Minggu, 29 Juli 2018

FMPPF: Mau Berapa Persen dari Freeport, itu Bukan Jawaban!

Buletinnusa
FMPPF: Mau Berapa Persen dari Freeport, itu Bukan Jawaban!
Tambang PT Freeport di Papua.
Jayapura -- Menjelang berakhirnya kontrak karya II, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), bersama PT Freeport melakukan proses divestasi 51 persen kepemilikan saham.

Perjanjian antara PT Freeport McMoran (Perusahaan induk Freeport) dan Inalum tersebut mencakup perpanjangan operasi 2 x10 tahun hingga 2041, pembangunan smelter dan stabilitas finansial divestasi saham Inalum di PT Freeport Indonesia menjadi sebesar 51 persen dari sebelumnya sebesar 9.36 persen.

Proses ini mengundang reaksi berbagai kalangan di Tanah Papua karena dianggap tidak melibatkan masyarakat Papua sebagai pemilik tanah, dimana Freeport menjalankan industri pertambangannya.

Selain masalah keterlibatan, besaran kepemilikan saham yang diberikan untuk pemerintah daerah di Papua dianggap belum mencerminkan keadilan, selain tidak ada kejelasan skema pengalihan 10 persen saham yang diberikan kepada pemerintah Provinsi Papua.

“Kegaduhan penandatanganan Head of Agreement (Kesepakatan Payung) pada tanggal 12 Juli 2018 di Jakarta yang tak dihadiri oleh satupun rakyat Papua, telah menambah tebal ketidakpercayaan rakyat Papua kepada komitmen pemerintah Indonesia maupun Freeport McMoran, untuk memberikan manfaat positif bagi masa depan rakyat dan tanah Papua, terutama para pemilik hak ulayat lokasi pertambangan Freeport,” ujar Samuel Tabuni, melalui siaran pers yang dikirimkan pada redaksi Jubi, Minggu ( 29/7/2018).

Dia bersama tokoh pemuda Papua lainnya menggagas aksi demonstrasi damai rakyat Papua pada tanggal 1 Agustus 2018.

Rencana aksi 1 Agustus ini telah disampaikan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) pada Jumat (27/7/2018). MRP telah mengundang Forum Masyarakat Papua Peduli Freeport (FMPPF) untuk menyampaikan rencana aksi.

Aksi demo damai ini akan dilaksanakan di Jayapura, Jakarta dan Manokwari.“Di Jayapura, aksi akan dipusatkan di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP). Kami akan berkumpul di Kantor MRP sebelum menuju DPRP,” kata Yusak Andato, Kordinator aksi demo damai FMPPF di Jayapura. DPRP pun telah siap menerima aksi demo damai 1 Agustus nanti.

“Kami siap menerima aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat Papua. Dan kami mendukung perjuangan rakyat Papua untuk mendapatkan keadilan dari industri yang dijalankan PT. Freeport di Tanah Papua,” kata Yunus Wonda, Ketua DPRP.

Masyarakat Tsingwarop (kampung Tsinga, Waa/Banti dan Arwanop) yang bergabung dalam Forum Pemilik Hak Sulung (F-PHS) akan bergabung dalam aksi damai ini. F-PHS adalah forum masyarakat Tsingwarop dan tujuh suku dimana lokasi tambang PT. Freeport berada.

“Kami menolak seluruh proses yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, Inalum dan PT. Freeport McMoran karena tidak melibatkan pemilik hak kesulungan atas tambang raksasa ini. Kami akan bergabung dengan aksi damai pada tanggal 1 Agustus nanti,” ungkap Silas Natkime, tokoh masyarakat Tsingwarop.

Tambang emas terbesar di dunia ini ditemukan tahun 1939, oleh Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel yang mendaki puncak tertinggi di pegunungan tengah Papua yang dinamai Carstenz Pyramid.

Dua puluh tahun kemudian laporan tentang kandungan mineral di Bumi Amungsa yang ditulis oleh Dozy sampai ke telinga Forbes Wilson, geolog Freeport. Wilson menindaklanjutinya. Ia tiba di Papua pada 1960 dan terpukau oleh “gundukan harta karun” pada ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut itu. Dia begitu terpesona oleh hamparan bijih tembaga yang terhampar luas di permukaan tanah.

Dalam laporan perjalanannya yang berjudul The Conquest of Cooper Mountain (1989), Wilson menyebut terdapat bijuh besi, tembaga, perak serta emas. Freeport memulai operasi tambang sejak Rezim Kontrak Karya dimulai pada tahun 1967.

Saat itu Freeport hanya memiliki konsesi buat menambang wilayah seluas 10 ribu hektare. Namun, rezim Soeharto memberi izin perluasan hingga 2,5 juta hektare pada 1989, lewat kontrak baru. Luas wilayah Tanah Papua sendiri seluas 43 juta hektare. Kemudian diketahui bahwa Freeport menemukan cadangan emas tak jauh dari Ertsberg.

Tetapi kontrak Karya I yang seharusnya habis pada 1997 itu, telanjur digantikan dengan Kontrak Karya II yang jalan terus sampai 2021. Kontrak Karya II ini berlanjut dengan persoalan-persoalan hak asasi manusia, sosial budaya, hukum, hingga lingkungan yang nyaris tidak berubah sejak Kontrak Karya I berlaku. (*)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar