Kamis, 30 Juli 2020

Petisi 1,8 Juta Rakyat Papua Bisa Dijadikan Bahan Rujukan

Buletinnusa
Petisi 1.8 Juta Rakyat Papua Bisa Dijadikan Bahan Rujukan
FOTO ini dirilis Rabu, 30 Januari 2019, oleh pemimpin United Liberation Movement untuk West Papua (ULMWP), Benny Wenda. Benny Wenda, kedua dari sebelah kiri, mengajukan petisi kepada ketua Komisaris Tinggi HAM PBB Michelle Bachelet, pada hari Jumat, 25 Januari 2019, di Jenewa, Swiss. (https://abcnews.go.com)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

By: Kristian Griapon
Rabu, 29 Juli 2020

Saya melihat petisi 1.804.421 (satu juta delapan ratus empat ribu, empat ratus dua pulu satu orang) atau 1,8 juta Rakyat West Papua yang ramai diperdebatkan pada tahun 2017 dan mencapai puncaknya pada saat petisi itu dibawa masuk ke Komisi HAM PBB, Februari 2019 lalu, menurut hemat saya, seharusnya isu pelanggaran HAM di West Papua yang harus disodorkan ke Komisi HAM PBB, untuk memperkuat data pelanggaran HAM di West Papua.

Petisi itu adalah bagian dari trik politik ULMWP, diluar skenario negara – negara pendukung kemerdekaan West Papua yang aktif di kawasan regional pasifik. Dan petisi itu tidak bisa dijadikan alasan untuk memaksa Indonesia melaksanakan Referendum di West Papua, atau mendaftar West Papua ke Komite C24 PBB, karena tidak melalui mekanisme tata cara masyarakat internasional. Sehingga negara-negara pendukung West Papua merasa enggan, atau ragu untuk mengusung isu itu dalam mempromosikan hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua di West Papua. Hal itu telah membawa kita pada langkah yang terlalu jauh, meninggalkan langkah yang sebenarnya harus kita lalui untuk menuju hal itu. Dan langkah itu sendiri telah didahului oleh para pejuang terdahulu, namun menemui jalan buntu.

Petisi itu bisa menjadi rujukan penyelesaian jalan damai konflik antar Bangsa West Papua melawan Kekuasaan Negara Republik Indonesia di West Papua, melalui promosi negara-negara pendukung atas dasar pelanggaran HAM berat yang terjadi di West Papua. Namun dengan syarat, pendataan harus objektif dan akurat dapat dibuktikan, apabila dilakukan peninjauan lapangan ke lokasi pengambilan data sesuai dengan mekanisme masyarakat internasional. Dan jika tidak memenuhi standar mekanisme masyarakat internasional, maka akan menjadi bumerang bagi ULMWP, dan terimbas pada rakyat Papua di West Papua.

Baca juga:
  1. ULMWP Menyerahkan Petisi West Papua Kepada Komisaris Tinggi PBB
  2. PBB Mengkonfirmasi Telah Menerima Petisi Referendum West Papua
Isu West Papua sudah masuk dalam ruang lingkup dunia internasional, ULMWP sebagai ujung tombak politik perjuangan kemerdekaan bangsa West Papua di luar negeri, harus cermat terhadap isu domestik di Indonesia khususnya di West Papua, jangan berdiam diri dengan berbagai pembunuhan orang asli Papua dengan dalil separatis, yang mewarnai pembunuhan orang-orang kampung di West Papua. Justru isu HAM itu yang kini menjadi perhatian masyarakat internasional, harus dikelolah dengan baik oleh ULMWP, untuk menjadi bahan advis negara-negara pendukung HAM untuk West Papua.
______
Maaf penulisan ini bukan untuk menggurui, kalau ada kelebihan kata boleh dikurangi, dan kekurangannya dapat ditambahkan, sekedar pesan moral, WaSalam..(Kgr)


KOMENTAR

Jonathan Tjoe:
Petisi 1,8 juta suara bukan tidak tepat tapi terlalu cepat. Dan ini yg menimbulkan perdebatan dalam kepengurusan ULMWP. Tapi walau terlalu cepat, petisi ini minimal telah medelegitimasi eksistensi Indonesia di Papua seperti yg disampaikan oleh seorang pengamat politik Australia, bahwa Pepera yang dilaksanakan itu ditolak dan karena itu harus dilaksanakan kembali.
Petisi juga menggugurkan klaim diplomatik Indonesia selama ini bahwa hanya segelintir orang Papua (termasuk kaum diaspora) saja yang menginginkan kemerdekaan.
Sayang sekali karena ULMWP tidak memainkan isu ini lebih lanjut melalui penolakan keterlibatan rakyat Papua dalam pemilu yang makin mendelegitimasi eksistensi pemerintah Indonesia di Papua. Karena setelah muncul petisi, Pemerintah Indonesia hanya bisa mencounter petisi 1,8 juta suara rakyat Papua melalui keterlibatan rakyat Papua di pemilu. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu pada perbedaan-perbedaan pendapat dan kecurigaan satu dgn yg lain, hilang konsentrasi dan akhirnya diintercept oleh musuh di garis enam belas.

Posted by: Admin
Copyright ©Kgr "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Minggu, 26 Juli 2020

Buchtar Tabuni: ULMWP Hanya Wadah Persatuan

Buletinnusa
Buchtar Tabuni: ULMWP Hanya Wadah Persatuan
FOTO: Buchtar Tabuni di mejah Dewan Komite ULMWP dalam sebuah pertemuan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

JAYAPURA | Ketua II Legislatif ULMWP, Buchtar Tabuni dalam postingannya tertanggal 7 April 2020 mengatakan, United Liberation Movement for West Papua hanya sebuah wadah persatuan yang mempersatukan semua gerakan politik perjuangan kemerdekaan West Papua.

Dalam wadah persatuan ini semua gerakan perjuangan dapat duduk dan berkumpul bersama untuk mencapai keselamatan dari kolonialisme Indonesia terhadap bangsa Papua.

"ULMWP hanya sebuah wadah persatuan untuk duduk bersama agar dari dalam ULMWP kita bisa berdiskusi dalam rangka menemukan jalan menuju tujuan kita bersama yaitu keselamatan seluruh penghuni Tanah air West Papua dari Kolonialisme Indonesia dan antek-anteknya." papar pendiri KNPB itu.

Tanggal 23 Agustus 2019 lalu, Buchtar Tabuni meminta agar Pemerintah Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRD) segera menyerahkan mandat urusan politik kepada ULMWP. ULMWP sebagai wadah pemersatu rakyat Papua patut menerima mandat politik untuk memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri.

Lanjut Buchtra, berbagai elemen perjuangan kemerdekaan Papua telah tergabung di dalam ULMWP. “ULMWP sebagai wadah pemersatu bangsa Papua akan berunding dengan negara Indonesia, dengan dimediasi langsung oleh Perserikatan Bangsa-bangsa atau PBB, untuk mendapatkan Hak Penentuan Nasib Sendiri,” kata Tabuni (23/8/2019).

Sikap Dewan Gereja Papua dalam artikel Gembala Dr. Yoman (18/07) pun menegaskan tentang rekomendasi Gereja bahwa, sudah waktunya perundingan Damai anatar Indonesia – ULMWP untuk menemukan solusi damai secara bermartabat. (***)

Baca juga:
  1. Buchtar Tabuni: Serahkan Hak Politik Rakyat Papua Kepada ULMWP
  2. Dewan Gereja Papua: Sudah Waktunya Perundingan Damai Indonesia – ULMWP

Posted by: Admin
Copyright ©Buchtar Tabuni "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Sabtu, 25 Juli 2020

Surat Terbuka “Isi Hati OAP” Kepada Presiden RI, Ir. Jokowi

Buletinnusa No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Perihal: Surat Terbuka Ungkapan Hati Nurani Orang Asli Papua

Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia, 
Ir. Joko Widodo

Di JAKARTA.
__________________

Shalom!

Melalui surat terbuka ini, saya ingin menyampaikan kepada bapak Presiden Republik Indonesia dengan jujur dan terbuka tentang isi hati dan alasan rakyat Papua, terutama Orang Asli Papua tidak bersedia menerima dan menolak Otonomi Khusus Jilid II. Rakyat Papua sudah berulang-ulang menyatakan bahwa Otonomi Khusus 2001 telah gagal. Otonomi Khusus telah menimbulkan banyak masalah tragedi kemanusiaan yang berat yang dialami penduduk aali Papua. 
Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua, Gembala. Dr. Socratez Sofyan Yoman (kanan) saat melantik panitia kongres ke-XVIII PGBP, di lapangan terbuka, Makki, Lany Jaya, dihadiri 2.000 umat. Pelantikan dilaksanakan di lapangan terbuka karena gedung gereja tidak cukup untuk menampung umat (Foto: Socratez Sofyan Yoman)
Bapak Presiden yang mulia, saya menyampaikan latar belakang historis lahirnya Otonomi Khusus 2001, fakta kegagalan Otonomi Khusus 2001, dan 5 akar persoalan Papua serta jalan penyelesaian sebagai bahan masukan kepada bapak untuk melihat persoalan Papua secara jernih dan utuh. 

Rakyat Papua, terutama Orang Asli Papua, tidak bersedia menerima dan menolak Otonomi Khusus jilid II dan menuntut Penentuan Nasib Sendiri/Referendum sebagai solusi perdamaian permanen bagi Indonesia dan rakyat Papua. 

I. LATAR BELAKANG HISTORIS LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS 2001

Pemerintah Republik Indonesia jangan memutarbalikan dan menghilangkan fakta historis lahirnya Undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 Tahun 2001 yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal. 

Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undang-undang Win Win Solution (Penyelesaian Menang Menang) status politik bangsa West Papua dalam wilayah Indonesia. 

Latar belakang lahirnya Undang-undang Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 karena 

pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan dan berdaulat penuh bangsa West Papua dengan cara damai mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri. 

1. Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999. 

"....dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
  • Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi." 
  • Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
  • Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;
(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.

2. Musyawarah Besar (MUBES) 23-26 Februari 2000. 

Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
"Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."
3. Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat, 26 Mei - 4 Juni 2000

Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:

3.1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.
3.2. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
3.3. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969. 
3.4. Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
3.5. Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.
3.6. PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.

Bapak presiden yang mulia dan terhormat. Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 tidak turun sendiri dari langit. Otonomi Khusus 2001 lahir karena ada tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat. 

Menjadi jelas dan terang latar belakang lahir Otonomi Khusus melalui proses dari Tim 100, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres II Nasional rakyat dan bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1 Desember 1961. 

II. FAKTA KEGAGALAN OTONOMI KHUSUS 2001

Pesan Konstitusi Negara Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 BUKAN Undang-undang KEUANGAN karena masih ada 23 Bab dan 70 Pasal yang ditetapkan tentang persoalan mendasar di Papua.

Bab I Ketentuan Umum. Bab II Lambang-Lambang. Bab III Pembagian Daerah. Bab IV Kewenangan Daerah. Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan. Bab VI Perangkat dan Kepegawaian. Bab VI Partai Politik. Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur. Bab IX Keuangan. Bab X Perekonomian. Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Bab XII Hak Asasi Manusia. Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua. Bab XIV Kekuasaan Peradilan. Bab XV Keagamaan. Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan. Bab XVII Kesehatan. Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Bab XX Sosial. Bab XXI Pengawasan. Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan. Bab XXIII Ketentuan Peralihan. Bab XXIV Ketentuan Penutup.

Pertanyaannya ialah apakah Pemerintah Republik Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan seluruh konstitusi Negara yang terdiri dari 24 Bab ini?
  1. Apakah Bab I Ketentuan Umum sudah dilaksanakan dengan benar oleh Pemerintah Republik Indonesia Jawabannya: GAGAL.
  2. Apakah Bab II Lambang-Lambang sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  3. Apakah Bab III Pembagian Daerah diimplementasikan dengan benar oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL.
  4. Apakah Bab IV Kewenangan Daerah sudah diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia di pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  5. Apakah Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang? Jawabannya: GAGAL.
  6. Apakah Bab VI Perangkat dan Kepegawaian sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan benar dan jujur? Jawabannya: GAGAL. 
  7. Apakah Bab VII Partai Politik sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Otsus? Jawabannya: GAGAL TOTAL. 
  8. Apakah Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur sudah dimplementasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL karena semua draft Perdasi dan Perdasus ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia. 
  9. Apakah Bab IX Keuangan ini menjadi isi seluruh Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: UU Otsus No.21 Tahun 2001 bukan Undang-undang KEUANGAN. 
  10. Apakah Bab X Perekonomian sudah berhasil meningkatkan taraf ekonomi Orang Asli Papua oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Orang Asli Papua benar tersingsir secara ekonomi dan tidak seperti kehidupan ekonomi di waktu zaman Belanda. Di era Belanda, orang-orang asli Papua mempunyai Toko, Bioskop, Mesin Foto Copy, Restoran, pemilik Transportasi, dan masih banyak lain. 
  11. Apakah Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  12. Apakah Bab XII Hak Asasi Manusia sudah mendapat perlindungan dan penghormatan dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Banyak Orang Asli Papua tewas ditangan TNI-Polri. Kejahatan Negara semakin meningkat tajam. Terjadi proses pemusnahan etnis Melanesia secara sistematis. Contoh terbaru pada 18 Juli 2020, TNI masih menewaskan rakyat sipil di Nduga Elias Karunggu (40 tahun) yang masih berbusana koteka dan Seru Karunggu (20 tahun) anak kandung. 
  13. Apakah Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua sudah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia? Jawabannya: TIDAK. 
  14. Apakah Bab XIV Kekuasaan Peradilan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan perintah Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: TIDAK. Karena wajah diskriminasi RASIAL menjadi roh peradilan Indonesia di Papua. 
  15. Apakah Bab XV Keagamaan benar-benar dilaksanakan di Papua? Jawabannya: Di Papua ada kehidupan saling menghormati sesama manusia dan menjaga keharmonisan dan kedamaian antar umat beragama bukan karena ada undang-undang atau peraturan Negara. 
  16. Apakah Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001?

    Jawabannya: Keberhasilan Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa diukur dari wilayah kota, tetapi harus menjadi barometer keberhasilan dilihat dari kaca mata daerah-daerah pedesaan dan pedalaman.

    Persoalan Pendidikan dan Kebudayaan ini Paradoks, ada kesenjangan atau ada jurang yang besar antara kota dengan daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, maka perlu ada penelitian yang lebih jujur, terbuka dan konprehensif untuk mengukur kemajuan bidang pendidikan.

    Tetapi, pada umumnya pendidikan dalam Otonomi Khusus terjadi kemunduran signifikan. Karena fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Kesediaan tenaga pengajar yang sangat minim, bahkan ada sekolah yang tidak ada guru. Tenaga pengajar tinggalkan tugas dari daerah alasan tidak nyaman karena operasi militer Indonesia.
  17. Apakah Bab XVII Kesehatan sungguh-sungguh mendapat perhatian serius dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: Pelayanan Kesehatan semakin buruk dan kematian orang Asli Papua memingkat secara signifikan. Kejadian ini sangat kontras dengan pelayanan kesehatan pada zaman pemerintahan Belanda dan misionaris asing. Apakah bangsa Indonesia membawa malapetaka untuk orang Asli Papua? Jadi, jawabannya: Pelayanan Kesehatan GAGAL.
  18. Apakah Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan benar-benar Orang Asli Papua mendapat perlindungan dan keberpihakan dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Karena, OAP sudah menjadi tamu di atas Tanah leluhur mereka. 
  19. Apakah Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup sudah sesuai dengan amanat UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL. 
  20. Apakah Bab XX Sosial benar dan serius dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan perhatian dan perlindungan OAP dalam interaksi sebagai masyarakat adat Papua? Jawabannya: GAGAL.
  21. Apakah Bab XXI Pengawasan dapat berfungsi secara benar dan maksimal sesuai UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL TOTAL. 
  22. Apakah Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan dapat dilaksanakan dengan efektif sesuai dengan amanat konstitusi Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL.
Dari semua Bab dan Pasal yang tercantum dalam Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, satupun tidak dilaksanakan. Karena itu, Otonomi Khusus GAGAL Total. Rakyat Papua menyatakan Otsus gagal. Dewan Gereja Papua (WPCC) menyatakan Otonomi Khusus sudah mati. 

III. ADA 5 AKAR PERSOALAN PAPUA

Bapak Presiden, akar persoalan Papua sudah jelas dalam penjelasan LATAR BELAKANG HISTORIS LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS 2001. Bagian ini, perlu diketahui 4 (empat) akar persoalan Papua yang dipetakkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map. 

Menurut LIPI ada 4 akar persoalan Papua. Dewan Gereja Papua (WPCC) melihat ada akar masalah yang perlu dilihat sebagai jantungnya persoalan Papua, yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN yang melahirkan 4 akar masalah yang dirumuskan LIPI. Jadi, sesungguhnya ada 5 akar persoalan Papua. 
  1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
  2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 
  3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; 
  4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
  5. Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber dari akar masalah butir 1-4. 

IV. JALAN PENYELESAIAN 

Untuk penyelesaian 5 akar persoalan Papua, Dewan Gereja Papua (WPCC), 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Para pemimpin Gereja mendesak Pemerntah Republik Indonesia untuk perundingan damai dan serara dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). 

Berikut ini pernyataan dukungan dari para pemimpin Gereja-gereja di Papua:
  1. Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
  2. Surat pastoral Dewan Gereja Papua (WPCC) tertanggal 16 Februari 2019, dan 26 Agustus 2019 serta 13 September 2019 sebagai berikut.

    2.1. Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).

    2.2
    Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)

    2.3. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).

  3. Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:

    "Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral."

  4. Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: " Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan."
  5. Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: "Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi 'separatis, TPN, OPM, GPK, makar' dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan."
  6. Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: "Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia."
  7. Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak."
Terima kasih. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 22 Juli 2020.


Dr. Socratez S.Yoman,.MA
  1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 
  2. Calon Anggota Tetap Dewan Gereja Pasifik (PCC)
  3. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
  4. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____

Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Jumat, 24 Juli 2020

Otsus Gagal Total, Perundingan Indonesia - ULMWP adalah Solusi

Buletinnusa
Otsus Gagal Total, Perundingan Indonesia - ULMWP adalah Solusi
FOTO: Tampak anak-anak Papua di era Otonomi Khusus (Otsus) Papua (ilustrasi)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

#Fakta dan Realitas

OTONOMI KHUSUS 2001 SUDAH MATI ATAU GAGAL TOTAL: PERUNDINGAN INDONESIA-ULMWP DIMEDIASI PIHAK KETIGA YANG LEBIH NETRAL ADALAH SOLUSI PERDAMAIAN PERMANEN
(Dewan Gereja Papua (WPCC) dan 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Gereja-Gereja di Papua Mendukung Perundingan Damai antara Pemerintah Indonesia-ULMWP).
Oleh Dr. Socratez S.Yoman,MA

"Melawan RASISME. Black Lives Matter. West Papua Lives Matter. Melanesian Lives Matter."

1. LATAR BELAKANG HISTORIS LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS 2001

Pemerintah Republik Indonesia jangan memutarbalikan dan menghilangkan fakta historis lahirnya Undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 Tahun 2001 yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal.

Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undang-undang Win Win Solution (Penyelesaian Menang Menang) status politik bangsa West Papua dalam wilayah Indonesia.

Latar belakang lahirnya Undang-undang Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 karena
pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan dan berdaulat penuh bangsa West Papua dengan cara damai mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri.

1. Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999.

"....dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:

Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi."

Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.

Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;
  1. Segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa West Papua, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
  2. Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
  3. Musyawarah Besar (MUBES) 23-26 Februari 2000.
Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
"Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."
3. Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat, 26 Mei - 4 Juni 2000

Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:
  1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.
  2. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
  3. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil Pepera, karena dilaksanakan dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969.
  4. Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
  5. Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.
  6. PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Para pembaca yang mulia dan terhormat. Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 tidak turun sendiri dari langit. Otonomi Khusus 2001 lahir karena ada tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat.

Menjadi jelas dan terang latar belakang lahir Otonomi Khusus melalui proses dari Tim 100, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres II Nasional rakyat dan bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1 Desember 1961.

2. OTONOMI KHUSUS SUDAH MATI DAN GAGAL TOTAL

Pesan Konstitusi Negara Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 BUKAN Undang-undang KEUANGAN karena masih ada 23 Bab dan 70 Pasal yang ditetapkan tentang persoalan mendasar di Papua.

Bab I Ketentuan Umum. Bab II Lambang-Lambang. Bab III Pembagian Daerah. Bab IV Kewenangan Daerah. Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan. Bab VI Perangkat dan Kepegawaian. Bab VI Partai Politik. Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur. Bab IX Keuangan. Bab X Perekonomian. Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Bab XII Hak Asasi Manusia. Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua. Bab XIV Kekuasaan Peradilan. Bab XV Keagamaan. Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan. Bab XVII Kesehatan. Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Bab XX Sosial. Bab XXI Pengawasan. Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan. Bab XXIII Ketentuan Peralihan. Bab XXIV Ketentuan Penutup.

Pertanyaannya ialah apakah Pemerintah Republik Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan seluruh konstitusi Negara yang terdiri dari 24 Bab ini?
  1. Apakah Bab I Ketentuan Umum sudah dilaksanakan dengan benar oleh Pemerintah Republik Indonesia Jawabannya: GAGAL.
  2. Apakah Bab II Lambang-Lambang sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  3. Apakah Bab III Pembagian Daerah diimplementasikan dengan benar oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL.
  4. Apakah Bab IV Kewenangan Daerah sudah diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia di pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  5. Apakah Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang? Jawabannya: GAGAL.
  6. Apakah Bab VI Perangkat dan Kepegawaian sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan benar dan jujur? Jawabannya: GAGAL.
  7. Apakah Bab VII Partai Politik sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Otsus? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  8. Apakah Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur sudah dimplementasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL karena semua draft Perdasi dan Perdasus ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia.
  9. Apakah Bab IX Keuangan ini menjadi isi seluruh Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: UU Otsus No.21 Tahun 2001 bukan Undang-undang KEUANGAN.
  10. Apakah Bab X Perekonomian sudah berhasil meningkatkan taraf ekonomi Orang Asli Papua oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Orang Asli Papua benar tersingsir secara ekonomi dan tidak seperti kehidupan ekonomi di waktu zaman Belanda. Di era Belanda, orang-orang asli Papua mempunyai Toko, Bioskop, Mesin Foto Copy, Restoran, pemilik Transportasi, dan masih banyak lain.
  11. Apakah Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  12. Apakah Bab XII Hak Asasi Manusia sudah mendapat perlindungan dan penghormatan dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Banyak Orang Asli Papua tewas ditangan TNI-Polri. Kejahatan Negara semakin meningkat tajam. Terjadi proses pemusnahan etnis Melanesia secara sistematis. Contoh terbaru pada 18 Juli 2020, TNI masih menewaskan rakyat sipil di Nduga Elias Karunggu (40 tahun) yang masih berbusana koteka dan Seru Karunggu (20 tahun) anak kandung.
  13. Apakah Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua sudah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia? Jawabannya: TIDAK.
  14. Apakah Bab XIV Kekuasaan Peradilan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan perintah Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: TIDAK. Karena wajah diskriminasi RASIAL menjadi roh peradilan Indonesia di Papua.
  15. Apakah Bab XV Keagamaan benar-benar dilaksanakan di Papua? Jawabannya: Di Papua ada kehidupan saling menghormati sesama manusia dan menjaga keharmonisan dan kedamaian antar umat beragama bukan karena ada undang-undang atau peraturan Negara.
  16. Apakah Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001?

    Jawabannya: Keberhasilan Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa diukur dari wilayah kota, tetapi harus menjadi barometer keberhasilan dilihat dari kaca mata daerah-daerah pedesaan dan pedalaman.

    Persoalan Pendidikan dan Kebudayaan ini Paradoks, ada kesenjangan atau ada jurang yang besar antara kota dengan daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, maka perlu ada penelitian yang lebih jujur, terbuka dan konprehensif untuk mengukur kemajuan bidang pendidikan.

    Tetapi, pada umumnya pendidikan dalam Otonomi Khusus terjadi kemunduran signifikan. Karena fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Kesediaan tenaga pengajar yang sangat minim, bahkan ada sekolah yang tidak ada guru. Tenaga pengajar tinggalkan tugas dari daerah alasan tidak nyaman karena operasi militer Indonesia.

  17. Apakah Bab XVII Kesehatan sungguh-sungguh mendapat perhatian serius dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: Pelayanan Kesehatan semakin buruk dan kematian orang Asli Papua memingkat secara signifikan. Kejadian ini sangat kontras dengan pelayanan kesehatan pada zaman pemerintahan Belanda dan misionaris asing. Apakah bangsa Indonesia membawa malapetaka untuk orang Asli Papua? Jadi, jawabannya: Pelayanan Kesehatan GAGAL.
  18. Apakah Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan benar-benar Orang Asli Papua mendapat perlindungan dan keberpihakan dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Karena, OAP sudah menjadi tamu di atas Tanah leluhur mereka.
  19. Apakah Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup sudah sesuai dengan amanat UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL.
  20. Apakah Bab XX Sosial benar dan serius dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan perhatian dan perlindungan OAP dalam interaksi sebagai masyarakat adat Papua? Jawabannya: GAGAL.
  21. Apakah Bab XXI Pengawasan dapat berfungsi secara benar dan maksimal sesuai UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
  22. Apakah Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan dapat dilaksanakan dengan efektif sesuai dengan amanat konstitusi Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL.
Dari semua Bab dan Pasal yang tercantum dalam Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, satupun tidak dilaksanakan. Karena itu, Otonomi Khusus GAGAL Total. Rakyat Papua menyatakan Otsus gagal. Dewan Gereja Papua (WPCC) menyatakan Otonomi Khusus sudah mati.

3. ADA 5 AKAR PERSOALAN PAPUA

Akar persoalan Papua sudah jelas dalam penjelasan LATAR BELAKANG HISTORIS LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS 2001. Bagian ini, perlu diketahui 4 (empat) akar persoalan Papua yang dipetakkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map.

Baca juga: (Arti Otonomi (Khusus) Dalam Politik Otonamisasi NKRI Di Papua)

Menurut LIPI ada 4 akar persoalan Papua. Dewan Gereja Papua (WPCC) melihat ada akar masalah yang perlu dilihat sebagai jantungnya persoalan Papua, yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN yang melahirkan 4 akar masalah yang dirumuskan LIPI. Jadi, sesungguhnya ada 5 akar persoalan Papua.
  1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
  2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
  3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
  4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
  5. Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber dari akar masalah butir 1-4.

4. SUARA DEWAN GEREJA PAPUA (WPCC), 57 PASTOR KATOLIK PRIBUMI PAPUA DAN PARA PEMIMPIN GEREJA DI TANAH PAPUA

Untuk penyelesaian 5 akar persoalan Papua, Dewan Gereja Papua (WPCC), 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Para pemimpin Gereja mendesak Pemerntah Republik Indonesia untuk perundingan damai dan serara dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Berikut ini pernyataan dukungan dari para pemimpin Gereja-gereja di Papua:
  1. Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
  2. Surat pastoral Dewan Gereja Papua (WPCC) tertanggal 16 Februari 2019, dan 26 Agustus 2019 serta 13 September 2019 sebagai berikut.
    • Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).
    • Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
    • Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).
  3. Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:

    "Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral."
  4. Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: " Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan."
  5. Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: "Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi 'separatis, TPN, OPM, GPK, makar' dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan."
  6. Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: "Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia."
  7. Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak."
Baca juga:

Selamat Membaca. Tuhan memberkati.

Ita Wakhu Purom, 22 Juli 2020.
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____
Nomor Kontak: 08124888458


Posted by: Admin
Copyright © Dr. Socratez Yoman"sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

ULMWP Otoritas Bangsa Papua Menuju Negara West Papua

Buletinnusa
ULMWP Otoritas Bangsa Papua Menuju Negara West Papua
FOTO: Para pemimpin perjuangan kemerdekaan West Papua dalam pertemuan Evaluasi Tahunan dan Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT-LB) United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) di Port Moresby, Ibukota negara Papua New Guinea (PNG) pada 15-19 Desember 2019, pasca kemenangan West Papua di ACP dengan 79 negara. Pertemuan tersebut juga dihadiri langsung Gubernur Port Moresby dan Distrik Ibu Kota Nasional, Hon. Powes Parkop dan Gubernur Provinsi Oro Hon. Gary Juffa. Kedua pemimpin negara Papua New Guinea. (Foto. doc. Departemen Politik ULMWP)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Oleh: Dr. Ibrahim Peyon)*

ARTIKEL | Sejak United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibentuk oleh tiga faksi perjuangan utama West Papua, semua organ-organ perjuangan dan mayoritas bangsa Papua menyambut dengan semangat euforia kebangkitan, dan mendukung penuh ULMWP. Dukungan rakyat Papua diikuti oleh Dewan Gereja-Gereja Papua yang memiliki basis terbesar umatnya Orang Asli Papua (OAP). Dengan perkembangan dan kemajuan yang dicapai ULMWP di dunia internasional, Majelis Rakyat Papua (MRP) dari dua Provinsi Papua dan Papua Barat melakukan Sidang Pleno Luar Biasa dan merekomendasikan Presiden Jokowi untuk melakukan dialog dengan ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua [West Papua]. Rekomendasi ini merupakan sebagai bentuk pengakuan dan dukungan MRP Papua dan Papua Barat terhadap ULMWP.

Dalam perkembangan itu, Jaringan Damai Papua (JDP) masih tetap konsisten dengan misi dan agendanya mendorong dialog damai Jakarta – Papua untuk menyelesaikan berbagai persoalan di Papua. Para pendiri dan tokoh-tokoh yang terlibat dalam JDP mayoritasnya adalah kaum rohaniawan Katolitik, Akademisi dan Aktivis HAM Gereja Katolik, maka para Pastor, Uskup dan Gereja Katolik secara hirarki tidak mendukung ULMWP. Mereka anggap ULMWP sebagai separatis sebagaimana pernah dikemukan oleh Uskup Jayapura beberapa tahun lalu.

Tetapi seiring perkembangan dinamika politik dan kemajuan diplomasi ULMWP semakin maju hingga puncaknya mencapai dukungan 79 negara African, Caribbean and Pacific (ACP), dan dukungan bangsa Papua makin masif, dan para 57 Pastor Pribumi Papua itu tidak bisa menahan kegelisahan hati mereka. Mereka juga tidak bisa membiarkan suara jeritan umat mereka di tanah Papua. 57 Pastor pribumi Papua yang dipimpin pastor John Bunay Pr, selaku Ketua JDP telah menyatakan kegelisahan mereka, mengakui dan mendukung ULMWP dan agenda referendum Papua yang diperjuangkan ULMWP sebagai lembaga politik resmi bangsa Papua. Dukungan dan pengakuan terhadap ULMWP oleh 57 pastor pribumi Papua ini membuktikan bahwa seluruh rakyat bangsa Papua, seluruh lembaga-lembaga Gereja, Adat, Pemerintah dan Organisasi di Papua telah bersatu dan mendukung penuh ULMWP.

Secara simbolik, sikap 57 pastor pribumi Papua ini merupakan sikap protes dan pukulan telat terhadap para Uskup Migran di lima keuskupan tanah Papua yang membisu dan terkesan mendukung kejahatan pemerintah Indonesia di tanah Papua. Sekaligus teguran dan pukulan keras terhadap hirarki Gereja Katolik yang bicara retorika keadilan dan perdamaian dalam kitab-kitab suci, tetapi takut berbicara tentang realita penindasan dan kejahatan Indonesia di tanah Papua.

Sikap 57 pastor asli Papua yang dipimpin oleh pastor John Bunay Pr selaku Ketua JDP yang secara terbuka mengakui dan mendukung ULMWP serta agenda Referendum adalah sikap politik tranformatif dan spektakuler dengan meninggalkan agenda dialog Jakarta - Papua yang diusung bertahun-tahun selama ini. Sikap politik seperti ini patut diapresiasi dan keputusan yang cerdas demi masa depan umat dan bangsa mereka.

Maka hari ini ULMWP dan agenda referendum didukung oleh seluruh bangsa Papua, seluruh organisasi sipil, seluruh gereja, lembaga pemerintah DPR dan MRP di dua provinsi Papua, DPRD Kabupaten / Kota di seluruh Papua, sebagaimana mereka telah merekomendasikan kepada Jokowi di Jakarta tahun 2019 lalu pasca demo rasisme.

Baca juga:
  1. Legitimasi dan Pengakuan Terhadap ULMWP
  2. Dukungan 79 Negara dan ULMWP Menuju Status Pemerintahan West Papua

Melihat perkembangan ini, agenda Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II secara otomatis sudah tolak dan tidak ada tempat di tanah Papua. Maka penolakan secara formalitas harus dilakukan dengan demo damai, petisi, dan pengumpulan data yang akan difasilitasi oleh MRP. Dengan demikian beberapa orang di Jakarta yang bicara Otsus Jilid II itu akan kami katakana mewakili siapa? mendapat legitimasi dari mana? Sebaiknya orang-orang ini harus berhenti berbicara demi kepentingan diri mereka sendiri.

Kini seluruh orang Papua sudah bersatu, mengakui dan mendukung penuh ULMWP. Dengan legitimasi itu, ULMWP sudah menjadi otoritas penuh atas Bangsa Papua, dan siap menuju pemerintahan West Papua.

________
)*Penulis adalah lulusan Cum Laude Munich of University dan Dosen Anthropologi Uncen.


Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Ibrahim Peyon "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Kamis, 23 Juli 2020

Masa Depan Orang Papua Tidak Tergantung Pada Otsus Jilid I, II, III dst -

Buletinnusa
Masa Depan Orang Papua Tidak Tergantung Pada Otsus Jilid I, II, III dst -
FOTO: Pdt. Esron Abisay (doc. pribadi)
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Oleh: Pdt. Esron Abisay

Masa depan orang papua hanya ditentukan oleh orang papua sendiri. Ketika resesi ekonomi melanda indonesia pada tahun 1997-1998, di indonesia terjadi demonstrasi besar-besaran yang mengakibatkan Soeharto sebagai presiden lengser dan lahirlah orde Reformasi. Dalam semangat Reformasi total pemuda dan mahasiswa Papua tdk ketinggalan namun mereka turun kejalan-jalan dan memprotes pelanggaran HAM berat sejak aneksasi indonesia atas papua tahun 1962. Dalam semangat Reformasi lahirlah kaum intelektual papua dan membentuk Forum Rekonsiliasi Irian Jaya (Foreri) memediasi pertemuan tim 100 Papua bersama presiden JB. Habibi pada tanggal 26 pebruari 1999. Hasil tim 100 adalah minta Merdeka, namun Presiden JB. Habibi menyampaikan pulang dan renungkan. Guna menindak lanjuti hasil perenungan maka lahirlah MUBES di sentani dari tanggal 23-26 Februari 2000. Mubes melahirkan rekomendasi menyelenggarakan Kongres Papua II. Maka terselenggaranya Kongres Papua II di Gor Jayapura tgl 29 Mei-4 Juni 2000.

Dalam Kongres tersebut memutuskan beberapa hasil sbb:
  1. Pelurusan Sejarah Papua
  2. Agenda Politik Papua
  3. Konsolidasi Komponen Papua
  4. Hak-hak dasar rakyat papua
  5. Resolusi Kongres Papua II tahun 2000
Informasi ini saya menulis dengan tujuan untuk membantu semua komponen orang Papua yang berkompeten tidak terulang kesalahan di luar dari apa yangg sudah putuskan pada Kongres Papua I maupun Kongres Papua II sebagai dasar berpijak orang Papua.

Otsus Jilid I adalah salah satu jawaban win-win [solusi tengah] oleh Jakarta atas 5 Resolusi Kongres Papua II di atas, sebab menurut Jakarta 5 resolusi Kongres tersebut sangat berat, maka dikasih Otsus yang tidak ada dalam 5 Resolusi Kongres Papua II.

Untuk itu kepada yang mulia pejabat orang Papua di semua arus kalau Otsus Jilid I mau berakhir, jangan cepat membuat keputusan tanpa memperhatikan laterbelakang lahirnya Otsus. Sebab di erah Otsus Jilid I banyak terjadi kesimpangsiuran maka terjadilah pelanggaran HAM yang tidak ada penghormatan kepada orang Papua.

Dengan demikian menurut hemat saya, MRP dan MRP-PB harus duduk dan merekonstruksi kembali hasil Resolusi Kongres Papua II, lalu menyampaikan kepada pemerintah pusat bahwa yang dimintah oleh orang Papua bukan Otsus, tetapi isi dari 5 resolusi salah satunya adalah resolusi poin ke-2 yaitu agenda politik.

Untuk itu agenda politik yang perlu diusung oleh MRP Papua dan Papua Barat adalah :

  1. Membuat Mosi Tidak Percaya kepada pemerintah Indonesia.
  2. Melanjutkan hasil kongres Papua II dan menyelenggarakan Kongres Papua III dengan fokus 5 agenda kongres Papua II, terutama resolusi ke-2 hak politik.

Langkah-langkah menuju hak politik adalah tinjau kembali Resolusi PBB bersama indonesia, Belanda, Inggris, Australi dan Amerika nomor: 171, 2621, 1514 dan 1541 melalui dialog internasional yang dimediasi pihak ketiga, agar menyelesaikan masalah Papua secara konstruktif dan bermartabat.

Maka jangan ada lagi dusta diantara sesama orang Papua, yang berteriak Papua adalah Indonesia, Indonesia adalah Papua.

Baca juga:
Kepada Senator orang asli papua yang pintar jangan sibuk berpikir dana Otsus Jilid II, tolong gunakan kepintaran-mu seperti Yusuf di istana Firaun dan jangan licik seperti Yudas di istanah Herodes.

Salam hormat bagi pembaca dimana saja berada.

Jayapura, 4 Juli 2020.


Posted by: Admin
Copyright ©Esron Abisay "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

ULMWP: Pembunuhan di Nduga Menunjukkan Bahwa Kemerdekaan adalah Satu-satunya Solusi untuk West Papua

Buletinnusa
Masyarakat Nduga pada hari Minggu (19/7/2020) seharian menduduki jalan ke Bandara Keneyam menuntut jenazah Selu dan Elias Karunggu dimakamkan di ujung bandara Keneyam - Dok. Jubi
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

JAYAPURA | Menyikapi menembakan oleh militer Indonesia terhadap 2 orang rakyat sipil di Nduga pada tanggal 18 Juli 2020, Ketua ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) menegaskan pentingnga hari ini rakyat West Papua sadar dan bersatu untuk menyatakan sikap. Hal itu ditegaskan pemimpin kemerdekaan West Papua, Benny Wenda melalui pernyataan tertanggal 22 Juli 2020.

UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA
International Secretariat, Winston Churchill Street, 1571 Port Vila, Republic of Vanuatu.

STATEMENT
22 JULI 2020

Jumlah rakyat West Papua yang tidak bersenjata yang mati dibunuh oleh tentara Indonesia di Kabupaten Nduga bertambah dua jiwa. Pembunuhan ini, beserta dengan habis berlakunya undang-undang tentang otonomi khusus pada tahun ini, adalah bukti dari niat Jakarta untuk menghabisi rakyat West Papua. Pada tahun ini, hanya ada satu solusi: sebuah referendum dan kemerdekaan untuk rakyat West Papua.

Elias Karunggu (40 tahun) dan Seru Karunggu (20 tahun), ayah dan anak, ditembak mati pada hari Sabtu, 18 Juli 2020. Mereka dipaksa mengungsi dari rumah mereka selama berbulan-bulan karena brutalitas operasi militer Indonesia yang sudah berlangsung di Nduga sejak Desember 2018.

Pada awalnya, kita berharap bahwa pandemi COVID-19 akan memaksa Polisi dan Tentara Indonesia untuk menghentikan represi brutal mereka, agar mereka bisa memfokuskan diri untuk menangani krisis kesehatan ini. Namun, Jakarta malah menggunakan krisis ini sebagai kesempatan untuk melanjutkan perang mereka dalam menghabisi rakyat Melanesia di West Papua. Bulan lalu, semakin banyak tentara Indonesia yang dikerahkan ke West Papua – untuk apa? Hanya ada satu alasan tujuan militerisasi semacam ini, yaitu: pembersihan etnis dan genosida. Lebih dari 45000 jiwa dipaksa mengungsi dari rumah mereka di Nduga sejak Desember 2018.

Operasi-operasi militer ini harus dihentikan secepatnya. Saya menyerukan kepada Presiden Indonesia agar semua tentara Indonesia di West Papua ditarik kembali, agar rakyat sipil yang terpaksa mengungsi dari tanah mereka sendiri diperbolehkan untuk kembali ke kampong mereka secara damai. Rumah sakit dan sekolah-sekolah di sana masih belum berfungsi, dan rakyat Nduga masih belum bisa kembali ke rumah mereka. Ini adalah krisis ganda untuk rakyat Nduga: krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh tentara Indonesia, dan COVID-19 yang diperparah oleh penjajahan brutal yang menghancurkan sistem kesehatan dan cara hidup kita.

Saya seruhkan kepada semua rakyat-ku untuk bersatul! Entah itu anda sebagai pegawai negeri, rakyat biasa, ataupun orang Indonesia yang lahir besar di West Papua, semua harus bersatu untuk untuk menyatakan menolak Undang-Undang Otonomi baru dan menuntut untuk diadakannya referendum [kemerdekaan West Papua]. Mulai hari ini, anda akan menentukan nasibmu dan nasib generasi-generasimu yang akan datang. Indonesia sedang secara terang-terangan dengan niat jahat sedang menghabisi rakyat Papua secara sistematis, dan kejadian-kejadian pada tahun lalu menunjukkan bahwa rasisme dan diskriminasi sudah tertanam di dalam proyek kolonial Indonesia. Sekarang kita semua harus bersatu dan bertindak sekarang. Ini adalah seruan saya kepada kita semua.

Kepada dunia internasional, khususnya kepada pemerintahan negara-negara Melanesia (MSG), Forum Kepulauan Pasifik (PIF), Uni Eropa dan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB): jangan mendukung Undang-Undang Otonomi baru di West Papua. Jika kalian mendukung Undang-Undang baru ini, maka sama saja kalian secara langsung dan tidak langsung mendukung pembunuhan rakyat Papua melalui pemerintahan Indonesia, seperti pembunuhan Elias Karunggu dan Seru Karunggu pada hari Sabtu kemarin. Kami tidak mau mengalami nasib yang sama seperti rakyat pribumi di Australia dan Amerika Utara. Kami tidak mau lingkungan kami dihancurkan dan dicemarkan oleh penjajahan Indonesia. Kalian semua harus mendukung seruan kami untuk merdeka, sebelum terlambat.

Terhadap semua kelompok solidaritas kami di seluruh dunia, kami mohon agar kalian terus mendukung kami. Rakyat Indonesia mulai sadar dan mendukung rakyat West Papua, dan di Indonesia gerakan Black Lives Matter mulai berkembang menjadi suatu gerakan Papuan Lives Matter. Saat ini, kami memerlukan solidaritas, perhatian dan dukungan dari kalian semua.

Kepada Indonesia: tidak ada solusi lain untuk masalah ini, yang sudah berlangsung selama 57 tahun. Kami tidak akan menyerah sampai diberikan referendum untuk menentukan kemerdekaan West Papua. Setiap rakyat Papua yang dibunuh oleh tentara Indonesia hanya menambah tekad dan keyakinan kami, dan membuat kami bertambah kuat.


Posted by: Admin
Copyright ©ULMWP Official site "sumber" 
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Selasa, 21 Juli 2020

57 Pastor Pribumi Papua Serukan Referendum untuk Papua

Buletinnusa
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Jayapura, – 57 Pastor Pribumi Papua yang dikoordinatori oleh Jhon Alberto Bunay, menyatakan agar pemerintah Indonesia menggelar referendum di West Papua. Para pastor menilai pemerintah Indonesia tidak perlu takut untuk menyatakan referendum bagi Papua Barat, sebab itu akan mendatangkan keuntungan bagi Indonesia.

“Pemerintah Indonesia bisa menetapkan sikap dan keputusan terbaiknya atas Papua, yang masih menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan wilayah teritorial hukum Indonesia untuk pelaksanaan referendum bagi tanah Papua,” katanya membacakan seruan jilid II 57 Pastor Katolik pribumi dari lima keuskupan Se regional Papua, saat jumpa pers di kediaman Pastoran Kondius, Abepura, Selasa (21/7/2020).

Bunay katakan, pemerintah Indonesia harus membuat suatu keputusan politik yang spektakuler dan sangat prestitusius, untuk memberikan kesempatan referendum bagi Papua. Apa pun hasil putusan dari referendum nanti, harus diterima Indonesia.


“Kami berpikir, dengan digelarnya referendum bagi West Papua akan membantu sepenuhnya pembenahan Papua pasca keputusan politik yang hebat itu,” katanya.

Pihaknya meminta Pemerintah Indonesia, jangan pikir tentang untung atau rugi atas sumber daya alam di Papua, bila ada referendum.

“Bila dari hasil referendum yang digelar dengan jujur dan adil itu ternyata mayoritas Rakyat Papua memilih merdeka, maka merdekalah Papua. Di sana Pemerintah Indonesia tetap ada bersama Papua untuk membawa Papua sebagai pemimpin di Melanesia mencapai zaman keemasan Pasifik, supaya tidak ada lagi air mata dan darah lagi di atas tanah Papua bersama Indonesia,”katanya.
Lanjut Bunay, di alam kemerdekaan Papua itu, bangsa Papua adalah saudara dan sahabat sejati bangsa Indonesia. Papua adalah mitra penyangga utama Indonesia dalam menyongsong Indonesia raya, menuju zaman keemasan nusantara agung adi daya di Asia sekaligus The New Super Power Of The 17 world menggantikan hegemoni Amerika dan dunia barat.

“Saat itulah, Papua dan Indonesia akan tampil sama-sama sebagai suatu kekuatan pembaharuan masyarakat global, disitulah indonesia akan diakui juga sebagai negara demokrasi terbesar di dunia,” katanya.

Bunay mengatakan, pemikiran tranformatif, menuju indonesia raya & Papua yang damai sejahtera, merupakan titik temu kompromi yang adil dan bermartabat.

“Pihak Indonesia dan Papua sama-sama sepaham dan menjunjung tinggi nilai kehidupan manusia yang ada di bumi Papua, berlandaskan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Segenap manusia yang hidup di negeri itu, dari entitas budaya dan suku bangsa manapun, sehingga ada tekad untuk berhenti saling menindas dan saling membantai,”katanya.


Bunay mengatakan, pemerintah dan segenap rakyat Indonesia perlu mengakui dan menjunjung tinggi harkat, derajat dan martabat orang asli papua sebagai tuan di atas negeri pusaka miliknya.

“Karena itu, orang Papua harus memimpin negerinya sendiri. Harus ada kebebasan yang bertanggungjawab di tangan rakyat Papua atas negerinya, dan atas hubungannya dengan saudara angkatnya Indonesia,” katanya.

Belum lama ini Pendiri serta anggota Dewan Gereja Papua, Pdt Dr Socrates S Yoman menyatakan penolakan terhadap otonomi khusus dan menuntut hak penentuan nasib sendiri melalui referendum.

“Kami sebagai orang asli Papua bilang, Otsus Papua sudah gagal. Kami sebagai gereja, sebagai pemegang suara mandat umat Tuhan, mereka berikan kepercayaan kepada kami untuk menyampaikan Otsus sudah gagal. Kami dari Dewan Gereja Papua berkesimpulan bahwa Otsus itu mati, (silahkan) dialog dengan United Liberation Movemet For West For West Papua (ULMWP),” katanya.

Yoman menyatakan rakyat Papua mengetahui, Pemerintah Republik Indonesia pernah berunding dengan para tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Jika pemerintah Indonesia memang tidak bersikap diskriminatif terhadap orang Papua, pemerintah Indonesia seharusnya juga mau berunding dengan ULMWP sebagai representasi orang Papua.

“Jika perundingan ini tidak dilakukan, berarti itu diskriminasi rasial yang luar biasa. Dalam konflik Aceh, Indonesia bisa berunding dengan GAM di Helsinki. Perundingan serupa itu harus dilakukan di Papua,” kata Yoman.

Yoman menyatakan Dewan Gereja Papua menilai Indonesia tidak berani berunding dengan ULMWP, dan seharusnya pemerintah Indonesia lebih membuka diri untuk bertemu ULMWP. Yoman mengatakan pemerintah Indonesia harus berani membuka diri bagi kemungkinan adanya pihak ketiga yang memfasilitasi perundingan antara pemerintah Indonesia dan ULMWP.

“Kalau Indonesia negara demokrasi, harus menunjukan sikap keberanian. Samakan Papua seperti Aceh, dimana disepakati bendera GAM berkibar, partai lokal dibentuk. Jangan memandang orang Papua rendah, sehingga tidak mau berunding. Kami, gereja di Papua tawarkan, harus ada perundingan dengan ULMWP,” kata Yoman. (*)

Baca juga:
  1. Ketua ULMWP: Satu-satunya Solusi untuk West Papua adalah Referendum, Bukan “Otonomi”
  2. Victor Mambor: Dulu OPM, Sekarang Namanya ULMWP

Posted by: Admin
Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Senin, 20 Juli 2020

ULMWP adalah Roh OPM - Dulu OPM, Sekarang Namanya ULMWP

Buletinnusa
ULMWP adalah Roh OPM - Dulu OPM, Sekarang Namanya ULMWP
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Oleh Gembala Dr. Socratez S.Yoman,MA
#Melawan RASISME #Black Lives Matter #West Papua Lives Matter
"Dulu OPM, Sekarang namanya ULMWP." (Victor Mambor, Wartawan Senior Papua, wartawan berani yang dimiliki orang Papua dan Melanesia).

Victor Mambor sebagai wartawan senior sudah pasti memiliki referensi yang kredibel dan dokumen-dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Kredibilitas dan integritas Victor Mambor tidak diragukan lagu bagi rakyat Papua, Malanesia, Pasifik di Indonesia bahkan komunitas global. Tentu saja, Victor adalah saksi mata kebiadaban militer Indonesia terhadap orang tuanya dan juga para pemimpin OPM lain pada waktu tahun 1960-an sampai 1970-an.

Penyataan Victor, "Dulu OPM, Sekarang namanya ULMWP" adalah penegasan terhadap eksistensi ULMWP sebagai wadah resmi politik yang dimiliki rakyat dan bangsa West Papua sebagai "perahu" atau "honai" bersama.

Pernyataan Victor Mambor juga satu roh dengan Filep J.S. Karma, Rex Rumakiek, dan Mikha G.
"Ketua resmi OPM dan ULMWP itu Tuan Benny Wenda. Karena, OPM adalah ULMWP dan ULMWP adalah OPM." (Filep.J.S. Karma).
"ULMWP adalah roh baru dari OPM." (Rex Rumakiek).
"ULMWP adalah kita dan kita adalah ULMWP" ( Mikha G.).
Pengakuan ULMWP adalah wujud dari roh OPM sangat rasional dan sesuai dengan dinamika sejarah panjang perjuangan rakyat dan bangsa West Papua dari tahun 1960-an.

Bibit dan benih-benih untuk lahirnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) itu sudah ditaburkan sejak tahun 1960-an -1970-an dengan darah, air mata dan keringat di hutan-hutan, pesisir pantai, pedalaman bahkan sampaikan di Luar Negeri oleh para pejuang sejati West Papua Merdeka yang terwadahi dalam PERAHU dan HONAI besar, yaitu OPM di Senegal, Dakar, di Swedia, OPM di Belanda, OPM di Australia, OPM di Vanuatu, dan OPM di PNG.

Victor Mambor menegaskan: "Dulu OPM, Sekarang, namanya ULMWP." Tepat dan benar apa yang dikatakan wartawan senior yang dimiliki orang Melanesia atau seorang tokoh yang dengan gigih dan berani selalu menjadi penyambung suara rakyat tak bersuara dan terbaikan.

Sekarang ULMWP ada di Belanda. ULMWP ada di Amerika. ULMWP ada di Inggris. ULMWP ada di Afrika, ULMWP ada di Australia. ULMWP Selandia Baru, ULMWP ada di Neggara-Negara Pasifik, ULMWP ada di ACP, dan ULMWP ada hampir dikenal dan diakui dan didukung semua orang yang berpikiran rasional dan realistis.

Karena, "Dulu OPM, Sekarang, nama ULMWP" yang berjuang dengan jalan damai, lobby, dan diplomasi, maka Dewan Gereja Papua (WPCC), Konferensi Dewan Gereja Pasifik (PCC), Dewan Gereja Dunia (WCC) mendukung ULMWP dan mendesak Pemerintah Indonesia mengadakan perundingan damai dengan UMLWP.

Surat pastoral Dewan Gereja Papua (WPCC) mendukung ULMWP tertanggal 16 Februari 2019, dan 26 Agustus 2019 serta 13 September 2019 sebagai berikut:
  1. Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).
  2. Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
  3. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).

Selamat Membaca. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 18 Juli 2020.

Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____

Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com