Kamis, 21 November 2019

Mengenang 68 Tahun Dewesy Di Negeri Mamala

Buletinnusa
Dominggus William Syaranamual alias Dewesy (Dok MI)

Oleh: J. Lisapaly

PENGANTARKliping tulisan sastrawan J. Lisapaly di Mimbar Indonesia (kliping tanpa tahun) ini tersimpan di Pusat Dokumentasi Sastra HB Yassin Jakarta.  Pegiat literasi Adlun Fiqri membuat fotokopi, walau beberapa paragraf tidak utuh.  Redaksi membuat kembali dengan ejaan baru dan penyuntingan kecil, dari Judul asli Sijaranamual, Pengembara Jang Tewas.  Tulisan ini dimuat sebagai peringatan 68 tahun “Pelarian Terakhir” Dominggus Willem Syaranamual ke Negeri Mamala, dan hari pemakamannya 22 November 1951.

Sewaktu pada suatu tempat dari Nusantara kita, orang digemparkan oleh suara yang tiba-tiba saja sebagai suatu proklamasi dalam kesusastraan, maka di bagian timur, di Pulau-Pulau Maluku, muncul beberapa tahun sesudah itu, tunas-tunas muda yang memberikan harapan.

Jika membicarakan kebudayaan baru Indonesia, maka pikiran kita sekalian bertumpu pada orang Chairil Anwar sebagai pelopor Angkatan 45, yang kian hari ramai diperdebat sebagai tamparan yang hebat bagi Pujangga Baru, yang terlalu mementingkan “keindahan dengan segala bunga kata, royal dengan beeldspraak dan dengan mengemukakan segala yang puitis” (kata Arsul Sani), seakan-akan hidup di sorga kita sekalian ini di antara dewa dan bidadari, dengan tidak melihat masalah-masalah yang terjadi di sekeliling kita.

Dan di dalam menerjang segala yang using itu, maka Chairil Anwar adalah manusia utama, yang kemudian member satu patokan yang hidup untuk pembentukan manusia baru Indonesia.  Sayang sekali dia telah meninggalkan kawan-kawannya dalam usia muda, sehingga bentuk yang kuat ini, juga turut kita rasakan lenyap bersama-sama dengan dia pula.

Berbarengan dengan ini, muncullah orang-orang yang bukan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi saja timbulnya, pengikut-pengikut yang membonceng pada teriakan Chairil Anwar yang mengutamakan bentuk dan visi, juga sampai ke Maluku, dengan Syaranamual, Chris Latuputty, dan lain-lain lagi.

Mereka baru saja mulai.  Kita sangat bergembira karena biarpun mereka dating dari berbagai-bagai daerah, tetapi suara yang diperdengarkan adalah nyanyi kesatuan dan kemerdekaan, justru pada masanya kita masih terlibat dalam rantai penjajahan.   Mereka dengan ini telah berhasil memberi bentuk yang nyata pada api revolusi nasional kita selanjutnya.  Tepat sekali ……. (paragraf hilang-redaksi)    teguh bentuk sajak sebagai syarat mutlak.  Berkali-kali mereka memperingatkan agar bentuk sebagai yang dimiliki Angkatan 45  serta kebesaran nilainya jangan dipersoalkan karena yang diperlukan ialah keindahan semata.  Dalam hal ini timbul perdebatan secara lisan di antaranya dengan mereka wakil-wakil penyair angkatan 33.

Ada sekali aku tanyakan  kepadanya: Berhasilkah nanti saudara memberikan keinsyafan   untuk kembali ke pokok persoalan yang sebenarnya?” Dia tertawa.  “Suatu kesalahan pada kita,” katanya, “ialah selalu berputus asa dalam menghadapi setiap kesulitan, padahal kalau dipikir, sejauh-jauhnya kita menempuh suatu pengalaman yang serba pahit, membuka kemungkinan besar untuk memperoleh kemenangan”.

Dia seorang yang keras hati dan syarat inilah yang dia gunakan untuk rintisan pertama untuk menghancurluluhkan bentuk kolonialisme.  Gelanggangnya sewaktu ia mulai ialah “Suluh Ambon”, dari dari sinilah gema rintihan jiwanya berkumandang dengan memakai nama samara Dowisy.

Di belakang sajak-sajaknya, Nampak dalam majalah Mimbar Indonesia.….   (paragraf hilang, redaksi).
Ia lahir pada 9 Mei 1926 di Desa Itawaka (Saparua).   Sejak kecilnya sampai masuk pendidikan guru di zaman Jepang, aku bekenalan baik dengan dia. Barulah pada waktu itu kegemarannya dalam karang-mengarang member kesempatan luas untuk lebih memperdalam dan mencari bentuk sendiri.

Setelah Jepang menyerah, mengikuti kursus V. O. di Saparua tetapi kemudian mengadakan pemogokan bersama-sama kawan-kawannya.  Setahun lamanya dia menetap di desa bersama ibu angkatnya, dan pada tahun 1947 bulan Maret, bekerja pada Kantor Cabang Kementerian Penerangan NIT di Ambon bagian perencanaan. Tahun 1949 pernah mengikuti kursus kader penerangan yang diadakan di Makassar,  dan lulus dengan angka yang baik.  Sejak itu maka bakatnya untuk karang-mengarang semakin dipergiat.

Sewaktu menjelmanya apa yang dinamakan RMS, dia menjadi bulan-bulanan dan pusat perhatian MID dan waktu pendaratan APRI di Kota Ambon tanggal 3 November 1951, dia selalu dikejar karena disangka “merah” (satu istilah pada orang pro RI). Karena merasa diri terancam,  pada suatu malam melarikan diri ke daerah pendudukan dan terus ke Mamala (sebuah desa di utara Jazirah Hitu).

Beberapa hari di sana, tiba-tiba sakit perut dan meninggal pada tanggal 19 November 1951 jam 4.30 petang, jauh dari orang tua, sonder pamitan sama kawan-kawannya. Selama hidupnya dia mencipta.  Dalam zaman kekacauan,  barulah selesai naskah bukunya yang pertama: “Ibu Angkat”.  NAskah buku ini katanya akan dikirim nanti bersama kumpulan sajaknya bersama kawan-kawannya yang diberi nama: “Gema Pulau Sagu” ke salah satu percetakan untuk diterbitkan kalau keadaan telah beres lagi.

Tetapi usaha sekian banyak itu tidak luput dari zaman persamarataan menjadi umpan api bersama-sama kediamannya.  Waktu melarikan diri, ada juga dia bersajak, sajak mana…….. (Paragraf hilang, redaksi).

Dengan kata-kata ini,  dia meninggalkan satu perjalanan yang ruwet dan belum selesai, pergi, dan tidak kembali lagi. Kelakarnya serta tutur kata yang bersungguh-sungguh (ernstig), selalu menarik simpati, hilang untuk selama-lamanya.

Angkatan muda di Maluku merasa suatu kekurangan yang besar,  penuh tenaga konstruktif, dan kreatif.  Semoga dilapangkan Allah, arwahnya.  Semoga pula jejaknya ini akan dituruti oleh yang lain-lain untuk memberi bentuk yang kuat dalam perkembangan kesusastraan Indonesia seterusnya. (Sumber: Mimbar Indonesia/PDS HB Yassin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar