Senin, 30 Juli 2018

Dua Buku Tentang West Papua Diluncurkan

Buletinnusa
Sampul buku Papua Blood disusun oleh fotografer asal Denmark, Peter Bang. - Asia Pacific Report.

O
leh David Robie
Baru-baru ini telah diterbitkan dua buku yang berbeda tentang penjajahan Indonesia di Pasifik, oleh aktivis di Eropa dan Selandia Baru. Secara keseluruhan, kedua buku ini sangat jelas dalam mengekspos penindasan terhadap orang Melanesia di West Papua dan tentang dunia yang mengabaikan pelanggaran HAM di Papua.
Dalam buku Papua Blood, fotografer asal Denmark, Peter Bang, melaporkan pengalamannya sangat pribadi selama lebih dari tiga dekade di West Papua, bukti ketangguhan dan kesabaran orang-orang Papua, dalam menghadapi ‘genosida yang berjalan lambat’ dimana sekitar 500.000 orang Papua telah mati dalam setengah abad terakhir.
Dalam buku lainnya dengan judul See No Evil, Maire Leadbeater, seorang aktivis gerakan perdamaian dan juru bicara West Papua Action di Auckland, berisikan catatan sejarah yang mendalam tentang sikap Selandia Baru yang, pada awalnya, mendukung aspirasi kemerdekaan masyarakat Papua saat daerah itu masih di bawah kolonialis Belanda, dan kemudian pengkhianatan terhadap Papua di tengah Perang Dingin.
Papua Blood menampilkan 188 penggambaran yang menggugah, memberikan wawasan yang berwarna-warni tentang kehidupan yang terus berubah di West Papua, mulai dari hutan hujan, air terjun, kampung-kampung dan pemandangan kota, hingga adegan perlawanan terhadap penindasan serta penampilan bendera Bintang Kejora.
Selain foto-foto tersebut, Bang juga menyertakan narasi tentang berbagai episode kehidupannya di West Papua.
Bencana untuk orang Papua
Bang menggambarkan migrasi besar-besaran orang Indonesia ke West Papua sebagai ‘bukan hanya bencana untuk orang Papua, tetapi juga bencana bagi hutan, tanah dan hewan liar’ (hal. 13).
Setelah melakukan perjalanan di sepanjang Asia, Peter Bang muda tiba di West Papua pada tahun 1986 dalam kunjungan pertamanya, bertekad untuk mengembara ke suku terpencil, Yali, sebagai fotografer dan penulis yang tertarik untuk mengetahui tentang masyarakat pribumi. Dia ingin mencari tahu bagaimana masyarakat Yali telah terintegrasi dengan dunia luar, sejak pertama kali misionaris memasuki daerah terisolasi itu hanya 25 tahun sebelumnya.
Selama periode awal trekking hutan ini, Bang mengatakan ia jarang ‘menemukan apa pun selain kebaikan - hanya dua kali saya diancam dengan busur dan anak panah’ (hal. 39). Pertama kali oleh seorang laki-laki dengan ‘cacat mental’ yang bingung melihat kehadiran Bang, dan satu kali dia juga dimarahi oleh seorang kepala suku.
Perubahan politik
Satu dekade kemudian, Peter Bang kembali mengunjungi suku Yali dan menemukan bahwa iklim politik telah berubah di ibu kota West Papua, Jayapura - ‘kita melihat petugas polisi dan anggota militer di mana-mana’ menyusul sebuah insiden beberapa bulan sebelumnya dimana gerilyawan OPM menyandera 11 orang di dalam sebuah gua.
Bertahun-tahun kemudian, Bang bertemu dengan pemimpin suku dan pejuang kemerdekaan, Benny Wenda, yang, dengan bantuan aktivis HAM Australia dan pengacara, Jennifer Robinson, diberikan suaka di Inggris pada tahun 2003; ‘saya merasa simpati yang besar untuk Benny Wenda dalam perjuangannya untuk pembebasan Papua. Oleh banyak orang, ia dibandingkan dengan Nelson Mandela, meskipun jelas sekali ia bisa memainkan sendiri ukelele-nya’ (hal. 81).
Bang mendirikan cabang Kampanye Pembebasan West Papua, Free West Papua Campaign, di Denmark dan meluncurkan laman Facebooknya.
Salah satu bagian yang paling menggelikan dan menginspirasi dalam buku itu adalah ‘dayung untuk kebebasan’ di Sungai Baliem, Peter Bang menggunakan perahu karet kuning dan menggantung bendera Bintang Kejora untuk melakukan protes pribadinya terhadap Indonesia (hal. 123).
Masa depan yang tidak diketahui
Buku ini menyediakan wawasan yang menarik tentang kehidupan masyarakat West Papua di bawah tekanan, namun akan lebih baik jika pengeditannya dilakukan dengan lebih ketat dan lebih bersih oleh editor bahasa Inggris. Meskipun demikian, buku ini adalah buku yang berharga dengan pesan sosial politik yang kuat.
Peter Bang menyimpulkan: ‘Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Pada 2018, rezim Indonesia masih melanjutkan penindasan terhadap orang asli West Papua.‘
Berbeda dengan narasi Peter Bang tentang kehidupan di West Papua, buku See No Evil karya Maire Leadbeater - diluncurkan 15 Juli kemarin - adalah catatan sejarah aktivis memalukan Selandia Baru tentang West Papua, yang sama memalukannya dengan catatan Wellington tentang perjuangan Timor-Leste yang tersebar selama 24 tahun pendudukan ilegal Indonesia.
Tentunya ada pelajaran di sini bagi kita. Bagi politisi, pejabat, dan jurnalis konservatif Selandia Baru yang cenderung menerima status quo Indonesia, preseden dari pengalaman Timor Leste merupakan indikator bahwa kita harus lebih aktif dalam mengadvokasikan isu penentuan nasib sendiri bagi orang Papua.
Kejadian yang membawa perubahan
Krisis G30S/PKI pada tahun 1965 membawa perubahan signifikan. Upaya kudeta itu memicu pembantaian besar-besaran di Indonesia, yang menyebabkan dari 200.000 hingga 800.000 kematian dan berakhir dengan perebutan kekuasaan oleh Suharto dari Presiden Sukarno yang menua pada 1967.
Dalam catatan Leadbeater, pertumpahan darah ini membuka pintu bagi investasi Barat dan ‘hadiah-hadiah mahal’ di West Papua, seperti tambang emas dan tembaga Grasberg yang dimiliki Freeport, salah satu yang terbesar di dunia.
13 bab pertama dari buku ini, mulai dari ‘periode Pleistosen’ hingga ‘Suharto lengser tetapi harapan untuk West Papua pupus’, adalah dokumentasi yang metodis dan mendalam tentang ‘rekolonisasi’ dan hubungan Selandia Baru yang berubah, adalah rangkuman yang bagus dan alat yang sangat berguna untuk para pendukung kemerdekaan West Papua.
Namun, dua bab terakhir dan kesimpulan, tidak setara dengan kualitas dari bagian lainnya.
Contohnya, bagian tentang ‘akses media’ yang tersedia dalam kurang dari dua halaman, menjabarkan secara singkat peran media yang penting dalam perjuangan kemerdekaan West Papua. Leadbeater mengecam media mainstream Selandia Baru karena terbatasnya cakupan mengenai isu serius seperti itu.
Media alternatif dan independen tidak disoroti
Leadbeater tidak menyoroti upaya-upaya berani yang sukses oleh setidaknya dua organisasi media Selandia Baru - Māori Television dan Radio New Zealand - untuk ‘menguji’ kebijakan baru Presiden Joko Widodo pada tahun 2015, dengan mengirim kru ke West Papua, hanya membahasnya dalam tiga kalimat.
Salah satu wartawan Selandia Baru yang telah banyak menulis tentang masalah West Papua dan Melanesia selama bertahun-tahun, Johnny Blades dari RNZ Pacific, hampir tidak disebutkan (terlepas dari kunjungan RNZ ke West Papua). Editor Tabloid Jubi, Victor Mambor, yang mengunjungi Selandia Baru di 2014, Paul Bensemann (yang datang ke West Papua menyamar sebagai pengamat burung pada tahun 2013), Gordon Campbell dari Scoop, koresponden Pasifik untuk Television New Zealand Barbara Dreaver dan Tere Harrison yang pada tahun 2016 merilis dokumenter pendek Run It Straight, ini hanyalah sebagian kecil dari mereka yang telah berkontribusi untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu Papua di negara ini, yang belum mendapatkan pengakuan yang seharusnya.
Yang juga penting adalah peran media alternatif Selandia Baru dan Pasifik, seperti Asia Pacific ReportPacific ScoopWest Papua Media, dan Evening Report, yang telah meliputan isu West Papua tanpa henti. (Asia Pacific Report 16/7/2018)
David Robie adalah Direktur dari Pacific Media Center (PMC) dan editor untuk Pacific Journalism Review. Dia menerima Hadiah Media Perdamaian Selandia Baru tahun 1983 untuk liputannya tentang Timor-Leste dan West Papua.

Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar