Perihal: Surat Terbuka Ungkapan Hati Nurani Orang Asli Papua
Kepada Yang Terhormat,
Presiden Republik Indonesia,
Ir. Joko Widodo
Di JAKARTA.
__________________
Shalom!
Melalui surat terbuka ini, saya ingin menyampaikan kepada bapak Presiden Republik Indonesia dengan jujur dan terbuka tentang isi hati dan alasan rakyat Papua, terutama Orang Asli Papua tidak bersedia menerima dan menolak Otonomi Khusus Jilid II. Rakyat Papua sudah berulang-ulang menyatakan bahwa Otonomi Khusus 2001 telah gagal. Otonomi Khusus telah menimbulkan banyak masalah tragedi kemanusiaan yang berat yang dialami penduduk aali Papua.
Bapak Presiden yang mulia, saya menyampaikan latar belakang historis lahirnya Otonomi Khusus 2001, fakta kegagalan Otonomi Khusus 2001, dan 5 akar persoalan Papua serta jalan penyelesaian sebagai bahan masukan kepada bapak untuk melihat persoalan Papua secara jernih dan utuh.
Rakyat Papua, terutama Orang Asli Papua, tidak bersedia menerima dan menolak Otonomi Khusus jilid II dan menuntut Penentuan Nasib Sendiri/Referendum sebagai solusi perdamaian permanen bagi Indonesia dan rakyat Papua.
I. LATAR BELAKANG HISTORIS LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS 2001
Pemerintah Republik Indonesia jangan memutarbalikan dan menghilangkan fakta historis lahirnya Undang-undang Otonomi Khusus nomor 21 Tahun 2001 yang terdiri dari 24 Bab dan 79 Pasal.
Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 adalah Undang-undang Win Win Solution (Penyelesaian Menang Menang) status politik bangsa West Papua dalam wilayah Indonesia.
Latar belakang lahirnya Undang-undang Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 karena
pasca tumbangnya kekuasaan Soeharto pada 1998, seluruh rakyat dan bangsa West Papua merapatkan barisan dan membangun kekuatan bersama dan menuntut kemerdekaan dan berdaulat penuh bangsa West Papua dengan cara damai mengibarkan bendera Bintang Kejora di seluruh Tanah Papua. Banyak korban rakyat berjatuhan di tangan TNI-Polri.
1. Delegasi Tim 100 mewakili rakyat dan bangsa West Papua pertemuan dengan Prof. Dr. B.J. Habibie di Istana Negara Republik Indonesia pada 26 Februari 1999.
"....dengan jujur kami menyatakan kepada Presiden Republik Indonesia, bahwa tidak ada alternatif lain untuk merundingkan atau mempertimbangkan keinginan Pemerintah Indonesia guna membangun Papua dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada hari ini, Jumat, 26 Februari 1999, kepada Presiden Republik Indonesia, kami bangsa Papua Barat menyatakan bahwa:
- Pertama, kami bangsa Papua Barat berkehendak keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan untuk merdeka dan berdaulat penuh di antara bangsa-bangsa lain di bumi."
- Kedua, segera membentuk pemerintahan peralihan di Papua Barat dibawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara demokratis, damai dan bertanggungjawab, selambat-lambatnya bulan Maret tahun 1999.
- Ketiga, Jika tidak tercapai penyelesaian terhadap pernyataan politik ini pada butir kesatu dan kedua , maka;
(1) segera diadakan perundingan Internasional antara Pemerintah Republik Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB);
(2) Kami bangsa Papua Barat menyatakan, tidak ikut serta dalam pemilihan Umum Republik Indonesia tahun 1999.
2. Musyawarah Besar (MUBES) 23-26 Februari 2000.
Dari 7 butir keputusan peserta MUBES, pada butir 4 dinyatakan:
"Bahwa kami bangsa Papua Barat setelah berintegrasi dengan Indonesia melalui pelaksanaan pepera yang tidak adil dan penuh kecurangan, dan setelah 36 tahun berada dalam Negara Republik Indonesia, bangsa Papua Barat mengalami perlakuan-perlakuan keji dan tidak manusiawi: Pelanggaran berat HAM, pembunuhan, pemerkosaan, pembodohan, pemiskinan, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada etnik dan kultur genocide bangsa Papua Barat,maka kami atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-memisahkan diri dari negara Republik Indonesia kembali ke status kami semula sebagai bangsa dan negara Papua, 1 Desember 1961."
3. Kongres Nasional II Rakyat dan Bangsa Papua Barat, 26 Mei - 4 Juni 2000
Kongres yang dibiayai oleh Presiden Republik Indonesia, Abdulrrahman Wahid ini diputuskan beberapa butir keputusan politik sebagai berikut:
3.1. Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961.
3.2. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak New York Agreement 1962 yang cacat hukum dan cacat moral karena tidak melibatkan wakil-wakil bangsa Papua.
3.3. Bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil-hasil pepera, karena dilaksanakan dibawah ancaman, intimidasi, pembunuhan sadis, kekerasan militer dan perbuatan-perbuatan amoral diluar batas-batas perikemanusiaan. Karena itu bangsa Papua menuntut PBB untuk mencabut Resolusi PBB Nomor 2504 tanggal 19 Desember 1969.
3.4. Indonesia, Belanda, Amerika Serikat,dan PBB harus mengakui hak politik dan kedaulatan Bangsa Papua Barat yang sah berdasarkan kajian sejarah, hukum, dan sosial budaya.
3.5. Kejahatan terhadap kemanusiaan di Papua Barat yang terjadi sebagai akibat dari konspirasi politik internasional yang melibatkan Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, dan PBB, harus diusut tuntas dan pelaku-pelakunya diadili di peradilan Internasional.
3.6. PBB, AS, dan Belanda agar meninjau kembali keterlibatan mereka dalam proses aneksasi Indonesia atas Papua Barat dan menyampaikan hasil-hasilnya secara jujur, adil dan benar kepada rakyat Papua pada 1 Desember 2000.
Bapak presiden yang mulia dan terhormat. Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 tidak turun sendiri dari langit. Otonomi Khusus 2001 lahir karena ada tuntutan rakyat dan bangsa Papua Barat untuk merdeka dan berdaulat.
Menjadi jelas dan terang latar belakang lahir Otonomi Khusus melalui proses dari Tim 100, Mubes 23-26 Februari 2000 dan Kongres II Nasional rakyat dan bangsa Papua Barat pada 26 Mei-4 Juni 2000, yaitu rakyat dan bangsa Papua Barat menyatakan berhak atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1 Desember 1961.
II. FAKTA KEGAGALAN OTONOMI KHUSUS 2001
Pesan Konstitusi Negara Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus Papua Nomor 21 Tahun 2001 BUKAN Undang-undang KEUANGAN karena masih ada 23 Bab dan 70 Pasal yang ditetapkan tentang persoalan mendasar di Papua.
Bab I Ketentuan Umum. Bab II Lambang-Lambang. Bab III Pembagian Daerah. Bab IV Kewenangan Daerah. Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan. Bab VI Perangkat dan Kepegawaian. Bab VI Partai Politik. Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur. Bab IX Keuangan. Bab X Perekonomian. Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat. Bab XII Hak Asasi Manusia. Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua. Bab XIV Kekuasaan Peradilan. Bab XV Keagamaan. Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan. Bab XVII Kesehatan. Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan. Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup. Bab XX Sosial. Bab XXI Pengawasan. Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan. Bab XXIII Ketentuan Peralihan. Bab XXIV Ketentuan Penutup.
Pertanyaannya ialah apakah Pemerintah Republik Indonesia sungguh-sungguh melaksanakan seluruh konstitusi Negara yang terdiri dari 24 Bab ini?
- Apakah Bab I Ketentuan Umum sudah dilaksanakan dengan benar oleh Pemerintah Republik Indonesia Jawabannya: GAGAL.
- Apakah Bab II Lambang-Lambang sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
- Apakah Bab III Pembagian Daerah diimplementasikan dengan benar oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL.
- Apakah Bab IV Kewenangan Daerah sudah diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia di pusat kepada Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
- Apakah Bab V Bentuk Dan Susunan Pemerintahan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang? Jawabannya: GAGAL.
- Apakah Bab VI Perangkat dan Kepegawaian sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan benar dan jujur? Jawabannya: GAGAL.
- Apakah Bab VII Partai Politik sudah diwujudkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Otsus? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
- Apakah Bab VIII Peraturan Daerah Khusus, Peraturan Daerah Provinsi, Dan Keputusan Gubernur sudah dimplementasikan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL karena semua draft Perdasi dan Perdasus ditolak oleh Pemerintah Republik Indonesia.
- Apakah Bab IX Keuangan ini menjadi isi seluruh Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: UU Otsus No.21 Tahun 2001 bukan Undang-undang KEUANGAN.
- Apakah Bab X Perekonomian sudah berhasil meningkatkan taraf ekonomi Orang Asli Papua oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Orang Asli Papua benar tersingsir secara ekonomi dan tidak seperti kehidupan ekonomi di waktu zaman Belanda. Di era Belanda, orang-orang asli Papua mempunyai Toko, Bioskop, Mesin Foto Copy, Restoran, pemilik Transportasi, dan masih banyak lain.
- Apakah Bab XI Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
- Apakah Bab XII Hak Asasi Manusia sudah mendapat perlindungan dan penghormatan dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Banyak Orang Asli Papua tewas ditangan TNI-Polri. Kejahatan Negara semakin meningkat tajam. Terjadi proses pemusnahan etnis Melanesia secara sistematis. Contoh terbaru pada 18 Juli 2020, TNI masih menewaskan rakyat sipil di Nduga Elias Karunggu (40 tahun) yang masih berbusana koteka dan Seru Karunggu (20 tahun) anak kandung.
- Apakah Bab XIII Kepolisian Daerah Provinsi Papua sudah dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi Negara Republik Indonesia? Jawabannya: TIDAK.
- Apakah Bab XIV Kekuasaan Peradilan benar-benar dilaksanakan sesuai dengan perintah Undang-Undang Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: TIDAK. Karena wajah diskriminasi RASIAL menjadi roh peradilan Indonesia di Papua.
- Apakah Bab XV Keagamaan benar-benar dilaksanakan di Papua? Jawabannya: Di Papua ada kehidupan saling menghormati sesama manusia dan menjaga keharmonisan dan kedamaian antar umat beragama bukan karena ada undang-undang atau peraturan Negara.
- Apakah Bab XVI Pendidikan dan Kebudayaan benar-benar dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan amanat Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001?
Jawabannya: Keberhasilan Pendidikan dan Kebudayaan tidak bisa diukur dari wilayah kota, tetapi harus menjadi barometer keberhasilan dilihat dari kaca mata daerah-daerah pedesaan dan pedalaman.
Persoalan Pendidikan dan Kebudayaan ini Paradoks, ada kesenjangan atau ada jurang yang besar antara kota dengan daerah-daerah pedesaan dan pedalaman, maka perlu ada penelitian yang lebih jujur, terbuka dan konprehensif untuk mengukur kemajuan bidang pendidikan.
Tetapi, pada umumnya pendidikan dalam Otonomi Khusus terjadi kemunduran signifikan. Karena fasilitas pendidikan yang tidak memadai. Kesediaan tenaga pengajar yang sangat minim, bahkan ada sekolah yang tidak ada guru. Tenaga pengajar tinggalkan tugas dari daerah alasan tidak nyaman karena operasi militer Indonesia. - Apakah Bab XVII Kesehatan sungguh-sungguh mendapat perhatian serius dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: Pelayanan Kesehatan semakin buruk dan kematian orang Asli Papua memingkat secara signifikan. Kejadian ini sangat kontras dengan pelayanan kesehatan pada zaman pemerintahan Belanda dan misionaris asing. Apakah bangsa Indonesia membawa malapetaka untuk orang Asli Papua? Jadi, jawabannya: Pelayanan Kesehatan GAGAL.
- Apakah Bab XVIII Kependudukan dan Ketenagakerjaan benar-benar Orang Asli Papua mendapat perlindungan dan keberpihakan dari Pemerintah Republik Indonesia? Jawabannya: GAGAL TOTAL. Karena, OAP sudah menjadi tamu di atas Tanah leluhur mereka.
- Apakah Bab XIX Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup sudah sesuai dengan amanat UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL.
- Apakah Bab XX Sosial benar dan serius dilaksanakan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan perhatian dan perlindungan OAP dalam interaksi sebagai masyarakat adat Papua? Jawabannya: GAGAL.
- Apakah Bab XXI Pengawasan dapat berfungsi secara benar dan maksimal sesuai UU Otsus Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL TOTAL.
- Apakah Bab XXII Kerjasama Dan Penyelesaian Perselisihan dapat dilaksanakan dengan efektif sesuai dengan amanat konstitusi Nomor 21 Tahun 2001? Jawabannya: GAGAL.
Dari semua Bab dan Pasal yang tercantum dalam Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001, satupun tidak dilaksanakan. Karena itu, Otonomi Khusus GAGAL Total. Rakyat Papua menyatakan Otsus gagal. Dewan Gereja Papua (WPCC) menyatakan Otonomi Khusus sudah mati.
III. ADA 5 AKAR PERSOALAN PAPUA
Bapak Presiden, akar persoalan Papua sudah jelas dalam penjelasan LATAR BELAKANG HISTORIS LAHIRNYA OTONOMI KHUSUS 2001. Bagian ini, perlu diketahui 4 (empat) akar persoalan Papua yang dipetakkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map.
Menurut LIPI ada 4 akar persoalan Papua. Dewan Gereja Papua (WPCC) melihat ada akar masalah yang perlu dilihat sebagai jantungnya persoalan Papua, yaitu RASISME dan KETIDAKADILAN yang melahirkan 4 akar masalah yang dirumuskan LIPI. Jadi, sesungguhnya ada 5 akar persoalan Papua.
- Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
- Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
- Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
- Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
- Rasisme dan Ketidakadilan sebagai sumber dari akar masalah butir 1-4.
IV. JALAN PENYELESAIAN
Untuk penyelesaian 5 akar persoalan Papua, Dewan Gereja Papua (WPCC), 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Para pemimpin Gereja mendesak Pemerntah Republik Indonesia untuk perundingan damai dan serara dengan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).
Berikut ini pernyataan dukungan dari para pemimpin Gereja-gereja di Papua:
- Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
- Surat pastoral Dewan Gereja Papua (WPCC) tertanggal 16 Februari 2019, dan 26 Agustus 2019 serta 13 September 2019 sebagai berikut.
2.1. Meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).
2.2 Kami meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
2.3. Mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi surat 13 September 2019).
- Ada seruan bersama dari Persekutuan Gereja-gereja Papua (PGGP) sebanyak 33 Sinode pada 28 Juli 2009 sebagai berikut:
"Pimpinan Gereja-gereja di Tanah Papua menyerukan kepada pemerintah pusat agar segera melaksanakan Dialog Nasional dengan rakyat Papua untuk menyelesaikan masalah-masalah di Tanah secara bermartabat, adil, dan manusiawi yang dimediasi pihak ketiga yang lebih netral."
- Para Pimpinan Gereja di Tanah Papua pada 18 Oktober 2008 menyatakan keprihatinan: " Untuk mencegah segala bentuk kekerasan dan agar orang Papua tidak menjadi korban terus-menerus, kami mengusulkan agar PEPERA 1969 ini diselesaikan melalui suatu dialog damai. Kami mendorong pemerintah Indonesia dan orang Papua untuk membahas masalah PEPERA ini melalui dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Betapapun sensitifnya, persoalan Papua perlu diselesaikan melalui dialog damai antara pemerintah dan orang Papua. Kami yakin bahwa melalui dialog, solusi damai akan ditemukan."
- Konferensi Gereja dan Masyarakat Papua pada 14-17 Oktober 2008 menyerukan: "Pemerintah Pusat segera membuka diri bagi suatu dialog antara Pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua dalam kerangka evaluasi Otonomi Khusus No.21 tahun 2001 tentang OTSUS dan Pelurusan Sejarah Papua. Menghentikan pernyataan-pernyataan stigmatisasi 'separatis, TPN, OPM, GPK, makar' dan sejenisnya yang dialamatkan kepada orang-orang asli Papua dan memulihkan hak dan martabatnya sebagai manusia ciptaan Tuhan sehingga azas praduga tak bersalah harus sungguh-sungguh ditegakkan."
- Gereja-gereja di Tanah Papua pada 3 Mei 2007 menyatakan: "Pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua menjadi masalah baru dan mengalami kegagalan maka solusinya dialog yang jujur dan damai seperti penyelesaian kasus Aceh. Dialog tersebut dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dan yang diminta dan disetujui oleh orang asli Papua dan Pemerintah Indonesia."
- Pimpinan Agama dan Gereja dalam Loka Karya Papua Tanah Damai pada 3-7 Desember 2007 mendesak Pemerintah Indonesia segera menyelesaikan perbedaan ideologi di Papua dengan sebuah dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Pusat dan Orang Asli Papua dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan disetujui oleh kedua belah pihak."
Terima kasih. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, 22 Juli 2020.
Dr. Socratez S.Yoman,.MA
- Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
- Calon Anggota Tetap Dewan Gereja Pasifik (PCC)
- Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
- Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____
Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar