Selasa, 19 Februari 2019

Vanuatu, "si Kecil" Pendukung Pemerdekaan Papua

Buletinnusa
Vanuatu, "si Kecil" Pendukung Pemerdekaan Papua
Vanuatu adalah salah satu pelabuhan panggilan terbaik di Pasifik Selatan. FOTO/iStockphoto
Vanuatu berkali-kali mengkritik Indonesia terkait Papua.
Apabila Anda membuka peta Lautan Pasifik, tengoklah pulau-pulau yang ada di sebelah timur Australia dan utara Selandia Baru. Anda akan melihat enam pulau kecil terhampar memanjang dari utara ke selatan bersama beberapa pulau kecil di sekelilingnya. Pulau yang paling besar bernama Espiritu Santo. Ada juga pulau bernama Malakula dan Efate.

Jika Anda tengah menatap kepulauan tersebut, artinya Anda sedang melihat negara bernama Vanuatu.

Wilayah teritori Vanuatu hanya hampir seluas kepulauan Maluku. Seluruh pulau yang ada di Vanuatu tersebut berjumlah delapan puluh tiga. Total luas daratan kepulauan yang pernah jadi rebutan Inggris dan Perancis itu sebesar 830 kilometer persegi.

Meski luas wilayah Vanuatu kecil, tindak-tanduknya kerap membikin Indonesia, negara kepulauan terluas di dunia, meradang.

Satu setengah tahun lalu, di Debat Umum Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Sekretaris III Perwakilan Tetap Indonesia untuk PBB Ainan Nuran menyangkal adanya pelanggaran HAM di Indonesia. Pangkal pernyataan itu ialah tuntutan Perdana Menteri Vanuatu Charlot Salwai di forum serupa kepada Dewan HAM PBB agar menginvestigasi pelanggaran HAM di Papua.

“Selama setengah abad masyarakat internasional telah menyaksikan penyiksaan, pembunuhan, eksploitasi, kekerasan seksual, dan penahanan sewenang-wenang terhadap warga negara Papua Barat, yang dilakukan oleh Indonesia. Tetapi masyarakat internasional tuli—menolak permintaan bantuan (Papua) tersebut. Kami mendesak Dewan HAM PBB menyelidiki kasus-kasus ini,” kata Salwai.

Ini bukan untuk pertama dan terakhir kali Vanuatu menunjukkan dukungannya terhadap pemerdekaan Papua. Pada Sidang Umum ke-73 PBB yang dihelat Oktober 2018, Salwai kembali mengemukakan tuntuan serupa.

Yang mutakhir terjadi pada Jumat (25/1) lalu, ketika Vanuatu bertemu Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (KTHAM) di Geneva, Swiss. Pertemuan itu dihadiri pula oleh pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda. Benny menyerahkan petisi rakyat Papua untuk penentuan nasib sendiri kepada KTHAM. Berisi tandatangan 1,8 juta orang Papua, petisi itu diluncurkan sejak 2017.

Pertemuan itu membuat Indonesia geram. Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia Retno Marsudi menyatakan pola yang dilakukan Benny Wenda tersebut manipulatif dan fake news pada Jumat (31/1). Menurut Retno, KTHAM justru menganggap langkah Vanuatu sebagai niat yang tidak baik. Kemenlu Indonesia pun melayangkan nota protes kepada Vanuatu.

Sehari kemudian, Kemenlu Vanuatu menolak protes pemerintah Indonesia. Menlu Vanuatu Ralph Regenvanu menyatakan pemerintah Vanuatu selalu mendukung Papua untuk menentukan nasib sendiri. Dia juga menyatakan Vanuatu akan membantu rakyat Papua memperjuangkan pemerdekaan.

Anti-Kolonialisme Sejak Lahir

Salah satu partai politik di Vanuatu yang getol memperjuangkan pemerdekaan Papua ialah Vanua'aku Pati (VP). Dalam "The Origins and Effects of Party Fragmentation Vanuatu" yang dimuat di Political Parties in Pacific Island (2008), Michael Morgan menjelaskan VP didirikan pada 1971, sewaktu Vanuatu berstatus koloni bersama Inggris dan Perancis.

Semasa di bawah kendali Inggris-Perancis, VP menggalang demonstrasi dan agitasi politik dalam memperjuangkan pemerdekaan tanah airnya. Usaha itu berujung VP memenangkan pemilihan umum 1979. Setahun kemudian, Vanuatu merdeka dan menjadi anggota Negara Persemakmuran Inggris.

Semasa ini pula, bangsa-bangsa di Lautan Pasifik, terutama yang letaknya dekat kepulauan Nusantara, menyatakan diri merdeka. Papua Nugini (PNG), wilayah koloni Inggris yang berada di bagian timur Pulau Papua, merdeka pada 1975. Sementara Solomon Island, negara kepulauan di sebelah timur PNG, merdeka pada 1978.

Salah satu pendiri VP, Walter Hadye Lini, didapuk sebagai perdana menteri pertama Vanuatu. VP berkuasa hampir 11 tahun. Lini pun dua kali terpilih sebagai perdana menteri, yakni pada 1983 dan 1987. Selepas 1987, tokoh VP Barak Sope menantang kepemimpinan Lini. Dia mendirikan Melanesian Progressive Party (MPP) pada 1988. Sope terpilih sebagai perdana menteri pada 1999. Namun, pada 2001, Sope digulingkan dari jabatan itu.

Meski keduanya terlibat persaingan, Lini dan Sope mendukung pemerdekaan bangsa-bangsa yang terjajah. Dalam "Melanesia's Test: The Political Quandary of West Papua" (2014) yang dimuat di jurnal Pacific Journalism Review, Johnny Blades menyebutkan Lini bertekad Vanuatu tidak akan sepenuhnya merdeka sampai seluruh Melanesia terbebas dari kolonialisme.

Sewaktu menjabat perdana menteri, Lini bersama pemimpin PNG, Solomon Islands, dan Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS) mendirikan Melanesian Spearhead Group (MSG). FLNKS ialah kelompok pejuang pemerdekaan koloni Perancis New Caledonia. Lini mendorong MSG untuk mendukung FLNKS, sementara VP juga mempersilakan organisasi membentuk pemerintahan-di-pengasingan di Vanuatu.

MSG mengedepankan "Melanesian Way" yang gagasan awalnya dikembangkan filsuf asal PNG, Bernard Narokobi. Salah satu prinsip Melanesian Way ialah keberagaman, tak mesti ada negara kesatuan pan-Melanesia.

(Baca artikel ini: MSG Sakit Kepala, West Papua Sakit Hati dan Indonesia Merampas Melanesia)

Sebagaimana dijelaskan David Webster dalam "Already Sovereign as a People: A Foundational Moment in West Papuan Nationalism" yang dimuat di Pacific Affairsedisi Winter 2001-2002, dengan memegang prinsip tersebut, MSG mengakui banyak negara Melanesia dan penciptaan negara-negara baru dari negara Melanesia yang sudah ada diperkenankan.

Papua dan Semangat Melanesian Way

Melanesian Way, catat Webster, turut menginspirasi para nasionalis Papua. Tradisi lokal Papua diarahkan dan diungkapkan dalam suatu bahasa budaya baru Melanesia. Kemelanesiaan itu juga menjadi bahan bakar politik identitas Papua.

Orang Papua bernama Arnold Ap mendirikan grup musik rakyat Mambesak pada 1978. Sebagaimana dijelaskan Alex Rayfiel dalam "Singing for Life" (2004) yang dimuat di jurnal Inside Indonesia Edisi 78, awalnya banyak orang tidak memahami maksud tindakan Ap.

Ap pun mengatakan, "Mungkin kamu pikir saya melakukan hal yang bodoh. Tapi ini yang mesti saya lakukan untuk rakyat saya sebelum saya mati."

Di balik itu, Ap mengetahui semangat Papua yang bisa menggerakkan orang-orang Papua. Pesan utama dalam lagu-lagu Mambesak ialah 'kami adalah orang Melanesia dan ini adalah tanah kami'. Kritisisme itu berujung tewasnya Ap pada 1984, dalam satu skenario pelarian menuju Papua Nugini yang dirancang Kopassandha (kini Kopassus).

Empat tahun setelah kematian Ap, pada 14 Desember 1988, Thomas Wanggai memproklamasikan negara ”Melanesia Barat” di Stadion Mandala, Jayapura. Di hari itu, peserta proklamasi menyanyikan lagu "Hai Tanahku Papua" dengan mengganti kata "Papua" yang tersemat dalam lirik dengan kata "Melanesia". Wanggai dihukum 20 tahun penjara. Dia meninggal pada Maret 1996.

(Baca juga: Operasi Pembebasan Sandera dan Pelangaran Ham oleh Kopasus, ICRC PT.FI di Mapeduma, 1996)

Pada 1984, band rock asal Papua, Black Brothers, menyambangi Vanuatu. Manajer band itu ialah Andy Ayamiseba. Ayah dari Andy, Dirk Ayamiseba, menjadi penasihat budaya band tersebut. Jabatan itu adalah kedok agar Dirk Ayamiseba punya dalih meninggalkan Papua. Nyawanya dianggap terancam karena ia adalah saksi kecurangan pemerintah Indonesia dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

Ayamiseba pergi bersama Black Brothers ke PNG pada 1979. Dari situ, Black Brothers pindah ke Belanda. Ayamiseba pun mendapat kewarganegaraan Belanda. Di Vanuatu, pandangan Ayamiseba soal pemerdekaan Papua diterima betul oleh pemimpin VP. Ayamiseba pun menganggap Barak Sepo seperti anaknya sendiri.

Namun, situasi di Vanuatu saat itu sedang tidak memihak Black Brothers. Partai Union of Moderate Parties (UMP) yang menjadi oposisi VP melancarkan kritik. Sebagaimana dijelaskan J.V. MacClancy dalam "Vanuatu since Independence: 1980-83" (1984) yang dimuat The Journal of Pacific History, UMP mempersoalkan VP karena tidak kunjung memberikan status kewarganegaraan kepada orang berdarah campuran Loyalty Island (koloni Perancis, kini masuk New Caledonia) dan ni-Vanuatu (sebutan bagi orang Melanesia yang lahir di Vanuatu), tapi malah menerima Black Brothers.

Karena situasi politik Vanuatu yang tidak menentu, Black Brothers dan Ayamiseba pergi ke Canberra, Australia. Ayamiseba menetap di sana hingga meninggal pada 2003.
Vanuatu, "si Kecil" Pendukung Pemerdekaan Papua
Infografis by Tirto.

Isu Papua Sempat Bikin Parlemen Vanuatu Gonjang-ganjing

Pemerdekaan Papua tetap menjadi isu penting dalam konstelasi politik Vanuatu. Pada Juni 2010, anggota parlemen dari Port Villa Ralph Regenvanu (kini Menlu Vanuatu) mengajukan usulan bertajuk Wantok Blong Yumi.

Usulan itu memerintahkan Perdana Menteri Vanuatu yang kala itu dijabat Edward Natapei (dari VP) mengajukan usulan atas nama Vanuatu kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk memasukkan status Papua dalam pembahasan Sidang Majelis Umum PBB 2010. Perdana menteri juga diminta memohon Majelis Umum PBB untuk bertanya ke Mahkamah Internasional mengenai pendapatnya tentang proses Belanda menyerahkan Papua kepada Indonesia pada 1962; dan penyelenggaraan serta dampak Pepera 1969.

Wantok Blong Yumi disetujui baik oleh perdana menteri maupun pemimpin oposisi Maxime Carlot Korman (dari UMP) dan partai-partai lain di kubu masing-masing.

Namun, Natapei dinilai tidak cakap menjalankan Wantok Blong Yumi. "Melanesia in Review: Issues and Events, 2010" (2011) yang terbit di jurnal The Contemporary Pacific mencatat Isu Papua tidak dibahas dalam pertemuan negara-negara MSG dan Pacific Islands Forum bulan Agustus 2010 karena Natapei tidak cukup keras melobi negara peserta pertemuan tersebut.

Dalam pertemuan PBB, Natapei malah menyampaikan pentingnya anggota PBB untuk memperhatikan isu kolonialisme, ketimbang secara gamblang meminta mereka mendukung pemerdekaan Papua seperti diamanatkan Wantok Blong Yumi. Oposisi pun mengajukan nota tidak percaya pemerintahan besutan Natapei kepada parlemen, meski pemakzulan tak terjadi.

Hingga kini, di luar pasang-surut dan dinamika politik internalnya, Vanuatu adalah negara yang gigih mendukung Papua merdeka. Sikap pemerintahannya di PBB dalam dua tahun terakhir ini menunjukkan kuatnya sokongan itu.


Copyright ©Tirto "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar