Rabu, 05 Agustus 2020

RI Jangan Hanya Sibuk Kejar Asap, Tapi Padamkan Apinya dengan Jalan Referendum

Buletinnusa
RI Jangan Hanya Sibuk Kejar Asap, Tapi Padamkan Apinya dengan Jalan Referendum
Sejumlah masiswa Papua mengadakan demonstrasi di Jakarta, setelah demonstrasi yang berakhir dengan kerusuhan di Manokwari, Papua. Pemerintah Indonesia telah memblokir jaringan internet di provinsi Papua untuk mencegah penyebaran konten provokatif yang dapat memperburuk situasi. Foto: AFP / Aditya Irawan / NurPhoto
No. 1 PAPUA Merdeka News | Portal

Artikel: Menggugat Indonesia

Rakyat Papua Harus Menggugat Indonesia: Pemerintah Republik Indonesia Jangan Sibuk Kejar Asapnya, Tetapi Padamkan Apinya Dengan Jalan Referendum untuk Penyelesaian 4 Akar Masalah Papua yang Menjadi Bara Apinya dan Luka Membusuk di dalam Tubuh Bangsa Indonesia

Oleh Dr. Socratez S.Yoman

"Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.”(Prof. Dr. Franz Magnes).
Rakyat dan Bangsa West Papua harus menggugat Indonesia dengan menuntut untuk penyelesaian 4 akar persoalan Papua. Empat akar masalah yang lahir dari RASISME dan KETIDAKADILAN. Karena, RASISME dan KETIDAKADILAN adalah JANTUNGNYA persoalan kekejaman dan kejahatan serta kekerasan Negara di Papua yang menahun (kronis).

Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam buku Papua Road Map (2008), yang dipimpin oleh alm. Muridan S.Widjojo bersama dengan Ibu Adriana Elisabeth, Amirudin Al-Rahab, Cahyo Pamungkas dan Rosita Dewi dengan teliti telah berhasil membedah dan mendiagnosa luka membusuk ditubuh bangsa Indonesia.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sudah berhasil membantu penguasa Indonesia menemukan bara apinya dan sekarang tugas penguasa pemerintah Indonesia melangkah untuk mematikan bara apinya, supaya tidak sibuk buang uang, tenaga, waktu untuk mengurus hanya menghalau dan mengusir asapnya, tetapi apinya terus membara.

Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia itu sudah dibedah dan didiagnosa dengan sempurna dan benar dari Tim LIPI. Ada empat penyakit menahun (kronis) yang ditemukan LIPI:
  1. Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;
  2. Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian;
  3. Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri;
  4. Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.
Jantung dari 4 akar masalah ini ialah rasisme dan ketidakadilan. Maka kita harus lawan Rasisme dan Ketidakadilan. Dukung All Black Lives Matter dan West Papua Lives Matter serta Melanesian Lives Matter.

Penulis tetap dan terus-menerus dan konsisten mengutip apa yang ditegaskan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno tentang bara apinya atau luka membusuk di dalam tubuh Indonesia.
"Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus.”
“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (hal.255).
“…kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam.” (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).

Empat akar persoalan Papua sebagai bara api dan luka membusuk di dalam tubuh bangsa Indonesia yang harus diselesaikan karena Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 sudah menjadi masalah baru dan sudah gagal, almarhum dan mati.

Peneliti Pusat Penelitian Kewilayahan, Lembaga Penelitian Indonesia atau LIPI, Cahyo Pamungkas menyatakan: "Otonomi Khusus atau Otsus Papua telah gagal sejak awal." (Sumber: Jubi, 2 Agustus 2020).

Senator dari Aceh/Anggota DPD RI dari Aceh, Fachrul Razi mengatakan:
"Kita harus jujur dan berani menyatakan kebenaran bahwa memang terjadi pelanggaran HAM berat di Papua."
Fachrul lalu mengusulkan: "agar segera dibentuk KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Papua agar persoalan di Papua segera terselesaikan."
“Berikan Papua otonomi yang sangat luas. Sebab saya melihat otonomi khusus Papua saat ini bukan otonomi sebenarnya. Jadi jangan lagi dijanji-janjikan otsus (otonomi khusus-red). Otsus itu kan saya lihat ujung-ujungnya tipu-tipu juga."
“Jadi berikan Papua itu mengelola pemerintahannya sendiri, mengelola sumberdaya alamnya sendiri, serta mengelola sumberdaya manusianya sendiri." (Sumber: Mediatimor.com).
Jalan penyelesaian 4 persoalan sebagai tirani penguasa Indonesia dan tragedi kemanusiaan terlama dan terpanjang di Asia dan Pasifik yang dialami Orang Asli Papua, maka para 57 Pastor Katolik Pribumi Papua dan Dewan Gereja Papua (WPCC) berdiri dengan posisi suara kenabian sebagai berikut:
  1. Pada 21 Juli 2020 dari 57 Pastor Katolik Pribumi Papua menyatakan: KAMI MEMINTA KEPADA PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGAKHIRI KONFLIK BERKEPANJANGAN DI TANAH LELUHUR KAMI-PAPUA DENGAN CARA DIALOG. Sejauh yang kami lihat dan dengar dan ikuti di media sosial, semua elemen Masyarakat akar Rumput di Papua, mereka meminta Pemerintah Indonesia untuk BERDIALOG DENGAN ULMWP yang DIMEDIASI OLEH PIHAK KETIGA yang NETRAL, sebagaimana yang pernah dilakukan dengan GAM di Aceh.
  2. Dewan Gereja Papua meminta Dewan Gereja Dunia (WCC) untuk mendorong dialog yang bermartabat dan damai antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (ULMWP) dalam menyelesaikan masalah sejarah politik Pepera 1969 yang melibatkan pihak ketiga yang lebih netral." (Surat tertanggal, 16 Februari 2019).
  3. Dewan Gereja Papua meminta keadilan dari pemerintah Republik Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sudah ditunjukkan oleh Indonesia untuk GAM di Aceh. Wakil Presiden Yusuf Kalla berperan secara aktif mendukung dialog dengan GAM yang dimediasi Internasional. Oleh karena itu, kami menuntut bahwa pemerintah Indonesia berdialog dengan ULMWP yang dimediasi pihak ketiga yang netral. (Isi dari Surat tertanggal, 26 Agustus 2019)
  4. Dewan Gereja Papua mendesak Pemerintah Indonesia segera membuka diri berunding dengan ULMWP sebagaimana Pemerintah Indonesia telah menjadikan GAM di ACEH sebagai Mitra Perundingan yang dimediasi pihak ketiga; sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk menghadirkan perdamaian permanen di Tanah Papua, sesuai dengan seruan Gembala yang pada 26 Agustus 2019 yang telah dibacakan dan diserahkan langsung kepada Panglima TNI dan KAPOLRI di Swiss-Bell Hotel Jayapura. (Isi dari surat 13 September 2019).
Singkatnya: RI-ULMWP duduk satu meja perundingan tanpa syarat yang dimediasi pihak ketiga di tempat netral. Seperti contoh RI-GAM di Helsinki pada 15 Agustus 2005.


Ita Wakhu Purom, Selasa, 4 Agustus 2020

Penulis:

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua.
2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).
3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).
____


Posted by: Admin
Copyright ©Dr. Socratez Yoman "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar