Senin, 31 Agustus 2020

Papua dalam Stigma Dunia

Buletinnusa
FOTO: Orang Papua dari Suku Asmat, mereka mendiami wilayah sepanjang Laut Arafura, kampung Pirien. Foto diambil oleh Francois Gohier pada tahun 1976.

Oleh A. Ibrahim Peyon, Ph.D

New Guinea, 27 Agustus 2020 

Papua Dalam Stigma Dunia

Bagian I

Pengantar

Bagi kepentingan kolonialisme, kapitalisme, eksploitasi sumber daya alam, dan perampokan kekayaan alam di New Guinea. Untuk tujuan itu, ilmuwan barat telah memainkan peran yang signifikan. Ada empat pendekatan yang digunakan oleh ilmuwan Eropa dan Amerika. Pertama, pendekatan penyelayaan yang telah klaim New Guinea sebagai milik mereka dan diberika berbagai macam namai sesui identitas kultur dan politik mereka. Kedua, pendekatan ekspedisi gabungan yang melibatkan berbagai disiplin ahli: fisika, biologi, geologi, zoologi, anthropologi, dan linguistik. Ketiga, pendekatan penelitian mendalam dari masing-masing ahli tersebut. Para ahli fisika itu telah identifikasi potensi sumber daya alam berupa emas, tembaga, uranium, minyak dan gas, flora dan vauna, sedang ahli linguistik dan anthropolog klasifikasi manusia, budaya dan bahasa. Peran anthropolog sangat signifikan untuk klasifikasi orang Papua dalam pandangan yang mereka inginkan. Dari berbagai pendekatan itu, telah membangun teori-teori rasis, distriminasi dan stigmasisasi pada New Guinea. Manusia Papua di New Guinea digambarkan sebagai savage, pygmies, kanibal, primitive, dan agama mereka dikategori sebagai gerakan kargoisme, animisme, atau kepercayaan perhala. 

1. Stigma Savage

Manusia Papua dikategorikan seebagai manusia savage dalam kerangka teori evolusi. Savage adalah manusia yang dianggap memiliki tingkat kehidupan dan kulturnya lebih rendah di atas satu tingkat dari hewan. Pandangan ini direpresentasi oleh para ahli seperti Yosep King (1909) dalam karya "W. G. Lawes of Savage Island and New Guinea", Leopold A. D. Montague (1921) dalam karyanya "Weapons and implements of savage races". Banyak karya pada masa itu telah mengambarkan sebuah teori yang sama terhadap orang asli Papua dan bangsa-bangsa Melanesia, Pasifik dan Australia. Pandangan ini digambarkan jauh sebelum abad ke-18 dan dilanjutkan hingga abad ke-19. 

Kategorisasi ini dibuat karena mereka memiliki ideologi atau pandangan antara ras superioritas dan inferioritas, antara Eropa dan non Eropa, antara kami dan mereka. Orang Eropa sendiri diposisikan sebagai manusia beradab (civilization), diluar Eropa khususnya di Timur Tengah yang memiliki peradaban tinggi dan di Asia Barat dan dataran Cina diposisikan bangsa-bangsa barbarian, sedang bangsa lain di Asia, Afrika, Amerika dan Pasifik diposisikan Savage. Dalam kontest itu, orang Papua dikategori sebagai savage. Belakangan banyak anthropolog kritis pandangan ini, misalnya Marianna Torgovnick (1999) dalam karyanya "Gone primitive: savage intellects, modern lives” yang mengatakan intelektual savage telah menjadi kehidupan dunia modern sekarang. Karena semua teori yang dibangun dan dipelajari sekarang berbasis dari intelektual dan kultur dari orang-orang yang disebut savage tersebut. 

2. Stigma Pygmies

Manusia Papua diklasifikasi sebagai manusia kerdil atau pygmies. Istilah Pymies sendiri digunakan oleh etnolog Jerman untuk klasifikasi orang-orang Shan di daerah kalahai dan etnik-etnik lain di Afrika. Kolonial juga diberi nama orang Shan dengan istilah Buchman, berarti manusia semak. Istilah Pygmeis itu kemudian diterapkan terhadap orang Papua dalam karya-karya mereka. A. F. R. Wollaston (1912) menulis "Pygmies and Papuans the Stone Age today in Dutch New Guinea". Dalam buku ini, ia menjelaskan Papua secara geografis, kontak-kontak periodesasi dengan orang luar, ciri fenotipe orang Papua. Tahun berikutnya C. G. Rawling (1913), The Land of the New Guinea Pygmies. Rawling dalam buku ini deskripsikan pengalaman keterlibatkan dalam ekspedisi yang mengikuti sungai Mimika ke pegunungan, orang Papua yang mereka bertemu di kampung-kampung di pegunungan itu dikategori sebagai Pygmeis

Dalam karya-karya ini digambarkan orang Papua sebagai manusia kerdil yang memiliki kapasitas otak dan intelektual sangat rendah. Sebagaimana dideskripsikan oleh A. De Quatrefages tahun 1895 terhadap orang Afrika dan orang Negrito-Papuans yang tersebar mulai dari India, kepulauan Andaman, hingga Timor, Maluku dan di batas utara di Filipina, kepulauan Melanesia dan New Guinea disebut sebagai pusat orang Negrito-Papuas. Pada tahun 1882 de Quatrefages, menulis: The Asiatic Pigmies, or Negritos, tulisan ini dimuat dalam jurnal Royal Asiatic, dalam tulisan ini dibahas pygmies di Asia dan Pasifik secara khusus. Pymeis Negrito-Papuas itu dikategori berbasis pada studi etnoglogi tentang distribusi ras negritos-Papua di Asia dan Pasifik. Antara lain ditulis oleh George Windsor Earl (1853) The Native Races of the Indian Archipelago. Papuans. Yang mengambarkan orang-orang dengan ciri fisik dengan warna kulit hitam, rambut kering hingga gelombang disebutnya penduduk asli di kepualaun Indo-Pasifik yang tersebar melintasi Asia ke Pasifik. Di New Guinea kajiannya tentang orang Papua di selat Dourga, pulau Kolebom di pantai selatan (kolonial Belanda: Frederick-Henry Island; Kolonial Indonesia: Jos Sudarso), orang Papua di pantai barat daya di sekitar Sorong dan sekitarnya, orang Papua di pantai utara terutama di Dorei Manokwari, di Teluk Yotefa (Jayapura kini), dan beberapa daerah lain berdasarlan laporan ekspedisi Belanda. Earl juga klasifikasi orang-orang dengan ciri ini tersebar luas melintasi di Asia dan Pasifik seperti di kepulauan Aru, Ceram dan Maluku, Ahitas atau Negritos di Filipina, Mindoro, Negros, Mindanao, Sulu dan Borneo, orang Semang di Semenanjung Melayu, orang Andama, orang Sunda Chain, dan penduduk di Pulau Merville dan Australia utara. Alfred Russel Wallace (1869) tentang keberadaan Negritos-Papuas di Gilolo Halmahera dan orang Papua di pantai Dorei di Maknowakri. Anthropolog lain, A. B. Meyer (1899) The Distribution of The Negritos. In the Phllirrine Islands and Elsewhere. Dalam buku ini melaporkan distribusi ras negritos secara luas mulai dari Cina, Japan, Malaya hinggal New Guinea. Mayer identifikasi dua puluh Sembilan tempat sebagai daerah bangsa-bangsa Negritos. 

3. Stigma Kanibalisme

Dalam berbagai tulisan anthropology, biologi, zoologi, linguistik dan dalam banyak ekspedisi mereka telah digambarkan New Guinea sebagai tempat kanibalisme yang mengerihkan. Dulu suku-suku di sini sering makan daging manusia dari pihak musuh sebagai tindakan balas dendam karena kerabat mereka dibunuh. Tindakan itu bukan sebagai makanan, karena ada keinginan untuk makan daging manusia sebagai kebutuhan, tetapi tindakan emosional dan balas dendam. Tidak semua orang Papua yang melakukan hal ini, melainkan hanya pihak tertentu yang meresa telah kehilangan kerabat mereka, karena kerabat.kerabat itu dibunuh pihak. Tindakan balas dendam ini dieskploidasi oleh para ilmuwan Ero-Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan perampasan sumber daya alam di tanah ini. 

Kanibalisme tidak hanya terjadi di tanah Papua, kanibalisme adalah hukum universal di seluruh dunia. Banyak literatur menunjukkan bukti-bukti itu, kanibalisme pernah ada bangsa-bangsa lain di seluruh Pasifik, Australia, Asia, Amerika, Afrika dan Eropa. 

Karoline Lukaschek (2000) dalam tesisnya: The History of Cannibalism, juga menjelaskan secara baik tentang kanibalisme secara global dari seluruh dunia, baik di India, Afrika, New Guinea, Fiji, New Zueland, Amerika Selatan, Mesoamerika, Kanada, Amerika Utara, Spanyol, Etiopia, Kroasia, Maula-Kuersi Francis, Afrika Selatan, Kerajaan Inggris, di Fontbr´egoua Prancis, dan Amerika Tenggara. Sementara itu, Garry Hogg (1998) Cannibalism and Human Sacrifice, juga menjelaskan kanibalisme sebagai hukum umum umat manusia di seluruh dunia. Ia mengambarkan kanibalisme di Fiji, Aztecs, dan Kwakiut di Indian Amerika, Basin di Amazon Amerika, etnik-etnik di Nigeria, Siera Leona di Afrika Barat, Basin di Kongo, di New Guinea, dan Melanesia lain, Polinesia, di Blackfellpw di Australia, Maori di New Zueland dan suku-suku di Indonesia, seperti orang Batak, Dayak di Sarawat, orang Timor, dan Maluku, penduduk asli di Sulawesi. Orang Milano dan penduduk asli lain di Filipina, dan etnik-etnik lain di Asia Tenggara. 

Kita temukan dalam literatur-literatur klasik kanibalisme di Inggris digambarkan oleh Andrews and Fernández-Jalvo (2003), Cannibalism in Britain, di Prancis, Portugis, Spanyol, Jerman, dan bangsa-bansga di Eropa Timur. Kita juga temukan kanibalisme di Yunani, Itali, Mesir, Israel, dan dunia arab lain. Dalam sejarah Israel semisal dalam kitab raja-raja dua pasal 6: 28-29 juga telah digambarkan kanibalisme ini. Di Jerman, kerja sama antara para ethnolog dan Arkeolog tahun 2009 telah ditemukan bukti baru bahwa dalam sebuah situs di sebuah kota bernama Herxheim dekat Landau telah ditemukan tengkorak dari 500 korban kanibalisme, bahkan para peneliti mengatakan dua kali lipat dari jumlah tersebut, seperti ditulis Boulestin Bruno, et al (2009) Mass Cannibalism in the Linear Pottery Culture at Herxheim (Palatinate, Germany). Di Indonesia kita temukan, praktik kanibalisme meluas di banyak daerah mulai dari Maluku, ke utara di kalimatan dan barat di Sumatra. Maka kanibalisme itu adalah hukum umum dalam banyak budaya di dunia. 

Meski, para ilmuwan Eropa dan Amerika kategorikan New Guinea sebagai tempat kanibalisme mengerikan, Russell T. Hitt (1962) menulis buku: Canibal Valley. Dalam buku ini digambarkan lembah Balim sebagai lembah kanibal. Kita tahu di lembah Balim tidak mengenal budaya kanibalisme, tetapi Hitt mengarang fantasinya sendiri. Samuel McFarlane (1888) menulis “Among the cannibals of New Guinea: being the story of the New Guinea mission of the London Missionary Society". Seorang Naturalis lain bernama, Antwerp Edgar Pratt (1906) juga menulis bukunya “Two years among New Guinea cannibals; a naturalist's sojourn among the aborigines of unexplored New Guinea”. Strukturalis Claudia Levi-Strauss (2014) juga menulis buku berjudul, Wir sind Alle Kanibalen, yang artinya kita semua kanibal. Dia sendiri tidak pernah melakukan penelitian di New Guinea, tetapi ia mengarang buku ini berdasarkan informasi lisan yang diperoleh melalui teman-temannya. 

Bila kita kembali pada literatur-literatur tua abad 19 ke atas, para antropolog, biolog, dan linguistik telah berhasil membangun New Guinea sebagai dunia para kanibalis yang mengerikan. Mereka telah memenangkan dunia dengan pandangan ini, maka bila kita berada di Eropa atau Amerika, dan kita mengatakan sebagai orang Papua, maka pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah orang-orangmu masih kanibal? Apakah di negerimu masih ada kanibalisme? Apakah orang tuanmu para kanibalis? [itu pertanyaan yang lazim kepada orang Papua]

Saya sendiri telah mengalami pertanyaan itu empat kali ketika di Jerman. Suatu hari dalam suatu pertemuan besar yang diorganisir oleh empat gereja di daerah Stutgatt. Ini sebuah pertemuan khusus yang diadakan oleh gereja-gereja itu untuk mengundang saya sebagai pembicara tunggal dalam pertemuan tersebut. Berita tentang pertemuan ini telah diumumkan dalam dua koran, satu koran milik kota dan satu lagi warta gereja, maka banyak yang tertarik untuk terlibat mendengar tentang Papua. Setelah saya presentasi materi, seorang peserta mengajukan pertanyaan, Apakah di daerahmu masih ada kanibalisme? Pertanyaan ini saya jawab dengan menampilkan bukti-bukti kanibalisme di seluruh dunia termasuk kanibalisme orang Jerman di masa lalu. Akhirnya, mereka semua ketawa karena rasa malu mereka sendiri.

Saya kira banyak orang Papua atau Melanesia telah mengalami stigma ini akibat dari teori rasis dan imperialisme Ero-Amerika ini. Hal itu telah digambarkan oleh Warilea Iamo (1992) dalam tulisanya, The Stigma of New Guinea: Reflections on Anthropology and Anthropologists. Tulisan itu dimuat dalam buku berjudul: Confronting the Margaret Mead Legacy: Scholarship, Empire, and the South Pacific, yang diedit oleh Lenora Foerstel and Angela Gilliam. Sebagai orang Papua (PNG), lamo dalam tulisannya digambarkan stigma dan distriminasi rasial yang dialaminya ketika ia berada di Amerika. 

Beberapa antropolog telah kritisi teori-teori diskriminatif dan rasis ini, misalnya Paula Brown (1983) dalam bukunya; The Ethnography of Cannibalism, dalam buku ini ia mengambarkan para antropolog dalam studi-studi ethnografisnya yang distriminasi dan rasis itu adalah bentuk lain dari kanibalisme. Karena pengetahuan yang diproduksi adalah pengetahuan kanibalisme. Eduardo Viveiros de Casrro (2009) dalam bukunya, Metaphysiques cannibals: For a Post-Structural Anthropology, juga telah kritik tentang teori-teori modern dan postmodern yang terkait dengan pengetahuan lokal yang diproduksi teori-teori klasik. Menurutnya teori-teori modern dan postmodern bermetaforsis sebagai kannibalisme yang menelan pengetahuan lokal dan teori klasik. Melissa Cochran (2012) dalam tesisnya: Cross-Cultural Cannibalism: Throughout Human History, telah memfokuskan kritik terhadap teori-teori komparasi kultural yang membandingkan etnik dan budaya yang berbeda antara satu dan lainnya. 

4. Stigma Primitif

Primitif satu istilah umum yang digunakan orang-orang Ero-Amerika terhadap bangsa-bangsa asli lain di seluruh dunia. Primitif itu terkait dengan kehidupan manusia dan budaya dari bangsa-bangsa indigeneus yang asli, kehidupan manusia yang terisolasi dan belum mengalami akulturasi dengan budaya lain. Karena kehidupan bangsa-bangsa dalam tradisi mereka itulah maka diistigma sebagai primitif. Khusus di Papua, dalam berbagai literatur asing baik anthropolog, ahli biologi, linguistik bahkan misionaris selalu kategori orang Papua yang hidup dalam tradisi mereka tadi disebutkan masyarakat primitif. Salah satu kriteria primitif bagi orang Papua adalah material kultur semisal kapak batu, pakaian, senjata, rumah, dan makanan. Materialisme kultural ini menjadi kriteria yang digunakan untuk kategori masyarakat dalam kategori tertentu. Kategorisasi ini digunakan dengan studi komparasi dari masyarakat dan budaya lain yang dianggap lebih maju dan modern dari cara hidup dan kultur mereka. Konsekuensi komparasi materialisme kultural dikonstruksi dan diklasifikasi sebagai kehidupan di zaman batu dan masyarakat primitif. 

Salah satu anthropolog yang paling aktif produksi diskriminasi dan stigmasisasi terhadap orang Papua ialah Margaret Mead, dan Ruth Benedict. Teori Mead tentang pengasuhan anak, Benedick dengan pola-pola budaya, keduanya berasal dari New Guinea. Stigma New Guinea adalah sebuah argument teoritis dari pandangan anthropologi dan anthropolog asli sebagai orang New Guinea. Stigma New Guinea muncul dari antropologi komparatif, yang spesialisasinya adalah komponen peradaban manusia yang diberi label "primitif" dan berkonotasi pada berbagai tingkatan sejarah, ekonomi, pemerintahan, agama, psikiatri, dan sebagainya. Hal ini telah menjadi kerangka acuan psikologis Barat untuk mempertahankan bayangan cermin dirinya yang diproyeksikan sebagai "Yang Lain", dianggap lebih rendah, lebih sederhana, dan lebih inferior untuk mendefinisikan diri mereka sebagai "lebih baik" dan superior. Bila kita baca tulisan-tulisan Margaret Mead, benar-benar membangun stigma New Guinea sangat mengerikan, Ketika ia membandingkan budayanya dengan budaya orang Papua di kepulauan Manus dan New Guinea dalam karya-karyanya. Mead berkata: "They can, therefore, be regarded in the contemporary ethic of the mid-twentieth century, as having been treated unfairly by history, as having lacked a location on earth's surface that would have given them an opportunity to accept the culture of more advanced civilizations, and so prove their superiority, or be rejected by it and so prove their inferiority" (Mead 1967:306). Demikian Ruth Benedict (1859) dalam bukunya, Pattern of Culture, membangun teorinya pola-pola budaya dengan metode komparatifnya, di mana ia membandingkan psikologi dari tiga masyarakat yang berbeda secara etnik, kultur, ras dan geografis. Orang Zuni di Bueblo Mexiko, orang Kwakiut di pantai barat laut Amerika, dan orang Dobu di New Guinea. Benedict mengambarkan psikologi orang Dobu lebih buruk dari dua bangsa Indian di Amerika tersebut. 

5. Stigma Perang

Orang-orang Asing itu telah lama bangun teori-teori mereka dengan stigma dan kriminalisasi perang terhadap orang Papua di pulau New Guinea ini. Pantai pesisir utara dan selatan sudah beberapa abad telah mengalami politik stigmasisasi ini, selama mereka memiliki hubungan dagang antara Maluku dan bangsa Melayu lain. Orang Papua yang membela diri dari serang perbudakan, perdagangan dan perampokan dari orang Maluku dan Melayu sebut sebagai pemimpin Papua yang ganas, jahat dan suku berperang. Windson Earl, menulis "diperkirakan mahluk miskin ini hilang sebelum mereka mengalami peradaban karena serangan bangsa asing dari bagian barat mereka. Pemimpin mereka adalah liar dan pemburu, suka berparang dengan ras coklat dari kepulauan Indonesia yang berusaha menguasai negeri mereka itu" (George Windsor Earl 1848). Di bagian lain, Earl menulis bahwa perang orang Papua bukan tanpa alasan, mereka membela diri dari ancaman dan perampokan bangsa Melayu dari bagian barat. 

Setelah lembah Balim dibuka misionaris dan pemerintah Belanda menjalankan adminitrasi, para anthropolog, ahli linguistik dan wisatawan beramai-ramai ke lembah Balim, dan mereka menyokong orang-orang asli untuk melakukan drama perang-perangan. Saya masih ingat, bapak saya dan beberapa temannya yang lain menceritakan bahwa mereka sering ke lembah Balim, dan saksikan drama perang-perangan itu, dan bahkan mereka sering terlibat dalam drama itu. Drama perang itu dirancang dan disokong oleh antropolog dan wisatawan asing, peserta yang terlibat dalam perang-perang itu dibayar dengan kapak besi, pisau, garam, pakaian, kulit bia, handuk dan sejenis lain.

Bapak saya pernah mendapat satu kapak besi yag disebut kapak mamagen, dan kapak itu masih ada sampai sekarang. Drama-drama perang-perangan itu diteliti, difoto, dan difilemkan. Para anthropolog dan linguistik menulis, dan dipublikasi dalam bentuk buku dan artikel. Foto-foto dan flim-flim dipublikasi di berbagai media cetak, elektronik dan televisi-televisi nasional. Mereka membangun wacana dalam masyarakat bahwa orang-orang Papua ialah bangsa suka berperang, primitif, kanibal, dan tidak rama terhadap kemanusiaan. Teori-teori ini dibangun untuk stigmasisasi terhadap bangsa Papua, dengan itu bila orang Papua dibunuh, dijajah dan ditindas dianggap tidak penting. Karena orang Papua sendiri dianggap sebagai bangsa kanibal, liar, primitif dan suka berperang. Untuk tujuan itu, banyak antropolog Amerika, Inggris dan Belanda dikirim ke Papua untuk mempelajari manusia dan budaya, dengan data itu dibangun teori-teori stigma New Guinea. 
Papua Dalam Stigma Dunia
Michael Rockefeller (ist)
Peristiwa kehilangan Michael Rockefeller di Asmat adalah salah satu contoh, di mana pemerintah Amerika dan media masa mengatakan ia dibunuh dan dimakan dagingnya oleh orang-orang Kanibal di Asmat. Banyak buku dan artikel ditulis untuk kehilangan Michael ini, orang Papua dituduh memakan dagingnya. Anita Larsen (1985) tulis bukunya: “Lost-and Never Faund”, Milt Machlin (1972) menulis judul buku: The Search Michael Rockefeller, setelah kehilangannya, terbit sebuah jurnal dengan judul, The Asmat of New Guinea: The Journal of Michael Clark Rockefeller sebagai penghargaanya. Tetapi, fakta yang digambarkan oleh Greg Poulgrain (2014) dalam bukunya: The Incobus of Intervention, menjelaskan bahwa, Michael sendiri adalah anak dari Nelson Rockefeller, Gubernur New York. Karena orang tuanya, politisi terkemuka dan orang terkaya maka berita kehilangan Michael menjadi berita besar di Amerika dan bahkan dunia. Berbagai media Amerika dan Dunia mengatakan bahwa Michel telah dibunuh oleh kanibalis Papua dan dimakan dagingnya, berita ini telah dipolitisasi di masa itu. Karena Michael hilang 18 November 1961, pada periode Indonesia, Belanda dan Amerika merebut dan aneksasi West Papua. Rene Wasing teman Michael, seorang anthropology muda Belanda. Rene dan dua polisi orang Papua lain telah menjadi saksi mata kehilangan Michael. Rene Wasing menjelaskan bahwa perahu yang mereka tumbangi telah kehabisan bahan bakar dan dibawa arus sungai. Karena takut Tenggelam, Michael gelisah dan buang diri ke dalam sungai dengan tujuan berenang ke daratan, ia sudah mencoba berenang tetapi akhirnya tenggelam ke dalam sungai. Rene dan dua polisi Papua lain sudah mengingatkannya untuk tidak meninggalkan perahu, tetapi Michael tidak menghirauan nasihat itu. Carl Hoffman (2014), dalam bukunya: "Savage harvest: a tale of cannibals, colonialism, and Michael Rockefeller's tragic quest", juga kritis atas kematian Michael ini dan duduhan terhadap orang Papua yang memakan dagingnya adalah cerita dongen untuk kepentingan kolonialisme dan kapitalisme Amerika. 

Klaus F. Koch (1974) menulis buku: War and Peace in Jalemo. Dalam buku ini menjelaskan perang dan perdamaian dalam budaya orang Yali. Koch ialah seorang Jerman, dan telah menjadi profesor anthropologi di Harvard Univesitas. Dalam analisa-analisanya, ia menggunakan teori komparasi, denganya ia membandingkan konflik perang dalam masyarakat Timur Tengah dengan orang Yali di New Guinea. Sebuah studi komparasi yang dipaksakan karena dua budaya yang berbeda dalam semua aspek kehidupan, ideologi, cara hidup dan bangsa dan budaya. 
Drama pernikahan Wanita Amerika Serikat (AS) Wyn Sargert dengan Kepala Suku Obahorok di Lembah Balim
Dalam periode awal 1960-an itu pemerintah Amerika juga telah mengirim seorang anthropolog yang merupakan agen CIA bernama Wyn Sargert, perempuan ini pernah memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sargert mendapat izin oleh Sukarno untuk melakukan penelitian di lembah Balim, untuk mempelajari perilaku psikologis dan hubungan perkawinan orang Hubula di lembah Balim. Sargert kemudian menikah dengan kepala suku Obahorok dan melakukan pesta babi 50 ekor selama tiga hari. Tetapi, hubungan mereka tidak bertahan lama, dan ia kembali ke Amerika setelah mengumpulkan data penelitian. Tahun 1974, Wyn Sargert menulis buku: People of the Valley, yang mengisahkan tentang pengalaman hidup bersama suaminya dan orang Papua di Lembah Balim. Beberapa antropolog lain kritik tindakan Sargert yang menikah Obahorok sebagai pendekatan asusila untuk mendapat data penelitiannya. Leslie Butt (1998), dalam disertasi doktoralnya: “The Social and Political Life of Infants Among the Baliem Valley Dani Irian Jaya”, menjelaskan bahwa orang-orang Balim menyebutkan Wyn Sargert sebagai mama setan yang tidak bermoral. 

Stigma New Guinea itu tidak absen pada ilmuwan generasi lalu, pandangan superioritas itu masih ada hinggi kini. Jared Diamond (2012) dalam bukunya: Vermächtnis: Was wir von traditionallen Gessellschaften lernen können". Dalam buku ini ia membandingkan jumlah korban dalam perang suku orang Dani dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Menurut Jared secara presentase jumlah korban orang Dani dalam perang Suku di Lembah Balim sama dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Sebelas orang dari dua aliansi Dani yang tewas di front selatan Kurelu antara bulan April dan September 1961 merupakan sekitar 0,14 persen dari total populasi aliansi ini. Itu adalah proporsi yang lebih besar dari yang paling berdarah. Pertempuran Front Pasifik selama dalam Perang Dunia ke-II (0,10 persen): Sekitar 264.000 orang (23.000 tentara Amerika, 91.000 tentara Jepang dan 150.000 warga sipil) yang korban dalam pertempuran tiga bulan untuk Okinawa, korban dari penggunaan bom atom di dua kota Jepang saat itu sekitar 250 juta orang. Maka secara presentase jumlah korban orang Dani dan korban perang dunia sama ” (Diamond 2012: 152). 

Baca juga:
Para ilmuwan Ero-Amerika yang membangun stigma terhadap bangsa Papua ini memiliki kepentingan untuk kolonialisme, pendudukan dan perampasan kekayaan alam di New Guinea. Gunung Emas di tanah Amungsa yang kini dirampok oleh Indonesia dan Amerika telah ditemukan tahun 1936 dalam sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh Belanda dan Amerika. Amerika menginginkan menguasai gunung emas terbesar di dunia itu, dalam kaitan itu mereka mengirimkan para anthropolog dan ilmuwan lain untuk mempelajari manusia dan budaya orang-orang Papua di New Guinea. Demi kepentingan itu, para ilmuwan telah membangun teori-teori yang berbasis kriminal dan stigmasisasi tentang orang Papua. Dalam kerangka itu pula, Amerika mendukung Indonesia untuk aneksasi West Papua melalui invansi 1 Mei 1963. Tahun 1967 Indonesia dan Amerika melakukan perjanjian tentang gunung emas yang kini dirampok oleh Freeport ini. Setelah Indonesia aneksasi West Papua, kembali melakukan metode yang sama dengan berbagai Stigma politik dan rasial yang akan dibahas pada bagian kedua dari artikel ini. 
____________
*)Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih.


Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Ibrahim Peyon "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Sabtu, 29 Agustus 2020

Papua Dalam Stigma Dunia

Buletinnusa
FOTO: Orang Papua dari Suku Asmat, mereka mendiami wilayah sepanjang Laut Arafura, kampung Pirien. Foto diambil oleh Francois Gohier pada tahun 1976.
Oleh A. Ibrahim Peyon, Ph.D
New Guinea, 27 Agustus 2020 

Papua Dalam Stigma Dunia

Bagian I

Pengantar

Bagi kepentingan kolonialisme, kapitalisme, eksploitasi sumber daya alam, dan perampokan kekayaan alam di New Guinea. Untuk tujuan itu, ilmuwan barat telah memainkan peran yang signifikan. Ada empat pendekatan yang digunakan oleh ilmuwan Eropa dan Amerika. Pertama, pendekatan penyelayaan yang telah klaim New Guinea sebagai milik mereka dan diberika berbagai macam namai sesui identitas kultur dan politik mereka. Kedua, pendekatan ekspedisi gabungan yang melibatkan berbagai disiplin ahli: fisika, biologi, geologi, zoologi, anthropologi, dan linguistik. Ketiga, pendekatan penelitian mendalam dari masing-masing ahli tersebut. Para ahli fisika itu telah identifikasi potensi sumber daya alam berupa emas, tembaga, uranium, minyak dan gas, flora dan vauna, sedang ahli linguistik dan anthropolog klasifikasi manusia, budaya dan bahasa. Peran anthropolog sangat signifikan untuk klasifikasi orang Papua dalam pandangan yang mereka inginkan. Dari berbagai pendekatan itu, telah membangun teori-teori rasis, distriminasi dan stigmasisasi pada New Guinea. Manusia Papua di New Guinea digambarkan sebagai savage, pygmies, kanibal, primitive, dan agama mereka dikategori sebagai gerakan kargoisme, animisme, atau kepercayaan perhala. 

1. Stigma Savage

Manusia Papua dikategorikan seebagai manusia savage dalam kerangka teori evolusi. Savage adalah manusia yang dianggap memiliki tingkat kehidupan dan kulturnya lebih rendah di atas satu tingkat dari hewan. Pandangan ini direpresentasi oleh para ahli seperti Yosep King (1909) dalam karya "W. G. Lawes of Savage Island and New Guinea", Leopold A. D. Montague (1921) dalam karyanya "Weapons and implements of savage races". Banyak karya pada masa itu telah mengambarkan sebuah teori yang sama terhadap orang asli Papua dan bangsa-bangsa Melanesia, Pasifik dan Australia. Pandangan ini digambarkan jauh sebelum abad ke-18 dan dilanjutkan hingga abad ke-19. 

Kategorisasi ini dibuat karena mereka memiliki ideologi atau pandangan antara ras superioritas dan inferioritas, antara Eropa dan non Eropa, antara kami dan mereka. Orang Eropa sendiri diposisikan sebagai manusia beradab (civilization), diluar Eropa khususnya di Timur Tengah yang memiliki peradaban tinggi dan di Asia Barat dan dataran Cina diposisikan bangsa-bangsa barbarian, sedang bangsa lain di Asia, Afrika, Amerika dan Pasifik diposisikan Savage. Dalam kontest itu, orang Papua dikategori sebagai savage. Belakangan banyak anthropolog kritis pandangan ini, misalnya Marianna Torgovnick (1999) dalam karyanya "Gone primitive: savage intellects, modern lives” yang mengatakan intelektual savage telah menjadi kehidupan dunia modern sekarang. Karena semua teori yang dibangun dan dipelajari sekarang berbasis dari intelektual dan kultur dari orang-orang yang disebut savage tersebut. 

2. Stigma Pygmies

Manusia Papua diklasifikasi sebagai manusia kerdil atau pygmies. Istilah Pymies sendiri digunakan oleh etnolog Jerman untuk klasifikasi orang-orang Shan di daerah kalahai dan etnik-etnik lain di Afrika. Kolonial juga diberi nama orang Shan dengan istilah Buchman, berarti manusia semak. Istilah Pygmeis itu kemudian diterapkan terhadap orang Papua dalam karya-karya mereka. A. F. R. Wollaston (1912) menulis "Pygmies and Papuans the Stone Age today in Dutch New Guinea". Dalam buku ini, ia menjelaskan Papua secara geografis, kontak-kontak periodesasi dengan orang luar, ciri fenotipe orang Papua. Tahun berikutnya C. G. Rawling (1913), The Land of the New Guinea Pygmies. Rawling dalam buku ini deskripsikan pengalaman keterlibatkan dalam ekspedisi yang mengikuti sungai Mimika ke pegunungan, orang Papua yang mereka bertemu di kampung-kampung di pegunungan itu dikategori sebagai Pygmeis

Dalam karya-karya ini digambarkan orang Papua sebagai manusia kerdil yang memiliki kapasitas otak dan intelektual sangat rendah. Sebagaimana dideskripsikan oleh A. De Quatrefages tahun 1895 terhadap orang Afrika dan orang Negrito-Papuans yang tersebar mulai dari India, kepulauan Andaman, hingga Timor, Maluku dan di batas utara di Filipina, kepulauan Melanesia dan New Guinea disebut sebagai pusat orang Negrito-Papuas. Pada tahun 1882 de Quatrefages, menulis: The Asiatic Pigmies, or Negritos, tulisan ini dimuat dalam jurnal Royal Asiatic, dalam tulisan ini dibahas pygmies di Asia dan Pasifik secara khusus. Pymeis Negrito-Papuas itu dikategori berbasis pada studi etnoglogi tentang distribusi ras negritos-Papua di Asia dan Pasifik. Antara lain ditulis oleh George Windsor Earl (1853) The Native Races of the Indian Archipelago. Papuans. Yang mengambarkan orang-orang dengan ciri fisik dengan warna kulit hitam, rambut kering hingga gelombang disebutnya penduduk asli di kepualaun Indo-Pasifik yang tersebar melintasi Asia ke Pasifik. Di New Guinea kajiannya tentang orang Papua di selat Dourga, pulau Kolebom di pantai selatan (kolonial Belanda: Frederick-Henry Island; Kolonial Indonesia: Jos Sudarso), orang Papua di pantai barat daya di sekitar Sorong dan sekitarnya, orang Papua di pantai utara terutama di Dorei Manokwari, di Teluk Yotefa (Jayapura kini), dan beberapa daerah lain berdasarlan laporan ekspedisi Belanda. Earl juga klasifikasi orang-orang dengan ciri ini tersebar luas melintasi di Asia dan Pasifik seperti di kepulauan Aru, Ceram dan Maluku, Ahitas atau Negritos di Filipina, Mindoro, Negros, Mindanao, Sulu dan Borneo, orang Semang di Semenanjung Melayu, orang Andama, orang Sunda Chain, dan penduduk di Pulau Merville dan Australia utara. Alfred Russel Wallace (1869) tentang keberadaan Negritos-Papuas di Gilolo Halmahera dan orang Papua di pantai Dorei di Maknowakri. Anthropolog lain, A. B. Meyer (1899) The Distribution of The Negritos. In the Phllirrine Islands and Elsewhere. Dalam buku ini melaporkan distribusi ras negritos secara luas mulai dari Cina, Japan, Malaya hinggal New Guinea. Mayer identifikasi dua puluh Sembilan tempat sebagai daerah bangsa-bangsa Negritos. 

3. Stigma Kanibalisme

Dalam berbagai tulisan anthropology, biologi, zoologi, linguistik dan dalam banyak ekspedisi mereka telah digambarkan New Guinea sebagai tempat kanibalisme yang mengerihkan. Dulu suku-suku di sini sering makan daging manusia dari pihak musuh sebagai tindakan balas dendam karena kerabat mereka dibunuh. Tindakan itu bukan sebagai makanan, karena ada keinginan untuk makan daging manusia sebagai kebutuhan, tetapi tindakan emosional dan balas dendam. Tidak semua orang Papua yang melakukan hal ini, melainkan hanya pihak tertentu yang meresa telah kehilangan kerabat mereka, karena kerabat.kerabat itu dibunuh pihak. Tindakan balas dendam ini dieskploidasi oleh para ilmuwan Ero-Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan perampasan sumber daya alam di tanah ini. 

Kanibalisme tidak hanya terjadi di tanah Papua, kanibalisme adalah hukum universal di seluruh dunia. Banyak literatur menunjukkan bukti-bukti itu, kanibalisme pernah ada bangsa-bangsa lain di seluruh Pasifik, Australia, Asia, Amerika, Afrika dan Eropa. 

Karoline Lukaschek (2000) dalam tesisnya: The History of Cannibalism, juga menjelaskan secara baik tentang kanibalisme secara global dari seluruh dunia, baik di India, Afrika, New Guinea, Fiji, New Zueland, Amerika Selatan, Mesoamerika, Kanada, Amerika Utara, Spanyol, Etiopia, Kroasia, Maula-Kuersi Francis, Afrika Selatan, Kerajaan Inggris, di Fontbr´egoua Prancis, dan Amerika Tenggara. Sementara itu, Garry Hogg (1998) Cannibalism and Human Sacrifice, juga menjelaskan kanibalisme sebagai hukum umum umat manusia di seluruh dunia. Ia mengambarkan kanibalisme di Fiji, Aztecs, dan Kwakiut di Indian Amerika, Basin di Amazon Amerika, etnik-etnik di Nigeria, Siera Leona di Afrika Barat, Basin di Kongo, di New Guinea, dan Melanesia lain, Polinesia, di Blackfellpw di Australia, Maori di New Zueland dan suku-suku di Indonesia, seperti orang Batak, Dayak di Sarawat, orang Timor, dan Maluku, penduduk asli di Sulawesi. Orang Milano dan penduduk asli lain di Filipina, dan etnik-etnik lain di Asia Tenggara. 

Kita temukan dalam literatur-literatur klasik kanibalisme di Inggris digambarkan oleh Andrews and Fernández-Jalvo (2003), Cannibalism in Britain, di Prancis, Portugis, Spanyol, Jerman, dan bangsa-bansga di Eropa Timur. Kita juga temukan kanibalisme di Yunani, Itali, Mesir, Israel, dan dunia arab lain. Dalam sejarah Israel semisal dalam kitab raja-raja dua pasal 6: 28-29 juga telah digambarkan kanibalisme ini. Di Jerman, kerja sama antara para ethnolog dan Arkeolog tahun 2009 telah ditemukan bukti baru bahwa dalam sebuah situs di sebuah kota bernama Herxheim dekat Landau telah ditemukan tengkorak dari 500 korban kanibalisme, bahkan para peneliti mengatakan dua kali lipat dari jumlah tersebut, seperti ditulis Boulestin Bruno, et al (2009) Mass Cannibalism in the Linear Pottery Culture at Herxheim (Palatinate, Germany). Di Indonesia kita temukan, praktik kanibalisme meluas di banyak daerah mulai dari Maluku, ke utara di kalimatan dan barat di Sumatra. Maka kanibalisme itu adalah hukum umum dalam banyak budaya di dunia. 

Meski, para ilmuwan Eropa dan Amerika kategorikan New Guinea sebagai tempat kanibalisme mengerikan, Russell T. Hitt (1962) menulis buku: Canibal Valley. Dalam buku ini digambarkan lembah Balim sebagai lembah kanibal. Kita tahu di lembah Balim tidak mengenal budaya kanibalisme, tetapi Hitt mengarang fantasinya sendiri. Samuel McFarlane (1888) menulis “Among the cannibals of New Guinea: being the story of the New Guinea mission of the London Missionary Society". Seorang Naturalis lain bernama, Antwerp Edgar Pratt (1906) juga menulis bukunya “Two years among New Guinea cannibals; a naturalist's sojourn among the aborigines of unexplored New Guinea”. Strukturalis Claudia Levi-Strauss (2014) juga menulis buku berjudul, Wir sind Alle Kanibalen, yang artinya kita semua kanibal. Dia sendiri tidak pernah melakukan penelitian di New Guinea, tetapi ia mengarang buku ini berdasarkan informasi lisan yang diperoleh melalui teman-temannya. 

Bila kita kembali pada literatur-literatur tua abad 19 ke atas, para antropolog, biolog, dan linguistik telah berhasil membangun New Guinea sebagai dunia para kanibalis yang mengerikan. Mereka telah memenangkan dunia dengan pandangan ini, maka bila kita berada di Eropa atau Amerika, dan kita mengatakan sebagai orang Papua, maka pertanyaan pertama yang muncul adalah apakah orang-orangmu masih kanibal? Apakah di negerimu masih ada kanibalisme? Apakah orang tuanmu para kanibalis? [itu pertanyaan yang lazim kepada orang Papua]

Saya sendiri telah mengalami pertanyaan itu empat kali ketika di Jerman. Suatu hari dalam suatu pertemuan besar yang diorganisir oleh empat gereja di daerah Stutgatt. Ini sebuah pertemuan khusus yang diadakan oleh gereja-gereja itu untuk mengundang saya sebagai pembicara tunggal dalam pertemuan tersebut. Berita tentang pertemuan ini telah diumumkan dalam dua koran, satu koran milik kota dan satu lagi warta gereja, maka banyak yang tertarik untuk terlibat mendengar tentang Papua. Setelah saya presentasi materi, seorang peserta mengajukan pertanyaan, Apakah di daerahmu masih ada kanibalisme? Pertanyaan ini saya jawab dengan menampilkan bukti-bukti kanibalisme di seluruh dunia termasuk kanibalisme orang Jerman di masa lalu. Akhirnya, mereka semua ketawa karena rasa malu mereka sendiri.

Saya kira banyak orang Papua atau Melanesia telah mengalami stigma ini akibat dari teori rasis dan imperialisme Ero-Amerika ini. Hal itu telah digambarkan oleh Warilea Iamo (1992) dalam tulisanya, The Stigma of New Guinea: Reflections on Anthropology and Anthropologists. Tulisan itu dimuat dalam buku berjudul: Confronting the Margaret Mead Legacy: Scholarship, Empire, and the South Pacific, yang diedit oleh Lenora Foerstel and Angela Gilliam. Sebagai orang Papua (PNG), lamo dalam tulisannya digambarkan stigma dan distriminasi rasial yang dialaminya ketika ia berada di Amerika. 

Beberapa antropolog telah kritisi teori-teori diskriminatif dan rasis ini, misalnya Paula Brown (1983) dalam bukunya; The Ethnography of Cannibalism, dalam buku ini ia mengambarkan para antropolog dalam studi-studi ethnografisnya yang distriminasi dan rasis itu adalah bentuk lain dari kanibalisme. Karena pengetahuan yang diproduksi adalah pengetahuan kanibalisme. Eduardo Viveiros de Casrro (2009) dalam bukunya, Metaphysiques cannibals: For a Post-Structural Anthropology, juga telah kritik tentang teori-teori modern dan postmodern yang terkait dengan pengetahuan lokal yang diproduksi teori-teori klasik. Menurutnya teori-teori modern dan postmodern bermetaforsis sebagai kannibalisme yang menelan pengetahuan lokal dan teori klasik. Melissa Cochran (2012) dalam tesisnya: Cross-Cultural Cannibalism: Throughout Human History, telah memfokuskan kritik terhadap teori-teori komparasi kultural yang membandingkan etnik dan budaya yang berbeda antara satu dan lainnya. 

4. Stigma Primitif

Primitif satu istilah umum yang digunakan orang-orang Ero-Amerika terhadap bangsa-bangsa asli lain di seluruh dunia. Primitif itu terkait dengan kehidupan manusia dan budaya dari bangsa-bangsa indigeneus yang asli, kehidupan manusia yang terisolasi dan belum mengalami akulturasi dengan budaya lain. Karena kehidupan bangsa-bangsa dalam tradisi mereka itulah maka diistigma sebagai primitif. Khusus di Papua, dalam berbagai literatur asing baik anthropolog, ahli biologi, linguistik bahkan misionaris selalu kategori orang Papua yang hidup dalam tradisi mereka tadi disebutkan masyarakat primitif. Salah satu kriteria primitif bagi orang Papua adalah material kultur semisal kapak batu, pakaian, senjata, rumah, dan makanan. Materialisme kultural ini menjadi kriteria yang digunakan untuk kategori masyarakat dalam kategori tertentu. Kategorisasi ini digunakan dengan studi komparasi dari masyarakat dan budaya lain yang dianggap lebih maju dan modern dari cara hidup dan kultur mereka. Konsekuensi komparasi materialisme kultural dikonstruksi dan diklasifikasi sebagai kehidupan di zaman batu dan masyarakat primitif. 

Salah satu anthropolog yang paling aktif produksi diskriminasi dan stigmasisasi terhadap orang Papua ialah Margaret Mead, dan Ruth Benedict. Teori Mead tentang pengasuhan anak, Benedick dengan pola-pola budaya, keduanya berasal dari New Guinea. Stigma New Guinea adalah sebuah argument teoritis dari pandangan anthropologi dan anthropolog asli sebagai orang New Guinea. Stigma New Guinea muncul dari antropologi komparatif, yang spesialisasinya adalah komponen peradaban manusia yang diberi label "primitif" dan berkonotasi pada berbagai tingkatan sejarah, ekonomi, pemerintahan, agama, psikiatri, dan sebagainya. Hal ini telah menjadi kerangka acuan psikologis Barat untuk mempertahankan bayangan cermin dirinya yang diproyeksikan sebagai "Yang Lain", dianggap lebih rendah, lebih sederhana, dan lebih inferior untuk mendefinisikan diri mereka sebagai "lebih baik" dan superior. Bila kita baca tulisan-tulisan Margaret Mead, benar-benar membangun stigma New Guinea sangat mengerikan, Ketika ia membandingkan budayanya dengan budaya orang Papua di kepulauan Manus dan New Guinea dalam karya-karyanya. Mead berkata: "They can, therefore, be regarded in the contemporary ethic of the mid-twentieth century, as having been treated unfairly by history, as having lacked a location on earth's surface that would have given them an opportunity to accept the culture of more advanced civilizations, and so prove their superiority, or be rejected by it and so prove their inferiority" (Mead 1967:306). Demikian Ruth Benedict (1859) dalam bukunya, Pattern of Culture, membangun teorinya pola-pola budaya dengan metode komparatifnya, di mana ia membandingkan psikologi dari tiga masyarakat yang berbeda secara etnik, kultur, ras dan geografis. Orang Zuni di Bueblo Mexiko, orang Kwakiut di pantai barat laut Amerika, dan orang Dobu di New Guinea. Benedict mengambarkan psikologi orang Dobu lebih buruk dari dua bangsa Indian di Amerika tersebut. 

5. Stigma Perang

Orang-orang Asing itu telah lama bangun teori-teori mereka dengan stigma dan kriminalisasi perang terhadap orang Papua di pulau New Guinea ini. Pantai pesisir utara dan selatan sudah beberapa abad telah mengalami politik stigmasisasi ini, selama mereka memiliki hubungan dagang antara Maluku dan bangsa Melayu lain. Orang Papua yang membela diri dari serang perbudakan, perdagangan dan perampokan dari orang Maluku dan Melayu sebut sebagai pemimpin Papua yang ganas, jahat dan suku berperang. Windson Earl, menulis "diperkirakan mahluk miskin ini hilang sebelum mereka mengalami peradaban karena serangan bangsa asing dari bagian barat mereka. Pemimpin mereka adalah liar dan pemburu, suka berparang dengan ras coklat dari kepulauan Indonesia yang berusaha menguasai negeri mereka itu" (George Windsor Earl 1848). Di bagian lain, Earl menulis bahwa perang orang Papua bukan tanpa alasan, mereka membela diri dari ancaman dan perampokan bangsa Melayu dari bagian barat. 

Setelah lembah Balim dibuka misionaris dan pemerintah Belanda menjalankan adminitrasi, para anthropolog, ahli linguistik dan wisatawan beramai-ramai ke lembah Balim, dan mereka menyokong orang-orang asli untuk melakukan drama perang-perangan. Saya masih ingat, bapak saya dan beberapa temannya yang lain menceritakan bahwa mereka sering ke lembah Balim, dan saksikan drama perang-perangan itu, dan bahkan mereka sering terlibat dalam drama itu. Drama perang itu dirancang dan disokong oleh antropolog dan wisatawan asing, peserta yang terlibat dalam perang-perang itu dibayar dengan kapak besi, pisau, garam, pakaian, kulit bia, handuk dan sejenis lain.

Bapak saya pernah mendapat satu kapak besi yag disebut kapak mamagen, dan kapak itu masih ada sampai sekarang. Drama-drama perang-perangan itu diteliti, difoto, dan difilemkan. Para anthropolog dan linguistik menulis, dan dipublikasi dalam bentuk buku dan artikel. Foto-foto dan flim-flim dipublikasi di berbagai media cetak, elektronik dan televisi-televisi nasional. Mereka membangun wacana dalam masyarakat bahwa orang-orang Papua ialah bangsa suka berperang, primitif, kanibal, dan tidak rama terhadap kemanusiaan. Teori-teori ini dibangun untuk stigmasisasi terhadap bangsa Papua, dengan itu bila orang Papua dibunuh, dijajah dan ditindas dianggap tidak penting. Karena orang Papua sendiri dianggap sebagai bangsa kanibal, liar, primitif dan suka berperang. Untuk tujuan itu, banyak antropolog Amerika, Inggris dan Belanda dikirim ke Papua untuk mempelajari manusia dan budaya, dengan data itu dibangun teori-teori stigma New Guinea. 
Papua Dalam Stigma Dunia
Michael Rockefeller (ist)
Peristiwa kehilangan Michael Rockefeller di Asmat adalah salah satu contoh, di mana pemerintah Amerika dan media masa mengatakan ia dibunuh dan dimakan dagingnya oleh orang-orang Kanibal di Asmat. Banyak buku dan artikel ditulis untuk kehilangan Michael ini, orang Papua dituduh memakan dagingnya. Anita Larsen (1985) tulis bukunya: “Lost-and Never Faund”, Milt Machlin (1972) menulis judul buku: The Search Michael Rockefeller, setelah kehilangannya, terbit sebuah jurnal dengan judul, The Asmat of New Guinea: The Journal of Michael Clark Rockefeller sebagai penghargaanya. Tetapi, fakta yang digambarkan oleh Greg Poulgrain (2014) dalam bukunya: The Incobus of Intervention, menjelaskan bahwa, Michael sendiri adalah anak dari Nelson Rockefeller, Gubernur New York. Karena orang tuanya, politisi terkemuka dan orang terkaya maka berita kehilangan Michael menjadi berita besar di Amerika dan bahkan dunia. Berbagai media Amerika dan Dunia mengatakan bahwa Michel telah dibunuh oleh kanibalis Papua dan dimakan dagingnya, berita ini telah dipolitisasi di masa itu. Karena Michael hilang 18 November 1961, pada periode Indonesia, Belanda dan Amerika merebut dan aneksasi West Papua. Rene Wasing teman Michael, seorang anthropology muda Belanda. Rene dan dua polisi orang Papua lain telah menjadi saksi mata kehilangan Michael. Rene Wasing menjelaskan bahwa perahu yang mereka tumbangi telah kehabisan bahan bakar dan dibawa arus sungai. Karena takut Tenggelam, Michael gelisah dan buang diri ke dalam sungai dengan tujuan berenang ke daratan, ia sudah mencoba berenang tetapi akhirnya tenggelam ke dalam sungai. Rene dan dua polisi Papua lain sudah mengingatkannya untuk tidak meninggalkan perahu, tetapi Michael tidak menghirauan nasihat itu. Carl Hoffman (2014), dalam bukunya: "Savage harvest: a tale of cannibals, colonialism, and Michael Rockefeller's tragic quest", juga kritis atas kematian Michael ini dan duduhan terhadap orang Papua yang memakan dagingnya adalah cerita dongen untuk kepentingan kolonialisme dan kapitalisme Amerika. 

Klaus F. Koch (1974) menulis buku: War and Peace in Jalemo. Dalam buku ini menjelaskan perang dan perdamaian dalam budaya orang Yali. Koch ialah seorang Jerman, dan telah menjadi profesor anthropologi di Harvard Univesitas. Dalam analisa-analisanya, ia menggunakan teori komparasi, denganya ia membandingkan konflik perang dalam masyarakat Timur Tengah dengan orang Yali di New Guinea. Sebuah studi komparasi yang dipaksakan karena dua budaya yang berbeda dalam semua aspek kehidupan, ideologi, cara hidup dan bangsa dan budaya. 
Drama pernikahan Wanita Amerika Serikat (AS) Wyn Sargert dengan Kepala Suku Obahorok di Lembah Balim
Dalam periode awal 1960-an itu pemerintah Amerika juga telah mengirim seorang anthropolog yang merupakan agen CIA bernama Wyn Sargert, perempuan ini pernah memiliki hubungan dekat dengan Sukarno, presiden pertama Indonesia. Sargert mendapat izin oleh Sukarno untuk melakukan penelitian di lembah Balim, untuk mempelajari perilaku psikologis dan hubungan perkawinan orang Hubula di lembah Balim. Sargert kemudian menikah dengan kepala suku Obahorok dan melakukan pesta babi 50 ekor selama tiga hari. Tetapi, hubungan mereka tidak bertahan lama, dan ia kembali ke Amerika setelah mengumpulkan data penelitian. Tahun 1974, Wyn Sargert menulis buku: People of the Valley, yang mengisahkan tentang pengalaman hidup bersama suaminya dan orang Papua di Lembah Balim. Beberapa antropolog lain kritik tindakan Sargert yang menikah Obahorok sebagai pendekatan asusila untuk mendapat data penelitiannya. Leslie Butt (1998), dalam disertasi doktoralnya: “The Social and Political Life of Infants Among the Baliem Valley Dani Irian Jaya”, menjelaskan bahwa orang-orang Balim menyebutkan Wyn Sargert sebagai mama setan yang tidak bermoral. 

Stigma New Guinea itu tidak absen pada ilmuwan generasi lalu, pandangan superioritas itu masih ada hinggi kini. Jared Diamond (2012) dalam bukunya: Vermächtnis: Was wir von traditionallen Gessellschaften lernen können". Dalam buku ini ia membandingkan jumlah korban dalam perang suku orang Dani dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Menurut Jared secara presentase jumlah korban orang Dani dalam perang Suku di Lembah Balim sama dengan jumlah korban dalam perang dunia ke-II. Sebelas orang dari dua aliansi Dani yang tewas di front selatan Kurelu antara bulan April dan September 1961 merupakan sekitar 0,14 persen dari total populasi aliansi ini. Itu adalah proporsi yang lebih besar dari yang paling berdarah. Pertempuran Front Pasifik selama dalam Perang Dunia ke-II (0,10 persen): Sekitar 264.000 orang (23.000 tentara Amerika, 91.000 tentara Jepang dan 150.000 warga sipil) yang korban dalam pertempuran tiga bulan untuk Okinawa, korban dari penggunaan bom atom di dua kota Jepang saat itu sekitar 250 juta orang. Maka secara presentase jumlah korban orang Dani dan korban perang dunia sama ” (Diamond 2012: 152). 

Baca juga:
Para ilmuwan Ero-Amerika yang membangun stigma terhadap bangsa Papua ini memiliki kepentingan untuk kolonialisme, pendudukan dan perampasan kekayaan alam di New Guinea. Gunung Emas di tanah Amungsa yang kini dirampok oleh Indonesia dan Amerika telah ditemukan tahun 1936 dalam sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh Belanda dan Amerika. Amerika menginginkan menguasai gunung emas terbesar di dunia itu, dalam kaitan itu mereka mengirimkan para anthropolog dan ilmuwan lain untuk mempelajari manusia dan budaya orang-orang Papua di New Guinea. Demi kepentingan itu, para ilmuwan telah membangun teori-teori yang berbasis kriminal dan stigmasisasi tentang orang Papua. Dalam kerangka itu pula, Amerika mendukung Indonesia untuk aneksasi West Papua melalui invansi 1 Mei 1963. Tahun 1967 Indonesia dan Amerika melakukan perjanjian tentang gunung emas yang kini dirampok oleh Freeport ini. Setelah Indonesia aneksasi West Papua, kembali melakukan metode yang sama dengan berbagai Stigma politik dan rasial yang akan dibahas pada bagian kedua dari artikel ini. 
____________
*)Penulis adalah Dosen Antropologi Universitas Cenderawasih.


Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Ibrahim Peyon "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Benny Wenda Tokoh Politik Kemerdekaan West Papua

Buletinnusa
Benny Wenda Tokoh Politik Kemerdekaan West Papua
FOTO: Pimpinan kemerdekaan West Papua, ketua United Liberation Movement for West Papua, Benny Wenda (tengah, dengan hiasan kepala), hadir sebagai pengamat dalam penghitungan referendum kemerdekaan Skotlandia di Edinburgh, Skotlandia, 19 September 2014.

No. 1 PAPUA Merdeka News
| Portal 

By. Kristian Griapon
12 Agustus 2020

Benny Wenda Murni Eksil Politik, Tokoh Pejuang Kemerdekaan West Papua yang mendapat Suaka Politik (political asylum) di Inggris, Dan melalui Pemerintah kota Oxford, Lord Mayor (wali kota Oxford) atas nama Kerajaan Inggris pada tanggal 18 Juli 2019 di beri Penghargaan Nobel Perdamaian Kebebasan kepada Benny Wenda, menjadi salah satu Tokoh Pejuang Kemerdekan di dunia yang memperjuangkan Kemerdekaan Wilayah dan Bangsanya melalui Jalan Damai. Pengakuan yang sama telah diberikan oleh Kerajaan Inggris kepada Nelson Mandela Pejuang Kemerdekaan Afrika Selatan Tanpa Kekerasan.

Mendapat anugerah penghargaan nobel perdamaian telah melalui suatu proses nominasi yang ketat, memakan waktu tahunan. Dan Benny Wenda sendiri telah melewati ujian berat, atas tuduhan Pemerintah Republik Indonesia melalui Interpol, bahwa Benny Wenda adalah “Buronan Kriminal” (Penjahat) dalam negeri Indonesia.

Rekam Jejak (Track Record)

Pada tahun 2011, Benny Wenda dituduh melakukan sejumlah pembunuhan dan penembakan di Papua Indonesia oleh aparat Keamanan Indonesia. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan Red Notice dan Surat Perintah Penangkapan Internasional kepada INTERPOL untuk penangkapan Benny Wenda. Namun daftar itu dicabut pada tahun 2012 oleh INTERPOL setelah LSM Hukum Inggris, Fair Trials Internasional menggugat tuduhan Indonesia itu, dan melindungi Benny Wenda, karena perjuangannya untuk kemerdekaan Papua Barat dilakukan melalui kampanye damai bukan kriminal. Menurut Direktur eksekutif Fair Trials Internasional, Jago, Russell, Indonesia telah menggunakan INTERPOL sebagai alat untuk mengancam kampanye damai Benny Wenda.

Prestisius Kepemimpinan Tidak Perlu Diragukan

Kepemimpinan Benny Wenda di dalam ULMWP tidak perlu diragukan, karena sebelum memimpin ULMWP, Benny Wenda telah melintas dunia mengkampanyekan pembebasan rakyat Papua yang sedang tertindas diatas tanah air tumpah darah mereka West Papua oleh rezim militer Indonesia yang berkuasa. Orang Asli Papua harus bersyukur, atas pergumulan di dalam penindasan selama bertahun-tahun, dan Tuhan yang hidup yang disembah oleh Orang Asli Papua telah membuka tabir dunia melalui kepemimpinan Benny Wenda, dkk lewat ULMWP, membuka mata dunia dan meyakinkan masyarakat internasional tentang eksistensi Orang Asli Papua adalah suatu Bangsa yang sedang tertindas, dan mempunyai Hak Menentukan Nasib Sendiri, itu adalah suatu fakta yang tidak dapat dipungkiri hari ini oleh siapapun, termasuk orang asli Papua. (Kgr)
_______
Baca juga:

Posted by: Admin
Copyright ©Kgr "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Orang Asli Papua Jangan Berapriori Tentang OPM

Buletinnusa
Orang Asli Papua Jangan Berapriori Tentang OPM
Gambar ilustrasi
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal 

By. Kristian Griapon
11 Agustus 2020

OPM dapat di alkisahkan, sebuah dunia ilusi yang menina bobo, atau dengan kata lain mengantarkan orang asli Papua ke alam peraduan, untuk bermimpi indah tentang kemerdekaan West Papua. Dapat dikatakan juga OPM adalah suatu ilusi yang sedang dimainkan dalam dunia pewayangan, yang hingga kini orang asli Papua sendiri tidak tahu siapa dalangnya (yang menggerakan wayang itu). Dan yang Nampak hari ini dan terlihat, hanyalah wayang dalam wujud OPM yang sedang digerakkan oleh dalangnya yang bersembunyi dibalik wayang yang sedang digerakkan, atau dimainkan dengan isu kemerdekaan West Papua, yang penuh misteri berdarah, menjadi tumbal dari OPM itu sendiri.

“Jangan berapriori tentang OPM, artinya orang ali Papua, berpengetahuan hari ini tentang OPM tanpa harus melihat kenyataan masa lalu yang menjadi sebuah pengalaman pahit, adalah sebuah perjuangan yang sia-sia.”

Penindasan yang terjadi hari ini terhadap orang asli Papua oleh NKRI diatas Wilayah West Papua, harus dilihat kembali kebelakang tentang sejarah perjuangan panjang kemerdekaan rakyat Papua di West Papua, di bawah payung OPM yang telah memakan korban sia-sia tanpa satu pertanggungjawaban pun!!!

Hari ini saya menulis sedikit dari pengalaman dan pemahaman saya setelah mempelajari sejarah perjuangan panjang kemerdekaan rakyat Papua di West Papua dengan terfokus pada isu OPM, observasi dari berbagai data autentik. Dan saya sediri adalah salah satu dari sekian banyak korban orang asli Papua dari pergolakan politik di West Papua, yang lahir pada tahun 1962 pada masa awal pergolakan Politik di West Papua antara Indonesia vs Belanda, yang akhirnya ditengahi oleh PBB. Bapa saya seorang pejabat di kantor Gubernur Irian Barat, dipecat dari pekerjaannya mengungsi ke PNG setelah PEPERA tahun 1969 karena OPM, meninggalkan saya pada usia 7 tahun harus menjalani kehidupan yang sulit bersama mama saya dan 7 saudara lainnya.

Dari Pengalaman dan Observasi, saya berkesimpulan bahwa:
  • Pertama: OPM adalah sebutan yang dinyatakan oleh aparat keamanan Indonesia pertama kali untuk mengidentifikasi perlawanan bersenjata rakyat Papua di Manokwari pada tahun 1965, dan dipopulerkan penggunaan nama itu untuk semua bentuk perlawanan rakyat Papua atas penindasan kekuasaan Jakarta di West Papua.
  • Kedua: OPM adalah bentuk gerakan masa, spontanitas perlawanan rakyat Papua bersifat sporadis, yang bersentuhan langsung dengan ideology rakyat Papua sebagai suatu bangsa, hak-hak Sipol, dan ekosob.
  • Ketiga: OPM setelah PEPERA, 1969 telah disusupi melalui Operasi Intelijen Indonesia di West Papua, membentuk OPM Bayangan, tujuan utama melemahkan dan menghancurkan perjuangan kemerdekaan rakyat Papua sebagai suatu bangsa diatas wilayah mereka West Papua, yang dijamin oleh Piagam Dasar PBB.
  • Keempat: OPM adalah Isu Politik lokal yang sengaja dipelihara (diprotek) olek kekuasaan Jakarta di West Papua, guna kepentingan eksploitasi sumber daya ekonomi di West Papua.
  • Kelima: ULMWP adalah bentuk nyata dari OPM yang terorganisir, lahir dari pengalaman masa lalu, dan telah mendapatkan pengakuan masyarakat regional pasifik, melalui sub regional pasifik selatan (MSG), menjadi representasi resmi perjuangan politik rakyat Papua di West Papua, bagian dari-bangsa bangsa Melanesia di Pasifik Selatan.(Kgr)
___________
Baca juga:

Posted by: Admin
Copyright ©Kgr "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Dr. Peyon: Otsus Gagal, Waktunya Rakyat Papua Tentukan

Buletinnusa
Dr. Peyon: Otsus Gagal, Waktunya Rakyat Papua Tentukan
FOTO: Dr. Ibrahim Peyon (kiri) di Belanda 2014, dalam acara peluncuran buku Dr. Siegfried Zöllner, berjudul: Vergessene Welt atau Dunia yang terlupakan.
JAYAPURA | Akademisi Papua, Dr. Ibrahim Peyon dalam satu pernyataan, Jumat (21/08/2020) menegaskan, penentuan status Otsus Papua hanya dapat dilakukan oleh rakyat Papua [Orang asli Papua], bukan orang luar, pejabat birokrasi atau para elit Jakarta.

“Otonomi Khusus (Otsus) gagal, atau tidak, akan dilanjutkan atau pilih Referendum untuk kemerdekaan. Hanya dapat ditentukan oleh seluruh Orang asli Papua. Bukan ditentukan oleh pemerintah, bukan Akademisi, bukan anggota Dewan, bukan elit-elit Papua di Jakarta, bukan staf ahli Presiden, atau staf ahli Bapenas, bukan mantan pejabat politik dan birokrasi.” tulisanya, (21/08)

Yang berhak untuk menentukan adalah mereka yang nota bane-nya adalah pemilik akhli waris negeri Papua.

“Bukan juga oleh orang Migran asal Maluku sampai Aceh, atau ukan keturunan Cina, keturunan Arab, dll. Tetapi, sikap itu ditentutan oleh semua Orang asli Papua (OAP) yang mempunyai hak atas warisan tanah leluhur mereka dan negeri ini.”
___
Baca juga:

Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Ibrahim Peyon "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Jumat, 14 Agustus 2020

Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York

Buletinnusa
Kedudukan Orang Papua dalam Perjanjian New York
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal 

Oleh: Beni Pakage

Pada pekan lalu, kami sudah bahas mengenai tempat dibuatnya New York Agreement 15 Agustus 1962. Yaitu di Villa Huntland Middlleburg, Virginia, Amerika Serikat. Dimana dalam pertemuan yang mulai dari tanggal 23 Maret – 15 Agustus 1962, sama sekali tanpa melibatkan orang Papua.

Secara rahasia mereka mengatur semua masa depan hidup kami, orang Papua. Dan hasilnya, hari ini kami masih teriak karena menderita, ratap dan tangis setiap hari, di tanah kami. Namun di balik duka dan ratap kami hari ini, ketidakhadiran orang Papua di Villa Huntland Middlleburg, bisa menjadi maksud atau rencana Tuhan buat kami orang Papua. Karena ketidakhadiran orang Papua di Villa Huntland Middlleburg, telah melahirkan konsekwensi hukum yang harus dipertanggungjawabkan, oleh mereka yang telah membuat kesepakatan dan menandatangani isi perjanjian tersebut.

Berangkat dari pijakan itu, pada kesempatan ini, kita orang Papua harus mengetahui: konsekuensi hukum model apa yang telah ditimbulkan oleh perjanjian yang telah ditandatangani menjadi New York Agreement? Dan, bagaimana dalam pelaksanaannya, apakah sesuai perjanjian atau tidak?.

Kalau pelaksanaan perjanjian ini sesuai, konsekwensi hukumnya apa dan kalau tidak sesuai perjanjian, konsekuensi hukumnya apa. Berikut sedikit penjelasan.

Sesuai prinsip dan unsur-unsur hukum perjanjian, sebuah perjanjian yang dibuat, hanya mengikat para pihak yang melakukan kesepakatan. Dan semua akibat yang timbul dari kesepakatan tersebut ditanggung oleh kedua belah pihak yang bersepakat. Demikian juga, kedua belah pihak tidak bisa melimpahkan akibat atau resiko dari perjanjian yang dibuat, kepada pihak ketiga kecuali ada klausul (perjanjian) tambahan.

Bahkan, tujuan dari dilakukannya sebuah negosiasi adalah untuk mencari “Win win solution” (mencari jalan tengah), dimana para pihak yang terlibat di dalamnya sama-sama diuntungkan dan sama sama dirugikan. Karena negosiasi tidak bertujuan untuk mencari pemenang dan siapa yang akan kalah. Bila dalam sebuah negosiasi ada upaya untuk mencari menang dan kalah oleh salah satu pihak, pasti akan menimbulkan masalah di kemudian hari, walau perjanjian itu telah disepakti dan ditandatangani. Sehingga perlu pasal peralihan untuk diperbaiki di kemudian hari. Apalagi salah satu pihak ada dalam tekanan pihak lain. Ini sama saja perjanjian dianggap tidak pernah ada. Dan bila dalam sebuah negosiasi untuk perjanjian ada upaya mencari menang dan kalah, maka negosiasi itu pasti berjalan tidak fair dan dapat dikatakan bukan negosiasi tetapi pemaksaan kehendak.

Mengacu kepada adagium di atas, dan bila kita amati dengan seksama isi demi isi dari perjanjian New York antara Indonesia yang mendapat respon positif dari Amerika dan Belanda yang ada di bawah tekanan Amerika saat itu, nampak yang terjadi adalah pihak Belanda pasti sangat pasif, bahkan sama sekali tidak terlibat dalam pembahasan pasal-pasal dalam New York Agreement.

Dan bila sebuah perjanjian yang dibuat salah satu pihak ada dibawah tekanan pihak lain atau ada dibawah ancaman pihak lain, maka perjanjian dapat dikatakan batal demi hukum karena melanggar unsur-unsur dari sebuah perjanjian yang harus bebas dari pemaksaan dan etiket baik dalam perjanjian.

Belanda ada di bawah tekanan Amerika (lihat Surat Jhon F Kennedy kepada Yoseph Luns Menteri Luar Negeri Belanda) dan Indonesia mendapat respon positif Amerika (Lihat Kunjungan Robeth Kennedy ke Jakarta dan Surat Jhon F Kenedy kepada Soekarno), ini telah menunjukkan kepada kita bahwa Amerika yang seharusnya bertindak sebagai mediator, telah melebarkan perannya, bukan hanya sebagai mediator untuk pertemukan kedua belah pihak yang bertikai agar menyelesaikan masalah Irian Barat, namun di balik perannya, Amerika telah turut bermain sebagai pihak pertama dalam kasus New York Agreement 15 Agustus 1962 untuk kepentingannya. Baik demi kepentingan melawan masuknya Indonesia dalam jaringan Soviet, maupun untuk penguasaan kekayaan alam Papua melalui Indonesia.

Dalam sebuah negosiasi, mediator seharusnya tidak diberi hak untuk membuat semacam ancaman atau memberi peran positif kepada salah satu pihak. Mediator seharusnya pasif dan netral agar para pihak ikut menawarkan resolusi-resolusi mereka masing-masing secara netral tanpa paksaan. Namun, bila kita amati sejarah bagaimana New York Agreement disepakti, prinsip-prinsip ini tidak diperlihatkan oleh Amerika yang bertindak sebagai mediator dalam perjanjian ini. Malah dalam pertemuan yang diprakarsai oleh mediator yaitu Amerika Serikat di Villa Huntland Middlleburg Virginia, para peserta baik pihak Belanda dan Indonesia, ada dalam posisi atau kedudukan mereka yang berbeda. Dimana Belanda ada dalam tekanan Amerika, karena Amerika seakan menyetujui Indonesia melakukan perang terbuka kepada Belanda di Irian Barat tanpa mereka bersedia membantu Belanda dalam perang yang akan terjadi.

Sedangkan Indonesia secara psikologi ada di atas angin, karena mendapat respon positif Amerika yang saat itu berperan sebagai mediator. Sehingga secara psikologi politik, Belanda ada dalam posisi tidak berdaya dan lemah.

Dalam hukum perjanjian dan negosiasi, bila para pihak ada di dalam tekanan dan posisi yang berbeda demikian, sebenarnya tidak boleh dilakukan sebuah perjanjian. Karena akan mempengaruhi isi dan makna dari perjanjian tersebut, sesuai kedudukan mereka masing-masing saat mereka dipertemukan mediator. Atau secara psikologi politik, perjanjian ini tidak akan direspon dengan baik, dan tentu perjanjian akan berat sebelah dalam pelaksanaannya. Apalagi tidak ada aturan pelaksana dari New York Agreement ini sendiri. Karena perjanjian ini saat ditandatangani akan berkedudukan sebagai konvensi PBB. Sehingga secara hirarki, ini bukan universal, tetapi perlu aturan implementasi dalam pelaksanaan. (Apakah ini yang disebut Roma Agreement?)

Sebagai contoh: dalam pelaksanaan New York Agreement 15 Agustus 1962, tepatnya tanggal 1 Mei 1963, bendera Belanda diturunkan dan bendera Indonesia dinaikan. Seharusnya secara logis, dalam kesepakatan dalam perjanjian ini, yang harus diatur adalah kedua bendera baik bendera Belanda dan Indonesia sama-sama diturunkan dan tinggal bendera PBB untuk kembalikan Papua Barat ke Konvensi PBB Pasal 73.

Kemudian pasal mengenai penyerahan secara administrasi kekuasan kepada Indonesia, seharusnya tidak perlu dimuat dan dalam perjanjian ini, kecuali ada aturan pelaksana dan cukup ditangani UNTEA yang ada dibawah PBB. Sehingga penyerahan administrasi kepada mereka yang bertikai ini telah mencederai perjanjian itu sendiri. Dan perjanjian ini dapat dikatakan tidak netral atau berat sebelah.

Lebih parah lagi, dengan dasar dari perjanjian yang dibuat oleh Amerika, Belanda dan Indonesia ini adalah UNTEA menggunakan pegawai dari para pihak yang bertikai. Yaitu Indonesia dan sengaja memberi bantuan militer yang terbatas ke Irian Barat dan meminta Indonesia agar melakukan kekuasaan administrasi, serta membiarkan berbagai operasi militer mulai dari Operasi Sadar tahun 1965, Operasi Bharata Yudha tahun 1966-1967, Operasi Wibawa tahun 1968-1969, Operasi Tuntas tahun 1969-1970 di depan mata mereka, dan itu telah mencederai perjanjian itu sendiri. Perjanjian dengan jelas telah membatasi hak azasi dari pihak yang sama sekali tidak terlibat dalam kesepakatan ini. Sehingga perjanjian ini sebagai dasar terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat.

Bila kita amati perjanjian ini secara seksama, di atas kertas tertulis bagus, walau nampak tidak netral perjanjiannya. Mungkin harapannya untuk menggelabui negara-negara yang sedikit berpikir logis dan netral saat itu di PBB. Namun dalam pelaksanaan, perjanjian ini terlihat jauh dari harapan-harapan universal yang ideal sebagai sebuah perjanjian. Bahkan di lapangan (Irian Barat) terjadi implementasi terhadap perjanjian yang penuh dengan manipulasi dan intimidasi serta pembunuhan.

Kejanggalan-kejanggalan ini tidak dilihat publik dunia saat itu, karena terbatasnya akses media, sehingga tertutup dalam teknis pelaksanaan kepada publik. Dan, skenario ini telah menunjukkan kepada kita bahwa perjanjian ini penuh dengan konspirasi kejahatan.

Perjanjian semacam ini dapat dikatakan sebagai perjanjian tanpa dasar hukum dan dapat dikatakan batal demi hukum. Bukan hanya karena salah satu pihak ada dibawah tekanan dan ancaman, tetapi lebih batal lagi adalah karena mediator turut memaksa dan berperan sebagai negosiator dan pelaksana dari perjanjian ini tidak sesuai isi dan tulisannya. Atau orang Papua bilang: tulis lain main lain. Sehingga dapat dikatakan, Perjanjian New York tidak pernah sama sekali terjadi. Apalagi baik Amerika, Belanda dan Indonesia saling menawarkan kepentingan tanpa mempertimbangkan konsekunsi atau akibat-akibat hukum yang akan ditimbulkan melalui perjanjian yang mereka buat terhadap orang Papua.

Sekarang bagaimana dengan Orang Asli Papua yang sebagai pemilik sah tanah New Guinea Barat? Dalam hukum perjanjian, orang Papua sama sekali tidak diikat oleh perjanjian ini. Bahkan orang Papua tidak tahu dengan perjanjian yang dibuat antara Belanda, Indonesia dan Amerika melalui PBB ini. Sehingga yang harus dibuat oleh orang Papua adalah menuntut pertanggungjawaban hukum sebagai akibat dari perjanjian yang dibuat Amerika, Belanda dan Indonesia. Mereka harus pertanggungjawabkan semua pelanggaran HAM dan korban yang tidak berdosa sebagai akibat dari perjanjian mereka saat ini.

Simak juga:
Yang harus diketahui oleh semua Orang Papua adalah secara hukum Internasional kalian adalah pihak yang sama sekali tidak diikat dengan kepentingan-kepentingan dalam negosiasi negatif dan pasif dan perjanjian (New York Agreement) yang sarat kepentingan. Sehingga secara hukum perjanjian, New York Agreement tidak pernah ada buat Orang Papua, karena hanya mengikat para pihak yang bersepakat. Selain perjanjian ini telah mencederai prinsip dan unsur hukum perjanjian, serta prinsip-prinsip negosiasi yang benar. Dengan demikian, Papua saat ini masih ada dibawah pasal 73 Konvensi PBB mengenai wilayah tanpa pemerintahan (Dekolonisasi) yang menunggu merdeka.

_________
Penulis adalah pemerhati masalah sosial di Papua. Tinggal di bumi Amungsa.


Posted by: Admin
Copyright ©Artikel "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Ketua ULMWP: Jangan Merayakan Kemerdekaan Indonesia, Memperingati Perjanjian New York dan Serangan Rasis

Buletinnusa
Ketua ULMWP: Jangan Merayakan Kemerdekaan Indonesia, Memperingati Perjanjian New York dan Serangan Rasis

11 Agustus 2020

Minggu ini sangat penting bagi ingatan kolektif rakyat West Papua. Di akhir minggu, kami akan memperingati ke-58 negara kami masuk ke Indonesia, dan menandai satu tahun sejak Pemberontakan West Papua, yang dipicu oleh serangan rasis dari dinas keamanan Indonesia. Alih-alih merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, 15-17 Agustus harus menjadi hari berkabung dan refleksi bagi seluruh rakyat West Papua.

Pada tanggal 15 Agustus 1962, negosiasi rahasia antara pemerintah Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat memutuskan nasib rakyat saya. Tidak ada orang Papua yang diajak berkonsultasi, dan referendum yang dijanjikan kepada kami dalam Perjanjian New York 1962 tidak pernah terjadi. Bagi kami orang West Papua, Perjanjian New York adalah kesepakatan tentang ingkar janji.

Inilah akar penyebab penderitaan kami, akar penyebab 500.000 orang kehilangan nyawa di tangan Indonesia. Seluruh penduduk West Papua bersatu untuk menolak Perjanjian New York dan pendudukan ilegal dan penjajahan Indonesia atas tanah kami.

Penolakan tersebut akan kami ungkapkan dengan menolak untuk berpartisipasi dalam perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Kami tidak mengakui Hari Kemerdekaan Indonesia di West Papua - tanah kami bukan Indonesia, dan ini bukan hari kemerdekaan kami. Kami masih menunggu hari kemerdekaan kami yang sebenarnya ketika kami akhirnya mendapatkan kembali hak kami untuk dengan merdeka menentukan masa depan politik kami sendiri.

Sebagai gantinya, kami akan tinggal di rumah dan berduka atas peringatan pertama Pemberontakan West Papua tahun 2019. Pada 17-18 Agustus tahun lalu, mahasiswa Papua di kota Surabaya dibarikade di asrama mereka oleh pasukan keamanan Indonesia dan geng nasionalis [ormas]. Para siswa menjadi sasaran pelecehan ras yang brutal, yang disebut 'monyet' dan 'anjing' dan disuruh 'pulang ke Papua'. Sebagai tanggapan, rakyat West Papua melancarkan pemberontakan terbesar mereka dalam dua puluh tahun. Ratusan ribu keluar untuk menolak rasisme dan diskriminasi dan menuntut referendum kemerdekaan.

Saat kami merayakan Hari Adat Sedunia bulan ini, Penduduk Asli West Papua, Sius Ayemi, yang berusia 30 tahun ditangkap oleh Indonesia karena memimpin unjuk rasa Pribumi. Inilah cara Indonesia menghormati Hari Adat Sedunia - dengan menangkap masyarakat adat karena merayakan identitas dan budayanya sendiri. Kami menuntut pembebasan segera Sius Ayemi.

Kami fokus pada pembunuhan lanjutan yang kami hadapi di tangan Negara Indonesia. Di Nduga dan tempat lain, pembangunan militer Indonesia terus berlanjut. Pembunuhan, penyiksaan dan diskriminasi semakin meningkat: baru bulan ini, tentara dari pangkalan militer baru di desa Tambrauw memukuli desa-desa setempat tanpa alasan lain selain warna kulit mereka. Indonesia juga mengalihkan dana Covid-19 untuk operasi militer.

Kami fokus menolak upaya baru Jakarta untuk memaksakan 'Otonomi Khusus Jilid II' pada kami. Semua masyarakat sipil West Papua telah menyatakan menolak Otonomi Khusus dan segala upaya untuk memperbaruinya: gereja, organisasi politik, rakyat biasa, bahkan badan-badan yang didirikan oleh Jakarta di bawah ketentuan Otonomi Khusus - semua menolaknya. Kami tidak menginginkan 'otonomi' palsu dan kami hanya akan meningkatkan perjuangan kami untuk penentuan nasib sendiri yang sejati, yang dicapai melalui referendum kemerdekaan yang diawasi secara internasional..


Benny Wenda
Ketua ULMWP