Selasa, 30 Juni 2020

Benny Wenda: 1 Juli, Ingat Tonggak Penting dalam Perjuangan Kita

Buletinnusa
FOTO: Pemimpin kemerdekaan West Papua, Mr. Benny Wenda (ist)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

STATEMENT | 1 Juli adalah peringatan yang sangat penting bagi setiap orang West Papua. Pada hari ini [1 Juli] tahun 1971 lalu, OPM (Organisasi Papua Merdeka), yang dipimpin oleh Jacob Prai dan Seth Rumkorem, mendeklarasikan pembentukan negara berdaulat West Papua. Proklamasi ini (Proklamasi Kemerdekaan) merupakan tonggak dalam perjalanan menuju tujuan kami: total kemerdekaan West Papua dari penjajahan Indonesia.

Untuk seluruh rakyat saya: selamat ulang tahun. Kita harus mengingat semua orang yang telah berjuang untuk memenangkan kebebasan kita. Suatu hari pengorbanan mereka akan dihormati dalam kemenangan kita melawan penindas. Kita harus mengingat ini dan setiap deklarasi lain yang dibuat oleh pejuang kemerdekaan kita dari Kongres Rakyat Papua Pertama pada tahun 1961 hingga deklarasi Dr. Thomas Wainggai pada tahun 1988 hingga Deklarasi Saralana 2014. Semua itu adalah langkah sah dan heroik dalam perjuangan bersejarah kita melawan ilegal. pendudukan negara kita oleh Indonesia pada tahun 1963, dan ‘suara’ paksa yang dilakukan oleh militer Indonesia pada tahun 1969.

Baca juga: (Jacob Hendrik Prai: Deklarasi Akhir Mendukung ULMWP sebagai OPM Baru)

Untuk mencapai kemerdekaan, kita harus bersatu sebagai SATU orang, dalam SATU roh, dengan SATU jiwa. Persatuan adalah kunci kesuksesan kami, kunci untuk mengakhiri eksploitasi, pembunuhan, dan penyiksaan selama beberapa dekade. Musuh kita, kekuatan kolonial, telah mencoba memecah belah kita selama 50 tahun. Di bawah United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), kami menunjukkan kepada Indonesia dan dunia bahwa kami bersatu, kuat, dan siap untuk mengambil alih negara kami.

Tuhan memberkati kita semua.

Benny Wenda
Pemimpin Kemerdekaan West Papua


Baca juga beberapa postingan tentang sejarah Organisasi Papua Merdeka berikut ini:
  1. Sejarah OPM - Organisasi Papua Merdeka
  2. Sejarah Perjuangan Papua Merdeka

Posted by: Admin
Copyright ©Benny Wenda Office "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Baru Tanpa Upacara Pembukaan, TMMD Sengkuyung II 2020 Dilaksanakan di Desa Japah

Buletinnusa -
Bupati Djoko Nugroho melakukan penyerahan proyek TMMD Sengkuyung tahap II tahun 2020 kepada Dandim 0721/Blora untuk dikerjakan, disaksikan Kapolres dan Danyon 410/Alugoro. (foto: dok-ib)
INFO BLORA. Program TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) Sengkuyung Tahap II resmi dilaksanakan Kodim 0721/Blora di Desa Japah, Kecamatan Japah per hari ini, Selasa (30/6/2020). Namun kali ini di tengah pandemi Covid-19, tidak dilaksanakan dengan menggelar upacara pembukaan seperti biasanya.

Hanya dilakukan penandatanganan naskah penyerahan proyek TMMD Sengkuyung Tahap II Tahun 2020 oleh Bupati Djoko Nugroho kepada Dandim 0721/Blora selaku Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) TMMD, disaksikan Kapolres dan Danyon 410/Alugoro, di Kantor Bupati Blora.

Yang mana dalam kesempatan itu, Bupati Djoko Nugroho mengapresiasi pelaksanaan TMMD Sengkuyung tahap II tahun 2020. Menurut Bupati, ini menandakan semangat pembangunan masih ada meskipun sedang dalam pandemi Covid-19.

“Terimakasih jajaran Kodim 0721/Blora dan seluruh stakeholder yang terlibat untuk menyukseskan pembangunan wilayah dengan program TMMD. Kami berpesan, dalam melaksanakan program ini harus tetap memberlakukan protokol kesehatan. Selain pembangunan fisik, bantu kami untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melaksanakan pola hidup sehat dalam rangka mencegah Covid-19,” ucap Bupati.

Sementara itu, Dandim 0721/Blora Letkol Inf. Ali Mahmudi, SE, menyampaikan bahwa TMMD Sengkuyung tahap II 2020 ini merupakan bentuk sinergitas TNI dengan Pemkab dalam menyukseskan pembangunan wilayah, khususnya di pedesaan yang kali ini ditempatkan di Desa Japah, Kecamatan Japah.

“Untuk TMMD di Desa Japah ini ada banyak kegiatan yang akan kita laksanakan mulai hari ini hingga 30 hari kedepan. Selain kegiatan fisik, juga ada kegiatan sosial,” kata Dandim Letkol Inf. Ali Mahmudi, SE.

Untuk kegiatan fisik, diantaranya adalah pembangunan jalan makadam sepanjang 1300 meter, lebar 3 meter; pembangunan talud sepanjang 290 meter; pembangunan plat beton ukuran panjang 1 meter, lebar 1 meter dan tinggi 1 meter sebanyak 3 unit; pembuatan saluran drainase sepanjang 131 meter dan lebar 1 meter.

Sedangkan untuk kegiatan non fisik meliputi penyuluhan bela negara dan wawasan kebangsaan; penyuluhan narkoba, kamtibmas, dan hukum; penyuluhan peningkatan hasil pertanian; penyuluhan pernikahan dini; donor darah, pelayanan KB, dan pengobatan massal. (gas-infoblora)

Baru Pemkab Blora Bakal Gelar Rapid-Test Massal di Pondok Pesantren

Baru Minta Kejelasan New Normal, Aliansi Pekerja Seni Geruduk Kantor Bupati

Baru 12 Pelaku Judi Togel dan Dadu Dibekuk Satreskrim Polres Blora

Buchtar Tabuni: Harga Diri Orang Papua Lebih Mahal dari pada Otsus!

Buletinnusa
Buchtar Tabuni: Harga Diri Orang Papua Lebih Mahal dari pada Otsus!
FOTO: Para pemimpin berpose bersama usai Sidang Legislatif ULMWP 2018 (United Liberation Movement for West Papua) di Jayapura. Buchtar Tabuni (kedua dari kiri) (credit. doc. ULMWP)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

BALIKPAPAN | Tokoh Papua Merdeka, Buchtar Tabuni menegaskan “Harga diri orang Papua lebih mahal dari pada uang dan pembangunan dari pemerintah kolonial Indonesia melalui UU OTSUS.” tegas deklarator ULMWP, Buchtar Tabuni, Sabtu (27/06/2020) melalui akun Faceboknya.

(Baca ini: Fenomena Kelompok Oportunis dan Politik Kolonial Indonesia dalam Gerakan Papua Merdeka)

Pendiri KNPB ini mengatakan, “orang Papua [setelah merdeka, red] akan punya uang tapi bukan model rupiah yang rendah nilai tukarnya”.

“Orang Papua akan bangun Papua tapi bukan dengan semen dan aspal yang mudah hancur” ujar Buchtar.

Buchtar menyeruhkan “konsolidasi terus di lakukan kepada semua orang Papua bahwa pemerintah RI adalah kolonial bagi bangsa Papua”.

Baca juga:
  1. Buchtar Tabuni: 1.8 Juta Rakyat Papua Memilih Referendum, Bukan Otsus Papua Jilid II
  2. Buchtar Tabuni: OAP Jangan Habiskan Waktu untuk Pemusnahan OAP Sendiri

Posted by: Admin
Copyright ©Buchtar Tabuni "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Buchtar Tabuni: 1.8 Juta Rakyat Papua Memilih Referendum, Bukan Otsus Papua Jilid II

Buletinnusa
Buchtar Tabuni: 1.8 Juta Rakyat Papua Memilih Referendum, Bukan Otsus Papua Jilid II
Koran berita Cenderawasih Pos, edisi 4 Mei 2019. Tampak gambar Ketua United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda di dampingi Sekretaris ULMWP, Rex Rumaike saat menyerahkan Petisi Rakyat Papua kepada Ketua Decolonisasi PBB, tahun 2017 di New York. Foto: (ULMWP for Cepos).
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

JAYAPURA | Menyikapi wacana Otonomi Khusus Jilid II yang diwacakan pemerintah Indonesia, tokoh Papua Merdeka juga Deklarator ULMWP Buchtar Tabuni menegaskan, 1.8 (satu juta delapan ratus ribu) rakyat West Papua telah memilih untuk referendum kemerdekaan West Papua. Mereka [rakyat] tidak memilih Otonomi Khusus (Otsus).

“1,8 juta penduduk asli Papua memilih untuk Referendum dan bukan meminta Otsus Papua jilid II. Petisi ini sudah diterima oleh Ketua Dekolonisasi PBB [dan] Ketua Dewan HAM PBB” tegas Ketua II Dewan Legislatif ULMWP Buhctar Tabuni, Selasa (30/30/2020).

Kata Buchtar, petisi 1,8 juta suara rakyat West Papua juga telah diketahui oleh pemimpin negara-negara Melanesia Spearhead Group (MSG), Pacific Islands Forum (PIF) dan African, Caribbean and Pacific (ACP).

“Sudah di ketahui oleh pemimpin negara anggota MSG, PIF dan ACP yang selama ini memberi dukungan kepada ULMWP untuk penyelesaian konflik antara Indonesia dan West Papua tentang pelanggaran hak politik orang West Papua pada PEPERA 1969 yang di rekayasa oleh militer kolonial Indonesia” kata Buchtar.

Tabuni juga mendesak kepada pemerintah Indonesia, segera bertanya kepada 1,8 juta penduduk asli Papua sebagai subyek yang mengalami penyiksaan atas kejahatan militer kolonial Indonesia selama ini

Baca juga:
  1. Penjelasan Bazoka Logo tentang Petisi Rakyat West Papua
  2. Bazoka Logo: Saat ini Perjuangan Papua Merdeka "Telah Jelas", Kecuali Indonesia
Pendiri Komite Nasional Papua Barat (KNPB) ini kemudian menyampaikan catatan kepada Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat (MRP dan MRPB) bahwa, sebelum Jakarta paksakan Otsus jilid II, segerah fasilitasi 1.8 juta rakyat West Papua untuk memilih apakah mereka memilih Otsus atau bukan.

Saya sebagai Tahanan politik Papua dan juga sebagai Deklarator ULMWP mendesak kepada Pemerintah RI agar segera bertanya kepada 1,8 juta penduduk asli Papua sebagai subyek mengalami penyiksaan atas kejahatan militer kolonial Indonesia selama ini.

Ketua II Dewan Legislatif ULMWP tersebut tegas menolak, Jakarta lakukan konsultasi sepihak kepada elit-elit di Papua dan kelompok oportunis barisan Merah Putih untuk mencari legitimasi berlakukannya Otsus jilid II di Papua. (***)

Baca juga:
  1. Sofyan Yoman: Petisi Referendum 1,8 juta Murni Suara Rakyat West Papua
  2. PBB Mengkonfirmasi Telah Menerima Petisi Referendum West Papua

Posted by: Admin
Copyright ©Buchtar Tabuni "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Senin, 29 Juni 2020

Baru Izin Menteri Turun, Jembatan Bengawan Solo Antar Provinsi di Kradenan Siap Dibangun

Baru Dinkes Blora : Seluruh Pasien Covid-19 Kluster Temboro Kembali ke Magetan

Baru Kasus Positif Covid-19 Tambah 3, Semuanya di Desa Nglobo Kecamatan Jiken

Baru Bom Pesawat Udara Seberat 50 Kg dari Bengawan Solo Diledakkan di Hutan Jati

Baru Belum Sembuh, Pasien Covid-19 Asal Kedungtuban Pulang dari RSUD Cepu

ULMWP Bersama Rakyat West Papua Menolak Tegas “Strategic Policy Discussion” yang Dilakukan Elit Politik Jakarta – Papua

Dr. Socratez Yoman: Penentuan Nasib Sendiri Solusi Final, Bukan Otonomi Khusus Jilid II

Buletinnusa
Dr. Socratez Yoman: Penentuan Nasib Sendiri Solusi Final, Bukan Otonomi Khusus Jilid II
FOTO: Gembala Dr. Socratez S.Yoman, MA (Presiden Gereja Baptis Papua)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Surat Terbuka Kepada Pemerintah Republik Indonesia

Perihal: Penentuan Nasib Sendiri Sebagai Solusi Final Untuk Mengakhiri Rasisme dan Ketidakadilan Terhadap Orang Asli Papua BUKAN Otomomi Khusus Jilid II

Kepada Yang Terhormat,
Dr. H. Tito Karnavian
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia

- Di Jakarta

Shalom!

Melalui surat ini, saya sebagai salah satu pemimpin Gereja di Tanah Papua ingin menyampaikan kepada Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia tentang kekecewaan dan kegelisahan yang dihadapi oleh rakyat di Tanah Papua, terutama Orang Asli Papua dalam menyikapi Evaluasi Otonomi Khusus dan Mempersiapkan Otonomi Khusus Jilid II yang sedang disiapkan pemerintah.

Saya mendengar dan mengikuti serta membaca di media sosial (medsos) atau dibagi melalui WhatsApp tentang suara-suara penolakan Draft UU Otsus Jilid II dari Penduduk Orang Asli Papua terus meningkat secara signifikan. Saya mengutip salah satu contoh penolakan Draft UU Otsus versi pemerintah.

"Kami atas nama masyarakat Papua Wilayah III Doberay (Kepala Burung) Papua Barat monolak RUU Otsus Papua versi Mendagri. Kembalikan kepada Rakyat Papua sehingga apayang mereka mau itu yang diakumodir dalam RUU Otsus tersebut sehingga kedepan dapat memperoleh solusi terbaik bagi masa depan Tanah Papua,” Ketua Dewan Adat Papua Wilayah III Domberay, Mananwir Paul Fincent Mayor (Selasa (23/6).

Menurut saya, suara penolakan ini sangat beralasan dan dapat diterima dengan akal sehat kita karena melihat realitas dari dinamika Otonomi Khusus Tahun 2001 selama 19 tahun. Bahwa Otonomi Khusus tidak dapat menjawab tuntutan dan memenuhi harapan Penduduk Orang Asli Papua.

Seperti contoh: Amanat Otonomi Khusus Tahun 2001 tentang: protection (perlindungan), pengakuan hak-hak dasar Orang Asli Papua (recognition), pemberdayaan (empowering), dan keberpihakan (affirmative), telah gagal dan itu sungguh-sungguh melahirkan kekecewaan dan kegelisahan yang mendalam bagi Penduduk Orang Asli Papua. Dalam Otonomi Khusus banyak OAP yang terbunuh di tangan aparat keamanan TNI-Polri. Partai lokal tidak dibentuk. Bendera Bintang Kejora dilarang berkibar. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) gagal dilaksanakan.

Sementara rakyat Aceh mendapat tempat istimewa dihati pemerintah Indonesia dengan diberikan ruang yang baik untuk perundingan damai dengan setara antara GAM-RI yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral di Helsinki pada 15 Agustus 2005, partai lokal dibentuk dan bendera GAM diijinkan berkibar dengan bebas.

Dua Provinsi yang memiliki status Otonomi Khusus, yaitu Papua dan Aceh, tetapi perlakuan pemerintah Indonesia yang tidak adil dan penuh nuansa diskriminasi rasial.

Melihat dari latar belakang lahirnya Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 bukan pemberian hadiah dari pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua, tetapi karena rakyat Papua menuntut Merdeka dan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi, Otonomi Khusus merupakan jalan penyelesaian menang-menang (win win solution) antara Orang Asli Papua dengan pemerintah Indonesia.

Tuntutan seluruh Penduduk Orang Asli Papua untuk merdeka karena ada latar belakang sejarah ketidakadilan, rasisme dan kejahatan negara dalam pelaksanaan Pepera 1969. Saya telah mempelajari dengan teliti dan cermat dokumen hasil pelaksanaan Pepera 1969 Annex 1 yang dilaporkan perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz dari Bolivia dan Annex II laporan dalam versi pemerintah Indonesia sangat bertolak belakang dengan laporan Annex 1.

Ketika pemerintah Indonesia mempromosikan kata “KESEJAHTERAAN” kepada Orang Asli Papua, kata itu bukan merupakan ungkapan baru, tetapi kata itu hanya sebagai pengulangan dari apa yang sudah pernah disampaikan Menteri Dalam Negeri RI Amir Machmud pada pelaksanaan Pepera 14 Juli 1969 di Merauke dihadapan peserta Anggota Musyawarah Pepera.

"...pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk KESEJAHTERAAN rakyat Irian Barat, oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Indonesia."

Lihat dalam Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN Assembly, agenda item 98,19 November 1969, paragraph 18, p.2).

Menteri Dalam Negeri Pemerintah Republik Indonesia berjanji: "...berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat..." TETAPI, realitas dalam perjalanan 51 tahun sejak 1969 sampai 2020 sangat paradoks dengan kata-kata indah dan manis itu berubah menjadi tragedi kemanusiaan dan malapetaka, penderitaan, tetesan air mata, cucuran darah berkepanjangan dan tulang belulang yang berserakkan di atas Tanah Papua. Karena Orang Asli Papua dibantai seperti hewan dengan stigma separatis, makar, OMP dan juga KKB demi kepentingan kedaulan negara dan keamanan nasional.

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, rohaniawan Katolik mengakui dan membenarkan tragedi kemanusiaan yang dialami Penduduk Orang Asli Papua seperti dikutip ini..

"Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia..."

Di tambahkan lagi "...Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia." (Sumber: Magnis: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015, hal. 255)

Fakta sejarah membuktikan bahwa penggabungan Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah sejarah berdarah dan penuh dengan ketidakadilan karena militer Indonesia memaksa Orang Asli Papua dengan moncong senjata.

Sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk bapak Menteri Dalam Negeri RI, H. Dr. Tito Karnavian belum tentu tahu banyak proses pengganungan wilayah Papua ke dalam wilayah Indonesia. Proses pengintegrasian melalui proses yang kejam, brutal dan tidak manusiawi.

Menurut Amiruddin Al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).

Apa yang disampaikan Amiruddin tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?" (Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."

(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA (Irian Barat) tahun 1969).

Pada 1969 Mayoritas 95% rakyat West Papua ang memilih merdeka: "...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua." (Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia." (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:

"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Hak politik rakyat Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani serta harapan Orang Asli Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia.

Adapun sejarah rakyat Papua tanggal 1 Desember 1961 sebagai hari kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua. Kemerdekaan itu dibubarkan oleh Ir. Sukarno pada 9 Desember 1961 dengan mengakui: "Bubarkan Negara Buatan Belanda."

Perlawanan sejarah dan status politik Papua ini merupakan konflik terpanjang di Asia. Itu terbukti dengan perjuangan dan perlawan panjang yang dilakukan oleh orang-orang terdidik dan terpelajar yang hebat, orang-orang asli Papua sebelum Papua digabungkan ke dalam wilayah Indonesia secara paksa dengan moncong senjata.

Sebut saja deretan nama para pejuang berbudi luhur seperti: Herman Womsiwor, Markus Kaisiepo, Nicolaas Jouwe, F. Torey, Nicolaas Tanggafma, Bernadus (Ben) Tanggafma, Hermanus Wayoi, Fritz Kihirio dan masih banyak tokoh yang tidak disebutkan di sini.

Para tokoh ini sudah berkeliling dunia sampai di PBB pada tahun 1960-an. Dapat dikatakan orang-orang asli Papua terdidik yang berkelas ini merasa dikhianati oleh PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia karena tidak dilibatkan dalam perjanjian New York 15 Agustus 1962. Para tokoh Papua ini menyatakan penyelasan mereka yang dikutip ini.

"We were traded as goats by the Americans." Terjemahan bebasnya: "Kami ldiperdagangkan sebagai kambing oleh orang Amerika." (Sumber: Maire Leadbeater: SEE NO EVIL: New Zealand's betrayal of the people of West Papua: 2018, hal. 94).

Proses sejarah secara singkat ini ditulis dan disampaikan kepada pemerintah Indonesia, supaya pemerintah jangan abaikan dan jangan berpandangan kami belum tahu fakta-fakta historis ini. Kalau sejarah ini diabaikan dalam proses penyelesaian persoalan Papua, maka antara Indonesia dan rakyat Papua tidak akan pernah menemukan solusi damai yang permanen.

Selama ini pemerintah dan TNI-Polri berlindung dengan aman dibalik stigma politik bahwa Orang Asli Papua separatis, makar, anggota OPM, TPN-PB dan mitos terbaru KKB. Jadi, masalah dasarnya bukan stigma politik yang dipakai Negara untuk menindas OAP ini. Akar atau jantungnya persoalan antar Indonesia dan rakyat Papua yang sebenarnya ialah RASISME dan KETIDAKADILAN. Dari Rasisme dan ketidakadilan itu melahirkan empat masalah besar yang telah ditemukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sepertinya Tim LIPI sangat hati-hati merumuskan akar persoalan Papua. Bagi Tim LIPI merasa sangat berbahaya kalau akar persoalan sebenarnya diungkapkan. Tetapi, Tim LIPI berhasil memetakkan akibat 4 akar masalah sebagai hasil dari akar masalah sesungguhnya yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN.

Dalam surar ini saya mengurutkan akar persoalan yang diderita Orang Asli Papua selama ini sebagai berikut:
  1. RASISME sebagai sumber utama masalah.
  2. KETIDAKADILAN sebagai sumber utama masalah.
  3. Sejarah pengintegrasian dan status politik West Papua dalam Indonesia sebagai hasil dari RASISME dan KETIDAKADILAN.
  4. Pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara selama 57 tahun sebagai akibat dari RASISME dan KETIDAKADILAN.
  5. Diskriminasi dan Marginalisasi yang disebabkan dari RASISME dan KETIDAKADILAN.
  6. Kegagalan pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi Penduduk Asli Papua karena OAP dianggap MONYET sehingga tidak perlu dibangun dan ini disebabkan oleh RASISME dan KETIDAKADILAN.
Melalui surat ini, saya sampaikan, bahwa sepanjang akar atau jantung masalahnya yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN belum diselesaikan, maka Orang Asli Papua dari waktu ke waktu terus berjuang demi hak politik dan martabat serta masa depan di atas Tanah leluhur.

Sebaliknya pemerintah Indonesia menggunakan kekuatan TNI-Polri dan perangkat hukum dan undang-undang Negara untuk menekan dan menindas Orang Asli Papua dan juga Pemerintah akan menggeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk menyuap para diplomat dan Perdana Menteri Negara-Negara yang bersimpati dengan perjuangan rakyat Papua.

(Baca ini: Posisi ULMWP dan Indonesia Setara di Mata Internasional)

Persoalan Papua sudah menjadi semakin rumit dan berat karena akar atau jantung masalahnya ialah RASISME dan KETIDAKADILAN, bukan separatis dan makar. Semakin bertambah rumit lagi karena sekarang ini mobilisasi global tentang "Black Lives Matter dan West Papua Lives Matter" sudah menjadi bagian dari komunitas internasional. Betapapun sulit dan rumitnya, pasti ada jalan keluar untuk win win solution.

Oleh karena itu, melalui surat terbuka ini, saya sampaikan kepada pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri sebagai berikut:
  1. Penentuan Nasib Sendiri rakyat Papua Sebagai Solusi Final dan MENDAMAIKAN Untuk Mengakhiri Rasisme dan Ketidakadilan Terhadap Orang Asli Papua BUKAN Otomomi Khusus Jilid II.
  2. Untuk menuju proses Penentuan Nasib Sendiri rakyat Papua, pemerintah Indonesia berunding secara damai dan setara tanpa syarat dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang dimediasi pihak ketiga di tempat yang netral. Seperti RI-GAM di Helsinki 15 Agustus 2005. Tujuannya ialah win win solution (penyelesaian menang menang).
  3. Perjanjian-perjanjian Kerjasama antar Indonesia dan West Papua akan dibahas lebih lanjut sesudah berada dalam meja perundingan antar RI-ULMWP.
Terima kasih. Tuhan memberkati kita.

Ita Wakhu Purom, Senin, 29 Juni 2020.
Gembala Dr. Socratez S.Yoman, MA

Penulis:
  • Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
  • Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
  • Anggota: Konferensi Gereja Pasifik (PCC).
  • Anggota : Baptist World Alliance (BWA)

Posted by: Admin
Copyright ©(...) "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Sabtu, 27 Juni 2020

Jack Wanggai: Ikrar dan Sumpah Telah Dijatuhkan dalam Deklarasi 6 Desember 2014

Buletinnusa No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Sumpah dan Ikrar itu terlaksana tepat pada tanggal 6 Desember 2014, di depan halaman kantor Dewan Adat Nasional Vanuatu.

Halaman dan lapangan tempat deklarasi itu bernama Saralanna di Port Villa - Vanuatu.

Karena itu, oleh Almarhum Bapak Andy Ayamiseba meminta semua Tim Perumus Keputusan Lahirnya ULMWP itu dengan nama“Deklarasi Saralana”.

Saya sebagai salah satu delegasi yang hadir pada kegiatan Rekonsiliasi Nasional Papua itu sangat menghormati keputusan tersebut. Saya tunduk dan hormati keputusan tersebut karena kesepakatan itu tercapai paska para pejuang Papua dari semua sayap force Moral dan force Politik sadar akan pentingnya Persatuan perjuangan Bangsa Papua.

Tentunya kalo dilihat ke belakang, ada kronologis bersejarah yang mencatat sejumlah alasan mengapa proses rekonsiliasi itu harus ditempu hingga sukses terlaksana di Port Villa - Vanuatu.

Perbedaan pendapat hukum dan politik serta alasan-alasan logis lainnya nyasar berseberangan pendapat baik antar diplomat sipil dan militer, serta juga antara diplomat dalam negeri dan luar negeri.

Sejumlah reaksi ektrem dan perbedaan pendapat yang terjadi pada saat pelaksanaan kegiatan itu biarlah semuanya menjadi catatan sejarah. Perbedaan pendapat itu berakhir dengan Deklarasi Saralana yang kini kita kenal dengan nama The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Beberapa tokoh dan delegasi yang hadir dalam peristiwa bersejarah ini, belakangan ini mereka membentuk satu opini yang bertolak belakang dengan ULMWP, pada hal merekalah yang juga turut serta dalam sumbangsih yang mahal hingga hari ini bangsa Papua melalui ULMWP mendapatkan pengakuan dan promosi di MSG, PIF, ACP, dan manca negara lainnya.
Jack Wanggai: Ikrar dan Sumpah Telah Dijatuhkan dalam Deklarasi 6 Desember 2014
Ket. Foto: Deklarasi Persatuan Perjuangan West Papua (ULMWP) di Port Vila, Vanuatu — Desember 2014.
Tampak pad foto [di atas] para pejuang Papua berdiri berbaris bersama menghadapi sebuah proses sumpah dan ikrar yang difasilitasi oleh Vanuatu dan stakeholder lainnya untuk melahirkan Deklarasi Saralanna (ULMWP) pada tanggal 6 Desember 2014.

Adapun jenis sumpah dan ikrar pada saat itu adalah:
  1. Ikrar/Sumpah Adat Melanesia,
  2. Sumpah /Ikrar dari pihak Gereja Vanuatu /Pasifik
  3. Serta ikrar & sumpah dari pihak unsur Pemerintah.
Tampak di depan para delegasi itu, ada makanan-makanan tradisional serta 4 ekor babi yang dipersembahkan kepada pihak pemerintah Vanuatu (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif).

Peristiwa prosesi itu delegasi berdiri berbaris menjadi empat barisan.
  • Pertama: Delegasi NRFPB,
  • Kedua: Delegasi PNWP/ KNPB,
  • Ketiga: Delegasi WPNCL dan TPNPB,
  • Keempat: Delegasi Masyarakat Adat Melanesia yang diwakili oleh Masyarakat Adat Vanuatu dan Gereja - Gereja Pasifik.
Saya akan lanjutkan lagi.... [bersambung]
__________________
Baca juga:
  1. Persatuan Kunci Kemerdekaan Papua
  2. Dukungan Internasional Antara ULMWP, dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
  3. ULMWP di Forum Sub-Regional, MSG dan Regional, ACP

Posted by: Admin
Copyright ©Jack Wanggai - Juru Bicara Departemen Politik ULMWP "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Fenomena Kelompok Oportunis dan Politik Kolonial Indonesia dalam Gerakan Papua Merdeka

Buletinnusa
Fenomena Kelompok Oportunis dan Politik Kolonial Indonesia dalam Gerakan Papua Merdeka
Aksi unjuk rasa menolak rasisme (ist)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Selain fenomena kaum Oportunis, akhir-akhir ini, Indonesia juga “SECARA TERANG-TERANGAN” sedang kencang berusaha untuk ciptakan perpecahan dan mengadu-domba orang Papua dalam gerakan Papua Merdeka.

Upaya-upaya itu terlihat sangat jelas dengan terang benderang di tahun 2020 ini.

Kami belum paham lebih jauh tentang ini, tetapi secara teori, skenario perpecahan adalah satu bagian dari kerja sistematis politik kolonial Indonesia yang menyamar sebagai Papua Merdeka (penyamaran untuk tujuan adu-domba).

Ada kelompok-kelompok tertentu yang muncul tiba-tiba sana-sini dengan mengklaim diri sebagai (ini dan itu) —

Saya Bazoka Logo, Kepala Biro Politik ULMWP tegaskan, ini adalah [MURNI PERMAINAN KOLONIAL INDONESIA] untuk mengganggu persatuan Gerakan Kemerdekaan bangsa West Papua yang sudah berjalan dengan 79 Negara dalam ULMWP.

Semua tetapi pada posisi dalam Persatuan yang sudah kami deklarasi ULMWP, Desember 2014. Ingat, persatuan adalah “kunci kemerdekaan”, sehingga kami serukan kepada semua lapisan gerakan Kemerdekaan West Papua untuk tetap pada posisi. Jangan mudah digoyangkan hanya oleh skenario manuver politik yang dilakukan kolonial Indonesia.

Kami akan mengidentifikasi semua. Damai Tuhan beserta kita, Wa Wa Wa!

O n e P e o p l e — O n e S o u l

BAZOKA LOGO
Kepala Departemen Politik ULMWP


Posted by: Admin
Copyright ©Bazoka Logo - ULMWP Political Department "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Dukungan Internasional Antara ULMWP, dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Buletinnusa
Dukungan Internasional Antara ULMWP, dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
FOTO: Para pemimpin perjuangan kemerdekaan West Papua dalam pertemuan Evaluasi Tahunan dan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT-LB) United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Port Moresby, Ibukota negara Papua New Guinea (PNG) pada 15-19 Desember 2019, pasca kemenangan West Papua di ACP dengan 79 negara. Pertemuan tersebut juga dihadiri langsung Gubernur Port Moresby dan Distrik Ibu Kota Nasional, Hon. Powes Parkop dan Gubernur Provinsi Oro Hon. Gary Juffa. Kedua pemimpin negara Papua New Guinea. (Foto. doc. Departemen Politik ULMWP)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Oleh A. Ibrahim Peyon, Ph.D
New Guinea, 27 Juni 2020

1. Pengantar

Dalam tulisan ini saya ingin dapat membandingkan pengakuan internasional terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dengan pengakuan internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Papua melalui badan politik resmi the United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) kini. Komparasi macam ini penting untuk mengidentifikasi kekuatan, legalitas dan legitimasi internasional yang telah dicapai oleh ULMWP untuk memperoleh kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Papua secara demokrasi, damai dan bermartabat.

Dalam diskusi ini mengidentifikasi kesamaan dan perbedaan antara pengakuan internasional terhadap Proklamasi Kemerdekaan Indonesia antara 17 Agustus 1945 hingga 28 September 1950, dan pengakuan internasional terhadap ULMWP menuju status Pemerintahan West Papua untuk memperoleh kemerdakaan dan kedaulatan Negara West Papua.

2. Pengakuan Internasional proklamasi kemerdekaan Indonesia

Kita telah mengetahui dalam sejarah kemerdekaan Indonesia bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan karena Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus dan Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Momentum ini dimanfaat Sukarno dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Proklamasi kemerdekaan Indonesia ini [saat itu] tidak didukung dari suatu negara mana pun di seluruh dunia secara resmi. Setelah proklamasi 17 Agustus itu mendapat dukungan dari negara Mesir, sebagai satu-satunya negara di dunia yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia secara de-facto 22 Maret 1946, dan secara de-jure 10 Juni 1947. Kemudian empat negara lain mendukung perjuangan Indonesia adalah India, Australia, Palestina dan Vatikan. Tetapi, empat negara ini tidak mengakui secara de-facto dan de-jure sebelum resolusi PBB tahun 1950. Dengan demikian antara waktu 17 Agustus 1945 sampai 28 September 1950 itu kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan oleh 5 negara.

Dalam periode itu, Australia, Palestina, India dan Vatikan tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de-jure, tetapi mereka mendukung perjuangan Indonesia dengan berbagai tindakan semisal boikot barang milik Belanda oleh para buruh Australia, dan pemerintah Australia desak PBB mengakui kemerdekaan Indonesia, Mesir memutuskan hubungan bilateral dengan Belanda, India mendesak PBB mengakui kemerdekaan Indonesia. Perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan Internasional hanya dari lima negara, tetapi Indonesia menggunakan momentum itu secara baik untuk membentuk pemerintahan yang dipimpin Sukarno dan Hatta, dengan status pemerintahan Indonesia itu galang dukungan internasional.

Belanda sebagai kolonial, tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 itu secara de-facto dan de-jure selama periode itu. Kemerdekaan Indonesia itu dapat diakui secara resmi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), 27 Desember 1949 secara de-facto dan de-jure, maka sampai hari ini pemerintah Belanda sebagai kolonial tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bagi Belanda kemerdekaan Indonesia adalah hadiah dalam bentuk Negara Republik Indonesia Serikat, dan bukan Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka secara de-jura, kemerdekaan Indonesia tidak diakui oleh Belanda hingga hari ini.

Tetapi, Indonesia mengklaim bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hadiah melainkan hasil dari perjuangan bangsa Indonesia. Karena memang faktanya Indonesia telah berjuang untuk mencapai kemerdekaan mereka. Di sisi lain, banyak sejarah telah dimanipulasi kebenaran dan telah dihilangkan, dan dimusnahkan sejarah-sejarah itu.

Legitimasi atau pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia terjadi setelah Belanda mengakui kemerdekaan Negara Republik Indonesia Serikat 27 Desember 1949 itu. Sebelum pengakuan Belanda itu, tidak ada negara mana pun mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi, kecuali Mesir menjadi negara satu-satunya di dunia. Indonesia memperoleh Legitimasi internasional 28 September 1950 melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 82. Pengakuan resmi internasional itu dapat diperoleh karena Indonesia telah memproklasikan kemerdekaan dan membentuk pemerintahan de-facto yang dipimpin oleh Presiden Ir. Soekarno dan wakilnya Mohammad Hatta. Tanpa melalui proklamasi kemerdekaan dan pemerintahan de-facto itu, dunia internasional tidak pernah mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi. Karena itulah Belanda menjajah Indonesia 350 tahun. Jadi, deklarasi kemerdekaan dan pemerintahan adalah kunci menujuk pengakuan internasional secara resmi tentang eksistensi sebuah negara bangsa.

3. Perjuangan Papua dan Sikap Internasional

Dalam sejarah perjuangan Papua, manifesto pembentukan negara dimulai 1 Desember 1961 ditandai pembentukan Parlemen Papua (Nieuw Guinea Raad), partai politik, militer dan simbol-simbol negara bangsa. Pada 1 Desember itu dihadiri delegasi resmi pemerintah Australia, Inggris, Belanda dan Papua New Guinea (masih provinsi Australia) adalah pengakuan resmi secara de-facto dan de-jure. Pada 1 Desember itu dinilai tidak dibacakan manifesto kemerdekaan Papua, kemudian diproklamasikan di Victoria, pada 1 Juli 1971 oleh Zeth Japhet Rumkorem dan Jacob H. Prai. Saat itu pemerintahan Papua dibentuk, Rumkorem sebagai Presiden dan Jacob Prai selaku ketua Senat. Dengan perkembangan ini, pemerintah Senegal dan beberapa negara Afrika lain mendukung penuh dan mengakui perjuangan kemerdekaan Papua itu secara de-facto dan de-jure. Pemerintah Senegal telah memberikan gedung kantor kedutaan besar pertama, di mana kantor kedutaan itu dipimpin oleh tuan Tanggahma, ayah kandung dari Leonie Tanggahma di Belanda.

Setelah Vanuatu memperoleh kemerdekaan, mendukung perjuangan kemerdekaan Papua penuh dan secara konsisten sampai hari ini. Tetapi, tuan Tanggahma selaku Duta Besar OPM di Senegal saat itu tidak mampu mempertahankan dukungan itu, dan gagal total. Kemudian ia dan keluarganya pindah ke Belanda untuk menetap di sana, maka diplomasi OPM di Afrika telah berakhir. Dalam periode itu, para pemimpin tidak manfaatkan dukungan itu dengan baik, karena lebih mementingkan status dan jabatan mereka, dan menciptakan perpecahan internal dalam perjuangan.

Konsekuensinya adalah perjuangan Papua telah terpecah ke dalam faksi-faksi yang berbasis etnik dan geografis, baik dalam tubuh sayap militer, organisasi sipil dan diplomasi internasional. Sebagai konsekuensinya juga negara-negara pendukung itu pun telah menarik diri dari dukungan mereka terhadap kemerdekaan Papua. Hari ini sedang mengulangi kondisi masa lalu itu, di mana Jaringan Damai Papua (JDP), Octovianus Mote, Leonie Tanggahma dan kelompok mereka sedang berusaha menciptakan konflik internal dalam tubuh perjuangan ULMWP yang sudah mendapatkan dukungan internasional saat ini. Tentu saja, Leonie Tanggahma dan kelompok mereka sedang mengulangi kerusakan dan kegagalan diplomasi yang pernah dilakukan oleh ayahnya di Senegal saat itu.

Seiring dengan reformasi Indonesia, masa bangsa Papua bangkit dan menuntut kemerdekaan mereka, maka lahir wadah persatuan Forum Rekonsiliasi Rakyat Irian Jaya (FORERI) yang dipimpin Willy Mandowen, kemudian lahirnya Tim 100 bertemu dengan Presiden Gusdur, Musyawarah Besar Papua (MUBES), dan Kongres Papua II. Melalui ketiga pertemuan itu dibentuklah Presidium Dewan Papua (PDP) dan Panel Papua untuk tingkat Kabupaten Kota. Di sini PDP lalai dan tidak menggunakan momentum itu. Ada empat hal PDP lalai,yakni:
  1. Presidium tidak proklamasi kemerdekaan Papua (rehabilitasi) yang sudah dilakukan 1 Juli 1971 oleh Zeth J. Rumkorem dan Jacob Prai di Victoria itu:
  2. Presidium tidak deklarasikan manifesto pemerintahan Negara West Papua.
  3. Presidium Dewan Papua masih bertahan dan puas dengan status Dewan atau Legislatif itu, tanpa pemerintahan berkuasa.
  4. Presidium tidak melakukan diplomasi Internasional untuk mendapat dukungan dan pengakuan internasional.
Berdasarkan empat hal itu dapat menunjukkan Presidium Dewan Papua (PDP) masih ragu-ragu, dan tidak serius dalam memperjuangkan kemerdekaan Papua. Konsekuensi logis dari ketidak seriusan itu maka perjuangan kemerdekaan Papua sangat sulit untuk mendapatkan dukungan dan pengakuan internasional. Di mana para pemimpin presidium ditangkap, dihukum dan dipenjarahkan, ketua Presidium They H. Eluay diculik dan dibunuh, wakilnya Thom Beonal menjadi salah satu wakil Presiden PT. Freeport.

Kondisi itu dimanfaatkan kelompok elit lokal Papua untuk meloloskan agenda mereka mengenai Otonomi Khusus (Otsus) Papua tahun 2001, setelah Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys H. Eluay diculik dan dibunuh dibawah pemerintahan Presiden Megawati.

Sejak tahun 2019, setelah rasisme di Surabaya dan protes massa secara besar-besaran di seluruh tanah Papua, kelompok-kelompok elit yang pernah meloloskan Otsus Papua tahun 2001 itu kembali mulai melakukan konsolidasi, dan mendorong agenda dialog Jakarta-Papua untuk meloloskan Otonomi Khusus Papua Jilid II. Kita lihat kelompok-kelompok ini mulai membangun wacana publik dengan memanfaatkan isu rasisme untuk mendorong agenda mereka. Ada Yoris Raweyai, Fredy Numberi, Michael Manufandu, Rektor Universitas Cenderawasih sekarang, dan kelompok Jaringan Damai Papua (JDP). Kelompok-kelompok pro Indonesia ini terlihat mulai konsolidasi diri dengan berbagai kegiatan seminar, pertemuan, kunjungan, bentuk deck Papua di MPR-RI, siaran di televisi, dan berbagai media lain.

Buchtar Tabuni, deklarator dan Wakil Ketua II Legislatif ULMWP telah mengumumkan bahwa Yoris Rawayai dan Yan Mandenas telah mengunjungi mereka, 7 tahanan Politik di Balikpapan. Buchtar mengatakan: “dalam dua Minggu ini kami 7 Tapol Papua di rutan Balik Papan di kunjungi oleh anggota DPD RI, Yoris Raweyai 17 Juni 2020, dan Anggota DPR RI, Yan Mandenas 24 Juni 2020 di Rutan kelas II B Balik Papan. Dalam kunjungan tersebut ada dua hal dibicarakan yakni nasib adik-adik mahasiswa yang di tahan di seluruh Indonesia karena demo penolakan ujaran Rasis terhadap Mahasiswa Papua di Surabaya oleh oknum TNI, Polri kolonial Indonesia dan ormas Reaksioner Nusantara di Surabaya, Jawa Timur”.

Gerakan kelompok pro Indonesia ini bukan hal yang baru, mereka sudah pernah melakukan hal yang sama pada tahun 1998-2001 untuk meloloskan agenda Otonomi Khusus Papua. Kini mereka melakukan metode yang sama untuk meloloskan agenda yang sama dikemas dalam dialog Jakarta-Papua. Metode ini juga telah dilakukan oleh FORERI dan Fredy Numberi dengan bentuk tim 100 bertemu Presiden Abdur Rahmad Wahid, atau Gusdur di Jakarta. Kini mereka mengulangi metode yang sama untuk melumpuhkan dan menghancurkan ULMWP yang telah mendapat dukungan internasional hari ini.


Strategi kelompok ini harus benar-benar diawasi, dipantau dan diwaspadai, rakyat Papua harus mengambil sikap tegas dan tidak kompromi dengan kelompok pro Indonesia ini.

4. Pengakuan Internasional Terhadap ULMWP

Telah dibahas dalam dua artikel sebelumya, “Legitimasi dan Pengakuan terhadap ULMWP” https://www.tabloid-wani.com, dan “Posisi ULMWP dan Indonesia setara di mata Internasional”, https://www.law-justice.co bahwa perjuangan bangsa Papua melalui lembaga politik resmi orang Papua itu telah mendapatkan dukungan dan pengakuan yang kuat dari 79 negara anggota African, Caribbean and Pacific Islands (ACP). Ini merupakan dukungan yang fantastik dan spektakuler dalam sejarah perjuangan bangsa Papua 50 tahun terakhir ini. Dukungan tersebut merupakan dukungan tiga kawasan yang menjadi block sendiri di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Selain dukungan 79 negara itu, perjuangan bangsa Papua melalui ULMWP juga telah mendapat dukungan dari Dewan Gereja-Gereja Pasifik, Konferensi Keuskupan-Keuskupan Pasifik, dan Dewan Gereja-Gereja Dunia, berbagai anggota Parlemen lintas negara tergabung dalam International Parlementarians for West Papua (IPWP), dan International Lawyers for West Papua (ILWP), Akademisi, dan berbagai NGO tak terhitung di seluruh dunia.

Republik Vanuatu resmi telah mengakui dan menyerahkan tanah dan kantor kedutaan bessar Papua pertama paska penutupan kantor OPM di Senegal. Vanuatu secara resmi telah menjadi sponsor utama untuk kemerdekaan bangsa Papua melalui ULMWP sekarang. Diterimanya ULMWP dengan status Obsever dalam organisasi sub Regional Melanesia, Melanesian Spearheead Group (MSG), menjadi satu babak baru diplomasi bangsa Papua. Papua dan Indonesia sama-sama diakui sebagai dua entitas negara berbeda dan berkonflik.

Pengakuan MSG mengenai ULMWP itu merupakan kekalahan diplomasi bagi pemerintah Indonesia. Meski Indonesia tahu atas pengakuan itu, tetapi Indonesia masih melakukan diplomasi dengan pendekatan ekonomi untuk mengimbangi wacana publik Indonesia dan stabilitas di tanah Papua. Puncak dari kekalahan diplomasi politik itu jatuh pada 16 Agustus 2019 di Tuvalu dalam pertemuan Forum Pacific Islands (PIF), di mana 18 negara anggota PIF secara resmi adopsi resolusi West Papua yang diajukan Pemerintah Vanuatu dengan ULMWP. Dengan diadopsinya resolusi itu, diplomasi Indonesia di Pasifik sudah selesai dengan kekalahan, sementara itu diplomasi ULMWP di Pasifik selesai dengan kemenangan.

Tahun 2019 adalah tahun kemenangan perjuangan West Papua dengan mendapat dukungan internasional dari negara-negara anggota ACP itu. Bulan Februari 2019, pemimpin kemerdekaan West Papua, Tuan Benny Wenda berhasil memenangkan dukungan dari negara-negara Afrika di Togo dalam pertemuan the African Union. Dukungan yang sama juga dirai dalam Forum Negara-Negara Karibian beberapa minggu kemudian, setelah dukungan regional baik di Pasifik, Karian dan Afrika dipastikan, maka Agustus-November 2019 Duta Besar John Licht dan ULMWP melakukan lobi kepada forum ACP di Brussel. Kemudian tahap finalisasi pemerintah Vanuatu dan ULMWP mengajukan resolusi yang sudah diadopsi 18 negara Pasifik tersebut dalam pertemuan ACP pada 5-7 Desember 2019 dalam pertemuan tingkat menteri, dan pada 8-10 Desember 2019 tingkat kepala negara, di Nairobi Republik Kenya. Dengan suara bulat 100% 79 negara anggota ACP mengadopsi Resolusi West Papua yang diajukan Vanuatu dan ULMWP.

5. Kesamaan dan Perbedaan antara Indonesia, dan West Papua

Telah dijelaskan di atas bahwa sebelum manifesto kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, tidak ada satu negara pun yang mendukung dan mengakui perjuangan kemerrdekaan Indonesia. Meski pun perjuangan Indonesia sudah lebih dari 350 tahun melawan kolonial Belanda, Inggris hingga Jepang, numun para pejuang Indonesia secara cerdik telah memanfaatkan momentum serangan bom atom di Hirisina dan Nakasaki, 5 dan 9 Agustus 1945, berbeda dengan Papua. Sejak 1 Desember 1961 telah mendapat pengakuan secara de-facto oleh pemerintah Inggris, Australia, Belanda dan Provinsi Australia di Papua New Guinea. Tetapi, negara West Papua tersebut diinvasi dan dicaplok oleh Indonesia atas dukungan Amerika Serikat untuk merebut kekayaan alam Papua.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949, perjuangan kemerdekaan Indonesia mendapat dukungan resmi oleh satu negara yaitu Mesir, dan empat negara lain Australia, India, Balestina dan Vatikan telah mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia, tetapi belum dapat mengakui kemerdekaan secara de-facto dan de-jure.

Berbeda dengan perjuangan West Papua, paska proklamasi 1 Juli 1971 di Vicktoria, dukungan resmi Senegal tidak dimanfaatkan baik dan telah gagal, sedangkan dukungan Vanuatu masih eksis sampai hari ini. Paska pembentukan ULMWP, perjuangan bangsa Papua telah mendapat dukungan resmi oleh Vanuatu dan empat negara Melanesia ditandai dengan menerima ULMWP dengan status observer di MSG, dan resolusi West Papua diadopsi secara resmi oleh 18 negara Pasifik, dan 79 negara anggota ACP.

Dengan demikian perbedaan sangat besar, di mana Indonesia didukung hanya oleh 5 negara paska proklamasi 17 Agustus 1945, sedangkan perjuangan kemerdekaan West Papua didukung oleh 79 negara tahun 2019 kemarin hingga saat ini.

Indonesia dengan modal dukungan 5 negara itu, telah proklamasikan dan dibentuk pemerintahannya, dengan status itu mendesak Belanda untuk melakukan perundingan, dan mencari dukungan internasional. Akhirnya, Belanda setuju melakukan perundingan antara dua negara, pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia dipimpin Soekarno dan Hatta. Perundingan itu disebut Konferensi Meja Bundar digelar 23 Agustus sampai 2 November 1949 di Den Haag, Belanda, dan 27 Desember 1949 Belanda mengakui Kemerdekaan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Berbeda dengan perjuangan bangsa Papua yang sudah mendapat dukungan 79 negara ACP, mereka mengakui ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua. Tetapi, ULMWP masih bersifat organisasi meskipun dalam periode kedua ini sudah berjalan dengan status politiknya berasas trias politika atau semi pemerintahan yang terdiri dari: Legislatif, Eksekutif dan Judikatif. Meski ULMWP menjalankan fungsi trias politika atau semi pemerintahan, tetapi masih belum menjadi status Pemerintahan penuh secara de-facto dan de-jure. Hal ini menjadi agenda mendesak para pemimpin bangsa kami untuk segera dipikirkan. Selama status ULMWP belum tranformasi menjadi pemerintahan West Papua, Indonesia masih mengkategorikan ULMWP sebagai Organisasi Politik. Bila statusnya sebagai organisasi politik kapan saja bisa bubar dan sulit mendapat pengakuan resmi dari negara lain secara de-facto dan juga de-jure. Karena negara-negara mereka akan melihat statusnya masih sebagai organisasi dan bukan pemerintahan.

Paska perundingan pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia, barulah masalah Indonesia dibawa ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan 28 September 1950 negara Indonesia dapat pengakuan melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 82. Di sini menjadi jelas bahwa Belanda bersedia melakukan perunding dengan Indonesia karena Indonesia telah mengumumkan pemerintahannya. Berbeda dengan ULMWP dengan status organisasi politik tetapi telah mendapatkan pengakuan resmi dari 79 negara ACP. Apalagi, status ULMWP berubah menjadi status pemerintahan West Papua, saya yakin dengan perubahan status itu Papua mendapat dukungan yang lebih luas lagi.

Hingga tahun 2020 ini, Belanda tidak mengakui de-jure proklamasi 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Belanda hanya mengakui de-facto dan de-jure adalah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, maka manifesto 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bagi Belanda tidak sah dan ilegal. Akan tetapi, pemerintah Indonesia mengkaim proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah sah karena ada landasan hukum internasional tentang penentuan nasib sendiri negara-negara dari kekuasaan kolonial.

Kondisi ini sama dengan perjuangan Bangsa Papua dan ULMWP di mata Indonesia saat ini. Pemerintah Indonesia tidak mengakui ULMWP sebagai organisasi politik, dan distigmatisasi dengan sebutan separatis dan musuh negara. Pandangan seperti ini biasa, karena kemerdekaan Indonesia sendiri tidak diakui dan dianggap ilegal oleh Belanda. Jadi itu hal yang biasa bagi kolonial di mana pun di dunia.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah mengakui ULMWP karena delegasi Indonesia dan ULMWP duduk sama-sama di MSG, dan PIF. Presiden Jokowi pernah mengatakan bersedia bertemu dengan pemimpin ULMWP untuk melakukan dialog konstruktif, karena itu ketua ULMWP Benny Wenda mengajukan 6 syarat yang harus dipenuhi Indonesia sebelum melakukan tawaran yang dimaksud Jokowi. Pernyataan Presiden Jokowi adalah salah satu bentuk pengakuan terhadap ULMWP sebagai entitas negara bangsa masih eksis. Dengan demikian, pembentukan pemerintahan West Papua mempunyai dasar hukum internasional yang kuat, dukungan 79 negara ACP sebagai negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sudah menjadi sangat kuat untuk mendeklarasikan pemerintahan West Papua.

6. ULMWP Menuju Status Pemerintahan West Papua

Berdasarkan realita sejarah politik di atas, status United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) menjalankan Trias Politika sudah waktunya untuk berubah menjadi “Pemerintahan West Papua” karena perjuangan bangsa Papua sudah dapat diakui oleh 79 negara secara resmi. Perjuangan kemerdekaan Papua juga sudah diakui oleh Dewan Gereja Pasifik, Konferensi Keuskupan Pasifik, Dewan Gereja-Gereja Dunia, dan anggota-anggota Parlemen lintas partai politik dan lintas negara. Bila dikalkulasi persentasi dari 193 negara anggota PBB, maka 79 negara ACP yang adalah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maka presentasenya adalah 40,9% negara anggota PBB mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua. Oleh karena itu, Pemerintahan West Papua sangatlah penting dan mendesak karena beberapa alasan berikut ini:
  1. Perjuangan kemerdekaan Papua sudah mendapat dukungan resmi dari 79 negara merdeka dan berdaulat.
  2. Untuk menunjukkan keseriusan kepada negara-negara pendukung kemerdekaan West Papua.
  3. Meningkatkan posisi tawar terhadap negara-negara lain di dunia internasional dalam menggalang diplomasi internasional.
  4. Meningkatkan posisi menuju perundingan damai antar dua pemerintah – pemerintah Indonesia dan pemerintah West Papua – untuk menyelesaikan status Papua di forum-forum internasional dalam pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa secara damai, berkeadilan dan bermartabat.
  5. Pemerintah West Papua sebagai pemerintah berkuasa atas bangsa dan territorial West Papua merepresentasi negaranya untuk membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan mengajukan gugatan ke makamah Internasional.
  6. Pemerintahan West Papua secara politik dan hukum siap mengambil alih adminitrasi negara melalui proses Perserikatan Bangsa-Bangsa secara damai menuju pemerintahan definitif dan kedaulatan penuh Negara West Papua.
Dalam memenuhi tujuan-tujuan politik di atas, The United Liberation Moverment for West Papua (ULMWP) sudah waktunya dan harus berubah status menjadi Pemerintahan West Papua. Karena itu, bangsa West Papua sudah waktunya untuk bersatu dan mendukung penuh perubahan status lembaga Politik bangsa Papua ini.

Bangsa Papua sudah harus bersatu, kuat, dan tegas menolak agenda dialog Jakarta-Papua, dan agenda Otonomi Khusus Jilid II yang sedang didorong kelompok pro-Indonesia.

Mari kita bersatu dan sambut: ULMWP menuju Pemerintahan West Papua!


Posted by: Admin
Copyright ©Bazoka Logo - ULMWP Political Department "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Kamis, 25 Juni 2020

Baru DBD di Blora Capai 80 Kasus, 2 Diantaranya Meninggal Dunia

Baru Ada 4 Kasus, Tempelan Jadi Klaster Baru Penularan Covid-19 di Blora

Kelompok Oportunis dan Skenario Propaganda BIN

Buletinnusa
Kelompok Oportunis dan Skenario Propaganda BIN
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Beriringan dengan ramainya diskusi publik soal dialog Jakarta-Papua yang dilakukan kelompok Oportunis, intelijen Indonesia (BIN) juga terus membangun propaganda HOAX tentang keanggotaan ULMWP di MSG.

ULMWP full member atau anggota Observer, intinya adalah West Papua yang diwakili resmi oleh ULMWP ini terdaftar resmi sebagai anggota dalam rumah orang Melanesia di MSG.

Yang membedakan West Papua dengan Solomon, Vanuatu, FLNKS, Fiji mereka adalah anggota penuh, sedangkan kami West Papua (ULMWP) adalah anggota Observer, tetapi prinsipnya kami sama-sama anggota MSG.

Tetapi dalam forum-forum Melanesia Spearhead Group (MSG), ULMWP selalu mendapat bagian selayaknya negara anggota penuh. Inilah yang membuat Indonesia merasa gelisah, karena Indonesia sadar bahwa dia mewakili 5 Provinsi termasuk Prov. Papua sebagai anggota asosiasi di MSG, tetapi ternyata itu sia-sia karena Papua (West Papua) sudah punya wakil resmi di MSG yaitu ULMWP.

Inilah sebabnya, Indonesia menjadi dilema tersendiri dan intelijen BIN Indonesia terus bangun isu propaganda HOAX di media mainstream dan sosial media. Skenario BIN ini dilakukan bersamaan dengan diskusi publik dialog Jakarta-Papua yang dilakukan kelompok Oportunis yang kami singgung di link berikut — (Kelompok Oportunis dalam Situasi “Isu Rasisme”)


Posted by: Admin
Copyright ©Bazoka Logo - ULMWP Political Department "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Kelompok Oportunis dalam Situasi “Isu Rasisme”

Buletinnusa
Kelompok Oportunis dalam Situasi “Isu Rasisme”
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Oleh: Dr. Ibrahim A. Peyon, Ph.D

Ada satu fenomena menarik yang berkembang terakhir ini. Orang asli Papua harus secara jernih mencermati, mengamati dan menganalisa. Fenomena yang berkembang ini adalah untuk mendorong agenda dialog Jakarta-Papua. Ada beberapa hal yang kita harus cermati.

(1). Pertanyaan-pertanyaat dari pihak-pihak tertentu dalam menyikapi rasisme dan 7 tahanan politik di Kalimatan. Akhir dari pernyataan-pernyataan itu ditutup dengan kata [Dialog Jakarta-Papua].

(2). Dalam sel-sel jaringan itu dapat dihubungkan melalui siaran-siaran interaktif dari kelompok-kelompok tertentu yang memiliki misi, visi dan agenda yang sama yakni [Dialog Jakarta-Papua].

Pihak-pihak itu terdiri dari unsur negara, perwakilan DPR RI, atau MPR, jurnalis, aktivis dan unsur pertahanan atau militer Papua, orang Papua diaspora. Mereka tampil dalam satu misi dan agenda, [Dialog Jakarta-Papua].

(3). Ada individu-individu dan Kelompok-kelompok tertentu yang mengeluarkan pernyataan bersama tentang dialog Jakarta-Papua, tanpa menyingung sedikit pun tentang ULMWP. Dalam poin-poin pernyataan dapat dilihat jelas, kemana arah dan sasaran mereka, yakni [Dialog Jakarta-Papua].

Ada para pembicara, orator, pengkhotbah dan sejenis lainnya dalam berbagai momentum mengecilkan wibawa dan perjuangan Gereja-Gereja Protestan, dengan klaim diri yang terstruktur dan terhirarki dalam sistem tertentu. Di mana yang disebut Gereja-Gereja kecil itu yang memiliki kedaulatan dan komitmen, dan tujuan yang jelas untuk mendukung ULMWP sebagai lembaga politik resmi West Papua. Karena alasan ini, pihak lain justifikasinya sebagai Gereja Kecil dan lokal dengan tujuan untuk membangun wacana dalam masyarakat asli Papua. | Baca juga: (ULMWP Didukung dan Berdiri Bersama 79 Negara Serta WCC)

(4). Pihak-pihak unsur pemerintah, dan elit-elit asli Papua di Jakarta melakukan kunjungan 7 tahanan politik di Balikpapan setelah vonis 10-11 bulan adalah bagian dari manifestasi ini.

(5). Bila ada orang Papua yang sudah mengikuti perjuangan selama ini secara baik, pasti akan sangat mudah memahami fenomena ini, agenda, dan tujuan mereka, yang tidak lain yaitu: [Dialog Jakarta-Papua].

(6). Tujuan utama fenomena ini adalah untuk “menghancurkan ULMWP, hancurkan dukungan MSG, PIF, dan ACP, dan sekaligus menggagalkan Resolusi Papua dengan agenda tunggal Kemerdekaan Papua menuju PBB.
_________________

Tambahan:

Hari ini, perjuangan bangsa Papua melalui badan politik resmi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dimotori langsung oleh protokoler Negara Vanuatu sebagai negara sponsor, dalam Konstitusi ULMWP BAB I, Pasal 1, Menyebutkan: Visi dan Misi Satu Satunya ULMWP adalah Memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri melalui Mekanisme REFERENDUM bagi West Papua. Selain dari pada itu seperti Dialog ataupun Perundingan itu bukan atau tidak menjadi agenda yang diperjuangkan oleh ULMWP.

Baca juga: (Dialog Jakarta-Papua Agenda Menghancurkan ULMWP Dan Dukungan Internasional)

Saat ini yang ULMWP perjuangkan adalah Hak Penentuan Nasib Sendiri dengan melobi dan mendapat dukungan dari Negara-negara anggota PBB di MSG, PIF, ACP, CARICOM, ASEAN, COMMONWEALTH, UNI-EROPA menuju UN pada sidang tahunan PBB, guna memenangkan resolusi Hak Penentuan Nasib Sendiri Melalui Mekanisme Referenfum.

Dan ULMWP menargetkan masalah West Papua pada PBB (ICJ, C24 / Dekolonisasi).


Posted by: Admin
Copyright ©Bazoka Logo - ULMWP Political Department "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

ULMWP di Forum Sub-Regional, MSG dan Regional, ACP

Buletinnusa
Pentingnya ULMWP di Forum Sub-Regional, MSG dan Regional, ACP
Ket. Foto: Deklarasi Persatuan Perjuangan West Papua (ULMWP) di Port Vila, Vanuatu — Desember 2014.
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Pentingnya ULMWP di Forum Sub-Regional, MSG dan Regional, ACP

Setiap Pergerakan menuju Kemerdekaan suatu bangsa mengenal tiga sayap; yaitu
  1. Sipil-Politik (Legislatif ULMWP)
  2. Militer-angkatan bersenjata — TPNPB, TPN, TRWP, TNPB adalah (West Papua Army), dan..
  3. Diplomat-Eksekutif ULMWP
Untuk mewujudkan kemerdekaan tiga sayap tersebut memainkan perannya masing-masing sesuai dengan fungsi kerjanya dan ada saling koordinasi serta komunikasi yang insten.

Berkaitan dengan perjuangan West Papua, tiga sayap tersebut telah dan sedang memainkan perannya masing-masing dengan saling berkoordinasi dan berkomunikasi.

Dalam konteks ini, yang perlu kami jelaskan adalah Peran sayap Diplomasi- Eksekutif ULMWP dalam kampenye dan lobi-lobi yang dilakukan untuk mendapatkan dukungan dari forum Sub – Regional dan Regional. Karena tahun-tahun terakhir ini, lobi dan kampanye lebih berfokus pada negara-negara kawasan Melanesia, Pasifik, Afrika dan Karibia.

Mengapa demikian?

Karena Negara sub–regional, MSG adalah tetangganya West Papua dan merekalah yang lebih dekat dengan West Papua.

Di samping itu, kedekatan antropologis sangat berpotensi memberikan dukungan. Ini terbukti dengan penerimaan West Papua sebagai Observer di forum MSG (Melanesian Sperhead Group) tahun 2015.

Dan Kawasan Pasifik sebagai satu daratan kawasan Pasifik Selatan dalam forum negara-negara Kepulauan Pasifik (Pasific Island Forum/PIF), yang mana melalui Komunike Nya telah memasukan agenda West Papua di dalamnya.

Dari MSG dan PIF lobi Politik meningkat ke negara-negara kawasan yang lebih luas lagi seperti Afrika, Karibia dan Pasifik (Africa, Carribean, Pasific / ACP). Karena, negara-negera yang tergabung dalam forum MSG dan PIF juga adalah anggota ACP, maka Persoalan West Papua juga didorong ke Forum ACP.

Bersyukur bahwa di forum ACP memasukan Persoalan West Papua menjadi salah satu Resolusi ACP yang ditandatangani oleh 79 negara.

Pertanyaan selanjutnya, Apa Pentingnya itu semua? Pasti sangat penting karena saat ini West Papua sedang mencari dukungan dari negara – negara anggota PBB.

Negara-negara sub-regional dan regional yang disebutkan di atas adalah negara-negara anggota PBB. Dengan kata lain, negara-negara yang tergabung di forum MSG, PIF dan ACP adalah negara anggota PBB. Ini dimaksudkan agar Persoalan West Papua disuarakan di forum-forum PBB, seperti di Komisi atau Dewan terkait dan didorong ke Sidang Umum PBB untuk mencarikan suatu solusi (Resolusi).

Ada tiga hal yang penting.

  • Pertama, Persoalan West Papua menjadi persoalan Bersama di forum MSG, PIF dan ACP.
  • Kedua, negara-negara MSG, PIF dan ACP kemudian mendorong Persoalan West Papua ke tingkat yang lebih tinggi di PBB karena masalah West Papua adalah Masalah Internasional melalui PBB maka prosesnya juga harus melalui jalur tersebut.
  • Ketiga, mengagendakan dan mendapatkan Resolusi Atas Persoalan West Papua, baik secara Politik, Hukum dan HAM. Untuk poin yang ke tiga, Resolusi disiapkan bersama dan ditawarkan kepada negara-negara anggota PBB. Dengan kata lain, menyiapkan draf Resolusi dan menawarkan ke forum untuk dimintai suara (voting).
Dari Penjelasan singkat ini, kita perlu ketahui, 2 hal utama.
  • Pertama, Agenda Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi Bangsa Papua telah dan sedang menjadi Agenda Bersama negara-negara sub-regional dan Regional.
  • Kedua, Pengakuan Atas Perjuangan Bangsa Papua untuk Menentukan Nasib Sendiri.
Jadi, dengan masuknya West Papua ke Forum MSG, secara tersurat menandakan bahwa Agenda West Papua menjadi salah satu bagian dari Agenda MSG dan secara tersirat telah ada Pengakuan tentang Perjuangan bangsa Papua untuk Menentukan Nasib Sendiri

Begitu pula untuk Forum PIF dan ACP yang walupun West Papua belum menjadi anggota, namun Agenda / Masalah West Papua telah masuk dalam komunike.

West Papua mencapai tahapan seperti di atas melalui suatu proses konsolidasi dan Rekonsiliasi, yang mana saat itu, tahun 2013, ada beberapa aplikasi yang masuk ke meja MSG. Dan semua aplikasi itu dikembalikan ke West Papua dengan suatu nasihat dari MSG untuk Bersatu. Maka langkah – langkah persatuan mulai didorong dari dalam negeri dan luar negeri. Di dalam Negeri, seluruh Elemen Perjuangan Membentuk Tim Kerja, yang dikenal dengan Tim Kerja Rekonsiliasi Nasional Papua Barat (TKRNPB). Tim ini yang bekerja selama Satu setengah tahun melakukan konsolidasi dan rekonsiliasi berbagai elemen Perjuangan di dalam negeri West Papua.

Proses ini memunculkan tiga komponen besar, yaitu West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dan Negara Republik Federal Papua Barat (NFRPB), sebab elemen organisasi taktis semuanya berafiliasi pada tiga komponen tersebut.

Sedangkan untuk proses di luar negeri, inisiatif diambil oleh Vanuatu sendiri dengan menunjuk Pastor Allan Nafuky sebagai ketua Tim Rekonsiliasi bagi West Papua. Hasil dari seluruh proses baik di dalam negeri dan di luar negeri melahirkan Wadah yang dikenal dengan nama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kemudian pada tahun 2015 ULMWP mendaftar di MSG dan diterima sebagai observer bersama Indonesia.

Saat ini, West Papua (ULMWP) sedang mendorong proses menuju Keanggotaan Penuh di Forum MSG.

Ini sangat penting mengingat West Papua sendiri sebagai suatu bangsa yang mencita-citakan Pembebasan dari NKRI, maka peningkatan status ke anggota penuh akan sangat membantu proses selanjutnya. Sebab, untuk perjuangan melalui jalur Politik, Hukum dan HAM, West Papua membutuhkan legalitas yang sah (legal Standing) dari sekurang-kurangnya negara – negara kawasan. Sehingga ketika West Papua mengugat PEPERA, legal stadingnya jelas sebagai anggota penuh di forum MSG, yang dapat memberikan Kuasa kepada Pengacara (Kuasa Hukum) melalui kendaraan negara Vanuatu dan Posisi West Papua di MSG.

Terali Kolonial, Kaltim, 21 Mei 2020

Buchtar Tabuni
Ketua II Legislatif ULMWP

Keterangan Foto di Bawah

Pemimpin Melanesia sambut baik pengajuan aplikasi keanggotaan penuh West Papua (ULMWP) dalam KTT MSG di Port Moresby, Februari 2018 lalu. Dalam KTT itu, ULMWP dinyatakan memenuhi syarat keanggotaan.
Pertemuan MSG tingkat Senior Official (SOM) dan para Menteri Luar Negeri negara-negara Melanesia, 12 Februari 2020 di Fiji. Ketua ULMWP, Mr. Benny Wenda menyampaikan pidato resmi dalam forum dan menyampaikan sejumlah pencapaian ULMWP di hadapan pemimpin termasuk Indonesia.Pertemuan MSG tingkat Senior Official (SOM) dan para Menteri Luar Negeri negara-negara Melanesia, 12 Februari 2020 di Fiji. Ketua ULMWP, Mr. Benny Wenda menyampaikan pidato resmi dalam forum dan menyampaikan sejumlah pencapaian ULMWP di hadapan pemimpin termasuk Indonesia.
Tampak cerah muka mereka 😊 ya... Foto No. 3 di bawah adalah Ketua ULMWP bersama Jubir ULMWP dan pemimpin negara pendukung resminya, yaitu Vanuatu mereka berpose bersama setelah berhasil mendapatkan dukungan atas draft resolusi yang diajukan ditetapkan dalam Komunike Resmi Pacifik Island Forum (PIF) dalam KTT PIF 15 Agustus 2019 di Tuvalu. Komunike (keputusan) ditetapkan dalam [3 nomor sekaligus]. ---- saat itu Indonesia datang dengan delegasi jumlah besar, tetapi mereka telah gagal.
Pada 7 Desember 2019, Komunike yang ditetapkan oleh seluruh 18 negara Pasifik tersebut kemudian disambut baik oleh 79 negara Africa, Caribbean, dan Pasifik melalui KTT ACP di Nairobi, negara Kenya, Afrika Timur. Ketua ULMWP, Mr. Benny Wenda turut bersama dalam KTT ACP di Afrika Timur dan Resolusi telah didukung 100% oleh 79 Negara.

Posted by: Admin

Copyright ©Buchtar Tabuni via Bazoka Logo "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com