Jumat, 19 Oktober 2018

Pelanggaran HAM Meradang, Fiji Masih Masuk Dewan HAM PBB

Buletinnusa
Pelanggaran HAM Meradang, Fiji Masih Masuk Dewan HAM PBB
Pertemuan sesi ke-39 Dewan HAM PBB, pada September lalu.
Oleh Bruce Hill

Fiji, negara yang, mungkin, memiliki riwayat pelanggaran HAM paling buruk di Pasifik, baru saja terpilih untuk menempati salah satu kursi di Dewan HAM PBB. Momen penting itu, sayangnya, terjadi bertepatan dengan kematian Josua Lalauvaki, seorang laki-laki muda berusia 26 tahun, yang diduga tewas setelah dikeroyok oleh polisi di Suva bulan lalu.

Seperti biasanya, kepolisian telah mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan penyelidikan atas insiden tragis tersebut. Sudah ada banyak sekali ‘investigasi’ yang dilakukan atas pelanggaran HAM dan tindak kekerasan, oleh pasukan keamanan negara itu, beberapa di antaranya berakhir dengan kematian korban, yang masih terus berjalan setelah berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun kemudian, tanpa temuan apa-apa. Sepertinya tidak pernah ada apa-apa yang terjadi dalam penyelidikan seperti ini di masa lalu.

Pemerintah Fiji, yang akan mengadakan pemilihan umum akhir tahun ini, bangga tentang kemenangan diplomatik besar mereka, berhasil untuk mengamankan satu kursi di Dewan HAM PBB untuk 3 tahun, dimulai dari 2019, seolah-olah dengan mendapatkan kursi itu, entah bagaimana, akan memberikan mereka sesuatu yang akan membawa mereka keluar dari segala riwayat pelanggaran HAM mereka.

Tidak, bukan begitu.

Justru sebaliknya, hasil itu mengejutkan banyak organisasi-organisasi HAM dan hanya menunjukkan korupsi dalam sistem PBB pada umumnya, dan Dewan HAM pada khususnya.

Beberapa negara pelaku pelanggaran HAM terburuk di planet ini juga terpilih pada Jumat (12/10/2018) lalu di Jenewa, beberapa dengan sejarah HAM yang yang jauh lebih buruk daripada Fiji pun terpilih. Bahrain, Kamerun, Filipina, Somalia, Bangladesh, dan Eritrea, sekarang negara-negara itu memiliki kursi dalam Dewan HAM dan, oleh karena itu, berhak untuk menyelidiki pelanggaran yang dilakukan negara-negara lain.

Pemilihan itu bahkan tidak layak untuk dinilai sebagai kompetisi - PBB melakukan pemilihan seperti ini dengan menggunakan sistem pemungutan suara bloc vote, dan kelima blok yang ikut memilih hanya mengajukan jumlah kandidat yang sama dengan jumlah kursi yang tersedia. Semua negara yang dinominasikan dijamin akan mendapatkan kursi dalam dewan itu.

Louis Charbonneau, Direktur Human Rights Watch untuk PBB, menyebut pemungutan suara itu ‘konyol‘ dan mengatakan bahwa seluruh prosesi itu seolah ‘mengejek kata ‘pemilihan’.

Kadang-kadang ada berbagai pihak yang berupaya untuk menyalahkan Australia dan Selandia Baru, menurut pandangan sejumlah oknum, untuk semua pelanggaran HAM di Fiji, karena kedua negara dianggap telah menyerah dan angkat tangan, dalam mendorong pemerintahan yang demokratis di negara tersebut.

Itu adalah suatu contoh di mana pemikiran dan hati berada di sisi yang berlawanan.

Sudah berkali-kali kita melihat contoh kebrutalan polisi, kematian orang dalam tahanan, intimidasi terhadap media, penyensoran, dan dugaan campur tangan di sistem pengadilan. Kasus-kasus ini telah didokumentasikan secara akurat dalam laporan, oleh Amnesty International dan LSM HAM setempat selama bertahun-tahun lamanya.

Tetapi apa yang harus kita lakukan tentang hal itu?

Australia dan Selandia Baru dulu kokoh mempertahankan posisi mereka melawan rezim militer, menyusul kudeta selama delapan tahun di Fiji, sampai akhirnya mereka memilih untuk menyerah atau menggunakan pertimbangan akal sehat, tergantung sisi argumen mana yang Anda setujui, dan memutuskan untuk mencoba pendekatan lain sebagai gantinya.

Argumen yang digunakan pada saat itu adalah, bahwa memberikan sanksi dan menentang suatu rezim yang dibentuk secara paksa itu tidak berfungsi, tidak membuahkan hasil apa-apa. Dan sayangnya, mereka ada benarnya dalam hal itu. Sampai suatu titik, sebuah keputusan diambil bahwa, menentang apa yang telah terjadi di Fiji, tidak akan mengubah situasi ini menjadi lebih baik, jadi mungkin, jika kita berpura-pura semuanya baik-baik saja, maka akhirnya akan ada perbaikan yang bertahap.

Apakah hal itu benar-benar terjadi atau tidak sampai sekarang masih belum terjawab.

Realisme kebijakan luar negeri adalah untuk mencari solusi yang paling baik, untuk jumlah orang yang paling dengan menggunakan cara yang paling efektif, dan jika itu berarti mengabaikan riwayat pelanggaran HAM Fiji untuk sementara waktu, sehingga negara itu dapat secara bertahap berubah menuju sesuatu yang lebih baik, itu adalah harga yang harus dibayar.

Mungkin saja (dan mungkin ini sedikit bertaruh) dengan masuknya Fiji dalam Dewan HAM, dapat mendorong mereka untuk memperbaiki catatan persoalan HAM mereka sendiri?

(Lihat ini: Bertemu Ketua DPR Papua, Pangdam: Tak Ada Pembahasan Masalah HAM)

Upaya untuk melakukan perbaikan besar-besaran di negara itu melalui tekanan luar negeri, justru memiliki kemungkinan jauh lebih besar untuk memperburuk keadaan. Itu merupakan hal yang lebih tidak menyenangkan untuk didengarkan bagi mereka di Fiji, yang berjuang melawan pelanggaran HAM.

Mungkin kelihatannya munafik bagi dua negara besar di Pasifik, untuk tidak mengambil tindak keras melawan pelanggaran HAM di negara ketiga, tetapi dalam kasus ini memang benar bahwa seperti kata Francois de la Rochefoucauld, ‘hypocrisy is the tribute vice pays to virtue’. (The Interpreter by Lowy Institute 16/10/2018)


Copyright ©Tabloid JUBI "sumber"
Hubungi kami di E-Mail: tabloid.wani@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar