Kamis, 18 April 2019

Aiman Whangyee, Penyair Remaja Pelintas Batas SARA Indonesia-Thailand

Buletinnusa
Aiman Whangyee di Tanah Evav, Malra (dok)

Bocah Muslim berwajah Indo-Cina masuk Sekolah Kristen Kalam Kudus Ambon. Hanya ada dua siswa pemeluk Islam di situ. Dia mengaku tidak ragu, dan semuanya baik-baik saja. Itu hanya satu kisah kecil dari serangkaian pengalaman melintas batas SARA dari Kei, Ambon, Medan, dan Thailand . 

Reporter Rudi Fofid-Ambon

Ambon, Malukupost.com-Bengkel Sastra Maluku menggelar acara baca puisi di Lapangan Merdeka Ambon, sekitar tahun 2013.  Acara belum dimulai saat seorang remaja bercelana pendek muncul di situ.  Dia bertanya-tanya  kepada panitia.

``Beta SMP, boleh ikut baca puisi?`` Tanya Aiman.
``Tentu boleh. Mau baca berapa puisi, minta judulnya ya?`` Kata seorang panitia.

``Saya belum punya puisi.  Saya tulis dulu, karena saya tidak sangka akan dapat kesempatan ikut baca di sini,`` kata remaja itu.

Malam itu, belasan penyair Ambon tampil di panggung, termasuk remaja tadi.   Penonton dan para penyair terkesima dengan diksi si remaja, saat membaca puisinya di panggung.

``Dari Timur Indonesia, 
Walau dengan suara minor
Kami akan terus terbitkan matahari`` 

Demikian penggalan puisinya yang menghentak.  Malam itu,  semua penyair berkenalan dengan remaja bernama Aiman Whangyee.

Whangyee, sebuah nama yang asing di telinga.  Orang mana itu? Dari kampung apa?  Begitulah pertanyaan semua orang.

``Beta Evav, beta Ambon, beta Maluku, beta Bugis, beta Indonesia, beta Thailand," ujar Aiman.

Semua tertawa  mendengar jawaban polos  tetapi sekaligus menjadi teka-teki baru.  Siapa gerangan Aiman?

LINTAS SARA

Pengibar Merah Putih, (fb aiman)
Dari pernikahan orang tua lintas bangsa, lahirlah Aiman Whangyee di Langgur, Maluku Tenggara,  20 Juni 2000.  Ibunya Dewi Sartika berdarah Bugis dan ayah Ibrahim Whangyee dari kota kecil Thepa di Provinsi Songkhla, Thailand Selatan.

"Beta lahir di Langgur, jadi beta anak Evav," ujar Aiman kepada Media Online Maluku Post di Ambon, Kamis (18/4).

Dengan menyandang dwi warga negara, Aiman tetap mengikuti ke mana orang tuanya pergi.   Uniknya,  dia menempuh taman kanak-kanak di tiga kota berbeda. Pengalaman lintas SARA dimulai sejak usia dini.

Mulanya dia masuk TK di Watdek, Langgur, tahun 2005 saat masih berkumpul satu rumah dengan ayah-ibu, dan adik semata wayang Mikail.

Ketika ayah yang bekerja di perusahaan perikanan pindah tugas ke Ambon, Aiman ikut pindah ke TK Asisya Ambon.  Tak lama  kemudian, dia pindah ke Medan dan menetap di rumah pamannya.

``Beta masuk TK Prime One Medan. Jadi, sejak TK sudah berani merantau jauh dari rumah,`` kata Aiman.

Selesai TK di Medan, Aiman mengaku sudah rindu kembali ke Ambon. Sebab itu dia melanjutkan sekolah ke SD Kalam Kudus, sebuah sekolah Kristen favorit.

``Siswa Islam hanya saya dan anak Haji Dedes.  Saya ikut saja bernyanyi lagu rohani, berada dalam suasana doa, tetapi saya tetap Islam.  Tidak ada yang ajak saya menjadi Kristen, dan tidak ada yang tanya-tanya soal agama,`` cerita Aiman. 

Dari SD Kalam Kudus,  Aiman pindah ke SD Thaesabal 02 Yala, Thailand Selatan.  Dia mengaku kesulitan di sekolah karena tidak bisa berbahasa Thailand.  Beruntung, seorang ibu guru bernama Suthira merelakan waktu membimbingnya.

­­­``­­Guru Suthira belajar Bahasa Melayu agar bisa ajarkan saya Bahasa Thailand," kenang Aiman.

Hal lain yang mendebarkan bagi Aiman, ada banyak isu bom di Yala sehingga anak-anak selalu dikawal tentara.

Di Yala, Aiman tidak tinggal dengan orang tua melainkan dengan keluarga ayah.  Dia senang sebab ada sepupu sebaya Abbas Langputeh, sehingga bisa jadi teman di rumah.

Kabar baik datang dari ayah yang bekerja di Air Salobar, Ambon.  Perusahaan menugaskan ayah ke Thailand. Maka ayah-ibu dan adiknya pindah ke Yala.  Keluarga yang berpisah tempat tinggal ini, akhirnya berkumpul satu rumah lagi.

Dari Yala, ayahnya Ibrahim  Whangyee memboyong keluarganya pindah ke Bangkok. Aiman pun pindah ke SD Ngammana, Bangkok.

Tinggal di Bangkok selama tiga tahun, 2008-2011, Aiman kembali ke Ambon.   Dia memilih sekolah di SD Negeri 2 Kakiali Tanah Tinggi.

``Saya merasa senang di sekolah ini, meskipun juga saya merasa guru terlalu memperlakukan saya secara istimewa.  Mungkin karena Bahasa Melayu Ambon saya fals-fas,``  ujar Aiman sambil tertawa.

Kali ini, Aiman tidak ke mana-mana lagi.  Dia merasa betah di Ambon, sehingga lulus SD langsung masuk SMP 14 tahun 2012  dan lanjut ke SMA Negeri 1 Ambon tahun 2016.

Selain puisi, fotografi , dan renang, juga berlatih karate (fb)
BUKU PUISI KUMUHNITAS

Sejak perjumpaan Aiman dengan para penyair Ambon di Lapangan Merdeka, dia mengaku mulai suka dan tekun menulis puisi.  Dia bahkan ikut terus dalam beberapa pementasan puisi, termasuk ikut lomba baca puisi.

"Saya juara ketiga dalam lomba baca puisi yang diselenggarakan Kodam XVI/Pattimura,"   terang Aiman.

Saking serius menulis puisi, sejumlah puisinya juga termuat dalam beberapa Buku Kumpulan Puisi.  Tahun 2018, ia menerbitkan kumpulan puisinya sendiri berjudul Kumuhnitas

Buku Kumuhnitas (April 2018) berisi 50 judul puisi bertema kritik kepada kekumuhan Kota Ambon.   Ia menyebut kekumuhan itu di sana-sini sebagai komunitas kumuh, disingkat kumuhnitas.

ARKEOLOGI

Meskipun pernah menjadi juara 2 dan 3 dalam lomba renang antar pelajar di Maluku, juga hobi fotografi, Aiman pernah bercita-cita menjadi penerbang.

Cita-cita itu tiba-tiba dia kubur karena pada tahun 2017, saat masih di kelas dua SMA Negeri 1 Ambon,   Aiman dikirim oleh sekolah mengikuti Word Heritage Camp Indonesia di  tiga kota yakni Yogyakarta, Solo, dan Semarang.

Terlebih lagi dalam kegiatan yang sama tahun 2018, peserta lebih banyak dari angkatan 2016 dan 2017 ditambah dari bersama negara ASEAN , peserta membahas Yogyakarta sebagai kota multy large herritage.

``Kami melihat bagaimana Sultan dan warga membangun Yogyakarta.  Dari situ, saya tertarik pada dunia misteri.  Ada mahasiswa Arkelogi bernama Rovi dari Jambi memprovokasi saya bahwa Maluku kekurangan arkeolog yang muda-muda, dan saya termakan provokasi itu," papar Aiman.

Untuk mewujudkan mimpi menjadi arkeolog, Aiman berkeinginan masuk Universitas Gajah Mada.  Sebab itu dia akan menjalani serangkain proses seleksi.

``Pilihan saya UGM. Papa dan mama papa sudah oke. Mereka bilang,  yang penting bisa tanggungjawab dan sanggup jalani.  Jadi, semoga saya bisa lulus UGM,`` kata Aiman, yang juga sedang menunggu masa-masa pengumuman Ujian Akhir Nasional (UAN).

Menurut Aiman, kalau dirinya kelak bisa menjadi Arkeolog, dirinya ingin mengarsipkan bahasa-bahasa daerah yang kaya di Maluku, namun ada banyak yang punah.

Aiman dan penggalan puisi rasa sayang pada Maluku. (rudi fofid)
ANTARA DUA BANGSA

Sampai saat ini, Aiman masih punya dua kewarganegaraan yakni Thailand dan Indonesia.  Sampai usia 21 tahun nantil, dia punya kesempatan untuk memilih salah satu.

``Beta sudah punya keputusan.  Beta pilih warga negara Indonesia, nanti.  Beta sudah jatuh cinta pada Maluku, pada persaudaraan di sini,`terang Aiman.

Dia tambahkan, dari Kei sampai Ambon, dia memasuki berbagai kehidupan komunitas agama, suku, dan bangsa, namun dia tidak pernah punya pengalaman buruk.  Justru semuanya sangat manis.

Rasa cinta pada Maluku, Ambon, Evav, dia tuangkan dalam sebuah puisi dengan gaya Melayu dan Thailand.

``Bismillahirrahmanirrahim
dalam petang tuh
wau terajut enam
ambo zahir
di nusa antara
ambo zahir
di tanoh Evav``

``Satu alasan lagi beta suka Ambon ketimbang Bangkok karena di sini laki-laki dan perempuan dapat kita bedakan.  Di Bangkok, transgender juga lebih cantik dari perempuan.  Beta lebih baik di Ambon,`` pungkas Aiman. (Malukupost.com) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar