MAKO TABUNI on desktop, (ist) |
Oleh: Loncky H. Makay)*
Cerita hangat dilembah sunyi dalam menyikapi sabdah Tuhan diantara miliaran orang yang haus akan demokrasi.
CERITA - Tanggal 10 desember, tanggal itu dimana bangsa bangsa hendak memperingati hari HAM sedunia dan hari hari sejarah bagi orang orang yang berpilu. Hari itu suasana begitu ganas, terik panas matahari pun terus membakar tubuh perempuan tua yang merindukan sang anak untuk merubah sejarahnya yang telah lama bisu dalam pemdaman kepedihan.
Sejarah perempuan itu lekat dengan kepedihan dari rentetan tragedi yang nyaris tidak berkesudahan menbuat jiwa perempuan tua letih hingga itu hampir kehilangan keunikan budaya dan adat istiadat bangsanya sejak masa mudanya bersama pasangannya “suami”.
Sehari sepih, Ibu tua itu tenga mengandung, setelah melahirkan Ibu menamai anaknya Musa Mako Tabuni kemudian meruncing otak dan pola pikir anak selayaknya dengan jemarinya yang tak pegal menggenggam pisau budaya, yakni mauminya yang telah karat karena Ibu itu tidak menggunakan pisau itu selama bertahun tahun apa pu kondisi di Pyramid, Lembah Baliem yang terletak di bagian Indonesia Timur Papua, Pegunungan Jayawijaya.
Seiring jalannya waktu, roda kehidupan pun terus berputar dan anaknya itu berhasil dia runcing “merawat” hingga anaknya berumur 5 tahun, tepat pada tahun 1977, ketika wilayah Pyramit di Jayawijaya dilanda Operasi Militer yang disebut Operasi Kikis. Waktu itu masyarakat menyebutnya Gejolak 1977, dalam panasnya suasana akhir hari hari itu sang Ibu mulai ambil posisi dan mengajak anaknya diatas para para pengungsian, duduk bersampingan dengannya.
Suasana terik hening sejenak kemudian dalam suasana itu sih Anak bertanya pada Ibu, “Bu, kenapa mata pertiwi begitu buta sampai tegahnya dia bedakan kita dengan orang orang diluar sana, sementara orang orang itu menikmati hasil kekayaan alam kita ?” Ibu terharu mendengar seloroh anaknya itu, namun berat untuk menjawab pertanyaan dari anaknya karena ketakutan Operasi Militer di wialayah. Sambut Sih anak lagi, “Ataukah kita bukan ciptaan Tuhan di mata dunia hingga kita yang harus dilibas oleh orang orang itu, kemudian darah kita juga halal bagi mereka. Jika kita diciptakan untuk dihabisi, mengapa Tuhan ciptakan kita dan tanah ini, sungguh tegah ya, mereka Bu ?.” Tanya anak, seraya meminta jawaban dari Ibu. Ibu, “kita ini bangsa Papua yang sedang dijajah oleh Klonial yang berjubah Negara Repulbik.” Jawab Ibu.
Kini suasana obloran Sang Ibu antara Anaknya semakin ke serikat, Ibu pun mulai bercerita;
Dengar dan camkan baik anakku, karena engkau “Busur” Agen Pembebasan Bangsa yang kuruncing dengan jemariku saat hari duka cita bangsamu, mengandung dan merawat engkau ketika darah sudara-sudarihmu kuyuki bumi ini, anak harus perjuangkan hak bangsa layaknya seperti busur ampuh milik ayamu yang terbuat dari bamboo berjenis kecil, aku hanya mengandung, melahirkan, dan meruncing engkau semampuku, dan engkau akan aku lepas pada sasaran yang akan menentukan nasibmu, nasib bangsamu, juga nasib tanahmu, seloroh Ibu bercerita.
Lanjut Sang Ibu bercerita; Sejarah manusia dan Alam Papua ini sangat lekat dengan kepedihan, rentetan tragedi pun nyaris tidak berkesudahan meremuk bangsamu, mengeksproitasi hutan dan tanahmu. Selama puluhan tahun nasib bangsamu malang, mereka diremehkan, dianak tirikan, ditinggalkan dan diabaikan, padahal dari timurlah matahari bermunculan dan burung burung cendrawasih berirama lebih dulu menyanyikan bahwa Papua yang merdeka adalah benar benar Indonesia yang baru; Ya ampun Bu, mereka kejam sekali ya, Bu ?. Jetus mako penuh tanya seraya memotong cerita Ibu. Iya, tentu saja mereka kejam, Nak. Jawab Ibu sedih.
Lanjut Ibu. Penderitaan bangsamu selalu terpampang di sorotan mataku, seringkali tekatku mengajak aku berseruh untuk menentukan nasib bangsamu, namun keadaan aku saat itu kosong seperti bumi tanpa isi dan langit tanpa bintang. Dan mataku hanya bisa melihat serentetan kekerasan, penindasan oleh penguasa klonial terhadap bangsamu, sebab aku hanya Pana yang tidak memiliki Busur waktu itu. “Busur, sekarang ?”, Sebab itu, 12 tahun yang lalu aku meruncingmu dengan tubuhku yang lelah, jiwaku yang letih, jemariku yang makin membenkuk, dan mataku yang pedih dalam bermandikan darah sudarah sudarihmu. Kini genap tahunnya untuk engkau aku lepas maka pergilah ke Manado, tanah Minahasa. Disana tempat engkau menyiapkan dirimu bersama sahabatmu Buchtar Tabuni di
wadah Asosiasi Mahasiswa Pegungunan Tengah Papua se-Indonesia (AMPTPI) yang hanya punya satu kata Lawan, Lawan, dan Lawan !!! Karena masa kecilmu begitu erat dengan rakyat dan bertumbuh dewasa di antara bangsamu, engkau lahir besar bersama rakyat di jalanan, engkau pula agen yang akan menentukan nasibmu, nasib bangsamu, juga nasibku tanahmu, maka engkau aku lepas sekarang.
Pergilah, disana sasaranmu kritis sistem Negara, Mogok Sipil Nasional dan Referendum For West Papua itu tepat tujuangmu, dan The United Liberation Movement For West Papua (ULMWP) adalah rumahmu, rumah bangsamu, yakni rumah kita bersama. Sesampainya Mako di tanah Minahasa, dia hendak jalankan apa yang harus dia lakukan sesuai amanah Ibunya di para para pengungsian waktu itu, dan pesan Ibunya itu selalu kebayang dalam hayalan saat di sendirian membuat dia tak pernah lupah pada amanah Ibunya itu.
Lambat laun waktu terus berlalu, hari demi hari bulan ke bulan terus berganti, tahun antara tahun pun Mako lalui bersama rekan rekannya di tanah minahasa, kita angkat tahun menunjukkan tepat pada 2008 Mako kembali ke tanah asalnya Papua di kota Port Numbay. Setelah itu dia mulai berekspresi pertama kali dengan orasi orasi politik di panggung kritis bersama rakyat sipil di West Papua, di lapangan makam Theys Eluay sentani yang berisu utama adalah Referendum dan Boikot Pipres 2009.
Mako Tabuni di masyarakat luas mengenalnya dengan sang revolusioner yang sejati. Ada banyak hal yang sudah dibuatnya selama dia masih hidup. | Baca selengkapnya di ➡ https://bit.ly/2MNWVoB
Kini tiap hari sejarah bangsa Papua pun dia dengan rentang bersuara bersama rakyat sementara tanggan kirinya menggenggam stetmen pembebasan, namun aparat keamanan “kepolisian” maupun Tentara Nasional “Klonial” Indonesia selalu menghadan langkanya dan menyiksah rakyatnya dengan senjata milik Negara. Namun Mako tanpa lelah menggenggam Mic walau di hadan, tulus pula dia berjalan bersama rakyat di jalanan mencari kelegaan jiwa untuk rakyatnya yang ditindas oleh Negara Indonesia, tegas pula dia pada sistem klonial. Dua tahun lamanya dia bersama rakyat di kota Por Numbay.
Hari itu, selasa pagi 2 Agustus 2011, suasana di kota Port Numbay masih keruh, Mako pun kembali dijalan bersama rakyat dari tempatnya. Kini Mako berseru diantara lautan rakyat Papua yang tertindas, “Rakyat Papua harus bangkit mencacat sejarah sendiri”. Tegas Mako, dalam suara Microphone. Sosok Mako yang gagah berani dari argumen-argumen dan sejarahnya yang benar benar terbukti ada dan benar.
Beberapa bulan kemudian, sehabis Mako berorasi 10 Desember 2011, pulangnya Mako bertanya ada rekan rekannya “adakah pengganti aku setelah aku”, seraya penuh tanya di wajah Mako. Jawab salah satu rekannya, “tidak ada di antara kita yang serupa dengan engkau, hanya engkau “ api revolusioner” kami, katanya Victor Yeimo.” Iya, itu benar !”, sambut Yoka Agus Kossay. Mako, mendukan kepala dan matanya memerah namun tidak ada air mata yang membumi lalu berkata sambil menatap langit dan tangan kirinnya menyetuh bumi, “jika rekan rekan tidak ada yang siap menjadi kaderan politik pembebasan ini, aku bukan Busur terakhir bagi Bangsa Papua” katanya.
Berenjak dari bulan Agustus, setelah sembilan bulan berlalu begitu cepat. Hari itu, kamis 14 juni 2012. Pagi itu suasana dikota Port Numbay keruh nan sepih, langit bertaburan gumpalan awan hitam turungkan krimis dengan perlahan, bumi pun ikutan gemas, lemas. Kini hari berenjak sore, Mako dan kedua rekannya berdiri sambil makan pinang di samping pondok pinang milik mama Carolinha di Putaran taksi Waena Jayapura. Sementara Mako berbagi cerita bersama mama Lina pedagan pinang itu, tiba tiba suasana hening sejenak kemudian terdengar suara lepas kontak senjata di telinga Mako dari dalam Mobil Avanza kemudian tuju butir peluru dari dalam mobil itu keluar menuju butuh Mako namun peluru ke tuju “yang terakhir” tidak dapat menembus tubuh Mako akhirnya menembus di berbatuang karang di gunung Skalain dan Bung Musa Mako Tabuni ditembak sore itu, disitu.
Setelah dia ditembak, dia pun dibawah ke Rumah Sakit Bayangkara. Sementara dia di mobil, dalam perjalana menuju rumah sakit, Mako berkata dengan suaranya yang tersendat sendat di tenggorokan, dengan paksa dia bercakap; “Ya Tuhan Allahku, Allah Israel pencipta Alam Papua dan Manusianya, jika kehendakmu hari ini akan menjadi hari wafatnya Mako Tabuni, maka pintaku, beri bangsaku seorang pemuda yang selayaknya jiwa revolusioner sebab aku gagal jadi Busur akhir, layaknya menjemput kemerdekaan bagi bangsa Papua bersama rakyat dari kematianku”. Sambut Mako lagi pada nada yang sama,” Tetap lawan, maka suatu saat papua akan merdeka.
Tak Teresa mobil di tumpangi Mako sampai dan berhenti depan rumah sakit, para Medis segera bawah masuk Mako ke ruang IGD, sesampainya di ruang IGD saat Mako di letakan di atas matras pasien berkulit kasar halus itu, dia pun berteriak namun tetap pada nada yang sama, suara dalam tenggorokan, “Papuaa, Papuaaaa, Papuaaaaaaa, Merdekaaaaa” katanya oleh Mako sambil menghembuskan nafas terakhirnya di IGD rumah sakit Bayangkara, Jayapura Papua.
*(The End
Posted by: Admin
Copyright ©tabloid-wani.com "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar