Minggu, 14 Oktober 2018

Masyarakat Seram Barat Protes Eksplorasi Hutan Adat

Buletinnusa
Ambon, Malukupost.com - Masyarakat adat dari tujuh negeri, yakni Lumoli, Morekau, Piru, Neniari, Eti, Kaibobo dan Kawa di Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, memrotes eksplorasi hutan mereka oleh PT Tanjung Wana Sejahtera. Protes tersebut mereka lakukan dengan melayangkan surat pernyataan sikap kepada Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, dalam rapat bersama yang digelar di Ambon, Jumat (12/10).
Ambon, Malukupost.com - Masyarakat adat dari tujuh negeri, yakni Lumoli, Morekau, Piru, Neniari, Eti, Kaibobo dan Kawa di Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, memrotes eksplorasi hutan mereka oleh PT Tanjung Wana Sejahtera.

Protes tersebut mereka lakukan dengan melayangkan surat pernyataan sikap kepada Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku, dalam rapat bersama yang digelar di Ambon, Jumat (12/10).

"Dengan tegas bahwa kami masyarakat adat di Kecamatan Seram Barat menolak dengan keras tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Alam (IUPHHK-HA) dalam wilayah Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat," demikian isi surat pernyataan bersama masyarakat adat yang ditandatangani oleh pimpinan tujuh desa di Seram Barat.

Surat pernyataan sikap tersebut merujuk pada dokumen hasil AMDAL Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku tentang IUPHHK-HA pada Alam PT Tanjung Wana Sejahtera di Kecamatan Seram Barat, Taniwel, Inamosol, Amalatu dan Kecamatan Elpaputih.

Dalam dokumen AMDAL menyebutkan bahwa hutan adat ada tiga desa di Kecamatan Seram Barat, yakni Lumoli, Morekau dan Piru menjadi bagian dari wilayah eksplorasi usaha kayu gelondongan PT Tanjung Wana Sejahtera.

Pejabat Negeri Piru Roy Manupassa dalam kesempatan itu mengatakan masyarakatnya bersama enam desa adat lainnya menolak eksploitasi hutan di wilayah mereka, sebab dampaknya akan terasa sampai ke generasi berikutnya.

Kendati hanya tiga desa yang hutannya masuk dalam wilayah eksplorasi, masyarakat di empat desa lainnya juga ikut menolak karena desa-desa di Kecamatan Seram Barat rata-rata berada di pesisir pantai, pembabatan hutan di wilayah desa sekitarnya juga akan berdampak pada mereka.

Karena itu, Roy dan pemimpin enam desa adat lainnya berharap surat pernyataan sikap bersama yang diberikan kepada tim Penilai AMDAL bisa dipertimbangkan.

"Kalau bicara reboisasi bisa sampai 30 tahun baru bisa utuh kembali. Sebelumnya perusahaan Djajanti Group mengelola hutan seram dampaknya sampai sekarang masih kami rasakan. Surat pernyataan sikap kami masukan kepada tim Penilai AMDAL agar bisa mempertimbangkan proses yang sementara jalan, kami harapkan ditolak," katanya.

Menurut Roy, selama ini pihaknya tidak tahu-menahu mengenai pengelolaan hutan adat di Lumoli, Morekau dan Piru tersebut karena belum ada pemberitahuan sebelumnya, bahkan mereka tidak diundang dalam rapat awal yang digelar di Desa Waimital, Kecamatan Kairatu.

Hal tersebut baru diketahui setelah ada surat pemberitahuan tertanggal 11 Oktober 2018 dari Pemerintah Kecamatan Seram Barat kepada desa-desa yang hutannya masuk dalam wilayah eksplorasi IUPHHK-HA PT Tanjung Wana Sejahtera, untuk hadir dalam rapat bersama Komisi AMDAL Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku pada 12 Oktober 2018.

"Kami sudah lihat peta eksplorasi tapi besaran luas hutan yang dieksplorasi kami tidak tahu, tidak ada informasi soal itu sebelumnya. Waktunya sangat singkat dan mendadak, tapi kami semua telah bersepakat menolak eksploitasi hutan kami, kami tidak ingin masyarakat kami mendapatkan dampak negatifnya," ucap Roy.

Direktur Himpunan Masyarakat Maluku untuk Kemanusiaan (HUMANUM) Vivi Marantika yang mendampingi pimpinan negeri Lumoli, Morekau dan Piru dalam rapat bersama dengan Komisi AMDAL, menyatakan pihaknya mendukung penuh keputusan masyarakat dari tiga desa tersebut.

Karena, menurut dia, hak kelola hutan adat harusnya menjadi keputusan dan milik masyarakat adat.

"Tidak pernah ada pengelolaan hutan dari pihak swasta selama ini yang menguntungkan masyarakat, puluhan tahun sudah terbukti. Maka sudah tidak bisa ditawar lagi untuk mengembalikan hak kelola hutan adat kepada masyarakat adat," tegasnya. (MP-5)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar