Senin, 01 April 2019

Enam Tahun, Hoaks Tentang Pengungsi Belagu di Negeri Lima

Buletinnusa
Para aktivis pencinta alam di Posko Negeri Lima menyambut dua anggota senior Pattra 28 Macha Nendissa dan Gio Pattr yang datang bergabung memberi dukungan`dan bantuan untuk pengungsi. (foto arsip azis tunny)

Catatan Rudi Fofid-Ambon

Ada hoaks tentang pengungsi di Negeri Lima, pasca musibah Wae Ela, Juli 2013.  Enam tahun berlalu,  tiga gubernur berganti, hoaks itu masih hidup dalam memori banyak orang.   Orang bilang, pengungsi Negeri Lima belagu sampai membuang bantuan pakaian dari para dermawan, padahal kenyataan tidak begitu.



AIR bah yang jebol meluncur dari bendungan alam Wae Ela di Negeri Lima, Pulau Ambon, Kamis, 25 Juli 2013 masih punya banyak kisah.  Kisah nestapa, kabar baik, juga kabar hoaks. 

Sebelum bendungan jebol, curah hujan terus meningkat.  Berbagai pihak siaga di TKP,  dan sudah memprediksi akan terjadi musibah.  BMKG, Tim SAR, TNI, Polri, Pemprov Maluku, hingga para aktivis pencinta  alam, sudah di sana. Pada detik-detik genting, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu berada di TKP.  Ia memimpin langsung evakuasi warga.

``Ke arah matahari naik,`` teriak Ralahalu kepada setiap warga, agar bergerak ke arah timur  yang aman.

Musibah tidak terhindarkan.  Air menyapu separuh rumah dan fasilitas umum ke laut.  Dua orang meninggal dunia.  Negeri Lima berduka.  Maluku berduka, Indonesia berduka.

PENCINTA ALAM MALUKU 

Saya dapat kabar dari Ronal Regan yang sedang ujian semester di Stikes Pasupua,  kampus Karangpanjang.  Ronal nekat tinggalkan ruang ujian mengikuti kawan-kawan mahasiswa asal Negeri Lima di Stikes Pasapua yang sudah  tinggalkan ruang ujian.

Saya hanya menulis pesan sangat pendek kepada Abang Badar di Bantuan Darurat Dompet Duafa, Jakarta. "Musibah bendungan jebol di Ambon.  Tolong." 

Tanpa tunggu respon Abang Badar, saya bersama Ronal, Elsye Syauta, dan sejumlah orang muda, langsung ke Negeri Lima melalui jalur Alang-Wakasihu. Satu jam perjalanan, sampailah  kami di Negeri Lima, dan menyaksikan negeri yang basah dilanda bencana dan air mata. 

Puluhan anggota Mahasiswa Pencita Alam (Mapala) dan Kelompok Pencinta Alam (KPA) sudah ada di sana, dan serba sibuk.  Di dekat situ, ada juga Posko Mahasiswa Teknik Pencinta Alam (Matepala) Fakultas Teknik Universitas Pattimura.

Saya dan Ronal langsung bergabung dengan Forum Pencinta Alam Maluku (FPAM) yang sudah pasang posko di Balai Negeri.  Untung, Elsye Syauta berpesan, bawa pakaian agak cukup, sebab ada kemungkinan kita harus tidur.

Benar saja.  Kita tidak mungkin melakukan wisata bencana, membuat foto-foto genit di atas derita, lalu pulang di kota dengan cerita paling bajingan bahwa kita sudah sampai di titik bencana dengan sukses. 

Di bawah komando Zainudin Adzan Tuasamu (KPA Perhimpunan Kanal) dan Abdul Maskur Marasabessy (KPA Elang Rimba), para pecinta alam langsung bergerak, mulai dari konsolidasi personil, pembagian tugas, dan asesmen.

Azis Tunny dan Budi Herman bersama para aktivis lingkungan di Ambon terus mengalang bantuan dari berbagai pihak.  Bantuan pertama adalah nasi padang dari Ambon untuk makan sahur bagi warga yang tetap setia beribadah puasa.  Hal ini terutama karena pada hari pertama, warga berbuka puasa dengan mie instant.  Dapur umum oleh BNPB sungguh tidak sigap.

Sungguh terharu menyaksikan para aktivis pecinta alam dengan tubuh tergolong mungil, seperti Ali Tubaka, Lucky Watijanan, Ronal Regang, dan aktivis lain.  Mereka bagai hendak terseret air Sungai Wae Ela yang masih derat setinggi dada.  Ternyata di tubuh yang kecil, ada nyali besar.  Mereka bolak-balik menjunjung bahan makanan siap saji maupun bahan pangan, menembus malam, agar sampai ke seberang, kepada warga yang mengungsi di sekolah dan tidak tersentuh bantuan BNPB. 

HIDUP SOLIDARITAS

Ada banyak kisah menarik di balik musibah yang menimpa saudara-saudara kita di Negeri Lima.  Kisah paling penting, tentu saja tentang terbangunnya solidaritas sosial,  Hidup orang basudara, laeng sayang laeng. 

Hanya satu hari, relawan dari Bantuan Darurat Dompet Duafa Jakarta sudah ada di Negeri Lima.  Mereka memilih posko selisih satu rumah di samping Posko Pencinta Alam Maluku.  Terima kasih Abang Badar, selalu siaga. Terima kasih juga untuk pertolongan cepat saat banjir Ambon dan gempa Halmahera. 

Milanisti, komunitas anak muda penggemar klub sepakbola tenar, AC Milan.  Jangan kira mereka cuma hura-hura saat siaran langsung sepakbola di depan di TV.   Mereka lebih dari sekadar penggila bola.  Anak-anak milanisti datang dengan truk ke Negeri Lima membawa bantuan  yang mereka galang di kota.

Sungguh mengharukan menyaksikan sebuah truk dari Masohi tiba di Negeri Lima.  Truk itu penuh bahan makanan dan pakaian,  serta tidak lupa, para tenaga relawan dari Maluku Tengah.  Para relawan itu, adalah para pencinta alam dari Kompass Masohi dan Perhimpunan Kanal. 

Bangga dan haru menyaksikan rombongan masyarakat Hatu dan Alang yang datang ke Negeri Lima.  Walau beda agama, tetapi punya hubungan saudara dalam ikatan gandong.  Hatu dan Alang yang Kristen, datang memberi kekuatan dan hiburan kepada saudara-saudaranya yang Muslim di Negeri Lima.

Saking banyak kisah-kisah manis di balik musibah di Negeri Lima, tulisan ini bahkan tidak mampu menceritakan semua kebaikan itu. Sineas Ambon Rifky Husain dan Aly Salay, sempat mengabadikan kebaikan ini dalam satu adegan penutup filem Provokator Damai.

HOAKS
Ada satu kabar bohong beredar cepat, kencang, dan luas, beberapa hari pasca musibah.  Kabar bohong itu beredar di Ambon sampai Jakarta, dan entah ke mana lagi. Beberapa orang menanyakan kepada saya dan bisa saya tepis.

Kabar bohong itu ternyata bertahan lama, sehingga menjadi semacam kebenaran.  Setelah satu bulan di Negeri Lima dan kembali ke Ambon, kabar bohong itu masih saya dengar.  Berminggu-minggu, pada waktu dan tempat berbeda, dengan orang berbeda, kabar itu masih hidup sebagai kebenaran.

Kemarin, saya menulis di akun facebook, ``Jembatan Merah Putih sudah mau rubuh, Jembatan Negeri Lima belum kelar``.  Membaca status itu, seorang kawan saya kemudian menyentil apa yang saya sebut sebagai kabar bohong.

Saya minta maaf kepada semua warga Negeri Lima, saya menulis kembali kabar bohong yang saya dengar, entah sudah berapa kali. Semoga bagian ini, tidak melukai perasaan saudara-saudara sekalian.  Sekali lagi, jangan marah beta, ini agak vulgar. 

``Pengungsi di Negeri Lima itu paling balagu.   Orang kumpul bantuan setengah mati, orang ada sayang, lalu pakaian-pakaian yang dibawa ke sana, dibuang begitu saja di pinggir jalan.   Bahkan, pakaian itu dipakai sebagai keset kaki.  Itu orang-orang pengungsi, tidak tahu berterima kasih". 

Demikian apa yang saya dengar secara terus menerus, sejak zaman  Gubernur Ralahalu, melewati lima tahun masa Gubernur Said Assagaff, sampai kini Gubernur Murad Ismail.  Penanganan pasca bencana tak kunjung tuntas sampai oras ini,  dan kabar bohong di atas masih tetap hidup.

DUDUK PERKARA

Kalau kabar "pengungsi balagu" adalah kabar bohong, maka bagaimana cerita sejati atau kabar benar perkara ini?  Gampang saja.  Saya selalu cek setiap orang yang dari bibirnya berkata:  ``Pengungsi dong balagu e. Pakaian yang katong bawa, dong bikin jadi keset kaki, dan buang-buang saja di pinggir jalan``.

Setelah cek dengan pertanyaan sederhana:  "Ada ada di sana? Anda menyaksikan apa yang anda katakan?"

Ternyata, mereka yang penuh semangat menceritakan "pengungsi belagu", selalu hanya dengar dari saudara atau teman.    Mereka mendengar dari orang lain, lalu menceritakan ke mana-mana sebagai sebuah kebenaran.  Begitulah kabar bohong bekerja dengan mekanisme pembelahan sel.

Untuk kabar "Pengungsi Belagu", beginilah duduk perkara di Negeri Lima, hari-hari itu.

Duduk perkara pertama: Soal pengungsi buang baju bantuan di pinggir jalan.

Tim Pencinta Alam Maluku berjalan menyusuri seluruh pelosok negeri lima.  Benar, kami menemukan tumpukan baju dan celana, yang sudah terbuang berantakan. Baju-baju itu dalam keadaan basah. 

Ada tujuh titik, dan seluruh tumpukan itu berada pada tujuh pos, dari delapan pos yang dibangun BNPB.  Bagaimana bisa terjadi demikian?

Bantuan pakaian untuk para pengungsi melalui posko induk BNPB, jumlahnya beratus karung dan karton.  Demikian juga pada Posko Forum Pencinta Alam Maluku.

Petugas BNPB membawa karung-karung berisi pakaian, menyebarkannya ke tujuh posko.  Petugas di posko kemudian mengajak warga di sekitar posko untuk mengambil bantuan tersebut. 

Maka datanglah orang-orang mengambil pakaian sesuai kepatutan dan kepantasan.  Pilihan busana adalah pilihan objektif maupun subjektif.   Orang memilih pakaian, pertama-tama tentulah mempertimbangkan  jenis kelamin, dan ukuran badan.  Sebab itu kita kenal, pakaian laki-laki, pakaian perempuan, pakaian anak-anak.  Kita juga kenal ukuran S, M, L, XL, dan sebagainya. 

Orang-orang Negeri Lima menerima bantuan dengan penuh syukur dan sukacita.  Bisa dilihat kegembiraan terpancar dari wajah mereka. 

Setelah membawa pulang pakaian ke tenda darurat, tetap saja ada pakaian yang tidak diminati oleh setiap orang.  Pakaian itulah yang kemudian terkena hujan, dan terbengkalai begitu saja. 

Kami memeriksa satu demi satu pakaian yang terbuang begitu saja.  Ternyata,  pakaian tersebut sobek pada bagian ketiak, sobek pada bagian pangkal paha dan selangkangan, serta risleting rusak.

Jadi, pakaian yang terlihat menumpuk di sisi jalan, bukan dibuang oleh para pengungsi, tetapi mekanisme distribusi oleh petugas,  menyebabkan sisa pakaian yang tidak diambil, tidak diurus lagi.  Hujan yang mengguyur Negeri Lima, membuat pakaian-pakaian tersebut menjadi tidak menarik untuk diutak-atik.

Duduk perkara kedua: Soal pengungsi jadikan baju bantuan sebagai keset kaki.

Tim Pencinta Alam Maluku datang ke tenda-tenda pengungsi dan menemukan, para pengungsi menggunakan pakaian-pakaian bantuan pengungsi sebagai keset kaki.  Benar, kejadian memang ada baju dan celana menjadi keset kaki.  Itu yang terlihat oleh mata.  Banyak orang dari kota datang ke tenda, baik yang membawa bantuan maupun yang sekadar wisata bencana, mereka juga bisa menyaksikan di setiap tenda ada baju-baju dan celana menjadi keset kaki.

Ceritanya begini.  Tenda-tenda yang dibangun BNPB untuk para pengungsi, semuanya terletak di atas lahan rakyat, di antara pohon-pohon cengkeh, pala, gandaria, langsat, salak.  Ini dusun buah-buahan, bukan lapangan basket.

Lantai dusun buah-buahan adalah rumput yang tumbuh menebal di permukaan tanah yang subur dan gembur.  Pada saat musim penghujan, volume air melebihi kapasitas lapang.  Semua tumbuhan tidak sanggup menyerap air yang berlimpah ruah, sehingga terjadi genangan maupun lumpur.

Tenda pengungsi berada di atas lantai seperti itu.  BNPB menyediakan matras-matras setebal 1 cm yang dirapat-rapatkan memenuhi seluruh lantai tenda.  Cela antara matras dengan matras adalah bagian terbuka.  Lumpur bisa muncul di situ. 

Para pengungsi berusaha menjaga kebersihan lantai tenda.  Sebab untuk tenda yang dihuni 100 orang, hanya ada tiga felbet.  Semua pengungsi tidur di atas matras.  Mereka tidur, makan, dan sembahyang di atas matras itu.  Makanya mereka sangat menjaga kebersihan lantai tenda.

Pada musim penghujan yang brutal, para pengungsi yang bergerak di luar tenda dan ingin kembali, selalu pasti berupaya agar kaki mereka bersih kembali ke dalam tenda.  Selain mencuci kaki dengan air, mereka juga membutuhkan kain pengering.  Keset yang mereka butuh bukan sekadar menepis debu, melainkan lumpur.  Sebab itulah mereka membutuhkan kain-kain kering sebagai kain lap kaki.  Kebersihan tenda, bukan saja untuk nyaman huni, tetapi juga nyaman rohani.

Setiap hari, kaum perempuan dari tenda pengungsi, datang ke Posko Forum Pencinta Alam Maluku.  Mereka meminta pakaian yang sudah kami kategorikan sebagai pakaian tidak layak salur, tidak layak edar, sebab tidak layak pakai.

Siapa menentukan pakaian dari bantuan pengungsi sebagai pakaian tidak layak?  Ya kami.  Semua pakaian yang tiba di posko, tidak serta-merta kami salurkan.    Semua pakaian melalui mekanisme sortir.  Hasil sortir kami menemukan tiga kelompok besar jenis pakaian sebagai berikut:

a. Pakaian baru dibeli. 

Rupanya, ada dermawan yang pergi ke toko pakaian, dan memborong pakaian baru.  Kami menerima ratusan celana dalam wanita, pakaian bayi, daster, kain sarung, kemeja batik, baju koko, garmis, mukenah, jilbab, kopiah, semuanya masih dalam segel plastik. 

b.  Pakaian layak pakai

Ada banyak pakaian yang masih baik, bersih, kuat, bermerek, tetapi sudah tidak di dalam plastik. Pakaian jenis ini sangat banyak.  Rupanya, para penyumbang pakaian kategori ini adalah mereka yang memberi bantuan dari pakaian yang masih mereka pakai, masih layak, tetapi sudah tidak pas di badan.  Pakaian tersebut, diambil dari dalam lemari mereka sendiri, dan diberikan kepada pengungsi.  Apa yang mereka pakai, diberikan kepada pengungsi.

c. Pakaian dibuang sayang

Pakaian diperoleh dengan banyak cara.  Beli sendiri, dibeli orang kesayangan, kado ulang tahun, tanda mata dari sahabat dan saudara jauh.  Pakaian seperti ini, terkadang menjadi benda berharga, seperti barang pusaka.  Banyak orang menyimpan pakaian seperti ini di rumahnya, walau mereka sendiri tidak pernah pakai lagi. Bahkan, mungkin mereka sudah dikeluarkan dari lemari, dan simpan dalam karton di gudang. 

Pakaian jenis ini biasanya sudah pudar, ada sobekan di sana-sini, terutama pada bagian vital.  Bagian ketiak kemeja, kaos, gaun, adalah bagian yang rawan.  Untuk celana, bagian rawan adalah sisi selangkangan.  Kalau bukan sobek, resliting dan kancing sudah rusak. Justru bagian inilah yang banyak ditemukan pada pakaian yang dikirim kepada pengungsi. 

Kami menemukan lima karton pakaian, yang rupanya diambil dari gudang.  Ketika disortir, pakaian tersebut penuh rayap.  Soro bersarang dalam karton.  Jadi, para penyumbang tidak tahu, bahwa soro secara diam-diam sudah berumahtangga di dalam karton yang mereka kirim ke Negeri Lima.

Nah, untuk semua kelompok pakaian bantuan saudara-saudara  yang budiman, tidak seluruhnya kami salurkan kepada pengungsi.  Tidak mungkin kami memberi pakaian yang kalau digunakan oleh penerima, dia akan malu atau berkurang derajat karena pakaian tersebut.  Tidak elok melihat anak-anak pengungsi mengenakan jersey timnas sepakbola sebuah negara favorit, tetapi buah dondang tergantung-gantung karena celana sobek.

Sedianya, kelompok pakaian dibuang sayang ini, kami bakar, karena tidak layak pakai.  Pakaian ini hanya cocok untuk pakaian orang-orangan di sawah, atau untuk bikin takut babi di kebun. 

Para pengungsi selalu datang ke posko pencinta alam.  Mereka meminta pakaian dibuang sayang itu, untuk menjadi keset kaki.  Bukan pengungsi saja yang menggunakan pakaian tidak layak untuk keset kaki.  Kami tim relawan juga.  Bahkan, di dapur, para relawan memakai pakaian tersebut sebagai kain gombal, agar tangan tidak melepuh saat pegang kuali panas.

Saya berharap penuh, semoga orang yang pernah ikut menyebar hoaks bahwa "pengungsi Negeri Lima  belagu" bisa membaca klarifikasi ini, dan sudi menghapus hoaks keji itu dari memori. Dengan begitu, tidak ada lagi kabar bohong tentang para pengungsi di Negeri Lima.

Sebenarnya, beberapa wartawan juga menanyakan hal itu, tetapi setelah mendapat penjelasan tentang
distribusi bantuan yang sembrono, mereka jadi maklum dan tidak menuliskan kabar bohong tersebut sebagai materi berita.

BAKAR BISKUIT

Selain masalah bantuan pakaian, sebenarnya  ada masalah lain seputar situasi pra dan pasca bencana.  (Baca tulisan Muakrim Soulisa pada blog pribadi:  https://ift.tt/2TMpXDg).  Muakrim secara keras menginterupsi para aparatur negara yang dinilainya gagap dan malas. 

Nah, di Posko Pencinta Alam Maluku, bantuan-bantuan dari para dermawan bukan saja pakaian, melainkan juga bahan makanan.  Salah satu bahan yang kami terima yaitu biskuit rasa keju. 

Jumlah biskuit yang kami terima itu, setelah disusun-susun, banyaknya hampir sebanding panjang, lebar dan tinggi meja pingpong.    Tim Pecinta Alam Maluku setelah berkonsultasi dengan pemerintah megeri dan tokoh masyarakat Negeri Lima, semua biskuit itu kami bakar. Tidak satu pun dibagikan kepada para pengungsi. 

Alasan kami sederhana saja.  Biskuit itu, setelah kami teliti, batas waktu kadaluarsa adalah Mei 2013.   Artinya, sudah kadaluarsa, tiga bulan lalu. Memang, kemasannya masih utuh, warna tidak berubah, dan rasa masih normal.  Kami menguji dengan cara memakannya, tidak berisiko apa-apa, tetapi kami tidak mau ambil risiko jika biskuit tersebut dimakan oleh anak-anak Negeri Lima.  Kalau terjadi sesuatu, maka bukan pabrik biskuit atau dermawan yang mengirim bantuan, melainkan kami orang terakhir yang menyalurkan barang kadaluarsa tersebut.

TERIMA KASIH

Rasa hormat patut disampaikan kepada semua pihak yang sudah menaruh perhatian ke Negeri Lima.  Terima kasih kepada masyarakat dan pemerintah negeri, dan masyarakat yang sudah menerima kami. 

Terima kasih untuk Wirda Salong, Rahmat Bin'ayyub, Nur Tunny, Ayu Kwando, dan semua jujaro-mongare Negeri Lima, yang dengan tulus hati membantu kami.

Tidak lupa, terima kasih kepada para aktivis HMI yang merayakan hari Kemerdekaan RI bersama anak-anak korban bencana.  Bahagia sekali saya secara pribadi mendapat kejutan sangat mahal. 

Waktu itu, sudah hampir magrib. Tiba-tiba,  di atas lahan bekas perumahan yang disapu banjir, ada arak-arakkan di bawah bendera hijau hitam HMI, ada sorak-sorai dan nyanyian.  Arak-arakan itu datang ke arah saya.  Saya tidak tahu, siapa yang menyiapkan semua ini. Perayaan ulang tahun saya yang ke-49 berlangsung di bawah panji HMI, di atas lahan bekas bencana. Sungguh manis lawang e.

Semoga tidak ada kabar bohong lagi yang menimpa saudara-saudara tercinta di Negeri Lima.   Salam Lestari, semoga catatan ini dapat diterima dengan damai.

Penulis aktif di Kelompok Pencinta Alam (KPA) Pehimpunan Kanal, dan Redaktur Pelaksana Media Online Maluku Post. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar