Minggu, 14 Oktober 2018

Fenomena Gunung Es di Papua

Buletinnusa
Pita merah, simbol kepedulian pada maslah HIV-AIDS.
Oleh: Soleman Itlay

TAHUN 1528, Alvaro de Antonio d’Arbau menyebut Papua itu pulau emas. Dia kasih istilah itu berdasarkan kenyataan alam. Namun itu dulu. Berbeda dengan sekarang. Saat ini orang suka menyebut surga kecil yang jatuh ke bumi. Tetapi tidak dapat dibenarkan lagi karena fakta menunjukkan lain. Kedua istilah tersebut mesti diganti saja dengan tidak menyebut Papua.

Alam Papua kini hidup setengah mati. Seperti di api neraka. Lihat saja, emas, tambang, uranium, batu bara, gaharu, dan lainnya dieksploitasi tanpa rasa memiliki. Panorama alam hijau, sungai, kali, air terjun, dan segala sesuatu yang indah dihilangkan tanpa ampun-ampun. Tidak ada lagi kepedulian terhadap pribumi (OAP) yang sakit dan menderita. Tidak ada jaminan pada nasib dan masa depan bagi anak-anak. Semua orang hidup dalam kecurangan.

Tinggal di atas tanah leluhur tapi rasanya di negeri orang. Hidup dalam tekanan dan ancaman. Hidup dalam kekerasan dan kejahatan. Hidup dalam ketidakadilan dan kecurangan. Hidup dalam diskriminasi dan arogansi. Hidup dalam kesakitan dan penderitaan. Hidup dalam kesedihan dan dukacita. Hidup dalam kekhawatiran dan kebimbangan.

Masih banyak yang harus dirangkaikan di sini, agar semua orang melihat kenyataan yang sesungguhnya. Namun halaman ini terbatas. Maka cukup di situ dulu. Karena ada ancaman besar yang harus diuraikan lebih panjang.

Ancaman itu diistilahkan dengan “Fenomena Gunung Es”. Istilah yang dimaksud bukan untuk Nemangkawi. Soal itu, PT. Freeport Mc Moran, Indonesia dan Amerika Serikat telah menghilangkannya.

Namun Fenomena Gunung Es yang dimaksud di sini adalah tentang sebuah virus yang mematikan sel-sel darah putih manusia. Sebut saja virus itu adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus yang memperlemah kekebalan tubuh seseorang ini tumbuh dan berkembang pesat.

Kementerian Kesehatan RI melalui HISA sudah mengumumkan laporan resmi per 19 Maret 2018. Dalam laporan tersebut Provinsi Papua dan Papua Barat mendapatkan rangking “terburuk”, karena jumlah pengindap sekitar 29.710 jiwa.

Jumlah tersebut meningkat pesat dari 2017. Sebelumnya, HISA merilis penderita HIV di Papua sekitar 627 jiwa. Setidaknya, 29.083 jiwa adalah penderita baru di Papua. Angka tersebut tentu tidak kalahnya dengan Papua Barat. Pada 2017 tercatat penderita HIV sekitar 89 jiwa. Namun dalam laporan HISA terbaru ini, jumlah penderita HIV di Papua Barat tercatat sekitar 4.674 jiwa.

Sebanyak 4.588 jiwa merupakan penderita HIV terbaru. Jumlah tersebut membuat Papua Barat berada di urutan kedua. Pertumbuhan angka ini sangat menakjubkan, karena peningkatannya begitu signifikan. Namun tidak perlu diperdebatkan panjang lebar karena masalah seperti ini biasanya menghabiskan waktu.

Hal paling penting untuk dipikirkan adalah semua pihak (harus) menakuti ancaman Gunung Es tersebut, agar semua orang sadar. Dengan adanya rasa takut orang tidak mau terlibat untuk memerangi HIV. Tetapi di lain sisi hal ini sangat penting untuk dilakukan. Karena itu membuat orang peka, hati-hati, siap siaga dan berani melawan ancaman Fenomena Gunung Es.

Tak hanya itu, mulai sekarang pemerintah harus berpikir untuk melakukan evaluasi terhadap kinerjanya. Evaluasi kinerja sangat penting untuk melihat kelemahan dan kekurangannya selama ini. Pemerintah harus mereview kembali atas semua kebijakan, program dan anggaran yang digunakan sebelumnya. Bila perlu penyerapan anggaran yang kurang tepat sasaran diaudit kembali oleh penegak hukum.

Data HISA di atas benar-benar memberikan warning keras terhadap pemerintah daerah di Papua. Pemerintah pusat dan daerah tidak boleh main-main dengan laporan ini. Sebagai penanggung jawab utama, mulai sekarang pemerintah harus memikirkan langkah-langkah solusif. Dalam upaya menghilangkan Gunung Es di atas, pemerintah mesti memikirkan hal-hal seperti berikut:

Pertama, pemerintah mesti mendata semua penderita HIV, termasuk tempat keberadaannya. Bila perlu seluruh kabupaten/kota membangun rumah ODHA. Pemerintah harus memperhatikan segala kebutuhan ODHA di tempat yang khusus. Hak-hak ODHA mesti dipenuhi berdasarkan hak-hak dasarnya sebagai manusia ciptaan Tuhan dan warga negara. Bagi yang belum berobat harus diarahkan untuk periksa;

Kedua, pemerintah harus mempermudah akses layanan kesehatan bagi ODHA dan penderita HIV yang belum terdeteksi. Biaya untuk pemeriksaan bila perlu digratiskan. Setiap pos-pos layanan kesehatan kalau masyarakat mau periksa harus bebas dari punggutan liar atas nama apapun, seperti yang selama ini terjadi di banyak tempat;

Ketiga, pemerintah harus menyiapkan konsep dan kerangka serta memperkuat sumber daya tenaga relawan untuk kerja sama. Setiap relawan harus diperbanyak. Kemudian memberikan pembekalan mengenai cara-cara pencegahan penularan HIV. Setiap kabupaten/kota mesti memikirkan langkah ini untuk melawan ancaman fenomena gunung es, karena ini bisa membantu selain upaya yang lain;

Keempat, pemerintah (instansi terkait) dan ODHA serta tenaga relawan harus menjadi mitra kerja yang baik. Bila perlu ketiga unsur ini memiliki kesepahaman dengan semua stakeholder yang lain. Kesepahaman harus dibangun sejak dini sebelum melakukan pendekatan kepada masyarakat umum. Karena dengan kesepahaman juga dapat meningkatkan kinerja yang baik;

Kelima, menutup tempat-tempat prostitusi di berbagai tempat di Papua. Pembatasan tempat-tempat PSK adalah salah satu upaya yang sangat diperlukan. Bila perlu warung-warung makan dan tempat-tempat yang berpotensi menambah angka HIV perlu ditertibkan. Tidak boleh melakukan pembiaran soal ini. Karena tempat-tempat seperti ini juga diduga dapat menimbulkan untuk orang terinfeksi HIV;

Keenam, pemerintah dan semua stakeholder yang terlibat harus membangun tekad bersama. Kemudian melancarkan sosialisasi di berbagai tempat. Masing-masing pemukiman warga, sekolah, kampus, dan basis masyarakat harus ada tenaga-tenaga relawan yang siap sedia untuk melakukan sosialisasi dan melakukan layanan bagi masyarakat. Layanan itu harus dilengkapi dengan fasilitas dasar yang diperlukan;

Ketujuh, bila perlu obat ARV, alat tes mandiri, kondom, dan lainnya tidak hanya disiapkan di kantor KPA, toko, dan apotek. Kalau bisa disiapkan tempat-tempat, kompleks pemukiman warga yang strategis. Agar masyarakat langsung mengambilnya sendiri. Kalau pemerintah serius melakukan hal ini pasti akan membantu dalam upaya pemberantasan HIV di Papua;

Kedelapan, tujuh usulan di atas sekurang-kurangya harus diperkuat dengan kebijakan. Pemerintah pusat harus memberikan perhatian khusus untuk Papua dan Papua Barat tentang pencegahan penularan HIV di tanah air. Kalau jadi, maka pemerintah provinsi dan kabupaten/kota memiliki tugas untuk menerjemahkan kebijakan pusat dalam peraturan daerah masing-masing;

Kesembilan, untuk mendukung misi pencegahan penularan HIV, pemerintah harus siapkan alokasi dana khusus. Kebijakan yang disarankan dalam poin kedelapan, harus disertai dengan keuangan. Kalau orang mau mencegah penularan HIV tetapi tidak didukung dengan dana tidak bakal berhasil. Namun untuk meningkatkan efektifitas kinerja harus didukung dengan anggaran;

Kesepuluh, semua relawan yang ambil bagian dalam memerangi fenomena Gunung Es harus benar-benar bebas dari segala kepentingan diri dan kelompok. Bagian ini, orang harus meniru gaya Yesus Kristus yang meninggalkan segala kepemilikan, kemuliaan, kemahaan, kekudusan, kesuciaan, dan lainnya dari tahta Allah Bapa di surga. Semua harus bekerja karena ingin melayani dan punta tanggung jawab moral di Papua.

Memang untuk memwujudkan semua ini tidak mudah. Pemerintah bisa melakukannya secara bertahap. Harus dan penting untuk buat seperti itu. Kalau tidak, generasi emas di Papua kelak akan berbahaya. Nasib dan masa depan mereka akan suram. Sebab potensi HIV untuk mematikan sel-sel pada tubuh generasi emas sangat besar. Lebih baik pemerintah segera mengatasi angka dan mereka yang belum periksa sama sekali.

Kerja pemerintah harus dengan target untuk menyelamatkan generasi muda Papua. Generasi emas di Papua kelak harus hidup sehat dan bebas dari infeksi HIV. Sehingga kelak sebagai tulang punggung bangsa membangun daerahnya sendiri. Target kerja harus jelas hingga Fenomena Gunung Es di Papua bebas seratus persen. Mari ciptakan Papua sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Wa! (*)

Penulis adalah anggota aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar