Minggu, 30 September 2018

Angkat Masalah HAM di Sidang Umum PBB ke-73. Ini Apresiasi Pembala HAM di Tanah Papua

Buletinnusa
Angkat Masalah HAM di Sidang Umum PBB ke-73. Ini Apresiasi Pembala HAM di Tanah Papua
Yan Christian Warinussy.
Manokwari -- Presiden Kepulauan Marshall, Hilda Heine dan Perdana Menteri Tuvalu, Enele Sopoaga mendapat apresiasi dari Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua.

Pasalnya, kedua pimpinan negara pasifik ini telah menyuarakan masalah HAM yang terjad di Tanah Papua dalam Sidang Umum Majelis ke-73 di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Advokat dan pembela HAM, Yan Christian Warinussy menyampaikan apresiasi dan terimakasi kepada kedua petinggi negara pasifik tersebut, karena secara terhormat dan etis telah mengangkat kembali perlunya keterlibatan PBB dalam mendorong penyelesaian tuntutan pemenuhan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) rakyat Papua (West Papua).

“Seruan Nyonya Hilda Heine selaku Presiden Kepulauan Marshall kepada PBB melalui Sidang Majelis Umum ke-73 pada Selasa, (25/9/2018) dengan tekanan pada pentingnya dilaksanakan dialog terbuka di PBB mengenai Papua (West Papua),”kata pembela HAM di Tanah Papua ini, melalui press releasnya yang diterima, papuabaratonline.com, Minggu (30/09/2018).

(Lihat ini: Marshall Islands: Dekolonisasi dan HAM Merupakan isu Penting di Wilayah Pasifik)

Menurutnya, hal ini penting untuk disikapi secara positif oleh semua pihak, termasuk PBB dan juga pemerintah Indonesia. Dimana, tekanan pidato Kepala Negara Marshall Islands tersebut menjadi bukti faktual bahwa ada masalah HAM yang belum terselesaikan di Tanah Papua dan penting PBB terlibat dalam penyelesaiannya.

“Demikian pula dengan pidato Perdana Menteri Tuvalu Enele Sopoaga yang kembali menekankan bahwa pihaknya dalam konteks komunitas negara-negara Kepulauan Pasifik telah menempatkan isu Dekolonisasi dan HAM sebagai hal penting,”aku Yan Christian Warinussy.

Sehingga, lanjut dia, pemerintah Tuvalu mengharapkan keterlibatan PBB dalam ulaya nyata untuk menemukan solusi bagi perjuangan bangsa Papua.

“Kami percaya bahwa PBB harus terlibat dengan rakyata West Papua untuk menemukan solusi abadi untuk perjuangan mereka,”ucap Warinussy sambil meniru Perdana Menteri Tuvalu.

Maka, kata dia, hal ini menjadi penting bagi PBB guna mempertimbangkan dimulainya langkah-langkah konstruktif dalam mereview keterlibatan badan dunia pada proses penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua di tanah airnya sendiri tahun 1969 (49 tahun yang lalu).

Sesungguhnya di Indonesia dan di tanah Papua berbagai upaya untuk mendesak diselesaikannya hal ini secara terhormat sudah tertuang dalam amanat pasal 45 UU RI No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan juga Papua Barat atas amanat UU RI No.35 Tahun 2008.

Namun pemerintah Indonesia tidak pernah menaruh perhatian serius terhadap hal tersebut. Bahkan pemerintah Indonesia senantiasa mengedepankan pendekatan keamanan (security approach) dalam menyikapi tuntutan aspirasi politik rakyat atau bangsa Papua tersebut.

Sehingga senantiasa terjadi tindakan2 berkategori kejahatan terhadan kemanusiaan (crimes againts humanity), kejahatan genosida bahkan kejahatan agresi yang seringkali melibatkan aparat keamanan dari TNI maupun Polri.

“Sayang sekali karena upaya penegakan hukum terhadap kejahatan2 terhadap kemanusiaan di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun tersebut tidak pernah berjalan bahkan cenderung menimbulkan trauma di kalangan rakyat sipil Papua dan impunitas yang berkepanjangan di Tanah Papua,”tuturnya.

(Baca ini: Tuvalu: PBB Harus Terlibat dengan Rakyat West Papua)

Dia menambahkan, celakanya pimpinan Negara Indonesia tidak pernah mau melakukan upaya permintaan maaf kepada rakyat Papua hingga saat ini. Untuk itu, sebagai Direktur Eksekutuf Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari dirinya mendorong seluruh komponen perjuangan rakyat Papua di Tanah Papua agar memahami dengan sungguh pernyataan-pernyataan pimpinan negara dan pemerintah Marshall Island dan Tuvalu tersebut.

“Kemudian merumuskan langkah2 strategis yang dibenarkan dalam sistem hukum nasional Indonesia maupun hukum internasional. Terutama dengan menggunakan segenap prosedur dan mekanisme PBB di dalam mendorong implementasi penyelesaian persoalan HAM dan dekolonisasi West Papua pada tingkat internasional,”tandas peraih Penghargaan Internasional di bidang HAM “John Humphrey Freedom award” Th.2005 di Montreal-Canada.

(Lihat ini: Langkah Vanuatu dan ULMWP di sidang Majelis Umum PBB)


Copyright ©Papua Barat Online "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar