Minggu, 25 November 2018

Harus Lebih Serius Tangani HIV-AIDS Papua

Buletinnusa
Harus Lebih Serius Tangani HIV-AIDS Papua
Seminar nasional yang diadakan dalam rangka Hari AIDS Sedunia di Jayapura beberapa waktu lalu – Foto: Roy Ratumakin.
HIV-AIDS masih menjadi “hantu yang menakutkan” bagi Provinsi Papua. Kenapa tidak, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kesehatan pada Maret 2018, pada kurun waktu 12 tahun (2005-2017) orang dengan AIDS di Papua tercatat 19.729 orang. Angka ini tertinggi di Indonesia yang tercatat total penderita AIDS 102.667 orang.

Nomor dua adalah Jawa Timur (18.243 orang), kemudian DKI Jakarta (9.215 orang), Jawa Tengah (8.170 orang), Bali (7.441 orang), dan Jawa Barat (6.502 orang).

Untuk orang dengan HIV (2005-2017), Provinsi Papua terbanyak ketiga dengan jumlah 29.083 orang. Nomor satu adalah DKI Jakarta (51.981 orang), dan nomor dua Jawa Timur (39.633 orang). Setelah Papua, nomor empat adalah Jawa Barat (28.964 orang), dan Jawa Tengah (22.292 orang).

Mengingat jumlah penduduk di Provinsi Papua jauh lebih sedikit dari DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat, Papua menjadi provinsi nomor wahid di Indonesia dengan AIDS Case rate hingga Desember 2017. Case Rate adalah kumulatif HIV-AIDS yang hidup, meninggal, dan jumlah HIV-AIDS per 100.000 penduduk.

Angkanya untuk Papua 620,56, sebanyak 18.149 hidup orang hidup dengan AIDS dan 1.580 orang meninggal karenanya dalam kurun 1987-2017. Papua Barat menempati posisi kedua dengan angka 216,46, yaitu 1.699 orang hidup dengan AIDS dan 42 orang meninggal.

Angka terbaru HIV-AIDS per 30 September 2018 di Provinsi Papua adalah 38.874 orang. Kabupaten Nabire tercatat nomor satu penderita HIV dan AIDS dengan jumlah penderita 7.240 orang. Kemudian Kota Jayapura 6.189 orang, Kabupaten Jayawijaya 5.964, Mimika 5.670, dan Kabupaten Jayapura 2.918 orang.

Kasus terbanyak atau faktor risiko terjadi karena seseorang selalu melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan (heteroseks) dengan jumlah penderita HIV 14.148 dan AIDS 23.610. Faktor terbesar lainnya ibu ke anak dengan jumlah penderita HIV 212 dan AIDS 473.

Menyikapi kondisi ini, Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Constant Karma, kepada Jubi, Kamis, 22 Noveber 2018, mengatakan pertama-tama masyarakat harus mengerti dengan benar cara penyebaran HIV.

HIV, katanya, ditularkan dari darah, air mani, atau cairan vagina yang terinfeksi terkena kontak langsung dengan luka di kulit atau selaput lendir yang terbuka, seperti mulut, hidung, vagina, rektum, dan bukaan penis.

“HIV juga dapat ditularkan melalui hubungan seks melalui vagina, oral atau anal, serta kontak antar darah dan kontak antar cairan tubuh. Tapi berciuman dapat aman apabila kedua pasangan tidak ada luka atau sariawan. Bersentuhan, berpelukan, dan berinteraksi seperti biasanya juga aman dengan orang yang terinfeksi HIV,” katanya.

Ia menyarankan untuk melakukan hubungan seks yang aman dengan menggunakan kondom dan menghindari menyentuh darah serta cairan tubuh orang lain.

“Kita tidak pernah tahu siapa yang memiliki HIV, karena tidak adanya stereotip dan mungkin mereka tidak menyadari dirinya terinfeksi, jadi hindari menyentuh darah orang lain sebisa mungkin dan hindari kontak langsung dengan cairan tubuh lain yang dapat menyebarkan HIV, terutama jika kita memiliki luka terbuka di bagian manapun di tubuh kita,” ujarnya.

Karma mengatakan tingginya angka HIV-AIDS di Papua disebabkan karena masyarakat masih enggan untuk melakukan pemeriksaan.

“Angka yang didapatkan ini ketika seseorang sudah masuk pada stadium AIDS, ini problem karena ketika sudah masuk pada tahap AIDS maka akan susah untuk mengembalikan kondisi tubuh penderita ke kondisi prima,” katanya.

Karma mengatakan KPA masih terkendala dana untuk melakukan berbagai upaya menekan angka penderita HIV-AIDS di Papua.

“Kalau dulu kami masih bekerja sama dengan NGO-NGO dari luar negeri, namun kini sudah tidak lagi karena Indonesia sudah masuk ke dalam kategori negara berkembang. Untuk itu NGO menarik diri dan lebih fokus kepada negara-negara yang masih butuh bantuan,” katanya.

Menurutnya, dana KPA Papua sendiri sangat tidak cukup untuk menangani seluruh wilayah di Papua, apalagi di wilayah pegunungan Papua.

Menurun sejak 2014

Kepala Unit Pelaksana Teknis AIDS, TB, dan Malaria, Dinas Kesehatan Papua, dr. Beery Wopari, mengatakan sebenarnya sejak 2014 kasus HIV dan AIDS di Papua mengalami penurunan, meski tidak terlalu signifikan.

“Pada 2014 mencapai 4.452 kasus baru yang ditemukan dari 29 kabupaten dan kota, namun hingga 2018 ini yang terdeteksi atau ditemukan kasus baru 1.993,” katanya.

Artinya, jelas Wopari, sebagian besar masyarakat sudah bersedia melakukan pemeriksaan atau melakukan deteksi awal terhadap penyakit tersebut.

“Walaupun tidak dipungkiri banyak masyarakat yang masih enggan melakukan pemeriksaan,” katanya.

Wopari berharap proses eliminasi yang dilakukan Kabupaten Nabire yang tercatat memiliki angka HIV-AIDS tertinggi dapat dicontoh kabupaten lain di Provinsi Papua.

Dinas Kesehatan Kabupaten Nabire melalui pelayanan telah melakukan pemeriksaan kepada setiap masyarakat yang melakukan pengobatan di puskesmas-puskesmas.

“Angka penderita HIV dan AIDS di Nabire memang saat ini lagi naik. Untuk menurunkan angka tersebut sudah ada perda yang mengharuskan seluruh puskesmas di Nabire melakukan tes awal (skiring) kepada seluruh masyarakat yang datang berobat. Itu bagus sehingga kita bisa melakukan pengobatan kepada orang yang sudah terinfeksi HIV sebelum penderita tersebut masuk pada stadium AIDS,” katanya. (*)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail 📧: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar