Rabu, 05 Agustus 2020

Pelanggaran HAM Berat dalam Operasi Militer Indonesia di Nduga Bukti Kuat “Kegagalan Otsus 2001”

Buletinnusa
Pelanggaran HAM Berat dalam Operasi Militer Indonesia di Nduga Bukti Kuat “Kegagalan Otsus 2001”
FOTO: Masyarakat Nduga di Kem Pengungsian, rimbah Papua Desember 2018.
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Realitas

Operasi Militer Indonesia di Nduga-Papua Sebagai Pelanggaran Berat HAM adalah Bukti Kuat Kegagalan Otonomi Khusus 2001


Oleh Dr. Socratez S.Yoman

1. Operasi Militer di Nduga Perintah Negara

Operasi militer Indonesia di Nduga-Papua adalah perintah Negara. Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo memberikan perintah untuk TNI melaksanakan operasi.

"Tangkap seluruh pelaku penembakan di Papua. Tumpas hingga akar” (Sumber: DetikNews/5/12/2028).

Presiden juga didukung oleh Wakil Presiden H.Jusuf Kalla dan ia memerintahkan:
“Kasus ini ya polisi dan TNI operasi besar-besaran, karena ini jelas mereka, kelompok bersenjata yang menembak.” (Sumber: Tribunnews.com/6/12/2018).
Perintah operasi militer dari Presiden Republik Indonesia didukung oleh Ketua DPR RI Bambang Soesatyo:
“…DPR usul pemerintah tetapkan Operasi Militer selain perang di Papua.” (Sumber: Kompas.com/13/12/2018).
Perintah operasi militer diperkuat oleh Menkopolhukam, H. Dr. Wiranto:
“Soal KKB di Nduga Papua, kita habisi mereka.” (Kompas.com/13/12/2018).
Sementara Kapolri Jenderal Dr. Muhammad Tito Karnavian (sekarang: Menteri Dalam Negeri) lebih cerdas, intelektual, rasional, berhikmat dan memberikan nasihat bijak:
“Kasus tersebut jangan dibesarkan dinasionalisasi, karena itu yang ditunggu oleh pihak mereka (OPM). Untuk memancing penetapan sebagai Operasi Militer melawan gerakan separatis.”
Lebih lanjut disarankan dalam aspek historis: ” Menurut sejarah, Papua masuk ke Indonesia melalui proses resolusi PBB. Sehingga untuk memudahkan mengangkat Papua ke Sidang PBB adalah dengan dalil terjadinya pelanggaran HAM, terjadi pembantaian oleh militer dan bahkan genosida.”
“Bila itu terjadi, maka ditetapkan darurat militer, kemudian terjadi pelanggaran HAM, kemudian itu maju ke Sidang PBB dan voting, maka dipastikan Indonesia bakal kehilangan Papua.” (Sumber: Swararakyat.com/06/12/2018).

2. Kejahatan Negara dan Pelanggaran berat HAM di Papua

Dalam operasi milier Indonesia di Nduga-Papua selama 1 tahun dan 8 bulan sejak 2 Desember 2018-Juli 2020, orang asli Papua telah meninggal 257 orang. Jumlah ini ada yang ditembak TNI, meninggal di hutan karena kelaparan dan meninggal di tempat penggungsian.

Pada 20 September 2020 Tentara Nasional Indonesia (TNI) menembak mati Elias Karunggu (40) dan Selu Karunggu (20) di pinggir sungai Kenyem, di kampung Meganggorak, Nduga. Alasannya ayah dan anaknya diduga oleh TNI sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).

Pada 19 Desember 2018, TNI menembak mati Pendeta Geyimin Nigiri (83) Tokoh Gereja dan Perintis Gereja Kemah Injil di Kabupaten Nduga. TNI menembak mati dan dibakar jenazah Geyimin dengan menyiram minyak tanah dibelakang halaman rumahnya.

Ada kisah seorang ibu hamil yang sangat menyedihkan dan menyentuh hati nurani kita semua akibat Operasi Indonesia Militer di Nduga.

“Saya melahirkan anak di tengah hutan pada 4 Desember 2018. Banyak orang berpikir anak saya sudah meninggal. Ternyata anak saya masih bernafas. Anak saya sakit, susah bernafas dan batuk berdahak. Suhu di hutan sangat dingin, jadi waktu kami berjalan lagi, saya merasa anak bayi saya sudah tidak bergerak. Kami pikir dia sudah meninggal. Keluarga sudah menyerah. Ada keluarga minta saya buang anak saya karena dikira dia sudah mati.

Tetapi saya tetap mengasihi dan membawa anak saya. Ya, kalau benar meninggal, saya harus kuburkan anak saya dengan baik walaupun di hutan. Karena saya terus membawa bayi saya, saudara laki-laki saya membuat api dan memanaskan daun pohon, dan daun yang dipanaskan itu dia tempelkan pada seluruh tubuh bayi saya. Setelah saudara laki-laki tempelkan daun yang dipanaskan di api itu, bayi saya bernafas dan minum susu.

Baca juga: (RI Jangan Hanya Sibuk Kejar Asap, Tapi Padamkan Apinya dengan Jalan Referendum)

Kami ketakutan karena TNI terus menembak ke tempat persembunyian kami. Kami terus berjalan di hutan dan kami mencari gua yang bisa untuk kami bersembunyi. Jadi, saya baru tiba dari Kuyawagi, Kabupaten Lanny Jaya. Kami berada di Kuyawagi sejak awal bulan Desember 2018. Sebelum di Kuyawagi, kami tinggal di hutan tanpa makan makanan yang cukup selama beberapa minggu. Kami sangat susah dan menderita di atas tanah kami sendiri.” (Sumber: Suara Papua, 8 Juni 2019).

Dalam operasi militer di Nduga, TNI menembak mati 5 orang sipil pada 20 September 2019 di Gua Gunung Kenbobo, Distrik Inye dan mayat mereka dikuburkan dalam satu kuburan. Nama-nama korban tewas: (1) Yuliana Dorongi (35/Perempuan), (2) Yulince Bugi (25/ Perempuan; (3) Masen Kusumburue (26/ Perempuan; (4) Tolop Bugi (13/ Perempuan; (5) Hardius Bugi (15/L). (Sumber resmi: Theo Hesegem, Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua).

Operasi Militer Indonesia, pelanggaran berat HAM dan proses genosida (genocide) penduduk asli Papua ini sangat berlawanan dengan Otonomi Khusus Bab XII dan Pasal 45 butir 1 yang menyatakan:
"Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Privinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua."
Bab XII dan Pasal 45 Otonomi Khusus ini kita hubungkan dengan janji pemerintah Republik Indonesia pada 14 Juli 1969 pelaksanaan Pepera di Merauke, Menteri Dalam Indonesia, Amir Macmud dari mimbar sampaikan kepada peserta Dewan Musyawarah Pepera yang sudah diseleksi dan diawasi ABRI, sebagai berikut.
“….pemerintah Indonesia, berkeinginan dan mampu melindungi untuk kesejahteraan rakyat Irian Barat; oleh karena itu, tidak ada pilihan lain, tetapi tinggal dengan Republik Indonesia.” (Sumber: Laporan Resmi PBB, 1812, Agenda 98, 19 November 1969, alinea 18, hal. 2).
Melihat dari fakta sejarah dan pelanggaran berat HAM yang dilakukan Negara Republik Indonesia,sudah berlangsung selama 58 tahun, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat.

Janji tidak pernah ditepati dan Undang-undang tidak pernah dilaksanakan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia. Akibatnya rakyat dan bangsa Papua Barat sudah kehilangan kepercayaan kepada Indonesia. Indonesia diidentikan dengan militer. Indonesia disamakan dengan kelas kriminal dan pembunuh. Indonesia identik dengan pembohong.

Amirudin al Rahab dengan tepat menyimpulkan, "Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan suatu sikap yang khas Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan...Sejak itu, orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya dalam pandangan orang Papua, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI" (Sumber: Heboh Papua: 2010, hal. 43).

Amirudin menambahkan: " Sikap pemerintah yang selalu membantah dan menutup mata atas terjadinya berbagai bentuk kekerasan yang dilancarkan oleh anggota ABRI akan merugikan Indonesia sendiri. Selain itu, sikap merasa tak bersalah dari pemerintah Indonesia juga akan menjauhkan orang-orang Papua dari Indonesia" (hal. 63).

Tugas ABRI (sekarang: TNI) membantai dan memusnahkan Penduduk Asli Papua dan lindungi sumber daya alam Papua (SDA) dan para imigran dan Transmigrasi.

Amirudin mengatakan: " Semakin menghujamnya cengkraman militer terhadap kehidupan sosial politik di Papua juga tidak terlepas dari potensi ekonomi daerah ini yang begitu besar. Hal itu terlihat ketika PT Freeport mulai menanamkan investasinya di Papua. Untuk melindungi PT Freeport, militer di Papua mulai mengembangkan pengaruhnya dalam politik lokal dengan cara yang lebih keras. Selain itu, militer juga memperbesar kekuasaannya dengan menempatkan diri sebagai pelindung dari mengalirnya ribuan para imigran dan transmigrasi dari luar Papua." (hal. 46).

3. Jalan Penyelesaian

Untuk mengakhiri operasi militer di Nduga secara khusus dan Papua pada umumnya, pemerintah Republik Indonesia harus menyelesaikan 4 akar persoalan yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Dan Dewan Gereja Papua (WPCC) melihat ada akar masalah yang perlu dilihat sebagai jantungnya persoalan Papua, yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN yang melahirkan 4 akar masalah yang dirumuskan LIPI. Jadi, sesungguhnya ada 5 akar persoalan Papua.
  1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
  2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
  3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
  4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
  5. Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber dari akar masalah butir 1-4.
Untuk penyelesaian 5 akar persoalan Papua, Dewan Gereja Papua (WPCC), 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Para pemimpin Gereja mendesak Pemerntah Republik Indonesia untuk perundingan damai dan serara dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Berikut ini pernyataan dukungan dari para pemimpin Gereja-gereja di Papua:


  • Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.


    Surat pastoral Dewan Gereja Papua (WPCC) tertanggal 16 Februari 2019, dan 26 Agustus 2019 serta 13 September 2019 sebagai berikut.

  • Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).
  • Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
  • Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).
Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:
"Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral."
Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: " Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan."

Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: "Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi 'separatis, TPN, OPM, GPK, makar' dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan."

Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: "Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia."

Baca ini: (Surat Terbuka “Isi Hati OAP” Kepada Presiden RI, Ir. Jokowi)

Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak."

Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 28 Juli 2020


Penulis:

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____
Nomor Kontak: 08124888458


Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar