di Wamena, Piramida, Kurulu, Kelila, Bokondini dan Kobakma; selain itu, terdapat pula 2.000 kasus kematian di Pegunungan Timur.
Rangkaian tragedi tersebut sudah lebih dari 40 tahun berlalu. Namun, mereka yang sempat menyaksikannya masih dapat mengingat dengan jelas. Saul G Bomay, juru bicara Dewan Revolusi Komando Tentara Pembebasan Nasional Gerakan Papua Merdeka (TPN-OPM), mengenang begitu banyaknya korban yang jatuh: “Banyak dari mereka kelaparan sampai mati. Tidak ada makanan [karena] kebun telah dikuasai oleh militer pro-Indonesia. Kami melarikan diri ke Baliem bagian utara, pusat Membramo, Tolikara, Puncak Jaya, Ilaga, dan Mulia.” Daerah-daerah tersebut terletak di dataran tinggi tengah Papua.
Didukung oleh Amerika Serikat, operasi militer Indonesia membuat rakyat Papua tidak dapat lagi menjalankan aktivitas kehidupan di desa. Bersama tetangga satu desa mereka, keluarga Benny pun terpaksa mengungsi ke pegunungan. Ia sendiri terluka karena serangan militer, tetapi tidak dapat memperoleh pertolongan medis. Kurangnya perawatan untuk Benny kecil menyebabkan salah satu kakinya secara signifikan lebih pendek dari yang lain, hingga hari ini.
Tahun berikutnya, ketika Benny baru berusia lima tahun, keluarganya ditangkap oleh militer Indonesia saat melintasi pegunungan. “Ibu saya dipukuli di depan mata saya. Saya masih kecil dan tidak bisa melakukan apa-apa,” kenangnya.
Ayah Benny mempertaruhkan nyawa untuk melindungi putranya. Ia menggendong Benny di bahunya sambil berlari. Tetapi militer berhasil mengejar mereka. Ayahnya kemudian memohon kepada para tentara untuk membiarkan Benny kecil tetap hidup. “Setelah peristiwa itu saya tidak pernah melihatnya [ayah] lagi,” kata Benny. Ingatan terakhir Benny akan ayahnya adalah sang ayah yang penuh darah, dipukuli, dan memohon keselamatan putranya.
Masih banyak kisah mengenai keluarga dan desanya yang dapat Benny ceritakan, tetapi ia menolak untuk berbagi lebih lanjut. Ingatan-ingatan itu terlalu menyakitkan.
Setelah ibunya meninggal karena luka-luka akibat pemukulan oleh tentara Indonesia, Benny diadopsi oleh pamannya. Ia telah kehilangan segalanya, dan masa depannya tampak suram. Saat itu, Benny masih terlalu muda untuk memahami situasi dengan utuh. Ia masih ingat merasa tidak nyaman bahwa gurunya di sekolah adalah anggota militer—terlebih setelah apa yang dialami oleh keluarganya.
“Saya takut dan trauma,” kenangnya. Dan ini bukan hanya soal gurunya: kehadiran militer Indonesia di Papua juga berarti bahwa Benny akan melihat tentara di desanya sendiri. Hal itu membuatnya panik. “Saya kabur. Saya tidak ingin melihat militer.”
Akhirnya, sang paman membawanya ke Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, dengan harapan bahwa Benny dapat melanjutkan sekolah di sana. Maksud sang paman memang baik, namun, saat itu—dan hingga sekarang—kota Jayapura masih dikuasai oleh militer Indonesia.
Benny ingat benar teror yang ia rasakan setiap kali melihat seorang tentara atau polisi. Kala itu, ia mencoba mengatasi rasa takutnya dengan mengubur dalam-dalam ingatan akan apa yang terjadi di pedalaman hutan ketika ia lebih kecil. Keadaan jadi lebih buruk ketika ia mulai dirisak oleh teman-teman sekelasnya, yang merupakan anak-anak transmigran dari berbagai daerah di Indonesia.
“Saya duduk di sebelah seorang anak gadis, ia kemudian menatap saya dan meludahi wajah saya. Saya pikir, mungkin, perasaan saya, mungkin saya bau. Mungkin saya kurang mandi,” ujarnya, sambil tersenyum mengenang kepolosan dan kenaifannya sendiri sebagai siswa sekolah menengah.
Benny kemudian membeli sabun dan mandi tiga kali sebelum masuk sekolah pada hari berikutnya. Namun, siswa itu meludahinya lagi. Teman-teman sekelasnya menertawakannya. Barulah kemudian ia sadar: ini bukan soal kebersihan pribadi. Ini rasisme.
“Anda pikir itu karena saya hitam, karena saya orang Papua, saya kotor!?! Saya memiliki mata, saya memiliki tangan… Saya manusia—sama seperti Anda! Kita ini manusia dan kita semua layak diperlakukan sama. Dengan sehormat-hormatnya,” tegas Benny, dikutip melalui situs webnya. Namun, prasangka dan bias yang ia hadapi hanya mengakar semakin dalam: guru dan siswa Indonesia lainnya menggunakan kata-kata seperti “bodoh”atau “kotor” untuk merujuk pada siswa Papua. Ada juga kecenderungan untuk melihat orang Papua sebagai primitif dan tidak punya tata-krama. Bahwa beberapa pria Papua tidak mengenakan apapun selain koteka, misalnya, menimbulkan reaksi seperti cemoohan—yang menunjukkan bahwa praktik itu tak bisa diterima.
Benny bukan satu-satunya korban rasisme. Banyak anak Papua mengalami kejadian serupa saat mereka bersekolah—bahkan hingga hari ini. Pada Agustus 2019, muncul gelombang protes baru yang disebabkan penghinaan dan pelecehan rasis terhadap pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur. Pendekatan militeristik terhadap rangkaian aksi protes ini berujung pada kematian lebih dari 33 orang Papua. Niscaya, para demonstran pun semakin marah dan membakar gedung serta fasilitas umum. Sebulan kemudian, aksi protes yang berbeda meletus di Wamena, Provinsi Papua. Mirisnya, penyebabnya sama sekali tak asing: seorang guru diduga mengolok-olok seorang siswa Papua dengan cibiran “monyet”. Sebagian besar korban kerusuhan kali ini merupakan transmigran dari luar Papua, meninggalkan kemarahan dan permusuhan antara kedua kelompok (Papua dan pendatang non-Papua).
Setelah berhasil menyelesaikan sekolah dasar dan menengah pertama, Benny mengambil studi Elektro di sekolah kejuruan milik pemerintah di Abepura, Jayapura. Danny—kami hanya menggunakan nama depannya karena alasan keselamatan—merupakan teman dekat Benny yang satu kelas bersamanya selama tiga tahun. Kepada New Naratif, Danny menceritakan bahwa sebagai seorang remaja, pemimpin masa depan ULMWP itu adalah “seorang yang sangat pendiam dan serius”. Hanya sewaktu-waktu ia membuat lelucon yang membuatnya disukai teman-teman sebayanya. Namun, Benny sama sekali tidak pernah bercerita mengenai keluarganya—maupun keterlibatannya dalam perjuangan melawan pemerintah Indonesia.
Minat Benny yang tinggi untuk belajar sejarah Papua membuat banyak pihak khawatir; salah satunya adalah seorang dosen di universitasnya. Dalam wawancara dengan New Naratif, Benny mengungkapkan bagaimana sang dosen memperingatkannya: “Benny, hati-hati. Kamu terlampau agresif [mencari] informasi [tentang sejarah Papua], ini akan [menempatkanmu dalam] bahaya.” Terutama karena, tambah dosen tersebut, Benny berasal dari pegunungan, pusat sebagian besar perlawanan orang Papua terhadap militer Indonesia.
Seperti wilayah maritim Asia Tenggara lainnya, Papua terbentang menghadap ke laut. Kota-kota besar berada di dekat pesisir dan umumnya terhubung ke dunia melalui jaringan perdagangan dan informasi. Namun, mereka yang berada di pegunungan memiliki konektivitas yang jauh lebih minim—tidak hanya ke daerah sekitar pesisir, tetapi juga ke bagian pegunungan lainnya. Kombinasi antara lokasi yang terpencil dan tidak adanya kebebasan pers maupun alternatif sumber informasi lainnya (yang berlangsung hingga saat ini, tetapi terutama pada dekade 1970-80) menyebabkan penduduk asli Papua yang banyak menetap di pegunungan kurang terpapar informasi tentang kejadian terkini.
Kondisi geografis ini memiliki pengaruh besar terhadap sejarah Papua. Selama periode penumpasan militer pada 1969, kondisi masyarakat Papua yang saling terisolasi menguntungkan Indonesia dalam mengamankan referendum untuk mencaplok Papua. Tetapi, sampai hari ini pun wilayah pegunungan Papua tidak memiliki konektivitas internet yang layak. Kondisi ini disebut-sebut sebagai upaya militer Indonesia mengendalikan informasi dan menghalangi segala bentuk pergerakan yang terstruktur dan dapat menyebar luas. Hingga saat ini, pemerintah pusat di Jakarta sepenuhnya memegang kendali atas jaringan internet dan telepon di Papua. Ketika enam demonstran Papua ditembak dan dibunuh oleh pasukan keamanan di pegunungan Distrik Deiyai pada Agustus 2019 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir akses internet dan saluran telepon, membuat wartawan tidak dapat menghubungi sumber atau menyampaikan berita.
Sebagai seorang mahasiswa, Benny melanggar aturan dan melampaui hambatan informasi melalui membaca dengan penuh semangat. Perlahan, ia tiba pada kesimpulan mengapa militer Indonesia membom desanya dan membunuh anggota keluarganya: “Alasannya adalah karena Indonesia secara ilegal menduduki negara kita,” tegasnya. Ia menyebut referendum 1969 sebagai “tindakan memilih tanpa pilihan”, mempertanyakan bagaimana referendum itu dapat sah ketika, dari hampir jutaan orang, hanya 1.026 warga yang dipilih—dan itu pun di bawah tekanan besar.
Rencana dekolonisasi diperkenalkan pertama kali oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Joseph Luns, pada 1960, di tengah-tengah eskalasi konflik antara Belanda dan Indonesia. Namun, Indonesia tidak senang dengan usulan kemerdekaan untuk Papua. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Operasi Tri Komando Rakyat (TRIKORA)—yang pada dasarnya merupakan seruan untuk menganeksasi wilayah Papua secara paksa. Kala itu, operasi Indonesia didukung oleh negara sekutu terdekatnya: Uni Soviet.
Khawatir akan dimulainya persekutuan antara Indonesia dan Uni Soviet, Amerika Serikat berusaha mempertahankan pengaruhnya di negara Asia Tenggara terbesar tersebut. Langkah yang dipilih AS adalah dengan memprakarsai Perjanjian New York antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda menyangkut Papua Nugini (sebagaimana Papua pada waktu itu disebut). Dalam dokumen itu, tertulis jaminan bahwa orang Papua diizinkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)—dalam kata lain, referendum untuk menentukan status politik mereka sendiri. Ketika referendum akhirnya berlangsung, tampuk kepemimpinan Indonesia di Jakarta telah beralih ke Presiden Soeharto. Sementara itu, di seberang lautan, sejumlah kecil orang Papua diduga tengah dipaksa untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Victor Mambor, seorang jurnalis senior di Papua dan mantan pemimpin redaksi Tabloid Jubi, surat kabar terkemuka di wilayah itu, mengatakan kepada New Naratif bahwa ada berbagai upaya untuk menutup-nutupi ihwal referendum, atau setidaknya membatasi pengetahuan tentang peristiwa tersebut. Periode Orde Baru Soeharto merupakan masa-masa yang berbahaya bagi jurnalis di Indonesia—terlebih jurnalis yang menulis tentang referendum Papua, dan karenanya persoalan ini sulit diangkat ke publik. Walau memang ada sejumlah wacana yang mempersoalkan referendum Papua baik dalam skala domestik maupun internasional, jumlahnya hanya segelintir.
Pada akhirnya, tidak ada kemenangan yang bertahan lama. Pada Mei 1998, Presiden Soeharto sukses digulingkan aliansi masyarakat sipil. Tak lama berselang, wilayah lain yang diperebutkan Indonesia, Timor-Leste, memilih merdeka pada 1999. Langkah Timor Leste rupanya menghasilkan efek domino: pada 2000, ribuan orang Papua mengadakan dan menghadiri kongres untuk menuntut penentuan nasib sendiri.
“Saat itu…informasi pertama kalinya tentang PEPERA dibuka. Semakin banyak orang datang; semakin banyak informasi yang kami terima tentang peristiwa tersebut,” jelas Mambor. Kongres ini diliput oleh banyak wartawan asing, yang mulai menulis tentang isu-isu yang berkaitan dengan referendum, serta tuntutan orang Papua.
“Ini adalah masalah kemanusiaan. Ini bukan tentang Benny Wenda yang berjuang untuk dirinya sendiri. Beginilah cara setiap manusia hidup dalam harmoni dan damai…harmoni untuk semua orang. Karena kita berbagi satu planet. Kita ini seperti komunitas,” katanya.
Saat masih di universitas, Benny memprakarsai kelompok diskusi untuk mahasiswa Papua—dari segala usia dan dari semua suku, baik dari pegunungan maupun wilayah pesisir—untuk berkumpul dan berbincang mengenai makna menjadi orang Papua. Di atas semua itu, ia ingin mengubah pola pikir anak-anak Papua, yang telah dibesarkan dan diberi tahu bahwa mereka primitif, bodoh dan kotor, dan mengajarkan kepada mereka bahwa untuk berbangga akan identitasnya sendiri.
Saat menjadi seorang aktivis, tujuan Benny ada dua. Pertama, untuk membawa perdamaian bagi orang Papua; dan kedua, untuk membawa kemerdekaan ke Papua. Ia menolak segala bentuk balas dendam maupun kekerasan, dan berkomitmen untuk berkampanye secara damai karena percaya cara tersebut akan menarik perhatian khalayak lebih luas terhadap perjuangan orang Papua.
Rupanya, hal ini juga merupakan langkah politik yang cerdik: orang Papua tidak memiliki kemampuan militer yang memadai untuk melawan tentara Indonesia, sementara dukungan politik dari pemerintah asing untuk perjuangan kemerdekaan Papua masih minim. Upaya manapun yang dianggap memiliki tujuan serupa dengan perlawanan gerilya Timor-Leste kemungkinan akan disikapi dengan tindakan kekerasan masif. Sementara itu, alasan Indonesia dalam membenarkan tindak kekerasan pada dunia internasional masih bergantung pada dalih yang sama: mengatasi aksi terorisme domestik.
Dengan kata lain, apabila orang Papua menerapkan perlawanan fisik, kemungkinan yang akan terjadi berikutnya adalah komunitas internasional akan diam-diam memalingkan muka, sementara orang-orang Papua mati dibunuh. Dengan memfokuskan gerakannya pada jalur anti-kekerasan, Benny memilih untuk mengikuti jejak Gandhi dan Martin Luther King.
Untuk mencapai tujuannya, Benny Wenda juga berusaha mengubah pandangan dan kesan orang Indonesia tentang Papua dan rakyatnya. Sikap dasar orang Indonesia terhadap kondisi Papua adalah apatisme terhadap pendudukan Indonesia di wilayah tersebut. Yang Benny ingin lakukan adalah memenangkan persahabatan dan pengertian orang Indonesia, dan membuat sekutu dengan mereka. Gerakan yang ia usung sangat aktif di ranah daring—terutama media sosial—dan berupaya untuk menambal celah informasi dan pengetahuan mengenai penderitaan rakyat Papua.
Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998, sebuah peluang akhirnya terbuka bagi pendukung gerakan kemerdekaan Papua. Penggulingan pemerintahan Soeharto menghidupkan kembali bara gerakan kemerdekaan di beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh dan Timor-Leste. Setelah 32 tahun, orang-orang di Papua Barat kembali menyerukan “Kemerdekaan untuk Papua!” di jalanan. Anak-anak muda Papua—yang sebelumnya telah menyatakan protes agar demokrasi ditegakkan—kini secara terbuka menyerukan tuntutan kemerdekaan penuh. Mereka semua berbagi euforia dari apa yang mereka sebut sebagai “Kebangkitan Bangsa Papua”.
Aprila Wayar, seorang novelis dan jurnalis asal Papua, sedang menjalani tahun pertama kuliah ketika rezim Soeharto jatuh. Ia menceritakan kepada New Naratif bagaimana para mahasiswa Papua—baik mereka yang berkuliah di dalam maupun di luar Papua—mulai berorganisasi dalam periode yang relatif lebih terbuka itu. Salah satu organisasi yang menjelma sebagai dasar gerakan pemuda Papua adalah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang diprakarsai para mahasiswa di luar pulau. Pada Agustus 2018, AMP merupakan salah satu organisasi yang memimpin demo di seluruh Indonesia, memprotes dugaan tindakan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya.
Nama Benny Wenda belum terkenal saat itu. “Pada waktu itu, kami belum akrab dengan nama Benny Wenda, atau organisasi di mana ia berafiliasi,” kata Aprila. Sebaliknya, ia menyebutkan nama-nama seperti Theys Eluay, Thaha Al Hamid, Thomas Wanggai, dan John Mambor sebagai para pemimpin yang terkenal di kalangan mahasiswa Papua pada 1998.
Danny, yang tetap akrab dengan Benny setelah mereka lulus sekolah kejuruan, mengaku bahwa temannya itu tak pernah membahas masalah politik selama masa-masa pergolakan setelah Soeharto lengser. “Saya tidak punya cukup informasi [tentang kegiatannya], karena ia hanya datang ke asrama saya, kemudian tidur-tiduran sambil mendengarkan UB40 dan Bob Marley,” kata Danny. Rupanya, Benny bungkam mengenai aktivismenya. Danny baru mengetahui belakangan bahwa Benny aktif dalam sebuah organisasi yang bekerja untuk suku-suku di pegunungan, dan temannya itu dipenjara setelah bergabung dengan aksi damai sekitar tahun 2000–2002.
“Saya tahu [ia ditangkap] dari Cendrawasih Post (koran lokal). Ada nama Benny, tetapi saya ragu apakah itu Benny teman saya atau bukan, karena ada banyak orang Papua bernama Benny. Saya kaget ketika tahu itu dia, ” kenang Danny.
Organisasi tempat Benny berkecimpung bernama Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (atau Demmak), dimana ia terpilih sebagai pemimpin eksekutif pada 2000. Majelis ini berkampanye untuk melindungi adat istiadat, nilai-nilai, dan kepercayaan masyarakat di suku-suku di pegunungan, dan merupakan organisasi payung bagi beberapa suku dari pegunungan tengah dan selatan Papua—Lani, Mee, Amungme, Komoro, Yali, Damal, dan Moni—bersama dengan sub-suku lain seperti Nggem, Walak, Hubla, Kimyal, Momuna, serta Ngalik. Demmak turut bekerja sama dengan Dewan Presidium Papua (PDP) yang kemudian dipimpin oleh Theys Eluay, aktivis Papua paling disegani saat itu.
Theys Eluay sebelumnya memimpin delegasi yang beranggotakan sedikitnya 100 orang Papua untuk bertemu Presiden BJ Habibie di Jakarta. Karena Habibie baru saja memberi Timor-Leste hak untuk mengadakan referendum kemerdekaan, Theys berusaha untuk menegosiasikan peluang yang sama untuk Papua. Namun, pembicaraan itu tak membuahkan hasil. Habibie justru meluncurkan program otonomi khusus, yang seolah-olah menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat untuk menyerahkan kuasa pemerintahan—yang sangat terbatas—kepada orang Papua.
Benny bersikeras menentang program itu, yang menurutnya tidak cukup untuk menjawab tuntutan orang Papua dan perjuangan mereka untuk kemerdekaan—sebuah perjuangan yang membuat banyak orang kehilangan nyawa mereka. “Saya tidak akan pernah kompromi pada tawaran [otonomi khusus, yang diharapkan akan diperpanjang pada 2021] dari Jakarta. Itu sebabnya Indonesia tidak menyukai saya,” katanya.
Simak juga: TRWP Menolak Tegas Ajakan Dialog Dipromosikan Oleh Agen Papindo JDP Bersama Intelektual BIN di LIPI
Benny terus menolak tawaran dialog yang datang, termasuk dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), biro penelitian negara yang bekerja di Papua dan daerah lainnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia lebih suka berdialog menggunakan LIPI, yang kerap dipercaya untuk memberi rekomendasi terkait Papua. Benny melihat skema ini sangat membatasi. Sebabnya, metode dialog dengan lembaga macam LIPI cenderung tidak melibatkan perwakilan dari berbagai sisi masyarakat Papua seperti gereja, pemimpin adat, dan Majelis Rakyat Papua. Tanpa komposisi perwakilan yang adil, Benny percaya bahwa dialog akan sulit untuk sampai pada kesimpulan yang berarti—apalagi mendapat dukungan politik yang cukup.
Alih-alih, Benny fokus pada satu proposisi: membiarkan rakyat Papua memilih jalan mereka sendiri melalui referendum. Ia mengatakan pada New Naratif bahwa ia akan menghormati hasil pemungutan suara yang berlangsung dengan bebas dan adil, meskipun hasilnya tidak sejalan dengan keyakinan politiknya sendiri. “Jika [orang-orang Papua] ingin tetap menjadi bagian Indonesia, itu sah-sah saja,” katanya. Namun, orang Papua harus memilih secara independen, bebas dari gangguan atau intimidasi.
Ia terjebak pada posisi ini selama bertahun-tahun. Pada Oktober 2019, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk berdialog dengannya dan ULMWP. Meski demikian, Benny menyatakan kepada media bahwa ia hanya akan berpartisipasi jika sejumlah persyaratan dipenuhi. Pertama, ia mengajukan bahwa pertemuan itu harus melibatkan kelompok perwakilan Papua yang majemuk, bukan hanya ia dan organisasinya. Ia juga meminta agar akses ke Papua diberikan kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, media internasional, dan LSM lainnya. Terakhir, ia mendesak penarikan 16.000 pasukan keamanan yang dikerahkan ke Papua sejak Agustus 2019, dan pembebasan para tahanan politik.
“Agar kita percaya bahwa segalanya telah berubah, Indonesia harus menunjukkan itikad baik dan menyetujui kondisi kita. Keinginan kita adalah untuk mencapai referendum yang demokratis, untuk menegakkan hak kita untuk mandiri,” jelasnya kepada media.
Pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid alias “Gus Dur” yang baru terpilih memberi harapan baru bagi orang Papua. Gus Dur dikenal lebih toleran terhadap isu politik ketimbang para pendahulunya. Di bawah kepemimpinannya, orang Papua untuk pertama kalinya bebas mengibarkan bendera mereka sendiri, Bintang Kejora, simbol identitas politik dan budaya Papua. Sayangnya, pemerintahan Gus Dur berumur pendek; ia dilengserkan pada 2001, dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, anak Presiden Soekarno.
“Ia adalah pria yang damai. Ia adalah orang yang benar. Saya pikir Ia adalah simbol perdamaian dan keadilan,” kata Benny, merefleksikan keprihatinannya tentang singkatnya masa kepemimpinan Gus Dur.
Megawati menegaskan kembali kedaulatan Indonesia atas Papua, mengutuk gerakan kemerdekaan, dan menindak tegas “para separatis”. Pada November 2001, Theys Eluay, pemimpin PDP, dibunuh oleh militer. Ada kekhawatiran bahwa aktivis Papua lainnya, termasuk Benny, berada dalam bahaya. Tetapi ia menolak untuk berkompromi dan tetap berpegang pada posisi politik Demmak: kemerdekaan penuh dari Indonesia.
Pengadilan Benny dimulai pada 24 September 2002 dan berlangsung selama beberapa minggu. Polisi bersenjata mengepung ruang sidang setiap hari, mengawasi banyak pendukungnya. Menurut biografi di situs webnya, terdapat sejumlah penyimpangan sepanjang proses pengadilan tersebut. Baik penuntut dan hakim disebut meminta suap kepada tim pembela Benny, yang mereka tolak mentah-mentah. Ada pula masalah dalam mengidentifikasi saksi penuntut utama dan memastikan bahwa mereka akan bersaksi di pengadilan. Semua hal ini membuat Benny ragu bahwa ia akan diadili dengan jujur.
Selama di penjara, Benny kerap diserang secara fisik oleh para sipir dan diancam oleh sang kepala penjara, Sudarsono. Ia menjelaskan bahwa bukti di persidangan untuk menghukumnya kurang kuat, dan setelah itu muncul desas-desus bahwa intelijen militer akan membunuhnya di penjara sebelum persidangan mencapai vonis. Atas saran pengacaranya, ia tidak memakan makanan yang disediakan di penjara karena risiko keracunan; selain itu, ia juga terancam akan mengalami kekerasan dari tahanan lain. Di titik ini, Benny tahu bahwa ia akan dibunuh kalau bertahan. Ia harus melarikan diri.
Pada bagian ini, cerita Benny menjadi kabur. Ia tidak banyak bicara tentang bagaimana ia berhasil melarikan diri. Sebaliknya, yang ia tekankan adalah bahwa, saat ia pergi, ia membuat janji:
“Saya katakan, jika saya berhasil melarikan diri, saya akan membawa pesan itu…saya akan memberitahu dunia bahwa orang-orang saya ingin bebas. Itu janji saya. Saya akan memberi tahu orang-orang saya bahwa saya meninggalkan Anda dengan air mata, tetapi suatu hari saya akan kembali kepada Anda dengan senyum. Itu janji saya. “
Beralih lagi ke biografinya, Benny menyatakan bahwa ia kabur dari penjara Abepura pada 27 Oktober 2002. Polisi Indonesia diduga telah mengeluarkan perintah tembak-menembak. Namun, Benny berhasil diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini, kemudian dibantu oleh kelompok LSM Eropa untuk terbang ke Inggris dan memperoleh suaka politik. Pada 2003, Benny dan istrinya Maria kembali dipersatukan di Inggris, di mana mereka sekarang tinggal bersama kelima anak mereka.
Ia tetap menjadi salah satu orang yang paling dicari di Indonesia hingga hari ini. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menghalangi pekerjaannya, seperti mengeluarkan surat perintah penangkapan melalui Interpol (polisi internasional) pada 2011. Surat perintah itu dicabut pada 2012 setelah naik banding.
Tetapi, perselisihan Benny dan pemerintah Indonesia terus memburuk. Baru-baru ini, Benny kembali menjadi tajuk berita utama setelah Menkopolhukam Wiranto menuduhnya sebagai dalang demonstrasi yang terjadi di seluruh wilayah Papua. Benny menanggapi tuduhan ini dengan menyatakan bahwa Wiranto sendiri adalah penjahat perang yang telah dinyatakan oleh PBB maupun investigasi dalam negeri sebagai berperan dalam memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia dan milisi pro-pemerintah di Timor-Leste.
Ketika ia memulai kampanye, seorang teman berkomentar tentang tujuan Benny yang tampak mustahil tercapai: “Benny, kasusmu [melawan] sebuah negara besar. Bagaimana Anda bisa mengubah pola pikir negara sebesar ini?”
Benny tak gentar. Yang ia tahu, ia harus memulai, entah dari mana. Sementara itu, dukungan pun tumbuh perlahan selama bertahun-tahun, baik dari Inggris maupun negara lainnya. Saat ini, Kampanye Papua Merdeka telah memiliki cabang dan organisasi pendukung di Eropa, Amerika Serikat, Australia, Kepulauan Pasifik, Filipina, dan Afrika, yang dibangun melalui jaringan eksil Papua dan sekutu mereka.
Ia juga berpartisipasi dalam berbagai inisiatif lain. Pada Oktober 2008, ia meluncurkan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua di House of Commons di London, bersama Lord Harries dari Pentregarth dan Anggota Parlemen untuk Oxford saat itu, Andrew Smith. Kelompok ini berfokus pada pengembangan dukungan untuk Papua di kalangan anggota parlemen di seluruh dunia, dengan harapan suatu hari dapat mencapai dukungan di tingkat PBB untuk kemerdekaan Papua.
Pada 2014, Benny dan aktivis pro-kemerdekaan lainnya memprakarsai Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua (ULMWP), organisasi yang ia pimpin hari ini. ULMWP menyatukan tiga organisasi politik utama—Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (NPWP)—di bawah satu payung besar.
“Kami memiliki lawan yang sama, yaitu Indonesia. Kami ingin menunjukkan kepada pemerintah Indonesia dan orang luar bahwa kami bersatu. Kami hanya ingin mengadakan referendum secara damai,” Benny menjelaskan tujuan organisasinya. Sebagian besar fokus ULMWP adalah melobi kelompok-kelompok internasional dan pemerintah guna mencari dukungan untuk perjuangan Papua.
Meski demikian, menyebut bahwa Gerakan Papua Merdeka merupakan organisasi dengan komando terpusat, kompak, dan tidak memiliki antagonisme internal juga penyederhanaan yang salah kaprah. Seperti banyak organisasi lain, ULMWP juga memiliki kompleksitasnya sendiri; anggotanya terbagi oleh perbedaan pendapat atas dasar etnis, regional, pribadi, dan strategis.
Pembentukan ULMWP memang merupakan terobosan besar, yang didorong oleh keinginan bersama untuk pengakuan—dan akhirnya menjadi anggota Kelompok Pelopor Melanesia. Namun, gerakan ini juga masih banyak kekurangan, terutama persoalan koordinasi. Unit-unit bersenjata mereka terpisah satu sama lainnya dan menduduki wilayah yang berbeda. Kontrol teritorial mereka terbatas, sementara tak ada orang yang berperan sebagai komandan tunggal. Selain itu, berbagai kelompok politik hampir tidak pernah mensinergikan tujuan mereka bersama. Umumnya, kelompok-kelompok ini terbagi antara mereka yang mendukung pendekatan lebih agresif—memancing kekerasan pasukan keamanan dan berharap bahwa kemarahan internasional atas pelanggaran HAM akan mendorong intervensi (seperti yang terjadi di Timor-Leste)—dan mereka yang lebih memilih untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia dan ditengahi oleh pihak ketiga dari komunitas internasional (seperti halnya Aceh). Konteks perundingan di Aceh yang akhirnya menghasilkan perjanjian damai pada 2005 dan berhasil mengakhiri pemberontakan tiga dekade sangat berbeda dengan situasi di Papua; hal ini membuat tercapainya kata sepakat dengan Indonesia melalui mediator luar nyaris tidak mungkin. Sebagai Ketua ULMWP, Benny berusaha untuk tidak memihak dan berkompromi dengan semua pendekatan tersebut.
Terobosan positif lain terjadi pada 2017, ketika para aktivis pro-kemerdekaan mempertaruhkan diri ditangkap dan dipenjara karena mengumpulkan 1,8 juta tanda tangan (meliputi 70,88% penduduk asli Papua) untuk sebuah petisi yang menuntut penentuan nasib sendiri. Walau sempat dihalang-halangi, mereka akhirnya berhasil menyerahkan petisi tersebut ke PBB pada Januari 2019, setelah Benny diizinkan bergabung bersama pertemuan delegasi Vanuatu dengan Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet. Indonesia jelas berang akan langkah ini, dan menuduh Vanuatu telah “mengambil langkah manipulatif”.
“Ini adalah kesalahan PBB. Anda (PBB) melanggar aturan Anda sendiri, Anda harus memperbaikinya,” katanya pada kami.
Seiring kabar tentang aktivisme dan perlakuan sewenang-wenang terhadap Benny diberitakan ke seluruh dunia, ia mulai populer di antara Orang Papua di Indonesia, dan lebih luas lagi, Asia Tenggara. Tiga mahasiswa Papua yang bergabung dalam protes menentang rasisme Agustus lalu mengatakan kepada New Naratif bahwa mereka melihat Benny Wenda sebagai panutan. Di Boven Digoel, di perbatasan antara Papua dan Papua Nugini, seorang ‘anak daerah’ mengatakan ia mendengar tentang apa yang dilakukan Benny di Inggris. Matanya berbinar ketika mendengar bahwa New Naratif baru saja bertemu dengan Benny di Oxford. “Kami mengikuti apa yang dilakukan Benny dari sini,” katanya.
“Hampir semua orang [di Papua] tahu siapa Benny Wenda,” kata mantan teman sekelasnya, Danny.
Akan tetapi, aktivisme Benny bukannya berlangsung tanpa perselisihan. Sementara Benny mendapat pujian dari orang-orang Papua, ia juga mendapat kritik keras dari aktivis pro-kemerdekaan lain. Pada Juli 2019, Benny mengumumkan bahwa tiga kelompok bersenjata—Tentara Revolusi Papua Barat (TRWP), Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) dan Nasional Papua Barat Tentara Pembebasan (TPNPB, kependekan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat)—telah sepakat untuk berkoordinasi dengan ULMWP dan menjadi satu pasukan untuk mendorong kemerdekaan. Pernyataan ini dibantah oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, yang menuduh Benny telah membajak gerakan pro-kemerdekaan dengan membuat klaim sepihak. “Ini adalah propaganda murahan oleh Benny Wenda dan Jacob Rumbiak yang ingin mencari legitimasi dari [kami], karena kami tidak mengakui ULMWP,” katanya kepada BBC.
Ironisnya, meski beberapa kubu Gerakan Papua Merdeka tidak mengakui kepemimpinan ULWMP, pemerintah Indonesia diam-diam tetap mengakui organisasi tersebut sebagai perwakilan gerakan kemerdekaan Papua yang paling dikenal khalayak luas. Hal ini membuat pemerintah Indonesia memfokuskan serangan dan kritik mereka terhadap Benny dan ULMWP (serangan verbal Wiranto terhadap Benny adalah buktinya) tapi juga menganggap mereka sebagai pihak paling strategis untuk diajak berdialog.
Baca ini: Perjalanan Benny Wenda dari Penjara Abepura ke Internasional dan Pimpin ULMWP
Victor Mambor mengatakan bahwa argumen antara aktivis pro-kemerdekaan adalah hal umum: sejak kematian Theys Eluay, belum ada pemimpin yang dapat menyatukan orang Papua. Tapi ia juga menekankan bahwa ini bukan masalah utama yang perlu dibahas, mengingat gerakan ini memiliki tujuan yang jauh lebih besar; orang-orang yang berbeda sebenarnya memainkan peran yang berbeda pula.
“Benny punya tugasnya sendiri untuk dilakukan,” tegas Mambor.
Benny skeptis dengan klaim Jokowi, terutama karena orang-orang Papua Barat sendiri tidak dapat berpendapat tentang bagaimana seharusnya pembangunan berlangsung di tanah mereka. “Anda bisa membawa pembangunan, [tetapi] pembangunan seharusnya sudah terjadi 30 tahun yang lalu. Jadi Anda tidak bisa membawa pembangunan di atas penderitaan lebih dari ratusan ribu yang sudah terbunuh, dan [di mana] sentimennya semakin keras.”
Ini bukan kali pertama Jokowi mengecewakan orang Papua: pada 2014, anak-anak di Kabupaten Paniai dibunuh oleh petugas gabungan polisi-militer. Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi pada akhirnya menyerahkan tanggung jawab kepada Wiranto. Investigasi tersebut dilakukan tanpa transparansi, dan pada akhirnya negara pun meninggalkan keluarga korban tanpa jawaban maupun keadilan.
Benny berharap bahwa terpilihnya kembali Jokowi pada 2019 akan menempatkan sang Presiden dalam posisi politik yang lebih aman untuk memenuhi janjinya. Hal ini, sayangnya, nyaris mustahil terjadi mengingat Jokowi justru semakin akrab dengan pihak militer. Ketika Jokowi baru-baru ini mengunjungi Papua setelah terpilih kembali, ia bungkam mengenai kematian orang Papua dalam kerusuhan yang terjadi belum lama lalu.
Di ranah internasional pun, perjuangan ULMWP menemui tantangan baru. Belum lama ini, Indonesia meluncurkan Badan Pembangunan Internasional, yang bertujuan menangguhkan hubungan diplomatik melalui pemberian bantuan. Prioritasnya: negara-negara Pasifik. Publik pun menyorot langkah ini sebagai salah satu taktik melobi negara-negara yang selama ini ini bersimpati pada gerakan Papua Merdeka. Dalam dunia penuh kesepakatan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh elit penguasa, langkah semacam ini akan menjadi masalah lain harus disiasati para aktivis.Hingga saat ini, Benny Wenda tidak yakin apakah ia dapat kembali ke Papua yang telah bebas. Tetapi ia senantiasa hidup dengan harapan: “Suatu hari, seorang pemimpin muda yang cerdas dan generasi baru Indonesia, [akan] keluar. Mereka akan mengerti…suatu hari, mereka akan berubah. Suatu hari, mereka akan mengakui apa yang mereka lakukan.”
References
Penulis Thum Ping Tjin, Febriana Firdaus
Ilustrator Hasbi Ilman
Posted by: Admin
Copyright ©New Naratif "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Sudah lama sejak Benny Wenda terakhir melihat kampung halamannya sendiri. Sejak 2002, aktivis Papua yang termasyhur ini memperoleh suaka politik di Inggris. Kini ia tinggal di kota tempat Universitas Oxford berdiri—di belahan dunia lain, jauh dari pegunungan rimbun Papua tempat ia berasal.
Jalan yang membawa Benny ke Inggris dimulai jauh sebelum ia dilahirkan. Hingga 1961, Papua masih dianggap sebagai wilayah koloni Belanda; status ini berakhir ketika rakyat Papua mendeklarasikan kemerdekaan mereka pada 1 Desember 1961. Indonesia, bagaimanapun, dengan cepat mengklaim Papua merupakan bagian dari wilayahnya sendiri, kemudian menyerbu dan menduduki Papua. Pada 1969, klaim Indonesia atas Papua akhirnya mendapat pengakuan PBB setelah diselenggarakannya referendum Act of Free Choice, atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)—sebuah proses yang terindikasi berlangsung penuh kecurangan. Sebanyak 1.026 orang Papua (dari populasi yang seharusnya berjumlah 800.000 jiwa) dipaksa untuk menerima integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia. Sejak saat itu, Papua secara ‘de facto’ berada di bawah kekuasaan militer Indonesia, sementara mereka yang menolak: diawasi, diintimidasi-dipersekusi, dipenjara, hingga menjadi korban berbagai tindak kekerasan.
Sebagian besar orang Papua menolak pendudukan Indonesia. Beberapa dari mereka kemudian mengambil peran yang lebih aktif dalam mendorong kemerdekaan—salah satunya melalui kelompok seperti Gerakan Persatuan untuk Pembebasan Papua (ULMWP, atau United Liberation Movement for West Papua), sebuah koalisi yang terdiri dari tiga organisasi besar pro-kemerdekaan.
Saat ini, kepemimpinan ULMWP—serta tanggung jawab besar yang harus dipikul pihak yang mengembannya—berada di pundak satu orang: Benny Wenda. Pada Agustus 2018, New Naratif menemuinya untuk memahami motivasi, tujuan, dan kegigihannya dalam menghadapi berbagai tantangan yang luar biasa.
Pemerintah Indonesia seringkali menggambarkan Benny sebagai pengkhianat bangsa yang manipulatif dan keras kepala; lain kalinya, seorang demagog subversif yang bertujuan memecah belah Republik Indonesia. Kami sendiri, menjelang wawancara, membayangkannya sebagai laki-laki yang penuh semangat, kekuatan, dan memiliki kharisma luar biasa. Yang kami dapati, tak disangka, adalah sosok yang sangat berbeda.
Kesan awal saat menemui Benny adalah seorang pria yang ramah, lembut, penuh kehangatan dan penuh canda. Namun, penggambaran ini pun kurang tepat: ia terlihat sedikit lebih tua dari umur sebenarnya—pada saat wawancara ini berlangsung, Benny berusia 45 tahun.
Di atas segalanya, ia tampak sebagai seorang yang penuh martabat. Benny lancar berbicara dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, lengkap dengan aksennya yang kental. Kata-katanya dituturkan dengan pelan dan tak meletup-letup, seakan menanggung beban pengalaman yang menyakitkan. Sepanjang wawancara, ia selalu tampak tenang dan hampir tak tergoyahkan—bahkan saat menjawab pertanyaan sensitif, yang ia tanggapi dengan rasa humor dan kerendahan hati.
Masa Kanak-kanak yang Berakhir Terlalu Cepat
Dilahirkan pada 1974 di wilayah pegunungan Papua, Benny Wenda kecil tumbuh besar di Distrik Pirime yang merupakan jantung Kabupaten Lanny Jaya. Jarak antara wilayah tempat Benny tinggal di Provinsi Papua dengan ibukota Jakarta lebih dari 2.000 mil—setara dengan jarak antara Jakarta dan Vientiane, ibukota Laos.“Saya besar bersama ibu saya, [merawat] kebun. Saya belajar cara membuat busur dan anak panah. Saya belajar bercocok-tanam ubi,” kisahnya sambil mengenang masa kecil.
Kehidupan yang tenang ini berlangsung hingga 1977, ketika militer Indonesia tiba di desa Benny dan mengubah segalanya. Ia menceritakan kepada kami akan penindasan, kekerasan, dan kebrutalan sepanjang periode ini, termasuk pemeriksaan dan pengawasan terus-menerus oleh militer. Beberapa bibinya diperkosa dan dibunuh.
Pada 1977 dan 1978, Indonesia meluncurkan operasi militer besar-besaran di kawasan Pegunungan Tengah Papua sebagai tanggapan atas meningkatnya pemberontakan yang terjadi sekitar pemilihan umum 1977. Militer Indonesia datang membombardir desa-desa, dan menghancurkan kebun-kebun yang siap panen.
Tidak ada catatan resmi akan jumlah orang yang terbunuh dalam operasi tersebut. Namun, pada 1981, mantan gubernur Papua Eliezener Jan Bonay sempat bersaksi di hadapan Pengadilan Hak Asasi Manusia bahwa jumlah korban jiwa di Papua mencapai sekitar 3.000 jiwa. Pendeta Obet Komba, seorang imam dari Lembah Baliem, melaporkan bahwa operasi militer menyebabkan kematian 11.000 orang akibat penembakan, penyiksaan, wabah penyakit dan kelaparan—dan itupun baru di wilayah Jayawijaya. Diperkirakan bahwa sebanyak 9.000 orang lain menjadi korban jiwa di Wamena, Piramida, Kurulu, Kelila, Bokondini dan Kobakma; selain itu, terdapat pula 2.000 kasus kematian di Pegunungan Timur.
Rangkaian tragedi tersebut sudah lebih dari 40 tahun berlalu. Namun, mereka yang sempat menyaksikannya masih dapat mengingat dengan jelas. Saul G Bomay, juru bicara Dewan Revolusi Komando Tentara Pembebasan Nasional Gerakan Papua Merdeka (TPN-OPM), mengenang begitu banyaknya korban yang jatuh: “Banyak dari mereka kelaparan sampai mati. Tidak ada makanan [karena] kebun telah dikuasai oleh militer pro-Indonesia. Kami melarikan diri ke Baliem bagian utara, pusat Membramo, Tolikara, Puncak Jaya, Ilaga, dan Mulia.” Daerah-daerah tersebut terletak di dataran tinggi tengah Papua.
Didukung oleh Amerika Serikat, operasi militer Indonesia membuat rakyat Papua tidak dapat lagi menjalankan aktivitas kehidupan di desa. Bersama tetangga satu desa mereka, keluarga Benny pun terpaksa mengungsi ke pegunungan. Ia sendiri terluka karena serangan militer, tetapi tidak dapat memperoleh pertolongan medis. Kurangnya perawatan untuk Benny kecil menyebabkan salah satu kakinya secara signifikan lebih pendek dari yang lain, hingga hari ini.
Tahun berikutnya, ketika Benny baru berusia lima tahun, keluarganya ditangkap oleh militer Indonesia saat melintasi pegunungan. “Ibu saya dipukuli di depan mata saya. Saya masih kecil dan tidak bisa melakukan apa-apa,” kenangnya.
Ayah Benny mempertaruhkan nyawa untuk melindungi putranya. Ia menggendong Benny di bahunya sambil berlari. Tetapi militer berhasil mengejar mereka. Ayahnya kemudian memohon kepada para tentara untuk membiarkan Benny kecil tetap hidup. “Setelah peristiwa itu saya tidak pernah melihatnya [ayah] lagi,” kata Benny. Ingatan terakhir Benny akan ayahnya adalah sang ayah yang penuh darah, dipukuli, dan memohon keselamatan putranya.
Masih banyak kisah mengenai keluarga dan desanya yang dapat Benny ceritakan, tetapi ia menolak untuk berbagi lebih lanjut. Ingatan-ingatan itu terlalu menyakitkan.
Beranjak Keluar dari Hutan
Menurut biografinya, Benny dan keluarganya tinggal di hutan dari tahun 1977 hingga 1983. Mereka tak bisa bertahan lebih lama lagi dalam tempat persembunyian. Peristiwa mengenaskan terakhir yang dialami keluarganya di hutan adalah kematian sang nenek; dalam biografinya, diceritakan bahwa kakek Benny mendesak anak-anak untuk pergi meninggalkan hutan. Ia berpesan kepada ibu Benny bahwa penting “agar suatu hari [Benny] tahu apa yang terjadi pada kami, dan mengapa [itu terjadi]…dan suatu hari, ia akan mengambil tindakan.”Setelah ibunya meninggal karena luka-luka akibat pemukulan oleh tentara Indonesia, Benny diadopsi oleh pamannya. Ia telah kehilangan segalanya, dan masa depannya tampak suram. Saat itu, Benny masih terlalu muda untuk memahami situasi dengan utuh. Ia masih ingat merasa tidak nyaman bahwa gurunya di sekolah adalah anggota militer—terlebih setelah apa yang dialami oleh keluarganya.
“Saya takut dan trauma,” kenangnya. Dan ini bukan hanya soal gurunya: kehadiran militer Indonesia di Papua juga berarti bahwa Benny akan melihat tentara di desanya sendiri. Hal itu membuatnya panik. “Saya kabur. Saya tidak ingin melihat militer.”
Akhirnya, sang paman membawanya ke Jayapura, ibu kota Provinsi Papua, dengan harapan bahwa Benny dapat melanjutkan sekolah di sana. Maksud sang paman memang baik, namun, saat itu—dan hingga sekarang—kota Jayapura masih dikuasai oleh militer Indonesia.
Benny ingat benar teror yang ia rasakan setiap kali melihat seorang tentara atau polisi. Kala itu, ia mencoba mengatasi rasa takutnya dengan mengubur dalam-dalam ingatan akan apa yang terjadi di pedalaman hutan ketika ia lebih kecil. Keadaan jadi lebih buruk ketika ia mulai dirisak oleh teman-teman sekelasnya, yang merupakan anak-anak transmigran dari berbagai daerah di Indonesia.
“Saya duduk di sebelah seorang anak gadis, ia kemudian menatap saya dan meludahi wajah saya. Saya pikir, mungkin, perasaan saya, mungkin saya bau. Mungkin saya kurang mandi,” ujarnya, sambil tersenyum mengenang kepolosan dan kenaifannya sendiri sebagai siswa sekolah menengah.
Benny kemudian membeli sabun dan mandi tiga kali sebelum masuk sekolah pada hari berikutnya. Namun, siswa itu meludahinya lagi. Teman-teman sekelasnya menertawakannya. Barulah kemudian ia sadar: ini bukan soal kebersihan pribadi. Ini rasisme.
“Anda pikir itu karena saya hitam, karena saya orang Papua, saya kotor!?! Saya memiliki mata, saya memiliki tangan… Saya manusia—sama seperti Anda! Kita ini manusia dan kita semua layak diperlakukan sama. Dengan sehormat-hormatnya,” tegas Benny, dikutip melalui situs webnya. Namun, prasangka dan bias yang ia hadapi hanya mengakar semakin dalam: guru dan siswa Indonesia lainnya menggunakan kata-kata seperti “bodoh”atau “kotor” untuk merujuk pada siswa Papua. Ada juga kecenderungan untuk melihat orang Papua sebagai primitif dan tidak punya tata-krama. Bahwa beberapa pria Papua tidak mengenakan apapun selain koteka, misalnya, menimbulkan reaksi seperti cemoohan—yang menunjukkan bahwa praktik itu tak bisa diterima.
Benny bukan satu-satunya korban rasisme. Banyak anak Papua mengalami kejadian serupa saat mereka bersekolah—bahkan hingga hari ini. Pada Agustus 2019, muncul gelombang protes baru yang disebabkan penghinaan dan pelecehan rasis terhadap pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur. Pendekatan militeristik terhadap rangkaian aksi protes ini berujung pada kematian lebih dari 33 orang Papua. Niscaya, para demonstran pun semakin marah dan membakar gedung serta fasilitas umum. Sebulan kemudian, aksi protes yang berbeda meletus di Wamena, Provinsi Papua. Mirisnya, penyebabnya sama sekali tak asing: seorang guru diduga mengolok-olok seorang siswa Papua dengan cibiran “monyet”. Sebagian besar korban kerusuhan kali ini merupakan transmigran dari luar Papua, meninggalkan kemarahan dan permusuhan antara kedua kelompok (Papua dan pendatang non-Papua).
Setelah berhasil menyelesaikan sekolah dasar dan menengah pertama, Benny mengambil studi Elektro di sekolah kejuruan milik pemerintah di Abepura, Jayapura. Danny—kami hanya menggunakan nama depannya karena alasan keselamatan—merupakan teman dekat Benny yang satu kelas bersamanya selama tiga tahun. Kepada New Naratif, Danny menceritakan bahwa sebagai seorang remaja, pemimpin masa depan ULMWP itu adalah “seorang yang sangat pendiam dan serius”. Hanya sewaktu-waktu ia membuat lelucon yang membuatnya disukai teman-teman sebayanya. Namun, Benny sama sekali tidak pernah bercerita mengenai keluarganya—maupun keterlibatannya dalam perjuangan melawan pemerintah Indonesia.
Lahirnya Kesadaran Politik
Benny kemudian melanjutkan kuliah di Program Studi Sosiologi di Universitas Cendrawasih di Jayapura. Ini adalah titik balik dalam hidupnya. Ia memutuskan untuk belajar tentang identitasnya: budayanya, bangsanya, serta asal-usulnya.Minat Benny yang tinggi untuk belajar sejarah Papua membuat banyak pihak khawatir; salah satunya adalah seorang dosen di universitasnya. Dalam wawancara dengan New Naratif, Benny mengungkapkan bagaimana sang dosen memperingatkannya: “Benny, hati-hati. Kamu terlampau agresif [mencari] informasi [tentang sejarah Papua], ini akan [menempatkanmu dalam] bahaya.” Terutama karena, tambah dosen tersebut, Benny berasal dari pegunungan, pusat sebagian besar perlawanan orang Papua terhadap militer Indonesia.
Seperti wilayah maritim Asia Tenggara lainnya, Papua terbentang menghadap ke laut. Kota-kota besar berada di dekat pesisir dan umumnya terhubung ke dunia melalui jaringan perdagangan dan informasi. Namun, mereka yang berada di pegunungan memiliki konektivitas yang jauh lebih minim—tidak hanya ke daerah sekitar pesisir, tetapi juga ke bagian pegunungan lainnya. Kombinasi antara lokasi yang terpencil dan tidak adanya kebebasan pers maupun alternatif sumber informasi lainnya (yang berlangsung hingga saat ini, tetapi terutama pada dekade 1970-80) menyebabkan penduduk asli Papua yang banyak menetap di pegunungan kurang terpapar informasi tentang kejadian terkini.
Kondisi geografis ini memiliki pengaruh besar terhadap sejarah Papua. Selama periode penumpasan militer pada 1969, kondisi masyarakat Papua yang saling terisolasi menguntungkan Indonesia dalam mengamankan referendum untuk mencaplok Papua. Tetapi, sampai hari ini pun wilayah pegunungan Papua tidak memiliki konektivitas internet yang layak. Kondisi ini disebut-sebut sebagai upaya militer Indonesia mengendalikan informasi dan menghalangi segala bentuk pergerakan yang terstruktur dan dapat menyebar luas. Hingga saat ini, pemerintah pusat di Jakarta sepenuhnya memegang kendali atas jaringan internet dan telepon di Papua. Ketika enam demonstran Papua ditembak dan dibunuh oleh pasukan keamanan di pegunungan Distrik Deiyai pada Agustus 2019 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir akses internet dan saluran telepon, membuat wartawan tidak dapat menghubungi sumber atau menyampaikan berita.
Sebagai seorang mahasiswa, Benny melanggar aturan dan melampaui hambatan informasi melalui membaca dengan penuh semangat. Perlahan, ia tiba pada kesimpulan mengapa militer Indonesia membom desanya dan membunuh anggota keluarganya: “Alasannya adalah karena Indonesia secara ilegal menduduki negara kita,” tegasnya. Ia menyebut referendum 1969 sebagai “tindakan memilih tanpa pilihan”, mempertanyakan bagaimana referendum itu dapat sah ketika, dari hampir jutaan orang, hanya 1.026 warga yang dipilih—dan itu pun di bawah tekanan besar.
“Memilih Tanpa Pilihan”
Hingga 1960, Papua perlahan tapi pasti tengah melalui proses dekolonisasi. Wilayah ini sebelumnya diduduki oleh Belanda sebagai bagian dari Hindia Belanda, dan tetap terpisah dari kepulauan Indonesia lain bahkan pasca deklarasi kemerdekaan 1945. Hal ini disebabkan pihak Belanda sendiri percaya bahwa orang Papua Barat berbeda dari penduduk Hindia Belanda lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh sebuah makalah penelitian Kongres AS tahun 2007, “Banyak orang Papua memiliki rasa identitas yang berbeda dari identitas utama […] dari kepulauan Indonesia lainnya, dan banyak yang memilih otonomi atau kemerdekaan dari Indonesia.”Rencana dekolonisasi diperkenalkan pertama kali oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Dr. Joseph Luns, pada 1960, di tengah-tengah eskalasi konflik antara Belanda dan Indonesia. Namun, Indonesia tidak senang dengan usulan kemerdekaan untuk Papua. Pada 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan Operasi Tri Komando Rakyat (TRIKORA)—yang pada dasarnya merupakan seruan untuk menganeksasi wilayah Papua secara paksa. Kala itu, operasi Indonesia didukung oleh negara sekutu terdekatnya: Uni Soviet.
Khawatir akan dimulainya persekutuan antara Indonesia dan Uni Soviet, Amerika Serikat berusaha mempertahankan pengaruhnya di negara Asia Tenggara terbesar tersebut. Langkah yang dipilih AS adalah dengan memprakarsai Perjanjian New York antara Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda menyangkut Papua Nugini (sebagaimana Papua pada waktu itu disebut). Dalam dokumen itu, tertulis jaminan bahwa orang Papua diizinkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)—dalam kata lain, referendum untuk menentukan status politik mereka sendiri. Ketika referendum akhirnya berlangsung, tampuk kepemimpinan Indonesia di Jakarta telah beralih ke Presiden Soeharto. Sementara itu, di seberang lautan, sejumlah kecil orang Papua diduga tengah dipaksa untuk memilih menjadi bagian dari Indonesia.
Victor Mambor, seorang jurnalis senior di Papua dan mantan pemimpin redaksi Tabloid Jubi, surat kabar terkemuka di wilayah itu, mengatakan kepada New Naratif bahwa ada berbagai upaya untuk menutup-nutupi ihwal referendum, atau setidaknya membatasi pengetahuan tentang peristiwa tersebut. Periode Orde Baru Soeharto merupakan masa-masa yang berbahaya bagi jurnalis di Indonesia—terlebih jurnalis yang menulis tentang referendum Papua, dan karenanya persoalan ini sulit diangkat ke publik. Walau memang ada sejumlah wacana yang mempersoalkan referendum Papua baik dalam skala domestik maupun internasional, jumlahnya hanya segelintir.
Pada akhirnya, tidak ada kemenangan yang bertahan lama. Pada Mei 1998, Presiden Soeharto sukses digulingkan aliansi masyarakat sipil. Tak lama berselang, wilayah lain yang diperebutkan Indonesia, Timor-Leste, memilih merdeka pada 1999. Langkah Timor Leste rupanya menghasilkan efek domino: pada 2000, ribuan orang Papua mengadakan dan menghadiri kongres untuk menuntut penentuan nasib sendiri.
“Saat itu…informasi pertama kalinya tentang PEPERA dibuka. Semakin banyak orang datang; semakin banyak informasi yang kami terima tentang peristiwa tersebut,” jelas Mambor. Kongres ini diliput oleh banyak wartawan asing, yang mulai menulis tentang isu-isu yang berkaitan dengan referendum, serta tuntutan orang Papua.
Menjelma sebagai Aktivis
Sepanjang wawancara dengan New Naratif, Benny Wenda berulang kali menekankan bahwa, “Saya tidak membenci orang Indonesia. Kami belajar bersama. Kami makan makanan yang sama.” Keluhannya, ia tegaskan, hanya didasari pada situasi politik yang tidak adil bagi bangsanya.“Ini adalah masalah kemanusiaan. Ini bukan tentang Benny Wenda yang berjuang untuk dirinya sendiri. Beginilah cara setiap manusia hidup dalam harmoni dan damai…harmoni untuk semua orang. Karena kita berbagi satu planet. Kita ini seperti komunitas,” katanya.
Saat masih di universitas, Benny memprakarsai kelompok diskusi untuk mahasiswa Papua—dari segala usia dan dari semua suku, baik dari pegunungan maupun wilayah pesisir—untuk berkumpul dan berbincang mengenai makna menjadi orang Papua. Di atas semua itu, ia ingin mengubah pola pikir anak-anak Papua, yang telah dibesarkan dan diberi tahu bahwa mereka primitif, bodoh dan kotor, dan mengajarkan kepada mereka bahwa untuk berbangga akan identitasnya sendiri.
Saat menjadi seorang aktivis, tujuan Benny ada dua. Pertama, untuk membawa perdamaian bagi orang Papua; dan kedua, untuk membawa kemerdekaan ke Papua. Ia menolak segala bentuk balas dendam maupun kekerasan, dan berkomitmen untuk berkampanye secara damai karena percaya cara tersebut akan menarik perhatian khalayak lebih luas terhadap perjuangan orang Papua.
Rupanya, hal ini juga merupakan langkah politik yang cerdik: orang Papua tidak memiliki kemampuan militer yang memadai untuk melawan tentara Indonesia, sementara dukungan politik dari pemerintah asing untuk perjuangan kemerdekaan Papua masih minim. Upaya manapun yang dianggap memiliki tujuan serupa dengan perlawanan gerilya Timor-Leste kemungkinan akan disikapi dengan tindakan kekerasan masif. Sementara itu, alasan Indonesia dalam membenarkan tindak kekerasan pada dunia internasional masih bergantung pada dalih yang sama: mengatasi aksi terorisme domestik.
Dengan kata lain, apabila orang Papua menerapkan perlawanan fisik, kemungkinan yang akan terjadi berikutnya adalah komunitas internasional akan diam-diam memalingkan muka, sementara orang-orang Papua mati dibunuh. Dengan memfokuskan gerakannya pada jalur anti-kekerasan, Benny memilih untuk mengikuti jejak Gandhi dan Martin Luther King.
Untuk mencapai tujuannya, Benny Wenda juga berusaha mengubah pandangan dan kesan orang Indonesia tentang Papua dan rakyatnya. Sikap dasar orang Indonesia terhadap kondisi Papua adalah apatisme terhadap pendudukan Indonesia di wilayah tersebut. Yang Benny ingin lakukan adalah memenangkan persahabatan dan pengertian orang Indonesia, dan membuat sekutu dengan mereka. Gerakan yang ia usung sangat aktif di ranah daring—terutama media sosial—dan berupaya untuk menambal celah informasi dan pengetahuan mengenai penderitaan rakyat Papua.
Ketika rezim Orde Baru tumbang pada 1998, sebuah peluang akhirnya terbuka bagi pendukung gerakan kemerdekaan Papua. Penggulingan pemerintahan Soeharto menghidupkan kembali bara gerakan kemerdekaan di beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh dan Timor-Leste. Setelah 32 tahun, orang-orang di Papua Barat kembali menyerukan “Kemerdekaan untuk Papua!” di jalanan. Anak-anak muda Papua—yang sebelumnya telah menyatakan protes agar demokrasi ditegakkan—kini secara terbuka menyerukan tuntutan kemerdekaan penuh. Mereka semua berbagi euforia dari apa yang mereka sebut sebagai “Kebangkitan Bangsa Papua”.
Aprila Wayar, seorang novelis dan jurnalis asal Papua, sedang menjalani tahun pertama kuliah ketika rezim Soeharto jatuh. Ia menceritakan kepada New Naratif bagaimana para mahasiswa Papua—baik mereka yang berkuliah di dalam maupun di luar Papua—mulai berorganisasi dalam periode yang relatif lebih terbuka itu. Salah satu organisasi yang menjelma sebagai dasar gerakan pemuda Papua adalah Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang diprakarsai para mahasiswa di luar pulau. Pada Agustus 2018, AMP merupakan salah satu organisasi yang memimpin demo di seluruh Indonesia, memprotes dugaan tindakan rasis pada mahasiswa Papua di Surabaya.
Nama Benny Wenda belum terkenal saat itu. “Pada waktu itu, kami belum akrab dengan nama Benny Wenda, atau organisasi di mana ia berafiliasi,” kata Aprila. Sebaliknya, ia menyebutkan nama-nama seperti Theys Eluay, Thaha Al Hamid, Thomas Wanggai, dan John Mambor sebagai para pemimpin yang terkenal di kalangan mahasiswa Papua pada 1998.
Danny, yang tetap akrab dengan Benny setelah mereka lulus sekolah kejuruan, mengaku bahwa temannya itu tak pernah membahas masalah politik selama masa-masa pergolakan setelah Soeharto lengser. “Saya tidak punya cukup informasi [tentang kegiatannya], karena ia hanya datang ke asrama saya, kemudian tidur-tiduran sambil mendengarkan UB40 dan Bob Marley,” kata Danny. Rupanya, Benny bungkam mengenai aktivismenya. Danny baru mengetahui belakangan bahwa Benny aktif dalam sebuah organisasi yang bekerja untuk suku-suku di pegunungan, dan temannya itu dipenjara setelah bergabung dengan aksi damai sekitar tahun 2000–2002.
“Saya tahu [ia ditangkap] dari Cendrawasih Post (koran lokal). Ada nama Benny, tetapi saya ragu apakah itu Benny teman saya atau bukan, karena ada banyak orang Papua bernama Benny. Saya kaget ketika tahu itu dia, ” kenang Danny.
Organisasi tempat Benny berkecimpung bernama Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka (atau Demmak), dimana ia terpilih sebagai pemimpin eksekutif pada 2000. Majelis ini berkampanye untuk melindungi adat istiadat, nilai-nilai, dan kepercayaan masyarakat di suku-suku di pegunungan, dan merupakan organisasi payung bagi beberapa suku dari pegunungan tengah dan selatan Papua—Lani, Mee, Amungme, Komoro, Yali, Damal, dan Moni—bersama dengan sub-suku lain seperti Nggem, Walak, Hubla, Kimyal, Momuna, serta Ngalik. Demmak turut bekerja sama dengan Dewan Presidium Papua (PDP) yang kemudian dipimpin oleh Theys Eluay, aktivis Papua paling disegani saat itu.
Theys Eluay sebelumnya memimpin delegasi yang beranggotakan sedikitnya 100 orang Papua untuk bertemu Presiden BJ Habibie di Jakarta. Karena Habibie baru saja memberi Timor-Leste hak untuk mengadakan referendum kemerdekaan, Theys berusaha untuk menegosiasikan peluang yang sama untuk Papua. Namun, pembicaraan itu tak membuahkan hasil. Habibie justru meluncurkan program otonomi khusus, yang seolah-olah menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat untuk menyerahkan kuasa pemerintahan—yang sangat terbatas—kepada orang Papua.
Benny bersikeras menentang program itu, yang menurutnya tidak cukup untuk menjawab tuntutan orang Papua dan perjuangan mereka untuk kemerdekaan—sebuah perjuangan yang membuat banyak orang kehilangan nyawa mereka. “Saya tidak akan pernah kompromi pada tawaran [otonomi khusus, yang diharapkan akan diperpanjang pada 2021] dari Jakarta. Itu sebabnya Indonesia tidak menyukai saya,” katanya.
Simak juga: TRWP Menolak Tegas Ajakan Dialog Dipromosikan Oleh Agen Papindo JDP Bersama Intelektual BIN di LIPI
Benny terus menolak tawaran dialog yang datang, termasuk dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), biro penelitian negara yang bekerja di Papua dan daerah lainnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia lebih suka berdialog menggunakan LIPI, yang kerap dipercaya untuk memberi rekomendasi terkait Papua. Benny melihat skema ini sangat membatasi. Sebabnya, metode dialog dengan lembaga macam LIPI cenderung tidak melibatkan perwakilan dari berbagai sisi masyarakat Papua seperti gereja, pemimpin adat, dan Majelis Rakyat Papua. Tanpa komposisi perwakilan yang adil, Benny percaya bahwa dialog akan sulit untuk sampai pada kesimpulan yang berarti—apalagi mendapat dukungan politik yang cukup.
Alih-alih, Benny fokus pada satu proposisi: membiarkan rakyat Papua memilih jalan mereka sendiri melalui referendum. Ia mengatakan pada New Naratif bahwa ia akan menghormati hasil pemungutan suara yang berlangsung dengan bebas dan adil, meskipun hasilnya tidak sejalan dengan keyakinan politiknya sendiri. “Jika [orang-orang Papua] ingin tetap menjadi bagian Indonesia, itu sah-sah saja,” katanya. Namun, orang Papua harus memilih secara independen, bebas dari gangguan atau intimidasi.
Ia terjebak pada posisi ini selama bertahun-tahun. Pada Oktober 2019, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana untuk berdialog dengannya dan ULMWP. Meski demikian, Benny menyatakan kepada media bahwa ia hanya akan berpartisipasi jika sejumlah persyaratan dipenuhi. Pertama, ia mengajukan bahwa pertemuan itu harus melibatkan kelompok perwakilan Papua yang majemuk, bukan hanya ia dan organisasinya. Ia juga meminta agar akses ke Papua diberikan kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, media internasional, dan LSM lainnya. Terakhir, ia mendesak penarikan 16.000 pasukan keamanan yang dikerahkan ke Papua sejak Agustus 2019, dan pembebasan para tahanan politik.
“Agar kita percaya bahwa segalanya telah berubah, Indonesia harus menunjukkan itikad baik dan menyetujui kondisi kita. Keinginan kita adalah untuk mencapai referendum yang demokratis, untuk menegakkan hak kita untuk mandiri,” jelasnya kepada media.
Pada 1999, Presiden Abdurrahman Wahid alias “Gus Dur” yang baru terpilih memberi harapan baru bagi orang Papua. Gus Dur dikenal lebih toleran terhadap isu politik ketimbang para pendahulunya. Di bawah kepemimpinannya, orang Papua untuk pertama kalinya bebas mengibarkan bendera mereka sendiri, Bintang Kejora, simbol identitas politik dan budaya Papua. Sayangnya, pemerintahan Gus Dur berumur pendek; ia dilengserkan pada 2001, dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri, anak Presiden Soekarno.
“Ia adalah pria yang damai. Ia adalah orang yang benar. Saya pikir Ia adalah simbol perdamaian dan keadilan,” kata Benny, merefleksikan keprihatinannya tentang singkatnya masa kepemimpinan Gus Dur.
Megawati menegaskan kembali kedaulatan Indonesia atas Papua, mengutuk gerakan kemerdekaan, dan menindak tegas “para separatis”. Pada November 2001, Theys Eluay, pemimpin PDP, dibunuh oleh militer. Ada kekhawatiran bahwa aktivis Papua lainnya, termasuk Benny, berada dalam bahaya. Tetapi ia menolak untuk berkompromi dan tetap berpegang pada posisi politik Demmak: kemerdekaan penuh dari Indonesia.
Pelarian dari Penjara
Pada 6 Juni 2002, Benny ditangkap di Jayapura. Rumahnya digeledah tanpa surat perintah, dan polisi menolak memberikan informasi tentang dakwaan yang diajukan kepadanya. Ia disiksa di tahanan polisi dan ditahan di sel isolasi selama beberapa bulan. Pada akhirnya, ia dituduh sebagai dalang di balik serangan terhadap kantor polisi di Abepura pada 2000. Padahal, ia bahkan tidak ada di tempat itu saat perencanaan dan pelaksanaan serangan dilakukan. Meski demikian, ia dituntut 25 tahun penjara.Pengadilan Benny dimulai pada 24 September 2002 dan berlangsung selama beberapa minggu. Polisi bersenjata mengepung ruang sidang setiap hari, mengawasi banyak pendukungnya. Menurut biografi di situs webnya, terdapat sejumlah penyimpangan sepanjang proses pengadilan tersebut. Baik penuntut dan hakim disebut meminta suap kepada tim pembela Benny, yang mereka tolak mentah-mentah. Ada pula masalah dalam mengidentifikasi saksi penuntut utama dan memastikan bahwa mereka akan bersaksi di pengadilan. Semua hal ini membuat Benny ragu bahwa ia akan diadili dengan jujur.
Selama di penjara, Benny kerap diserang secara fisik oleh para sipir dan diancam oleh sang kepala penjara, Sudarsono. Ia menjelaskan bahwa bukti di persidangan untuk menghukumnya kurang kuat, dan setelah itu muncul desas-desus bahwa intelijen militer akan membunuhnya di penjara sebelum persidangan mencapai vonis. Atas saran pengacaranya, ia tidak memakan makanan yang disediakan di penjara karena risiko keracunan; selain itu, ia juga terancam akan mengalami kekerasan dari tahanan lain. Di titik ini, Benny tahu bahwa ia akan dibunuh kalau bertahan. Ia harus melarikan diri.
Pada bagian ini, cerita Benny menjadi kabur. Ia tidak banyak bicara tentang bagaimana ia berhasil melarikan diri. Sebaliknya, yang ia tekankan adalah bahwa, saat ia pergi, ia membuat janji:
“Saya katakan, jika saya berhasil melarikan diri, saya akan membawa pesan itu…saya akan memberitahu dunia bahwa orang-orang saya ingin bebas. Itu janji saya. Saya akan memberi tahu orang-orang saya bahwa saya meninggalkan Anda dengan air mata, tetapi suatu hari saya akan kembali kepada Anda dengan senyum. Itu janji saya. “
Beralih lagi ke biografinya, Benny menyatakan bahwa ia kabur dari penjara Abepura pada 27 Oktober 2002. Polisi Indonesia diduga telah mengeluarkan perintah tembak-menembak. Namun, Benny berhasil diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini, kemudian dibantu oleh kelompok LSM Eropa untuk terbang ke Inggris dan memperoleh suaka politik. Pada 2003, Benny dan istrinya Maria kembali dipersatukan di Inggris, di mana mereka sekarang tinggal bersama kelima anak mereka.
Ia tetap menjadi salah satu orang yang paling dicari di Indonesia hingga hari ini. Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menghalangi pekerjaannya, seperti mengeluarkan surat perintah penangkapan melalui Interpol (polisi internasional) pada 2011. Surat perintah itu dicabut pada 2012 setelah naik banding.
Tetapi, perselisihan Benny dan pemerintah Indonesia terus memburuk. Baru-baru ini, Benny kembali menjadi tajuk berita utama setelah Menkopolhukam Wiranto menuduhnya sebagai dalang demonstrasi yang terjadi di seluruh wilayah Papua. Benny menanggapi tuduhan ini dengan menyatakan bahwa Wiranto sendiri adalah penjahat perang yang telah dinyatakan oleh PBB maupun investigasi dalam negeri sebagai berperan dalam memfasilitasi pelanggaran hak asasi manusia oleh tentara Indonesia dan milisi pro-pemerintah di Timor-Leste.
Membangun Gerakan
Setelah memperoleh status pengungsi di Inggris, Benny segera mendirikan barisan Kampanye Papua Merdeka dengan tujuan menyebarkan kabar pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan menggalang dukungan untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Ia terus-menerus bepergian ke seluruh Inggris dan daratan Eropa untuk menyoroti nasib bangsanya. “Dari sini di Oxford, saya melakukan perjalanan ke seluruh negara ini, untuk menceritakan kisah saya kepada mereka, bersama istri saya dan memainkan musik [Papua],” katanya.Ketika ia memulai kampanye, seorang teman berkomentar tentang tujuan Benny yang tampak mustahil tercapai: “Benny, kasusmu [melawan] sebuah negara besar. Bagaimana Anda bisa mengubah pola pikir negara sebesar ini?”
Benny tak gentar. Yang ia tahu, ia harus memulai, entah dari mana. Sementara itu, dukungan pun tumbuh perlahan selama bertahun-tahun, baik dari Inggris maupun negara lainnya. Saat ini, Kampanye Papua Merdeka telah memiliki cabang dan organisasi pendukung di Eropa, Amerika Serikat, Australia, Kepulauan Pasifik, Filipina, dan Afrika, yang dibangun melalui jaringan eksil Papua dan sekutu mereka.
Ia juga berpartisipasi dalam berbagai inisiatif lain. Pada Oktober 2008, ia meluncurkan Anggota Parlemen Internasional untuk Papua di House of Commons di London, bersama Lord Harries dari Pentregarth dan Anggota Parlemen untuk Oxford saat itu, Andrew Smith. Kelompok ini berfokus pada pengembangan dukungan untuk Papua di kalangan anggota parlemen di seluruh dunia, dengan harapan suatu hari dapat mencapai dukungan di tingkat PBB untuk kemerdekaan Papua.
Pada 2014, Benny dan aktivis pro-kemerdekaan lainnya memprakarsai Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua (ULMWP), organisasi yang ia pimpin hari ini. ULMWP menyatukan tiga organisasi politik utama—Republik Federal Papua Barat (NRFPB), Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (WPNCL) dan Parlemen Nasional Papua Barat (NPWP)—di bawah satu payung besar.
“Kami memiliki lawan yang sama, yaitu Indonesia. Kami ingin menunjukkan kepada pemerintah Indonesia dan orang luar bahwa kami bersatu. Kami hanya ingin mengadakan referendum secara damai,” Benny menjelaskan tujuan organisasinya. Sebagian besar fokus ULMWP adalah melobi kelompok-kelompok internasional dan pemerintah guna mencari dukungan untuk perjuangan Papua.
Meski demikian, menyebut bahwa Gerakan Papua Merdeka merupakan organisasi dengan komando terpusat, kompak, dan tidak memiliki antagonisme internal juga penyederhanaan yang salah kaprah. Seperti banyak organisasi lain, ULMWP juga memiliki kompleksitasnya sendiri; anggotanya terbagi oleh perbedaan pendapat atas dasar etnis, regional, pribadi, dan strategis.
Pembentukan ULMWP memang merupakan terobosan besar, yang didorong oleh keinginan bersama untuk pengakuan—dan akhirnya menjadi anggota Kelompok Pelopor Melanesia. Namun, gerakan ini juga masih banyak kekurangan, terutama persoalan koordinasi. Unit-unit bersenjata mereka terpisah satu sama lainnya dan menduduki wilayah yang berbeda. Kontrol teritorial mereka terbatas, sementara tak ada orang yang berperan sebagai komandan tunggal. Selain itu, berbagai kelompok politik hampir tidak pernah mensinergikan tujuan mereka bersama. Umumnya, kelompok-kelompok ini terbagi antara mereka yang mendukung pendekatan lebih agresif—memancing kekerasan pasukan keamanan dan berharap bahwa kemarahan internasional atas pelanggaran HAM akan mendorong intervensi (seperti yang terjadi di Timor-Leste)—dan mereka yang lebih memilih untuk bernegosiasi dengan pemerintah Indonesia dan ditengahi oleh pihak ketiga dari komunitas internasional (seperti halnya Aceh). Konteks perundingan di Aceh yang akhirnya menghasilkan perjanjian damai pada 2005 dan berhasil mengakhiri pemberontakan tiga dekade sangat berbeda dengan situasi di Papua; hal ini membuat tercapainya kata sepakat dengan Indonesia melalui mediator luar nyaris tidak mungkin. Sebagai Ketua ULMWP, Benny berusaha untuk tidak memihak dan berkompromi dengan semua pendekatan tersebut.
Terobosan positif lain terjadi pada 2017, ketika para aktivis pro-kemerdekaan mempertaruhkan diri ditangkap dan dipenjara karena mengumpulkan 1,8 juta tanda tangan (meliputi 70,88% penduduk asli Papua) untuk sebuah petisi yang menuntut penentuan nasib sendiri. Walau sempat dihalang-halangi, mereka akhirnya berhasil menyerahkan petisi tersebut ke PBB pada Januari 2019, setelah Benny diizinkan bergabung bersama pertemuan delegasi Vanuatu dengan Komisi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet. Indonesia jelas berang akan langkah ini, dan menuduh Vanuatu telah “mengambil langkah manipulatif”.
“Ini adalah kesalahan PBB. Anda (PBB) melanggar aturan Anda sendiri, Anda harus memperbaikinya,” katanya pada kami.
Seiring kabar tentang aktivisme dan perlakuan sewenang-wenang terhadap Benny diberitakan ke seluruh dunia, ia mulai populer di antara Orang Papua di Indonesia, dan lebih luas lagi, Asia Tenggara. Tiga mahasiswa Papua yang bergabung dalam protes menentang rasisme Agustus lalu mengatakan kepada New Naratif bahwa mereka melihat Benny Wenda sebagai panutan. Di Boven Digoel, di perbatasan antara Papua dan Papua Nugini, seorang ‘anak daerah’ mengatakan ia mendengar tentang apa yang dilakukan Benny di Inggris. Matanya berbinar ketika mendengar bahwa New Naratif baru saja bertemu dengan Benny di Oxford. “Kami mengikuti apa yang dilakukan Benny dari sini,” katanya.
“Hampir semua orang [di Papua] tahu siapa Benny Wenda,” kata mantan teman sekelasnya, Danny.
Akan tetapi, aktivisme Benny bukannya berlangsung tanpa perselisihan. Sementara Benny mendapat pujian dari orang-orang Papua, ia juga mendapat kritik keras dari aktivis pro-kemerdekaan lain. Pada Juli 2019, Benny mengumumkan bahwa tiga kelompok bersenjata—Tentara Revolusi Papua Barat (TRWP), Tentara Nasional Papua Barat (TNPB) dan Nasional Papua Barat Tentara Pembebasan (TPNPB, kependekan dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat)—telah sepakat untuk berkoordinasi dengan ULMWP dan menjadi satu pasukan untuk mendorong kemerdekaan. Pernyataan ini dibantah oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom, yang menuduh Benny telah membajak gerakan pro-kemerdekaan dengan membuat klaim sepihak. “Ini adalah propaganda murahan oleh Benny Wenda dan Jacob Rumbiak yang ingin mencari legitimasi dari [kami], karena kami tidak mengakui ULMWP,” katanya kepada BBC.
Ironisnya, meski beberapa kubu Gerakan Papua Merdeka tidak mengakui kepemimpinan ULWMP, pemerintah Indonesia diam-diam tetap mengakui organisasi tersebut sebagai perwakilan gerakan kemerdekaan Papua yang paling dikenal khalayak luas. Hal ini membuat pemerintah Indonesia memfokuskan serangan dan kritik mereka terhadap Benny dan ULMWP (serangan verbal Wiranto terhadap Benny adalah buktinya) tapi juga menganggap mereka sebagai pihak paling strategis untuk diajak berdialog.
Baca ini: Perjalanan Benny Wenda dari Penjara Abepura ke Internasional dan Pimpin ULMWP
Victor Mambor mengatakan bahwa argumen antara aktivis pro-kemerdekaan adalah hal umum: sejak kematian Theys Eluay, belum ada pemimpin yang dapat menyatukan orang Papua. Tapi ia juga menekankan bahwa ini bukan masalah utama yang perlu dibahas, mengingat gerakan ini memiliki tujuan yang jauh lebih besar; orang-orang yang berbeda sebenarnya memainkan peran yang berbeda pula.
“Benny punya tugasnya sendiri untuk dilakukan,” tegas Mambor.
Tipisnya Harapan terhadap Jokowi
Di antara berbagai janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada 2014, salah satunya adalah menjamin kebebasan berekspresi dan berbicara orang Papua—seperti yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Gus Dur. Banyak orang menunjukkan bahwa janji ini belum ditepati; sebaliknya, Jokowi tampaknya lebih fokus pada komitmen untuk mengembangkan infrastruktur di wilayah tersebut, yang konon bertujuan untuk memperkaya masyarakat Papua dan meningkatkan kualitas hidup mereka.Benny skeptis dengan klaim Jokowi, terutama karena orang-orang Papua Barat sendiri tidak dapat berpendapat tentang bagaimana seharusnya pembangunan berlangsung di tanah mereka. “Anda bisa membawa pembangunan, [tetapi] pembangunan seharusnya sudah terjadi 30 tahun yang lalu. Jadi Anda tidak bisa membawa pembangunan di atas penderitaan lebih dari ratusan ribu yang sudah terbunuh, dan [di mana] sentimennya semakin keras.”
Ini bukan kali pertama Jokowi mengecewakan orang Papua: pada 2014, anak-anak di Kabupaten Paniai dibunuh oleh petugas gabungan polisi-militer. Jokowi berjanji untuk menyelesaikan kasus ini, tetapi pada akhirnya menyerahkan tanggung jawab kepada Wiranto. Investigasi tersebut dilakukan tanpa transparansi, dan pada akhirnya negara pun meninggalkan keluarga korban tanpa jawaban maupun keadilan.
Benny berharap bahwa terpilihnya kembali Jokowi pada 2019 akan menempatkan sang Presiden dalam posisi politik yang lebih aman untuk memenuhi janjinya. Hal ini, sayangnya, nyaris mustahil terjadi mengingat Jokowi justru semakin akrab dengan pihak militer. Ketika Jokowi baru-baru ini mengunjungi Papua setelah terpilih kembali, ia bungkam mengenai kematian orang Papua dalam kerusuhan yang terjadi belum lama lalu.
Di ranah internasional pun, perjuangan ULMWP menemui tantangan baru. Belum lama ini, Indonesia meluncurkan Badan Pembangunan Internasional, yang bertujuan menangguhkan hubungan diplomatik melalui pemberian bantuan. Prioritasnya: negara-negara Pasifik. Publik pun menyorot langkah ini sebagai salah satu taktik melobi negara-negara yang selama ini ini bersimpati pada gerakan Papua Merdeka. Dalam dunia penuh kesepakatan politik dan ekonomi yang dilakukan oleh elit penguasa, langkah semacam ini akan menjadi masalah lain harus disiasati para aktivis.Hingga saat ini, Benny Wenda tidak yakin apakah ia dapat kembali ke Papua yang telah bebas. Tetapi ia senantiasa hidup dengan harapan: “Suatu hari, seorang pemimpin muda yang cerdas dan generasi baru Indonesia, [akan] keluar. Mereka akan mengerti…suatu hari, mereka akan berubah. Suatu hari, mereka akan mengakui apa yang mereka lakukan.”
References
- [1] Pirime was part of Jayawijaya regency until 2008. Under the special autonomy law, the village was transferred to the administration of Lanny Jaya regency.
- [2] Allard K. Lowenstein International Human Rights Clinic, Yale Law School, Indonesian Human Rights Abuses in West Papua: Application of the Law of Genocide to the History of Indonesian Control, page 24 (April 2008).
- [3] Dirk Vlasblom, Papoea: Een Geschiedenis (Mets & Schilt, 2004), p. 537.
Penulis Thum Ping Tjin, Febriana Firdaus
Ilustrator Hasbi Ilman
Posted by: Admin
Copyright ©New Naratif "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Langganan:
Postingan (Atom)