Minggu, 17 Februari 2019

Masalah Pendidikan Di Maluku Perlu Ditangani Bersama

Buletinnusa
Ambon, Malukupost.com - Masalah pendidikan di Provinsi Maluku yang masih dalam kondisi terpuruk saat ini perlu ditangani secara bersama-sama antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten maupun kota melalui tata kelola pelayanan yang lebih baik. "Kita akan terpuruk, dan sekarang saja dari laporan kemarin Maluku termasuk rangking paling bawah kualitas pendidikannya pada saat dilakukan evaluasi secara nasional," kata ketua komisi D DPRD Maluku Saadyah Uluputty di Ambon, Rabu (13/2). Ada beberapa kebijakan baik normatif maupun afirmatif terkait dengan Provinsi Maluku bahwa ada perencanaan nasional yang secara normatif semua mengakui sudah dimasukan dalam undang-undang. Namun secara afirmatif juga diperlukan semacam dorongan agar berbagai kebutuhan bersama terkait dengan kondisi realitas daerah yang secara geografis kemudian realitas masyarakat yang ada di daerah tertinggal, terpencil, dan terdepan (3T) juga bisa mengakses beberapa program pemerintah. Misalnya untuk masalah pendidikan, ada beberapa sekolah SMA/SMK pada saat UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah itu diberlakukan, terjadi pengalihan ke provinsi dan pemprov tentunya merasa cukup terbebani. "Karena seakan-akan setelah dialihkan maka semua menjadi tanggungjawab provinsi sehingga kita cukup merasa kesulitan sekali bahkan bisa mempengaruhi kualitas dan mutu pendidikan," ujarnya. Dia mencontohkan guru honor yang dialihkan sebanyak 3.600 orang dari 11 kabupaten dan kota ke provinsi, akhirnya mereka yang awalnya merupakan tenaga kontrak kabupaten kini harus diakomodir oleh provinsi, padahal APBD pemprov kecil. Akhirnya sempat ribut masalah alokasi 20 persen APBD provinsi untuk bidang pendidikan, tetapi 20 persen ini juga harus secara proporsional harus bisa disiapkan agar kebutuhan dana untuk pendidikan terpenuhi. Kemudian masalah sarana dan prasarananya, ketika pengalihan kewenangan seperti ini seakan-akan untuk SD dan SMP dikelola kabupaten/kota sedangkan SMA/SMK di provinsi. "Namun ada beberapa kabupaten/kota bisa sharing dan terbangunlah semacam pra kesepakatan bahwa dan ini masih transisi untuk menyesuaikan dengan UU tetapi kedepannya bisa share, misalnya untuk guru honorer masih bisa melanjutkan," tandasnya. Kemudian untuk beberapa sarana/prasarana masih dilakukan kerja sama untuk membantu, seperti kebutuhan multimedia untuk kebijakan nasional itu dalam tahun 2019 sudah harus tuntas UNBK, sementara sarana penunjangnya di seluruh SMA/SMK masih sangatlah kurang sehingga perlu ada koordinasi antara Disdikbud sebagai komponen penyelenggara pemerintahan. Selain itu ada beberapa cabang dinas yang memang harus dibentuk di daerah seperti UPTD atau cabang dinas pendidikan di daerah. "Saya kemarin datang ke Pulau Buru dan bertemu pihak UPTD setempat untuk mendengar dan share bersama-sama dengan beberapa OPD, rasanya seperti prihatin sekali," katanya. Bagaimana pendidikan mau maju sementara cabang dinas dibiarkan mengurus dirinya sendiri, untuk sewa kantor harus pinjam dari pihak ketiga lalu mau beli kertas terpaksa pakai milik SMA/SMK. (MP-5)
Ambon, Malukupost.com - Masalah pendidikan di Provinsi Maluku yang masih dalam kondisi terpuruk saat ini perlu ditangani secara bersama-sama antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten maupun kota melalui tata kelola pelayanan yang lebih baik.

"Kita akan terpuruk, dan sekarang saja dari laporan kemarin Maluku termasuk rangking paling bawah kualitas pendidikannya pada saat dilakukan evaluasi secara nasional," kata ketua komisi D DPRD Maluku Saadyah Uluputty di Ambon, Rabu (13/2).

Ada beberapa kebijakan baik normatif maupun afirmatif terkait dengan Provinsi Maluku bahwa ada perencanaan nasional yang secara normatif semua mengakui sudah dimasukan dalam undang-undang.

Namun secara afirmatif juga diperlukan semacam dorongan agar berbagai kebutuhan bersama terkait dengan kondisi realitas daerah yang secara geografis kemudian realitas masyarakat yang ada di daerah tertinggal, terpencil, dan terdepan (3T) juga bisa mengakses beberapa program pemerintah.

Misalnya untuk masalah pendidikan, ada beberapa sekolah SMA/SMK pada saat UU nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah itu diberlakukan, terjadi pengalihan ke provinsi dan pemprov tentunya merasa cukup terbebani.

"Karena seakan-akan setelah dialihkan maka semua menjadi tanggungjawab provinsi sehingga kita cukup merasa kesulitan sekali bahkan bisa mempengaruhi kualitas dan mutu pendidikan," ujarnya.

Dia mencontohkan guru honor yang dialihkan sebanyak 3.600 orang dari 11 kabupaten dan kota ke provinsi, akhirnya mereka yang awalnya merupakan tenaga kontrak kabupaten kini harus diakomodir oleh provinsi, padahal APBD pemprov kecil.

Akhirnya sempat ribut masalah alokasi 20 persen APBD provinsi untuk bidang pendidikan, tetapi 20 persen ini juga harus secara proporsional harus bisa disiapkan agar kebutuhan dana untuk pendidikan terpenuhi.

Kemudian masalah sarana dan prasarananya, ketika pengalihan kewenangan seperti ini seakan-akan untuk SD dan SMP dikelola kabupaten/kota sedangkan SMA/SMK di provinsi.

"Namun ada beberapa kabupaten/kota bisa sharing dan terbangunlah semacam pra kesepakatan bahwa dan ini masih transisi untuk menyesuaikan dengan UU tetapi kedepannya bisa share, misalnya untuk guru honorer masih bisa melanjutkan," tandasnya.

Kemudian untuk beberapa sarana/prasarana masih dilakukan kerja sama untuk membantu, seperti kebutuhan multimedia untuk kebijakan nasional itu dalam tahun 2019 sudah harus tuntas UNBK, sementara sarana penunjangnya di seluruh SMA/SMK masih sangatlah kurang sehingga perlu ada koordinasi antara Disdikbud sebagai komponen penyelenggara pemerintahan.

Selain itu ada beberapa cabang dinas yang memang harus dibentuk di daerah seperti UPTD atau cabang dinas pendidikan di daerah.

"Saya kemarin datang ke Pulau Buru dan bertemu pihak UPTD setempat untuk mendengar dan share bersama-sama dengan beberapa OPD, rasanya seperti prihatin sekali," katanya.

Bagaimana pendidikan mau maju sementara cabang dinas dibiarkan mengurus dirinya sendiri, untuk sewa kantor harus pinjam dari pihak ketiga lalu mau beli kertas terpaksa pakai milik SMA/SMK. (MP-5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar