Buletinnusa
Ambon, Malukupost.com - Upaya penegakan hukum terhadap penyalagunaan anggaran negara telah menjadi komitmen Pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan wakilnya, Jusuf Kalla.
Namun ternyata, komitmen tersebut tak diseriusi aparat penegak hukum khususnya di tingkat bawah seperti yang terjadi di Maluku, tepatnya di lingkup Kejaksaan Negeri (Kejari) Maluku Tenggara (Malra).
Faktanya, 12 terpidana korupsi hasil putusan peradilan tindak pidana korupsi yang telah inkrah pada berbagai tingkatan yang ditangani Kejari Malra hingga saat ini masih bebas berkeliran.
Bahkan, sebagian besar putusannya sudah inkrah bertahun-tahun hingga sudah melewati batas waktu hukuman.
Perlu menjadi catatan, 12 terpidana ini tidak masuk dalam daftar DPO dan hingga saat ini bebas menjalankan aktivitas kesehariannya sebagaimana warga masyarakat lainnya.
Berdasarkan data yang dihimpun media ini, ke 12 terpidana tersebut merupakan hasil putusan dari beberapa kasus korupsi.
Di awali kasus korupsi Pembuatan Taman, Lantai Halaman serta Lahan Parkir Kantor DPRD Kota Tual yang memutuskan 5 terpidana atas nama Fredryk Sahilatua divonis 2 tahun penjara, Imam Badir Tamherwarin (2 tahun), dan Muhammad Irwan Tamher (2 tahun).
Ketiganya hingga berita ini dipublis belum juga dieksekusi Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Malra termasuk Hamdi Tamher, yang kemudian divonis 4 tahun penjara setelah upaya bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Ambon.
Awalnya, Hamdi pada proses persidangan di tingkat PN Tipikor Ambon, divonis 2,5 tahun. Tak terima, ia kemudian banding ke PT Ambon namun ditolak. Akhirnya ia menerima vonis yang diputuskan PT. Ambon selama 4 tahun penjara dan dikenakan denda Rp200 juta atau subsider 4 bulan penjara. Hamdi pun belum dieksekusi hingga berita ini dipublish.
Parahnya lagi, terpidana lainnya, Muhammad Irwan Tamher yang juga belum dieksekusi malah terlibat kasus narkoba yang mengantarnya harus menginap di Lapas Kelas II B Tual.
Satu lagi yang diputus bersalah dalam kasus ini, Monce Renfaan, mantan Sekwan DPRD Kota Tual yang juga diputus 2 tahun penjara, namun ia dengan kesadaran diri sendiri menyerahkan diri untuk dieksekusi ke Lapas Ambon pasca vonis putusan dibacakan. Dan kini telah menghirup udara bebas usai menyelesaikan hukuman pidananya.
4 terpidana vonis inkrah sejak Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Ambon membaca putusan pada 17 Januari 2017. Sedangkan saat itu, Hamdi Tamher langsung ajukan banding ke PT Ambon.
Perlu diketahui, JPU untuk penanganan kasus ini atas nama Chrisman Sahetapy.
Kemudian, kasus korupsi Dana Bantuan Fasilitas Pengembangan UKM dari Dinas Koperasi dan UKM Kota Tual tahun 2014 yang menghukum 4 terpidana masing-masing atas nama Jismi Reubun divonis 5 tahun penjara dengan nomor putusan 1373 K/Pid.Sus/2017 tanggal 6 Desember 2017 disertai denda Rp200 juta (subsider 6 bulan penjara) dan uang pengganti Rp223.330.750 (subsider 8 bulan penjara).
Kemudian, Adolof Samuel Tapotubun divonis 4 tahun penjara berdasar putusan Nomor. 1632 K/Pid.Sus/2017 tanggal 6 Desember 2017 disertai denda sebesar Rp200 juta (subsider 6 bulan penjara).
Abdul Gani Tamher divonis 4,5 Tahun berdasar putusan Nomor 1377 K/Pid.Sus/2017 tanggal 6 Desember 2017 disertai denda sebesar Rp200 juta dan uang pengganti Rp7,9 juta (subsider 1 bulan penjara)
Sementara, Endi Renfaan menempuh upaya hukum kasasi yang hingga berita ini dipublis belum ada putusan MA.
Selain Endi Renfaan, putusan tiga terpidana lainnya dalam kasus ini telah inkrah namun belum dieksekusi hingga berita ini dipublish.
Perlu diketahui, JPU untuk penanganan kasus ini atas nama Chrisman Sahetapy.
Selanjutnya, kasus Korupsi Dana Lauk Pauk di Sekretariat DPRD Kota Tual periode 2008 – 2013 yang menghasilkan 2 terpidana masing-masing Maemunah Kabalmay dan Ade Ohoiwutun.
Oleh MA, Kabalmay divonis 6 tahun penjara berdasarkan Putusan Nomor 832 K/Pid.Sus/2017 tanggal 26 Februari 2018 serta harus membayar denda sebesar Rp200 juta (subsider 6 bulan penjara) serta membayar uang pengganti sebesar Rp787 juta (subsider 3 tahun penjara).
Putusan MA juga berlaku atas Ade Ohoiwutun yang divonis 6 tahun penjara berdasarkan Putusan Nomor 834 K/Pid.Sus/2017 tanggal 20 Februari 2018 dengan denda yang sama Rp200 juta (subsider 6 bulan penjara) serta uang pengganti Rp787 juta (subsider 3 tahun penjara).
Keduanya hingga berita ini dipublis belum dieksekusi alias masih bebas berkeliaran.
Selanjutnya, Hari Sarkol dalam kasus korupsi Dana Asuransi DPRD Maluku Tenggara.
Oleh Pengadilan Tinggi Ambon, Sarkol divonis 4 tahun penjara berdasarkan putusan Nomor 1/Pid.Sus/TPK/2017/PT. Amb tanggal 5 April 2017 dan dikenakan denda sebesar Rp200 juta (subsider 6 bulan penjara). Sarkol menerima putusan tersebut.
Meski demikian, hingga berita ini dipublish, Sarkol belum juga dieksekusi.
Perlu diketahui, JPU untuk penanganan 2 kasus ini atas nama Chrisman Sahetapy.
Berikutnya, kasus korupsi pembangunan Unit Sekolah Baru (USB) SMA Negeri Tayando Tam Kota Tual tahun 2016 yang memvonis 4 terpidana masing-masing Saifudin Nuhuyanan, Akib Hanubun, Aziz Fidmatan dan Marthin Souhoka dengan vonis masing-masing 2 tahun penjara.
Terhadap vonis Majelis Hakim PN Tipikor Ambon pada sidang putusan 30 Juni 2016, Akib Hanubun dan Marthin Souhoka menerimanya. Sedangkan terhadap Nuhuyan dan Fidmatan, JPU Kejari Malra Chrisman Sahetapy pada perkara tersebut mengajukan banding.
Di tingkat banding, PT Ambon menjatuhkan vonis 4 tahun penjara terhadap keduanya. Tak terima, Nuhuyanan dan Fidmatan mengajukan kasasi.
Di MA, Majelis Hakim membatalkan putusan PT Ambon 4 tahun dan menguatkan vonis PN Tipikor Ambon menjadi tetap 2 tahun untuk keduanya.
Perlu diketahui, Nuhuyanan, Fidmatan dan Souhoka telah menyelesaikan hukuman kurungan dan kini telah bebas menghirup udara segar sejak pertengahan 2018 lalu.
Menariknya, dalam perkara ini, salah satu terpidana atas nama Akib Hanubun yang vonisnya telah inkrah sejak 30 Juni 2016, tidak pernah dieksekusi JPU Kejari Malra Chrisman Sahetapy hingga berita ini dipublish.
Lucunya lagi, bukannya menyerahkan diri malah Hanubun telah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke PN Tipikor Ambon dan menjalani sidang bersama-sama dengan Jaksa dari Kejari Malra Chrisman Sahetapy selaku termohon yang notabene adalah penuntutnya, pada Desember 2018 lalu.
Meski sidang permohonan PK Hanubun telah berakhir, tak juga ada tanda-tanda yang bersangkutan dieksekusi hingga berita ini dipublish.
Satu lagi, terpidana atas nama Fatmawati Kabalmay yang dihukum atas kasus korupsi dana pemilihan dan pelantikan 26 kepala desa se-Kota Tual tahun anggaran 2011 di Badan Pemberdayaan dan Masyarakat Pedesaan (BPMD) Kota Tual.
Oleh Majelis Hakim PN Tipikor Ambon, Fatmawati dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara berdasarkan putusan Nomor : 12/Pid.Sus/TPK/2016/PN. Amb tanggal 9 November 2018 dan dikenai denda sebesar Rp50 juta (subsider 1 bulan penjara) serta uang pengganti sebesar Rp110 juta (subsider 1 bulan penjara).
Terkait fakta belum dieksekusinya belasan terpidana dimaksud, Kepala Kejari Malra, Benny Ratag, SH, MH yang dikonfirmasi media ini, berulang kali menyampaikan alasan dokumen yang belum lengkap sebagai penyebab pihaknya belum mengeksekusi para terpidana.
“Sampai saat ini, kami belum menerima petikan atau salinan putusan dari Pengadilan Tipikor Ambon sebagai dasar untuk melakukan eksekusi terhadap para terpidana,” klaimnya.
Alasan “basi” ini selalu dikatakan Ratag setiap kali dihubungi media ini dalam beberapa kesempatan di 2018 lalu.
Bahkan terakhir, Jumat (8/2/2019), saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya, ia kembali beralasan masih melengkapi dokumen untuk proses eksekusi.
Ia juga tidak bisa memastikan kapan waktu pelaksanaan eksekusi dengan alasan dokumennya harus lengkap dulu.
Terpisah, Juru Bicara PN Ambon Herry Setiobudi yang dikonfirmasi media ini, mengaku jika pihaknya telah mengirimkan petikan putusan kepada para terpidana, Kejaksaan selaku eksekutor dan juga rumah tahanan setelah dibacakan Majelis Hakim sebagai persyaratan untuk dilakukan eksekusi.
“Jadi, kalau dikatakan pengadilan belum mengirimkan petikan atau salinan putusan maka saya pastikan itu tidak benar,” tegasnya.
Hal itu, menurut Herry merujuk pada aturan minutasi selama 14 hari terhitung sejak putusan dibacakan, kemudian proses pengiriman petikan atau salinan putusan kepada para pihak sampai dengan memastikan bahwa eksekusi terhadap putusan peradilan tersebut telah dilaksanakan Kejaksaan selaku eksekutor.
“Apalagi lembaga peradilan sejak beberapa tahun belakangan ini telah tampil dengan skema pelayanan satu pintu sehingga segala sesuatunya sudah begitu mudah diperoleh dan tak mungkin ada yang terlewatkan,” cetusnya.
Herry juga menilai, ada miss komunikasi di antara kedua lembaga tersebut.
“Kalau memang alasannya Kejaksaan belum terima, seharusnya kami diberitahu dong sehingga persoalan ini bisa segera dikoordinasikan bersama kedua lembaga untuk diselesaikan secepatnya. Tapi ini kan sudah lama sekali, jadi alasan belum terima petikan atau salinan putusan itu tidak tepat,” bebernya.
Pada prinsipnya, tegas Herry, pihaknya selalu siap membantu jika diperlukan apalagi berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi putusan peradilan yang telah inkrah.
Disinggung soal adanya kepentingan dibalik belum dilakukan eksekusi hingga bertahun-tahun, Kepala Humas PN Ambon ini menolak menanggapinya.
“Tanyakan saja langsung ke jaksanya,” elaknya.
Sementara itu, salah satu pemerhati hukum di Maluku mengaku sangat gerah dan mengecam kinerja para penegak hukum baik Kejaksaan maupun Pengadilan di daerah ini.
Sumber yang meminta namanya tidak dipublish bahkan mendesak langsung Presiden RI Joko Widodo untuk turun tangan "mengeksekusi" putusan hukum yang telah inkrah.
“Jangan sampai kinerja para penegak hukum yang sangat tidak profesional di Maluku ini membuat citra Bapak Presiden Jokowi dimata publik jadi tercemar bahkan bisa semakin buruk,” bebernya.
Ia juga secara khusus menyoroti kinerja dua lembaga tersebut.
“Mereka dua punya tanggung jawab yang sama baik jaksa selaku eksekutor dan pengadilan selaku lembaga yang mengeluarkan putusan. Jaksa harus aktif menanyakan jika belum terima petikan atau salinan putusan. Begitu juga sebaliknya, Pengadilan harus cek putusan mereka sudah dilaksanakan Jaksa atau belum, bukan tenang-tenang saja,” kecamnya.
Jaksa Chrisman Sahetapy pun tak luput dari kecaman sumber mengingat rata-rata kasus korupsi yang terpidananya belum dieksekusi yang bersangkutan adalah JPUnya.
“Sebagai JPU, harusnya yang bersangkutan bertanggung jawab atas perkara yang ditanganinya bukan hanya tahu menuntut orang divonis lalu kemudian tidak bertanggung jawab penuh hingga proses eksekusi. Ada kepentingan apa ini?” kecamnya lagi.
Atas fakta ini, sumber kembali meminta ketegasan Presiden Jokowi atas persoalan ini. Bila perlu
Presiden perintahkan Jaksa Agung dan Ketua MA untuk mencopot bawahannya yang tidak profesional dalam bekerja.
“Kalau Presiden sudah bersuara, semua beres biar mau ada kepentingan sekalipun,” tukasnya.
Informasi yang dihimpun media ini, tak hanya di Malra namun disejumlah daerah lainnya di provinsi berjuluk “1000 Pulau” ini, sejumlah terpidana korupsi belum juga dieksekusi. Luar biasa !!!!
(dp-16/40)