Senin, 18 Februari 2019

Orang asli Jayapura Tinggal 4%, Sisanya 96% adalah non-Asli Jayapura

Buletinnusa
Orang asli Jayapura Tinggal 4%, sisanya 96% adalah non-Asli Jayapura
Masyarakat adat Jayapura dengan hiasan budayanya (ist).
JAYAPURA -- Dilansir Jubi (18/2), TOTAL penduduk asli Papua di Kota Jayapura lebih kecil dibanding penduduk dari luar Papua. Penduduk asli Port Numbay [Jayapura] bahkan lebih minoritas. Pada 2018, dari total 293.690 jiwa penduduk kota Jayapura, hanya 11.949 jiwa atau 4,07 persen penduduk asli Port Numbay.

(Baca juga: Solidaritas Mahasiswa & Rakyat Papua Tolak Kedatangan Transmigran ke Papua)

Hal itu terungkap dari penelitian Yayasan Anak Dusun Papua (YADUPA) dan Generasi Muda Papua untuk Hak Adat (GEMPHA) berjudul “Dampak Migrasi Terhadap Depopulasi dan Pergeseran Budaya Masyarakat Adat Port Numbay”, yang dipresentasikan di Waena, Distrik Heram, Kota Jayapura, Sabtu, 16 Feberuari 2019.
Orang asli Jayapura Makin Minoritas [ancaman genosida]
Suasana presentasi hasil penelitian Yayasan Anak Dusun Papua (YADUPA) dan Generasi Muda Papua untuk Hak Adat (GEMPHA), Sabtu, 16 Februari 2019 – Jubi/Asrida Elisabeth.
Orang asli Port Numbay menjadi minoritas merupakan akibat dari program transmigrasi yang dilakukan pemerintah selama ini, urbaninasi internal di Papua, dan migrasi mandiri dari luar Papua akibat daya tarik ekonomi ibu kota Provinsi Papua ini.

Ledakan penduduk dari luar Papua menyebabkan meningkatnya kebutuhan lahan untuk pemukiman. Ditambah dengan pertumbuhan bisnis. Kebutuhan lahan itu mengubah struktur kepemilikan tanah dan pemanfaatan lahan. Tanah dan hutan orang Numbay beralih kepemilikan.

Selain masalah tanah, komposisi demografi seperti ini memaksa orang Numbay melakukan penyesuaian diri, dengan akibat pada memudarnya kebudayaan mereka sendiri.

(Baca ini: Dr Willem Burung: Jangan Sampai Bahasa Di Papua Punah)

Bagian lain penelitian ini juga mengungkap kerusakan lingkungan kota Jayapura dan akibatnya bagi kehidupan orang asli. Ditemukan 17 daerah aliran sungai telah mengalami kerusakan parah, dan dipenuhi pemukiman liar. Sampah rumah tangga dan sampah industri juga merusak sungai dan ekosistem laut.

Bagi masyarakat Numbay masalah itu bukan sekadar kebersihan kota, tetapi juga kerusakan ekosistem yang menjadi penopang sumber makanan mereka.

Akses pada proses dan manfaat pembangunan

Weynand Watori, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP) menyatakan bahwa kondisi ini adalah bukti nyata dari kegagalasan otonomi khusus (otsus) Papua.

“Kita bicara pembangunan di kota Jayapura, hotel berbintang, mobil banyak, tapi kalau masyarakat adat seperti yang digambarkan, ya, itu artinya pembangunan gagal. Apa artinya pembangunan ini?” ujar Watori.

Disebutkan, persentase masyarakat asli hanya mencapai 4 persen adalah sebuah kejahatan. Ditambah ketidaksejahteraan mereka lantaran tidak semuanya mendapat manfaat dari pembangunan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa masyarakat Port Numbay kehilangan kesempatan, untuk mengakses program pendidikan, karena kesempatan-kesempatan itu didominasi oleh penduduk dari luar Papua.

“Ini sudah sama sekali tidak adil, 4 persen tidak sejahtera. Bahkan untuk masuk IPDN tidak bisa.”

Menurutnya, masalah migrasi ini sebenarnya sudah lama menjadi kekhawatiran banyak pihak di Papua. Karena itulah dibentuk peraturan daerah mengenai kependudukan nomor 15 Tahun 2008. Sayangnya, perda ini belum memiliki aturan turunan seperti peraturan gubernur. Padahal perda ini bertujuan untuk memproteksi orang asli Papua.

(Lihat ini: Kasus Baru HIV-AIDS di Papua Mencapai 2.003 Kasus)

Pendapat lain disampaikan oleh Direktur YADUPA, Leo Imbiri. Menurut Imbiri, kondisi di Kota Jayapura ini adalah gambaran kondisi-kondisi wilayah di Papua, seperti Merauke, Keerom, Sorong, dan Timika.

“Kondisi ini membuktikan dengan konkret bahwa perkiraan yang sudah disampaikan oleh para peneliti telah terbukti dan kepunahan kita sedang berlangsung,” ujar Imbiri.

Pembangunan yang selama ini dilakukan, menurutnya, tidak berpihak pada masyarakat adat, sehingga membuat masyarakat adat tersingkir. Hal ini bahkan tidak hanya terjadi di Papua, tapi juga di seluruh Indonesia. Negara belum mengakui keberadaan masyarakat adat.

Namun demikian, pemerintah juga sering mengklaim sudah melakukan berbagai program pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat adat.

“Tapi apa itu dibutuhkan oleh masyarakat adat? Apakah pemerintah pernah duduk dengan masyarakat adat tentang model pembangunan yang mereka kehendaki?”

Menurutnya, program yang dibuat oleh pemerintah seringkali hanya untuk menjalankan perintah undang-undang. Bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat adat. Akibatnya pembangunan tidak hanya dianggap gagal menyejahterahkan, tapi juga meminggirkan orang asli.

Tindak lanjut mendesak

Dalam presentasi ini, peserta kemudian menyarankan agar hasil penelitian YADUPA dan GEMPHA segera diteruskan ke banyak pihak yang bertanggung jawab, seperti, Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Gereja, dan kampus-kampus.

“Masalah ini harus diangkat terus. Presentasi disampaikan ke wali kota dan undang parlemen untuk membicarakan persoalan ini. Penduduk asli sudah yang rela memberi lahan sagu tempat mencari, dan kita menjadikannya sebagai tempat hidup dan dibangun segala fasilitas untuk kita nikmati.”

(Lihat ini: 5 Suku di Kabupaten Keerom Papua Punah)

Usulan lainnya adalah agar YADUPA mendorong penelitian yang sama di berbagai kota di Papua, yang melibatkan orang-orang muda Papua, sehingga isu marjinalisasi terus menjadi perhatian.

“Selama ini data mengenai marjinalisasi orang Papua didapat dari peneliti-peneliti luar. Ini adalah salah satu contoh baik, di mana, anak-anak muda orang asli Papua yang melakukannya dan kita mendapat data ini dari mereka,” kata Leo.

Berbagai masukan teknis lainnya disampaikan peserta seminar hasil penelitian ini. Yason Ngelia, ketua tim assessment.

Ngelia menyatakan akan merampung semua masukan untuk penyempurnaan isi hasil assessment tersebut. (*)


Copyright ©Jubi "sumber"
Hubungi kami di E-Mail ✉: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar